Mar 28, 2014

Demokrasi yang Berkelanjutan



Rabu, 26 Maret 2014 , 23:32:26 WIB
Jurnas.com | Oleh: Velix Wanggai,

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah

Hari-hari ini Indonesia sedang memasuki masa-masa penting di dalam pembangunan demokrasi. Lima belas tahun perjalanan demokrasi yang telah berjalan menghadapi ujian yang tidak ringan. Pujian internasional atas Indonesia bahwa demokrasi, pembangunan, dan agama (Islam) dapat berjalan seiiring sejalan akan diuji demi keberlangsungannya. Kini, pertanyaan yang hadir kemudian, apakah prosesi pencoblosan 9 April dan 9 Juni 2014 memberikan makna bagi penguatan konsolidasi demokrasi.

Saat ini kita berada di masa kampanye, dan tanggal 9 April 2014 adalah hari yang menentukan perjalanan bangsa dan negara. Pemilihan umum dilihat tidak hanya dari sisi prosesi politik pergantian elite, namun dipotret juga dari sisi keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan. Keharmonisan, kerukunan, dan kedamaian sosial yang telah dicapai dalam satu dekade terakhir juga menghadapi tantangan tersendiri jika tidak dikelola dengan baik.

Kita memandang bahwa Pemilihan Umum berada dalam konstruksi dan desain besar politik Indonesia. Sebagai bagian dari desain besar politik Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa pemilihan umum bukan sesuatu yang harus ditakutkan dan diseram-seramkan. Namun, pemilihan umum sebagai bagian dari pendidikan politik, rekrutmen elite, dan kesinambungan pembangunan. Sebagai renungan atas perjalanan lima tahun terakhir ini, Presiden SBY mengajak kita untuk memikirkan 5 agenda pembangunan demokrasi.

Pertama, apakah sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan yang berlaku di negeri ini telah pilihan yang terbaik? Kedua, apakah demokrasi, stabilitas, dan pembangunan dapat hidup berdampingan secara damai dan menjadi panduan kita dalam bernegara? Ketiga, bagaimana masa depan hubungan negara antara negara, pemerintah, dan masyarakat (state-society relations) telah terjalin dengan tepat?

Keempat, apakah jalan yang harus ditempuh oleh Indonesia untuk menjadi negara maju? Sedangkan kelima adalah bagaimanakah pola pembagian peran dan tanggungjawab untuk kemajuan negara? Bahkan, Presiden SBY mengajak anak bangsa untuk memikirkan, manakah yang kita pilih, orang kuat, the strong man, atau sistem dan institusi yang kuat dalam demokrasi? Dan, bagaimana format demokrasi ditengah masyarakat yang majemuk?

Mengingat Indonesia dikenal dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia berupaya untuk membagi pengalaman berdemokrasi dengan negara-negara lain, salah satunya melalui Bali Democracy Forum. Ada 4 pandangan Indonesia dalam mengkonsolidasikan demokrasi.

Pertama, konsolidasi demokrasi perlu menjamin hak-hak konstitusional seluruh warga negara, baik kebebasan berekspresi, non-diskriminasi, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. kedua, menunjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam hal ini, negara harus mampu memfasilitasi kehendak kelompok mayopritas sekaligus hak-hak kelompok minoritas.

Ketiga, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputuisan. Dan keempat, mendorong interaksi antarkelompok dalam masyarakat pluralistik dalam rangka meningkatkan pemahaman bersama, toleransi, dan kohesi sosial. Terakhir, Presiden SBY menceritakan penting perannnya sistem multipartai dalam mengkonsolidasi demokrasi di Indonesia. Multipartai membuka akses bagi partisipasi masyarakat pluralistik di dalam mengkonsolidasi demokrasi. Dalam konteks itu, pemilihan umum berupaya untuk menjelaskan lima pandangan yang diutarakan Presiden SBY.

Penulis memaknai 3 hal penting dalam Pemilihan Legislatif 9 April dan Pemilihan Presiden 9 Juni. Pertama, pemilu sebagai sarana bagi warga untuk ikutserta menentukan proses pengambilan kebijakan negara dan kebijakan pembangunan. Ini berarti rakyat bebas berpendapat, berekspresi, dan bebas mencoblos siapa pun figur dan dari partai politik manapun. Pada tingkat ini, para pengamat biasanya menilai dari tingkat partisipasi rakyat dalam pemilihan umum.

Indikator ini menjadi salah satu ukuran di dalam menyebutkan apakah pemilihan sukses atau tidak sukses. Namun, tingkat partisipasi ini masih perdebatan karena pengalaman dari negara-negara Barat menunjukkan partisipasi politik yang rendah tetapi kualitas demokrasinya telah tinggi dan berjalan baik. Jenis pemilihnya juga bersifat rasional (rational voter) ketimbang karakter pemilih di negara-negara berkembang yang umumnya masih irrasional. Itu terlihat dari partisipasi politik yang dimobilisasi tanpa sebuah kesadaran untuk memilih mana yang terbaik di dalam kebijakan dan program pembangunan bangsa.

Ikatan emosional kedaerahan, agama, kekeluargaan dan suku masih menjadi faktor kuat dalam relasi antara pemilih dan figur yang dipilih. Hal ini wajar di dalam proses pematangan demokrasi seiring dengan meningkatnya taraf pendidikan dan keterbukaan akses informasi publik.

Makna kedua, pemilihan umum dilihat sebagai proses rekrutmen dan seleksi figur dari berbagai partai politik dalam format multipartai. Tentu kita berharap figur-figur yang terpilih, baik sebagai anggota DPR dan DPD, memiliki komitmen, kredibilitas, kapabilitas, jujur, amanah, bijaksana, maupun integritas untuk menjalankan perannya sebagai wakil rakyat. Jika diurut lebih jauh, banyak lembaga merumuskan sosok wakil rakyat yang ideal di dalam mengemban amanah rakyat, sekaligus dapat berfungsi dalam proses penyusunan kebijakan dan regulasi, anggaran negara, dan pengawasan.

Tentu, kita juga menyaksikan berbagai lembaga melakukan penilaian independen guna memotret kinerja para wakil rakyat. Tentu kita sedih melihat oknum politisi yang terkena korupsi. Dan kita juga menyayangkan rendahnya produk Undang-Undang di DPR. Mungkin banyak penyebab yang menjelaskan rendahnya produk UU itu, namun publik melihat lemahnya kinerja para wakil rakyat. Untuk itu, alngkah baiknya, publik memilih wakil rakyat dan yang telah teruji, yang telah memberikan bukti, bukan janji.

Selain figur wakil rakyat, pemilihan umum menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pilihan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, pesta lima tahunan ini sangat berharga untuk regenerasi kepemimpinan nasional, momentum penyegaran elite dan pemerintahan, dan sekaligus sebagai momentum dalam menjaga keberlanjutan hasil-hasil yang telah dicapai selama ini. Prinsip keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change) sebagai prinsip penting dalam regenerasi kepemimpinan dan penyegaran pemerintahan.

Karena itu, menjadi Presiden itu bukan sebagai direktur perusahaan swasta yang berpikir profit. Namun, Presiden memegang tugas sejarah yang tidak mudah, baik di tataran domestik dan di panggung internasional. Calon Presiden yang konsisten dan amanah dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terpengaruh dengan oligarki kepartaian.

Makna terakhir dari pemilihan umum adalah momentum keberlanjutan visi nasional Indonesia, baik visi 100 Tahun Indonesia Merdeka, maupun visi pembangunan jangka panjang 2005 - 2025. Untuk itu, pergantian kepemimpinan nasional dianggap sebagai penyegaran kebijakan nasional, namun tetap memperhatikan kebijakan dasar yang telah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya.

Misalnya saja, program-program pro-rakyat maupun Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang bersifat inklusif sebagai contoh kebijakan yang telah meletakkan fondasi bagi Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan merata. UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 memberikan amanah kepada Presiden terpilih untuk mewujudkan visi nasional 2005-2025 dan melanjutkan desain pembangunan nasional yang telah diletakkan oleh Presiden sebelumnya. Kata Presiden SBY, pembangunan adalah 'never ending goals'. Keberlanjutan dan perubahan menjadi prinsip dasar bagi kita semua.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...