Feb 3, 1996

KEHADIRAN KOMNAS HAM KEMAPANDUMA DIPERTANYAKAN

Sabtu, 3 Februari 1996
_________________________________________________________________





Bandarlampung, Kompas

Kehadiran Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) sebagai
mediator dalam pembebasan sandera di Irian Jaya tidak logis dan secara
politis menurunkan kewibawaan ABRI. Komnas HAM jangan berfungsi
sebagai 'tukang jahit', mau menyelesaikan semua persoalan. Kecuali,
turun ke Irian Jaya untuk mencari tahu dan meneliti mengapa ada
penyanderaan itu, baru logis dan sangat baik.

Demikian pendapat Direktur Komunikasi dan Program Khusus Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Hendardi, dan pakar ilmu
sosial dari Universitas Indonesia, Dr Kastorius Sinaga, yang dihubungi
Kompas di LBH Bandarlampung, Lampung, Jumat (2/2). Mereka dimintai
pendapatnya sehubungan dengan rencana pengiriman tim Komnas HAM ke
Mapanduma dan memperoleh persetujuan ABRI (Kompas, 2/2).

Menurut Kastorius, masalah di Mapanduma, Irja, sekarang lebih dari
masalah operasi. Pihak yang bertanggung jawab di sana lebih banyak
militer, yang selama ini dengan arif melakukan pendekatan persuasif.
"Lalu, kalau tiba-tiba Komnas HAM muncul sebagai mediasi atau public
relation pembebasan sandera, itu akan membingungkan masyarakat,"
katanya.

"Kehadiran Komnas HAM ke Irja sudah melewati fungsinya. Dan, dengan
sendirinya akan mengurangi kredibilitas ABRI. Secara lembaga juga
merusak citra Komnas HAM. Sebagai mediasi, Komnas HAM memberikan
kontribusi apa?" kata Kastorius.

'Tukang jahit'

Hendardi menambahkan, fungsi mediasi Komnas HAM bersama ABRI bukan
saja menyimpang, tetapi terlalu mengada-ada dan terkesan berfungsi
sebagai 'tukang jahit'. Semua soal mau diselesaikan olehnya. "Padahal,
dalam hal ini bukan berarti Komnas HAM tidak bisa berfungsi dalam
kasus penyanderaan. Komnas HAM hendaknya menggali dan meneliti mengapa
terjadi penyanderaan," katanya.

Mengapa, lanjut Hendardi, selama ini banyak ketidakpuasan masyarakat
Irja, seperti kasus Freeport, atau tahun 1980 lalu adanya Proklamasi
Thomas Linggai, kemudian Melanesia dan semacam itu. Belum lagi
berbagai kasus-kasus tanah di Irja. "Hendaknya Komnas HAM ke sana
untuk hal macam demikian, meneliti," tegasnya.

Kastorius sependapat dengan Hendardi. "Dengan kehadiran Komnas HAM di
Mapanduma, nantinya seolah-olah memonopoli opini tentang penyanderaan
itu oleh Komnas HM. Ini jelas strategi yang kurang baik," katanya.

Ketidakadilan

Munculnya kasus penembakan 11 warga sipil Timika Irian Jaya dan
berlanjut dengan kasus penculikan dan penyanderaan atas sejumlah orang
oleh gerakan pengacau keamanan (GPK) berawal dari ketidakadilan sosial
ekonomi. Selain itu juga karena penyerobotan tanah-tanah adat (hak
ulayat) oleh perusahaan asing.

Demikian salah satu masalah pokok yang mencuat dalam diskusi bulanan
Pusat Pengkajian Strtategi dan Kebijakan (PPSK) Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (2/2). Diskusi menghadirkan pembicara
Velix V Wanggai SPI aktivis mahasiswa Fakultas Ilmu sosial dan Politik
(Fisipol) UGM, dan Prof Dr Ichlasul Amal, Direktur Program Pasca
Sarjana UGM.

Menurut keduanya, pola Timika, sesungguhnya tidak berbeda dengan apa
yang terjadi di Aceh dengan ekspolitasi minyak oleh PT Arun,
penambangan tembaga Soroako di Sulawesi Selatan, dan kehadiran
perusahaan minyak Caltex di Propinsi Riau, maupun ekspolitasi minyak
oleh perusahaan Badak, di Kaltim.

Menurut Velix Wanggai, lewat penelitian kesarjanaannya berjudul
"Dampak Ekonomi Politik Penanaman Modal Asing dalam Pengembangan
Wilayah Irian Jaya" mengemukakan, sejak kehadiran PT Freeport
Indonesia Company di Irja (1967), pemerintah pusat tidak pernah
mengikutsertakan pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan operasi dan konsesi Freeport. Para tokoh
masyarakat suku Amungme dan sekitarnya juga tidak diikutsertakan.

Salah satu penyulut keresahan suku-suku Amungme karena wilayah
pegunungan Erstberg dan Grasberg yang selama ini dipandang keramat,
menurut Velix, dijamah oleh pihak-pihak asing. Keresahan makin
memuncak karena tanah-tanah mereka berada dalam wilayah konsesi
Freeport tanpa ganti rugi sepeser pun, di samping terjadinya perusakan
hutan dan sungai. Padahal secara ekonomi, wilayah itu merupakan basis
materiil dan sumber daya ekonomi penduduk Amungme.

Menurut catatan Velix, tahun 1967 kontrak karya Freeport meliputi
wilayah seluas 10.000 ha. Namun dalam kontrak karya baru, tahun 1991
seluas 2,6 juta ha, melebihi luas Taman Nasional Lorentz 2,1 juta ha.

Velix menilai, kasus Timika sebagai peristiwa ekonomi politik. Ketika
muncul tuntutan dan protes orang-orang Amungme - termasuk Kelly Kwalik
(pimpinan GPK Irja) - disikapi sebagai gangguan terhadap aset vital
negara. Akibatnya, langkah-langkah yang ditempuh pun justru
mengesampingkan tuntutan suku Amungme. Selain itu, langkah tersebut
menyebabkan penelitian mendalam tentang dampak negatif kehadiran
Freport tidak dilihat sebagaimana mestinya.

Sedangkan aspek -aspek idiologis (nasionalisme Papua Barat) maupun
politik (ras Melanesia), menurut Velix, merupakan faktor-faktor yang
mengikuti belakangan dalam perspektif mereka.

Ichlasul Amal mengemukakan dari proses sejarah terbentuknya negara
kesatuan Republik Indonesia terlihat justru oleh keadaan wilayah yang
luas dan sistem pemerintahan sentralistis yang mengacu pada warisan
pemerintah kolonial Belanda, maka persatuan menjadi hal yang tidak
bisa ditawar.

Persatuan, lanjutnya, bukan hanya dalam sikap, tetapi juga kesatuan
teritorial dengan manifestasinya yang terkuat pada militer. Pilihan
seperti itu, membawa banyak komplikasi. (nal/hrd)

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...