Nov 27, 2008

Islam Atau Kristen Agama Orang Papua?

Written by Administrator/Ali Athwa, Majalah Hidayatullah

Thursday, 27 November 2008 09:54

Ada tiga kesalahan orang memandang Papua. Pertama, Papua identik
dengan koteka, Kedua, hanya orang-orang primitiv dan Ketiga, Identik dengan
Kristen. Padahal, itu keliru [bagian pertama]

Hidayatullah.com--Untuk poin pertama dan kedua, fakta itu boleh jadi
benar, bahwa di kawasan-kawasan tertentu di pedalaman bumi cenderawasih ini,
hingga hari ini masih diketemukan masyarakat dengan pola hidup primitif,
sebagian masih mengenakan koteka, serta menjalani hidup secara kanibal.

Hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti terbatasnya akses
informasi-atau bahkan ketiadaan informasi yang mereka terima--serta luasnya
kawasan tersebut yang hampir 4 kali luas pulau Jawa. Bahkan, Papua, termasuk
pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark. Maka wajar bila
fakta-fakta seperti koteka dan kehidupan primitif masih ditemui di Papua.

Namun tentu saja hal itu tidak semuanya, mengingat sebagian dari
mereka, kini, sudah terbiasa dengan pola kehidupan maju dan melek teknologi,
utamanya mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dan hidup di daerah
pantai, baik penduduk asli maupun perantau dari luar Papua.

Fakta lain yang selama ini terselimuti kabut tebal adalah perihal
komunitas Muslim di kawasan ini. Selama ini pula, banyak orang yang
bertanya-tanya, adakah orang Islam di Papua? Adakah komunitas pribumi
(penduduk asli Papua) yang memeluk Islam sebagai agama mereka? Ironisnya,
belum lagi pertanyaan itu terjawab, seolah ada ungkapan pembenaran bahwa:
Papua identik dengan Kristen. Atau dengan bahasa yang lebih lugas lagi:
setiap orang Papua ya mesti Kristen.

Tentu saja statemen seperti ini membawa dampak negative yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan dakwah Islam di kawasan yang masih
menyimpan hasil kekayaan alam yang sangat melimpah ruah ini.

Bahkan saat ini jumlah komunitas Muslim di Papua sudah mencapai angka
900 ribu jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2.4 juta jiwa, atau
menempati posisi 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua. 60% penduduk
merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Animisme.

Namun, di antara imej yang kurang menguntungkan seperti itu, juga
"tekanan psikologis" suasana serba Kristen, dimana setiap mata memandang
begitu banyak gereja-- sebagai buah dari kerja keras para missionaries, yang
didukung dengan dana yang nyaris tak terbatas, serta ditunjang sarana
teknologi komunikasi dan transportasi canggih, pelan-pelan komunitas Islam
tumbuh dan menyinari bumi cenderawasih yang di lingkungan kaum muslimin
menyebutnya sebagai kawasan Jabal an Nuar.

Ismail Saul Yenu (67), seorang pendeta sekaligus kepala suku besar di
Yapen Waropen telah masuk Islam dengan diikuti istri dan anaknya. Ismail
yang juga Ketua Benteng Merah Putih pembebasan Irian Barat dan Ketua
Assosiasi Nelayan Seluruh Papua telah menunaikan ibadah haji pada tahun
2002.

Seorang pendeta di Biak Numfor bernama Romsumbre (Abdurrahman) juga
telah masuk Islam beserta keluarga dan 4 orang anaknya. Wilhelmus Waros
Gebse Kepala suku Marin, Merauke juga telah meninggalkan agama lamanya
Katolik dan memilih masuk Islam bersama Istri dan anak-anakknya. Kini
Wilhelmus sedang merintis sebuah pondok pesantren di kampung halamannya di
Merauke.

Saat ini, di desa Bolakme, sebuah distrik di Lembah Baliem, seorang
pendeta dan kepala suku bersama 20 orang warganya ingin sekali memeluk
Islam.

Berkali-kali keinginan itu disampaikan ke tokoh masyarakat Muslim,
akan tetapi pihak MUI agaknya sangat berhati-hati dalam menerima mereka.
Alasannya, di samping faktor keamanan, juga pembinaan terhadap mereka
setelah itu, tidak ada. "Inilah tantangan bagi kita. Tidak sedikit penduduk
asli yang ingin masuk Islam, tapi kita kekurangan dai." tutur H.Burhanuddin
Marzuki, ketua MUI Kabupatern Jayawijaya yang sudah 30 tahun tinggal di
Lembah Baliem.

Berita yang sempat meramaikan media massa adalah dengan masuk Islamnya
"kepala suku perang" H. Aipon Asso pada tahun 1974.Sebelum itu, seorang
tetua di desa Walesi bernama Marasugun telah lebih dulu masuk Islam setelah
berinteraksi dengan para perantau di kota Wamena yang berasal dari
Bugis-Makassar, Jawa, Madura maupun Padang.

Keislaman Aipon Asso lalu diikuti oleh 600 orang warganya di desa
Walesi. H. Aipon yang kini sudah berusia 70 tahun menjadi kepala suku yang
sangat di segani di seluruh lembah Baliem. Wilayah kekuasaannya membentang
hampir 2/3 cekungan mangkuk lembah Baliem.

Ia benar-benar sosok kepala suku mujahid yang sangat diperhitungkan di
kawasan ini.

Bahkan ketika ia baru pulang dari menunaikan ibadah haji (1985),
dengan mengenakan surban dan baju gamis panjang, secara demonstratif ia
turun ke jalan dan melakukan pawai di pusat kota Wamena sambil mengerahkan
ratusan warganya yang masih mengenakan koteka dan bertelanjang dada.

Teringatlah kita pada kisah sahabat Nabi Muhammad yakni Umar bin
Khattab ketika akan melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang tilakukannya
tanpa sembunyi-sembunyi dan tanpa ada rasa takut.

Saat kerusuhan menimpa Wamena tahun 2000 lalu, sebagian pendatang baik
Muslim maupun Kriten dicekam rasa takut. Tidak terkecuali Muslim pribumi pun
mengalami hal serupa. Untuk meredam situasi, pihak pemerintah
menyelenggarkan pertemuan dengan kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama.
Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah tersebut H.Aipon
mengusulkan ditempatkannya aparat keamanan secara permanen di kawasan ini
dan itu disetujui.

Di ibukota provinsi Papua, Jayapura, seperti juga di kota-kota lain
seperti Fak-Fak, Sorong, Wamena, Manukwari, Kaimana, Merauke, Timika, Biak
dan Merauke, suasana keislaman semakin tampak, khususnya di kalangan
pendatang. Selain jumlah rumah ibadah yang semakin bertambah, kegiatan
halaqah juga tumbuh tidak kalah subur. Selain itu, bila kita jalan-jalan di
pusat kota Jayapura tidak sulit kita menemui Muslimah berjilbab lalu lalang
di antara keramaian. Termasuk di kampus ternama di Papua Universitas
Cenderawasih, para wanita berjilbab juga dengan mudah kita temui.

Penduduk Muslim di kota terdiri dari para pedagang, pagawai,
pengusaha, pelajar/mahasiswa, guru, atau buruh.

Secara keseluruhan jumlah komunitas Muslim di Papua mengalami
peningkatan yang cukup pesat, utamanya di kota kabupaten atau provinsi.
Dalam catatan yang dikeluarkan oleh LP3ES, Papua, termasuk dari 7
kantong-kantong Kristen di seluruh Indonesia yang semakin penyusutan.
Sebaiknya jumlah penduduk Muslim semakin tumbuh.

Sebenarnya potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Muslim di Papua tidak
kalah banyak di banding dengan ummat lain.

Akan tetapi nampaknya ada semacam perasaan 'tidak PD" di kalangan
mereka untuk tampil dan terlibat langsung dalam lingkar pemerintahan.
Akibatnya, mereka hanya menjadi penonton, atau-katakanlah-- turut terlibat,
namun ada di 'wilayah yang tidak menentukan'.

"Ini tentu saja menjadi PR kita ke depan. Ummat Islam Papua harus
menghalau rasa tidak PD-nya, dan selanjutnya bersama yang lain terlibat
langsung membangun Papua," tutur Mohammad Abud Musa'ad MSi(42), intelektual
Muslim Papua yang juga anggota tim penyusun UU otonomi khusus Papua.

"Secara historis, keberadaan ummat Islam sebagai pendatang awal di
Tanah Papua, sudah klir. Dan itu sudah tertuang dalam buku putih yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Papua." jelas Musa'ad yang tinggal di bilangan
Abepura, Jayapuran ini. "Namun yang terpenting, kita harus segera berkarya
dan tidak boleh asyik bernostalgia dengan sejarah,"pesannya pada Muslim
Papua.

Musa'ad juga menyadari, kendati sejumlah pertemuan tentang kedudukan
ummat Islam di Papua pernah dilakukan, akan tetapi karena tidak adanya
sosialisasi dan tindak lanjut dalam program, semua seolah lenyap tanpa
bekas.

Masih kata Musa'ad, bahwa peran politik ummat Islam Papua saat ini
masih terlalu kecil, yakni tidak lebih dari 10 %. Kenyataan ini tentu saja
sangat memperihatinkan.

Bahkan dapat dibayangkan dari 900 ribu jiwa Muslim yang tersebar dalam
29 kabupaten/kota yang ada saat ini, hanya terdapat dua kabupaten yang
dipimpin oleh pejabat Muslim yakni di Fak-Fak dan di Kaimana. Bahkan di
kantong-kantong kabupaten berpenduduk asli mayoritas Muslim seperti Babo dan
Bintuni, misalnya, saat ini dipimpin oleh non-Muslim.

Senada dengan Musa'ad, menurut DR (desertasi) Toni Vm Wanggai yang
juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Yapis Jayapura, bahwa sosialisasi dan
pelurusan sejarah Islam di Papua harus dilakukan terus menerus.

Hal itu perlu dilakukan agar ummt Islam di Papua mengetahui jati diri
mereka, sekaligus menginformasikan kepada fihak lain yang belum faham, untuk
tidak menganggap kaum Muslimin sebagai 'tamu di Papua'. Muslim adalah juga
pemilik sah kawasan ini, sehingga mereka memiliki porsi keterlibatan yang
sama untuk membangun Papua. Islam hadir di Papua abad ke-XV sedang Kristen
masuk Papua pertengahan abad ke-XIX (5 Februari 1855).

Kegelisahan Toni, adalah seiring dengan adanya upaya dari kelompok
Kristen yang ingin menghapuskan jejak Islam di kawasan ini, khusunya di
kawasan Raja Ampat Di mana hama "Raja Ampat" akan dihilangkan dan diganti
dengan nama lain. Padahal, nama Raja Ampat adalah se-monumental sejarah
Papua sendiri.

"Nama Raja Ampat diambil dari eksistensi kerajaah-kerajaan Islam yang
berkuasa di kawasan Indonesia timur saat itu yakni: Ternate, Tidore, Jailolo
dan Bacan." tegas Toni yang mengambil desertasinya tentang 'Rekontruksi
Sejarah Islam Papua'.

Kendati masih sebatas wacana yang dipublikasikan di media lokal, namun
tak urung informasi nyeleneh seperti itu membuat gelisah sejumlah tokoh
Muslim.

"Itu sama dengan bunuh diri." kata M Shalahuddin Mayalibit, SH,
mengomentari gagasan itu. " Sekalipun dipublikasikan seribu kali, itu tidak
akan terwujud." kata dosen Fakultas Hukum di Universitas Cenderawasih ini
menjelaskan.

" Raja Ampat dan Muslim sudah menjadi satu kesatuan yang sulit
dipisahkan," tegas cucu Muhammad Aminuddin Arfan, tokoh Muslim dari kerajaan
Salawati yang ditugasi Raja Tidore untuk mengantar CW. Ottow dan GJ Geissler
si bapak Kristen ke Papua.

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus, peluang keterlibatan Muslim di pemerintahan semakin
terbuka lebar. (baca: Peluang dan Tantangan di Era Otonomi) Hanyasaja
diperlukan kekompakan dari segenap elememen

Muslim baik para intelaktualnya, ormas Islam, alim ulama, tokoh
pemuda, mahasiswa dan remaja, pondok-pondok pesantren, dll.

Tanpa dengan itu mereka akan tetap terpinggirkan, dan bahkan tidak
mustahil akan menjadi 'kambing hitam politik' oleh kelompok kepentingan yang
sudah lama ingin menguasai Papua(Kristen). [Ali Athwa. Penulis adalah
wartawan Majalah Hidayatullah dan penulis buku "Islam Atau Kristen Agama
Orang Irian (Papua)". Tulisan diambil dari Majalah Hidayatullah]
bersambung..

Last Updated ( Thursday, 27 November 2008 12:03 )

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article...

Islam Atau Kristen Agama Orang Papua? [2]

Written by Administrator

Friday, 28 November 2008 14:06

Pada tahun pertama penjajah Belanda di Papua, hampir seluruh tenaga
yang ditempatkan di sana adalah missionaries. Islam Atau Kristen Agama Orang
Papua? [bagian kedua]

Habis Manis Sepah Dibuang

Hidayatullah.com--Para sejarawan Barat seperti Thomas W. Arnold maupun
WC.Klein dalam bukunya "The Preaching Of Islam" dan "Neiuw Guinea"
menjelaskan bahwa Islam hadir di kawasan Papua ini 3 abad lebih dulu (1520)
dari para missionaris Kristen yang pertama yakni C.W.Ottow dan G.J. Geissler
yang mendarat di Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Februari 1855.

Uniknya kedatangan para missionaris itu justru diantar oleh tokoh
Muslim dari kerajaan Ternate dan Salawati, yang pada saat itu sangat
berpengruh di kawasan Timur Indonesia khususnya di Maluku dan Papua(baca
buku: Islam atau Kristen Agama Orang Irian? Pustaka Dai: 2004). Saat itu
setiap orang yang akan memasuki Papua harus meminta izin penguasa dari
kerajaan Muslim tersebut.

Ottow dan Geissler yang berasal dari Gereja Protestan Jerman, adalah
murid Ds. OG. Heldring yang membentuk perhimpunan "Pengijil Tukang" yakni
juru injil yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan
pertanian, pada tahun 1847.

Selain Ottow dan Geissler, delapan orang utusan di kirim oleh
institusi tersebut ke Sangir dan Talaud, sebuah kawasan di bagian utara
pulau Sulawesi Utara.

Mereka itulah missionaries-missionaris handal pada masanya, yang telah
sukses menancapakan tonggak Kristenisasi secara permanen di kawasan timur
Indonesia, khususnya Papua.

Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta kapan
kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof
den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569
pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan
terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan)

Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat,
Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar.

Begitupun adanya fakta dan data yang tak terbantahkan dengan jelas
menyebutkan bahwa, sebelum kedatangan dua orang missionaris tersebut,
beberapa daerah di Papua seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati dll
telah memeluk agama Islam.

Catatan dari Kitab Klasik

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama,
misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa
Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar
muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning
angeka nusatutur".

Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain
untuk daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Semua tempat itu
berada di Kaimana, Fak-Fak.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh
Periplus Inc. Berkeley, California 1991, sebuah wadah sosial milik
misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam: Dalam kitab
Negarakertagama, di abad ke-14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, dimana di sana disebutkan dua wilayah di Irian
yakni Onin dan Seran. Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian
armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari
pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh
sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di
antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate,
Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan
pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan
di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana."

Dari data tersebut jelaslah bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit
sejumlah daerah di Papua sudah termasuk milayah kekuasaan Majapahit. Seiring
dengan runtuhnya kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai sejumlah
kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai, hingga
Thailand, hadirlah kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan sejak
zaman baru itu, atau bahkan jauh sebelumnya, pengaruh kerajaan Islam Demak
menyebar ke Papua. Melalui jalur perdagangan para saudagar dan dai Muslim
sudah berdakwah ke sana.

Bahkan menilik dari catatan di Troloyo, sebagaimana diungkapkan oleh
Prof.DR. Habib Mustopo, seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi
Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada sejak
zaman Kerajaan Majapahit.

Pada saat Majapahit eksis dakwah Islam juga sudah eksis. Apalagi
dengan diketemukanya data artefaktual yang waktunya terentang antara
1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton
Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton
Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan. Kedigjayaan Majapahit sendiri
runtuh secara total tahun 1527 M. Itu artinya, satu setengah abad sebelum
keruntuhan Majapahit Islam sudah berkembang, justru di jantung Majapahit.
Fakta ini tentu saja menepis anggapan yang ada selama ini bahwa perkembangan
dan bertumbuhan Islam, khususnya di Pulau Jawa, ada setelah keruntuhan
Majapahit. Para dai Muslim juga menyebar ke mana-mana baik yang dari tanah
Jawa maupun dari Timur Tengah termasuk ke Pulau Burung Papua.

Lalu munculah tentara kolonial Belanda. Di awal kedatangannya ke
Papua, hampir sebagian besar pasukan kolonial Belanda yang diterjunkan ke
kawasan ini adalah merangkap rohaniawan gereja(missionaries).

Catatan di bawah ini menjelaskan tentang hal itu. "Sejak tahun 1855
CW.Ottow dan GJ. Geissler menetap sebagai penyiar agama Kristen di daerah
Doreri, lambat laun jumlah golongan orang-orang Belanda di Irian
Barat(Papua) bertambah dengan para penyiar agama yang berusaha menyebarkan
agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Malah pada tahun-tahun pertama
dari masa penjajahan Belanda di Irian Barat [Papua] hampir seluruh golongan
orang-orang Belanda di daerah tersebut, terdiri dari para penyiar agama
Kristen". (Penduduk Irian Brat hal. 105)

Artinya, di samping sebagai tentara, dokter atau perawat, ya juru
rohani juga. Maka sangat wajar jika mereka dengan gigih berjuang meski
menghadapi medan yang sulit, menguasai dan mengontrol wilayah jajahan,
sekaligus mengajak warga pribumi kepada Kristen.

Terhadap penduduk pribumi mereka menanamkan mitos-mitos meyesatkan
bahwa nenek moyang mereka sesungguhnya berwarna kulit putih dan akan kembali
datang (messiah) dalam bentuk kulit putih.

Sangat jelaslah bahwa semboyan pereka (Barat) yang dikenal dengan tiga
G (Gold, Glory, Gospel; Emas, Kebebasan dan Injil) bukan lagi suatu rahasia.
Mereka dengan penuh semangat mendatangi negeri-negeri jajahan demi memenuhi
ambisinya itu. Bahkan Indonesia, bagi mereka(missionaris) disebutnya sebagai
lahan yang sangat subur untuk Injil.

Secara sistematis kemudian para zending ini bekerja menyebarkan agama
Kristen dengan melalui organisasi yang berpusat di negeri Belanda yang
benama: Utrechtsehe Zendingvereeniging. Begitu pula kemudian kegiatan yang
dilakukan oleh kaum missionaris Kristen Katolik, yang juga berpusat di
Belanda, yakni suatu ordo Franciscan di Tilberg yang merupakan suatu cabang
dari pusat missi di Vatikan yaitu: Sacra Congregatio de Propaganda
Fide.(Penduduk Irian barat hal. 344-355)

Akan tetapi nampaknya dalam proses penginjilan di Papua, para
missionaris itu mengalami ketidakakhuran.

Akhirnya mereka membagi Papua menjadi kedua wilayah penggarapan,
dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan. Pembagian
seperti itu kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda di mana di
sana diterapkan sistem seperti itu.

Menyangkut kondisi ummat Islam kalau itu, menilik penelitian
antropologis yang pernah dilakukan oleh Harsja W.Bachtiar pada tahun 1963
misalnya melaporkan sbb:

....beberapa daerah di Irian Barat(Papua) menjadi daerah kekuasaan
Sultan Tidore dan Sultan Banda. Sayang sekali karena tidak ada
peninggalan-peninggalan berupa keterangan-keterangan tertulis, kita tak
mengetahui bilamana dan di mana didapati pula orang-orang Indonesia yang
berasal dari pulau-pulau Indonesia di luar wilayah Irian barat(Papua). Pada
umumnya mereka menganut agama Islam.

Lain halnya dengan penyebaran para pendatang yang non-Muslim, laporan
tersebut memberikan gambaran yang sedikit jelas dengan melaporkan antara
lain sbb:

"Sejak diadakan usaha-usaha menyiaran agama Nasrani di Irian
Barat(Papua.pen) oleh penyiar-penyiar agama dari Negeri Belanda jumlah orang
Indonesia bukan pribumi bertambah di Irian Barat(Papua.pen), karena
penggunaan tenaga-tenaga kerja yang berasal dari pulau-pulau sekitarnya
untuk membantu para penyiar agama, terutama sebagai guru sekolah dan
perawat. Banyak orang-orang yang menganut agama Nasrani ini didatangkan dari

pulau-pulau Maluku seperti Kei, Ianimbai, Banda dan Sangir."

Tentang komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua, berdasarkan catatan
yang dibuat tahun 1963, di dapat angka-angka sebagai berikut:

Kristen Protestan................... 130.000

Katolik Roma.......................... 47.000

Islam....................................... 11.000

Agama Tionghoa.................... 3.000

Agama-agama pribumi. ...... 500.000

Terhadap data dan komposisi ragam pemeluk agama tersebut, laporan itu
memberikan penjelasan: Angka-angka 500.000 yang menunjukkan jumlah penganut
agama-agama pribumi bukanlah angka pasti, karena didasarkan atas taksiran
jumlah orang-orang pribumi di daerah pedalaman yang berada di bawah
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru (kini Jayapura).

Golongan penganut agama Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah
yang pernah dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut
agama Katolik Roma terutama didapati di daerah pantai selatan. Golongan
penganut agama Islam amat banyak di daerah semenanjung Doreri dan Merauke,
sedangkan golongan menganut agama Tionghoa didapati diberbagai tempat.

Tentang kesulitan melacak gerakan dakwah Islam di Papua, juga
dimungkinkan oleh faktor internal ummat Islam sendiri, yaitu karena faktor
kurang terbiasanya ummat Islam setempat melakukan pencatatan yang menyangkut
kegiatan mereka. Berbeda dengan para missionaris Belanda.

Secara rutin dan teliti mereka mendata jumlah penduduk setempat agar
dapat mengikuti perkembangan jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing.
Kaum missionaris memiliki "Buku Jiwa" sedang kaum Zending memelihara "Buku
Serani" yang berisi catatan tentang penduduk di wilayah kerjanya itu. Dari
catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah oleh pusat-pusat organisasi
mereka.

Air Susu Dibalas dengan Pengusiran Mengenai bagaimana watak dan corak
pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dalam hubungannya dengan
persoalan agama, telah menjadi pengetahuan umum yang luas. Mereka menekan
dan memenjarakan tokoh-tokoh Islam di tanah Papua. Sebutlah misalnya Alwi
Racham dan Raja M Rumangseng Al-Alam Umar Sekar yang berasal dari daerah
Kokas. Beliau bersama pejuang Papua lainnya seperti Silas Papure, Markus
Indeu, Lukas Rumkorem memperjuangkan Papua dari cengkeraman penjajahan
Belanda. Mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Kolonial Belanda
karena tidak mau dibujuk untuk menyerahkan uang tambang minyak kepada
Belanda

Bahkan mereka tidak segan mengusir atau membuang tokoh-tokoh Muslim.
Muhammad Aminuddin Arfan seorang tokoh Muslim dari Kerajaan Islam Salawati
yang turut mengantar kedatangan OC.Ottow dan GJ.Geissler -Sang Bapak Gereja
di Papua--di Pulau Mansinam, dibuang dan diasingkan ke Maros karena
menentang penjajahan Belanda dan meninggal di sana. Habis manis sepah
dibuang.

Muhammad Aminuddin Arfan adalah orang penting di Kerajaan Salawati. Ia
adalah adik kandung Raja Salawati. Pada saat itu Kerajaan Salawati merupakan
bagian dari kekuasaan kerajaan Islam Ternate. Sesuai prosedur wilayah,
setiap tamu yang akan berkunjung ke Papua, mereka harus minta izin ke
penguasa kawasan di Salawati yang merupakan bagian kekusaan Ternate. Itu
pula yang dilakukan Kerajaan Ternate. Sembari membawa dua orang missionaris
berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler dengan kapal khusus berwarna putih,
utusan

Kerajaan Ternate pamit dulu dengan Penguasa Kerajaan Salawati,
sekaligus meminta beberapa orang untuk mendampingi missionaris yang akan
melakukan tugas penginjilan di pulau Mansinam, Manukwari.

Pulau Mansinam dipilih lantaran dianggap masih dihuni mayoritas
Animisme. Setelah dua bulan "memperkenalkan" Ottow dan Geisler kepada
kepala-kepala adat, barulah Muhammad Aminuddin Arfan kembali ke Salawati.

Ironisnya, selang berapa waktu setelahnya, Muhammad Aminuddin Arfan
yang memang anti Belanda ditangkap dan diasingkan di Maros. Beliau tidak
diperkenankan pulang, dan dibiarkan di sana hingga wafatnya. Di sinilah
liciknya para penjajah Salibis. Ditulung malah Mentung (dibantu malah
melukai), kata peribahasa Jawa. Air susu dibalas dengan air tuba.

Mungkin karena keadaan yang demikian itulah maka perkembangan dakwah
Islam di Papua menjadi amat lambat, bahkan mungkin (pernah) terhenti sama
sekali.

Apalagi yang menyentuh masyarakat pedalaman yang notabene terhadap
penduduk asli. [Ali Athwa. Penulis adalah wartawan Majalah Hidayatullah dan
penulis buku "Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)". Tulisan
diambil dari Majalah Hidayatullah]

--

Nov 25, 2008

MUSLIM DI NEGERI KANGGURU

Oleh: Mukhlison S. Widodo

Australia memiliki sejarah panjang dalam interaksinya dengan Islam.
Resistensi warga mayoritas masih tinggi. Sementara warga muslimnya
terkotak-kotak menurut komunitas etnisnya.

Bagi Susan Carland, penduduk Australia masih menganggap wanita berjilbab itu
aneh. Orang-orang selalu berpikir kita itu alien. Padahal jilbab kan hanya
sebuah bahan biasa, seperti kaos, jilbab tidak memiliki kekuatan
sihir, katanya.

Itulah yang dirasakan Susan, selama dia menjadi muslimah di Australia.
Padahal dia seorang kulit putih yang lahir di Australia, dan menjadi muslim
sejak 20 tahun lalu. Namun, sejak bulan mei lalu, dosen di School of
Political and Social Inquiry di Monash University ini bisa memulai kampanye
bagaimana sesungguhnya kehidupan seorang muslim.

Adalah sebuah stasiun televisi di Australia, SBS TV yang merilis sebuah
acara baru berjudul Salam Cafe. SBS TV adalah sebuah stasiun televisi yang
peduli dengan isu-isu pluralisme dan minoritas.

Acara Salam Cafe ini dikemas dalam format perbincangan santai, penuh humor.
Mengangkat berbagai hal yang sedang menjadi isu hangat di kalangan muslim
minoritas. Selain juga memotret berbagai aktivitas kehidupan pemuda muslim
Australia. Melakukan wawancara di jalanan kota-kota Australia. Bertanya
kepada warga sejauh mana mereka mengenal Islam.

Dan di sini Susan menjadi salah satu penelis tetapnya. Setiap hari rabu,
pukul 10 malam, Salam Cafe menjadi sebuah acara untuk meluruskan
kesalahpahaman yang banyak dihadapi kaum muslim Australia. Untukku, adalah
sangat penting bahwa pertunjukan ini adalah tentang muslim. Ini menyatakan
bahwa kita bukanlah dari planet Islam, kata Susan.

Memang, semenjak peristiwa World Trade Centre (WTC) 11 September 2001, juga
bom Bali 2002 dan 2005, yang kebanyakan korbannya adalah warga Australia,
membuat wajah Islam di Australia berubah menjadi buruk. Muslim di Australia
yang minoritas itu pun dicurigai, dan dianggap semuanya adalah teroris.

Meski sekarang suasana sudah berubah. Setelah adanya pergantian kepemimpinan
di sana. Partai Liberal dengan Perdana Menterinya John Howard yang terlalu
kaku dalam bersikap soal kebebasan memeluk agama khususnya bagi muslim itu
kini sudah berganti. Partai Buruh, dengan Perdana menteri yang baru, Kevin
Rudd lebih longgar dalam menerapkan kebijakan soal kebebasan beragama ini.

Seorang mahasiswa asal Indonesia yang sudah sejak tahun 2004 bermukim di
Australia, Velix Wanggai juga merasakan perubahan itu. Meski dari pihak
muslim sendiri juga perlu berbenah diri dan tidak bersikap eksklusif.
Beberapa yang punya aliran fundamental, memang terkadang menimbulkan
permasalahan, katanya.

Menurut Velix, sekarang ini, islamphobia yang terjadi di negara benua ini
sudah mulai pudar. Keinginan dari warga non muslim untuk mempelajari Islam
juga mulai tumbuh. Sementara pemerintah Australia juga mendukung adanya
pembauran di semua golongan warganya.

Memang masih ada beberapa penolakan masyarakat terhadap simbol-simbol Islam.
Kasus paling baru, pada mei lalu, warga kota Camden, New South Wales,
menolak didirikannya sebuah sekolah Islam di sana.

Maka, seorang pemuda dengan wajah timur tengah, lengkap dengan sorban, dan
peci, serta jenggot panjangnya berkeliling kota Camden. Bertanya kepada
setiap orang yang ditemui. Mereka yang non muslim itu ditanyai soal
pengetahuannya tentang Islam. Juga diminta untuk mendukungnya dalam
pembangunan sekolah muslim di Camden.

Si pemuda, yang bernama Uncle Sam ini adalah pembawa acara Salam Cafe.
Akhirnya dia bertemu walikota Camden, Chris Patterson. Dengan gaya gaul
Uncle Sam berbincang tentang permasalahan hangat di kota kekuasaan Chris
itu.

Chris pun menjelaskan kalau penolakan itu bukan berlatar belakang politis
atau karena agama. Ini semua karena masalah tata kota. Begitulah, sebuah
perbincangan cair yang disiarkan oleh SBS TV dalam acara Salam Cafe. Memang
diharapkan acara-acara seperti ini bisa menjembatani kebuntuan komunikasi
antara warga mayoritas dan minoritas di Australia.

Profesor Kevin Dunn dari Universitas of Western Sydney mengakui bahwa ada
gejala yang ia sebut sebagai akumulasi dari Islamofobia di Australia, suatu
hal yang sudah umum terjadi di negara-negara Barat.

Dunn dalam penelitiannya telah melakukan survei untuk memetakan sikap
orang-orang Australia terhadap Islam. Hasilnya, sekitar sepertiga orang
Australia tidak tahu sama sekali tentang Islam. Hanya separo orang Australia
tahu sedikit tentang Islam. Secara keseluruhan, menurut hasil pemetaan yang
dilakukan Dunn, 8 dari 10 orang Australia benar-benar tidak tahu tentang
Islam.

Padahal sesungguhnya Islam di Australia sendiri sudah ada sejak sekitar abad
17. Orang Indonesia adalah yang pertama kali menyebarkan agama samawi ini di
negeri kangguru ini. Fakta ini merupakan hasil kajian seorang dosen
Universitas Griffith, Brisbane, Australia. Prof. Regina Ganter. Ia
membuktikan agama Islam masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an
yang merupakan versi resmi Pemerintah Australia.

Orang Indonesia itu adalah pelaut-pelaut Makassar yang menjalin hubungan
dengan penduduk asli Australia, suku Aborigin. Para pelaut ini sering
mencari Teripang di Pantai Utara Australia. Gelombang besar lainnya, siar
Islam di Australia adalah kedatangan para peternak unta dari Afghanistan dan
Pakistan.

Mereka juga dipekerjakan pemerintah Inggris pada pembangunan rel kereta api
dari Port Augusta ke Alice Springs, dan pembangunan kabel telepon antara
Darwin dan Adelaide pada tahun 1870. Kondisi lingkungan di Australia
hampir sama dengan alam di Afganistan dengan gurun-gurunnya, kata Velix.

Dan sambil membangun sarana transportasi dan komunikasi itu, para pekerja
Afghan ini membangun tempat ibadah mereka, yang menjadi masjid pertama di
Australia pada tahun 1888 di kota Adelaide.

Bila dipetakan, tahap awal Islam masuk ke Australia adalah berada di daerah
pesisir utara, yang berasal dari pelaut Indonesia, dan bagian tengah
Australia digerakkan oleh para pekerja Afghanistan dan Pakistan.

Selain muslim dari Asia, Australia juga diserbu oleh imigran muslim dari
Turki dan Libanon. Mereka datang pada dekade tahun 60-an hingga 70-an.
Pemerintah waktu itu membuka lebar-lebar pintu migrasi tenaga kerja ke sana.


Selain para pelaut dan pekerja, komposisi muslim di Australia ditambah
dengan para pelajar. Seperti dari Malaysia, Indonesia, Banglades, juga
negara-negara persia. Mereka tinggal di pusat pendidikan Australia seperti
Brisbane, Sydney, Melbourne, dan Perth.

Dan pemerintah Australia juga membuka negerinya untuk menjadi tempat
penampungan para pengungsi muslim. Seperti dari Somalia, Sudan, Irak, dan
Iran. Diperkirankan dari 21 juta penduduk Australia, 1,5% hingga 2% adalah
muslim,

Saat ini, ditinjau dari segi latar belakang suku bangsanya, muslim
Australia paling tidak terdiri dari 37 etnis. Mayoritas mereka tinggal di
dua kota bisnis terbesar yakni Sydney dan Melbourne. Kota-kota ini
merupakan kota bisnis, yang menarik para muslim yang memang mata
pencariannya berdagang, kata Velix yang saat ini sedang mengambil doktor
ilmu politik di Australian National University, Canberra.

Menurut sensus tahun 2006, ada lebih dari 350 ribu muslim di Australia, 130
ribu diantaranya lahir di Australia. Paling banyak adalah warga keturunan
Afghanistan, ada sekitar 16 ribu orang, disusul Pakistan 18 ribu orang,
kemudian Bangladesh 13 ribu orang, Iraq 10 ribu orang, dan Indonesia 9 ribu
orang.

Di Melbourne, komunitas muslim terbesar di sana adalah orang Turki dan etnis
Albania. Sementara muslim dari negeri Arab kebanyakan tinggal di Sydney.
Kota Perth juga merupakan tempat komunitas muslim yang besar. Di daerah
Thornlie ada masjid agung dan Australian Islamic College, yang menampung
2.000 mahasiwa.

Banyaknya kantong muslim di Australia, juga menyebabkan mereka
terkotak-kotak. Mereka punya masjid sendiri, juga komunitas sendiri, kata
Velix yang pernah menjadi Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia
periode 2004-2006 ini.

Sep 7, 2008

Masih Mungkinkah Kita Satu Perahu? Catatan Atas Perpu No. 1/2008


Kini, Provinsi Papua Barat mulai bernafas lega. Betapa tidak, persolan payung hukum yang selama ini menjadi batu sandungan bagi perjalanan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua Barat, akhirnya menemui sebuah jawaban. Pada tanggal 16 April 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menyudahi kontroversi hukum ini dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008 (Kompas, 22 April 2008). Apakah implikasi dari penerbitan Perpu ini dan adakah skenario alternatif jika provinsi-provinsi baru hadir dan mekar dari Provinsi Papua?

Perpu No.1 Tahun 2008

Dalam konferensi pers, pada 21 April 2008 lalu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menjelaskan bahwa Pemerintah akhirnya mengesahkan payung hukum otonomi khusus bagi Papua Barat melalui Perpu No. 1 Tahun 2008. Perpu ini memasukkan keberadaan Papua Barat ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Payung hukum ini merubah 2 (dua) pasal dalam UU No. 21/2001, yaitu Pasal 1 huruf (a) dan Pasal 7 Ayat (1) huruf (a).

Ketika kita menyimak UU No.21/2001 Pasal 1 huruf (a) menyebutkan bahwa ”Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan dalam Perpu, pasal ini memasukkan pula Provinsi Papua Barat ke dalam perahu Otonomi Khusus. Artinya, Papua Barat kini memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat Papua Barat.

Sementara itu, perubahan kedua menyangkut tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pada mulanya, Pasal 7 Ayat (1) huruf (a) berbunyi ”DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur”. Namun Perpu menghapuskan tugas dan wewenang untuk memilih Gubernur dan Wakl Gubernur. Hal ini sejalan dengan amanat dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menerapkan sistem pemilihan langsung dalam proses Pemilihan Kepala Daerah.

Penerbitan Perpu No.1/2008 ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari salah satu butir kesepakatan yang dicapai antara Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan Gubernur Provinsi Papua, Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat, Ketua DPRP Papua, Ketua MRP, dan Ketua DPRD Papua Barat. Kesepakatan tersebut dicapai pada pertemuan - yang disebut oleh Gubernur Barnabas Suebu - sebagai ”Papuan Leaders Meeting”, yang digelar pada tanggal 16 Februari 2008 di Gedung Negara, Kota Jayapura.

Implikasi

Masuknya Papua Barat ke kerangka Otonomi Khusus membawa sejumlah implikasi yang bersifat administratif-politik-hukum. Artinya, semua substansi dari pasal demi pasal dalam UU No. 21/2001 haruslah berlaku pula pada Provinsi Papua Barat.

Pertama, Provinsi Papua Barat dituntut untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan skenario Otonomi Khusus. Artinya, Papua Barat memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali beberapa hal yang masih menjadi kewenangan Pusat. Papua Barat juga berhak menjalin perjanjian dan kerjasama internasional; berkoordinasi dengan Pemerintah dalam kebijakan tata ruang pertahanan di Papua Barat; maupun memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua Barat.

Kedua, dalam perahu Otonomi Khusus, maka Papua Barat berhak untuk memperoleh struktur pembiayaan pembangunan yang sama dengan Provinsi Papua. Dengan demikian, komposisi persentase antara pusat dan daerah berlaku pula di Papua Barat. Hal itu mencakup : (1) Bagi hasil pajak, (2) Bagi hasil sumber daya alam, (3) Dana Alokasi Umum, (4) Dana Alokasi Khusus, (5) Penerimaan khusus Otsus yang besarnya setara dengan 2 % dari plafon DAU Nasional terutama digunakan untuk pendidikan dan kesehatan, maupun (6) Dana tambahan Otsus terutama ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur.

Ketiga, dalam konteks percepatan pembangunan, maka Papua Barat perlu mempertajam konsepsi pembangunan sesuai desain pembangunan dalam UU No. 21/2001. Hal tersebut memuat perubahan pada strategi pengelolaan perekonomian, perlindungan hak-hak masyarakat adat, hak asasi manusia, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, maupun pembangunan sosial. Mengingat saat ini Papua Barat telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Daerah Papua Barat 2006 – 2011, sehingga upaya penajaman strategi pembangunan baiknya diarahkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) tahunan dan skenario pendanaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), guna menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua Barat.

Agenda ke Depan

Namun, nampaknya penerbitan Perpu No.1/2008 ini masih menimbulkan pertanyaan dan kritik dari publik Papua, bahkan dari pihak DPRP Papua sendiri (Kompas, 24 April 2008). Menyimak konstelasi seperti ini, penulis melihat ada 3 (tiga) agenda yang perlu diantisipasi secara serius menyangkut pola hubungan antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, yaitu:

Pertama, pola hubungan yang mengatur 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan, yakni (1) penggunaan kewenangan khusus; (2) perlunya Perdasus untuk mengatur kewenangan khusus; (3) perlunya Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk membahas Perdasus tersebut. Jika mengacu pada sistem pemerintahan yang berjalan seperti saat ini, maka segala rancangan Perdasus yang dikonsepkan oleh Gubernur dan DPRD Papua Barat harus mendapatkan pertimbangan dan persetujuan dari MRP yang berkedudukan di Jayapura. Namun, mekanisme seperti ini perlu menjadi kesepakatan baru antara Pemerintah Provinsi Papua Barat dengan Pemerintah Provinsi Papua dan MRP. Karena itu, perlukah dibentuk MRP di Manokwari?

Kedua, pola pengelolaan dana Otsus 2% dan dana tambahan infrastruktur (Pasal 34 Ayat (3) huruf (e dan f). Jika mengacu pada mekanisme alokasi dana pada TA 2008, terlihat bahwa terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkeu dan Mendagri dalam penyaluran dan pencairan dana Otsus 2 % dari plafon DAU Nasional yakni sebesar Rp. 3,5 Triliun dan dana tambahan infrastruktur sebesar Rp. 330 Milliar kepada Provinsi Papua. Tahap selanjutnya, Gubernur Papua dan DPRP menetapkan proporsi pembagian dana ke 8 Kabupaten dan 1 Kota yang ada di Papua Barat. Pertanyaannya adalah apakah mekanisme ini akan berlaku pada TA 2009? Namun, penulis memperkirakan penataan alokasi dana TA 2009 akan ditata dan diselesaikan oleh badan independen pengelola dana Otsus yang akan dibentuk oleh Pusat dalama waktu dekat ini.

Ketiga, keberadaan MRP. Kini, perahu Otsus Papua telah ditumpangi oleh 2 (dua) penumpang, yakni Papua dan Papua Barat, yang tentunya dengan 2 (dua) ibukota provinsi. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, khususnya Pasal 2 yang menyebutkan MRP berkedudukan di Ibukota Provinsi. Ini diperkuat oleh Pasal 74 dari PP No. 54/2004 ini. Pasal itu mengamanatkan bahwa ”Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi”. Untuk itu, MRP yang berbasis di Jayapura perlu mempersiapkan dan bertanggung jawab terhadap pembentukan MRP di Manokwari, maupun provinsi-provinsi lainnya hasil pemekaran. Tentu saja, pekerjaan ini membutuhkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk, sebagaimana pesan dari Pasal 75 dari PP 54/2004. Sudah pasti, Pemerintah Provinsi Papua Barat perlu diajak guna menyiapkan pembentukan MRP yang berbasis di Manokwari.

3 Skenario Alternatif : Realistik, Moderat, ataukah Ideal?

Untuk menyelesaikan ketiga agenda diatas, nampaknya kita perlu mempertimbangkan angin politik yang berhembus dari pelan menuju kencang menyambut pemilu demokrasi lima tahunan pada April 2009. Karena itu, penulis melihat ada 3 skenario yang perlu dipikirkan dengan matang.

Pertama, Skenario Realistik. Skenario ini mengandaikan langkah-langkah pembenahan yang bersifat minimalis. Artinya, keberadaan Papua Barat hanya berimplikasi pada penataan hubungan keuangan (fiscal relations) antara Papua-Papua Barat, khususnya yang terkait pada pembagian dana Otsus 2 % dan dana tambahan infrastruktur. Langkah minimalis ini dapat dilakukan sebelum Pemilu 2009.

Kedua, Skenario Moderat. Langkah-langkah dalam skenario ini bersifat minimalis plus. Maksudnya, selain pembenahan hubungan keuangan daerah, Gubernur Bram Ataruri dan DPRD Papua Barat membentuk Komite/Tim Khusus yang bergerak cepat untuk menyiapkan pembentukan MRP dan DPRP Papua Barat. Sesuai dengan UU No. 21/2001, maka DPRD berubah menjadi DPRP dengan jumlah anggota sebesar 1 ¼ kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua (sebagaimana Pasal 6 Ayat (4) UU No. 21/2001). Dari sisi waktu, skenario moderat mentargetkan pelaksanaan pemilihan anggota DPRP dan MRP Papua Barat dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif 2009. Selain memilih anggota legislatif, maka dapat dipilih juga anggota MRP Papua Barat.

Ketiga, Skenario Ideal. Skenario dibangun dalam kerangka perubahan yang menyeluruh terhadap UU No. 21/2001. Pendek kata, UU Otsus sudah harus direvisi, mengingat Perpu No. 1/2008 hanyalah bersifat sementara dan mendesak. Dalam konteks revisi, penulis mengusulkan UU 21/2001 berubah nama menjadi UU Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Skenario ini juga mengandaikan telah berdiri provinsi-provinsi baru, apakah Papua Selatan, Teluk Cendrawasih, Pegunungan Tengah Timur, Pegunungan Tengah Barat, Papua Barat, maupun Provinsi Mamta/Tabi/Papua Timur (Provinsi Papua induk). Dari sisi waktu, skenario ideal ini dibangun pasca Pemilu 2009 di era pemerintahan baru yang berwajah segar dan muda, atau sebelum pergantian kepemimpinan daerah di Provinsi Papua tahun 2011.

Sebait lagu Pance Pondang terasa relevan dalam konteks politik pemerintahan kekinian di Tanah Papua. Pance ungkapkan kata-kata”Setulus hati ingin kutanya pada dirimu, masih mungkinkah kita berdua satu perahu? Kini, Tanah Papua berada di persimpangan jalan, dan harus menentukan skenario mana yang harus dipilih, apakah realistik, moderat, ataukah ideal dalam perahu Otonomi Khusus bagi Tanah Papua? Wallahu’alam.

May 10, 2008

MEMAKNAI PERTEMUAN ’SBY-KEVIN RUDD’ DI JIMBARAN

VELIX V. WANGGAI

Jimbaran, Bali menjadi saksi mata bagi Indonesia dan Australia dalam merajut era baru hubungan bilateral. Pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Kevin Rudd, pada 11 Desember 2007, dapat dipandang sebagai langkah politik yang bersifat penegasan atas komitmen yang telah dibangun selama ini. Kedua pemimpin negara bersepakat untuk memperkuat dan memperluas kerjasama dalam berbagai tingkatan dan bidang, baik reforestasi, aforestasi, perdagangan, investasi, keamanan, antiterorisme, maupun perbatasan (Republika, 12 Desember 2007). Adakah makna yang berarti dari pertemuan ’SBY-Kevin Rudd’ ini? Bagaimana wajah hubungan keamanan RI-Australia di era administrasi Kevin Rudd?

Penjanjian Lombok

Ketika mencermati masa depan hubungan RI-Australia, terasa penting untuk memotret kembali payung kerjasama formal yang telah dibangun dalam 2 (dua) tahun terakhir. Di kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, tepatnya 13 November 2006, Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menandatangani Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan antara Indonesiaa dan Australia (Agreement for Framework on Security Cooperation between Indonesia-Australia). Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai ”Perjanjian Lombok”. Kemenangan Kevin Rudd dan Partai Buruh (ALP) dalam Pemilu Australia, 24 November 2007, nampaknya memberikan inspirasi bagi wakil-wakil kita di Senayan untuk meratifikasi ”Perjanjian Lombok”, pada 27 November 2007.

Perjanjian ini mencakup 10 bidang kerjasama, yaitu: pertahanan, penegakan hukum, anti-terorisme; intelejen, maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, pencegahan perluasan (non-proliferasi) senjata pemusnah missal, kerjasama tanggap darurat, kerjasama pada organisasi multilateral, dan peningkatan saling pengertian dan saling kontak antarmasyarakat dan antarperseorangan. Perjanjian ini merupakan payung bagi perbagai bidang kerjasama bilateral, dan bukannya suatu pakta militer.

Jika ditarik kebelakang, Perjanjian Lombok ini merupakan realisasi dari 2 (dua) kali pertemuan antara Presiden SBY dan PM John Howard, pada April 2005 di Canberra dan Sydney, serta pertemuan kedua di kota Batam, pada Juli 2006. Pertemuan yang terakhir ini sebenarnya dianggap sebagai pertemuan ‘perdamaian’ akibat pro-kontra politik imigrasi Australia.

Ketika Presiden SBY mengunjungi Canberra, pada April 2005, ada harapan baru yang cerah bagi masa depan hubungan bilateral kedua negara. Berbagai media, baik di Indonesia dan di Negeri Kanguru, memotret dan mengungkapkan makna berharga atas kesepakatan yang tercapai. Saat itu kedua pemimpin negara menandatangani ”Deklarasi Bersama tentang Kemitraan yang Komprehensif antara Republik Indonesia dan Australia” (Joint Declaration on Comprehensive Partnership between the Republic of Indonesia and Australia). Ada 3 bidang yang ingin dikerjasamakan, yakni kerjasama ekonomi, kerjasama keamanan, dan kerjasama antara masyarakat (people-to-people links). Walaupun ada perbedaan budaya dan tradisi, tetapi deklarasi ini mengakui adanya titik kesamaan untuk mewujudkan demokrasi yang bermakna dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik.

Garis Politik

Pergantian kepemimpinan nasional di Negeri Kanguru tentunya menimbulkan pertanyaan baru. Apakah peralihan kekuasaan dari Partai Liberal ke Partai Buruh (ALP) akan membawa implikasi bagi perubahan hubungan keamanan RI-Australia? Kelihatannya, jawaban dari pertanyaan ini sedang ditunggu-tunggu oleh para pembuat kebijakan (policy makers) di Indonesia, dan tentunya di tubuh birokrasi pemerintah federal Australia. Tentu, kita percaya bahwa gaya kepemimpinan (leadership style) dan garis kebijakan partai yang sedang berkuasa (political platform) akan berkontribusi bagi dinamika kebijakan pemerintahan baru. Ratifikasi Protokol Kyoto oleh PM Rudd adalah sebuah contoh nyata.

Dalam berbagai kesempatan, ALP dibawah komando Kevin Rudd selalu menegaskan akan melanjutkan tradisi yang diwariskan para pemimpin ALP sebelumnya. Ketika ALP berkuasa di Australia, mereka aktif untuk mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ikut memproklamasikan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, mencetusi Kawasan Asia Pasifik sebagai Wilayah Bebas Nuklir, melarang penggunaan senjata kimia, maupun secara konsisten, ALP mendorong keterlibatan Australia secara komprehensif di kawasan Asia Pasifik. Karena itu, kebijakan luar negeri pemerintahan Kevin Rudd akan disandarkan pada 3 (tiga) kepentingan dasar, yaitu keamanan domestik, ekonomi yang kuat dan stabil, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Menjelang Pemilu Australia 2007, ALP memaknai kembali platform partainya. Ini terlihat ketika Konferensi Nasional ke-44 ALP – forum tertinggi partai – pada bulan April 2007, menghasilkan Konstitusi dan Platform Nasional Tahun 2007 (ALP National Platform and Constitution). Dengan sederet tantangan strategis baru, ALP sadar untuk menyesuaikan diri dengan isu-isu ancaman non-tradisional. Misalnya, ancaman terorisme, gejolak politik lokal di negara-negara kepulauan Pasifik, perdagangan manusia, penyebaran flu burung, dan pencucian uang.

Mengelola lingkungan strategis yang berubah, tentunya membutuhkan kerangka kerjasama yang kuat. PM Rudd pun mengakui hal itu ketika bertemu dengan Presiden SBY di Jimbaran, Bali. Kebijakan untuk melibatkan diri secara komprehensif (comprehensive engagement) di Asia menjadi komitmen vital untuk masa depan Australia.

MENCARI JALAN BAGI PAPUA

Velix Wanggai

Jumat, Kompas, 28 Maret 2008 | 02:21 WIB

Dari waktu ke waktu duet kepemimpinan SBY-JK mencoba mencari penyelesaian terbaik bagi tanah Papua. Hari Selasa, 4 Maret, Presiden SBY bertemu dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat serta bersepakat untuk mengeluarkan paket kebijakan baru. Sederet kesepakatan tersebut adalah Pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengakomodasi keberadaan Provinsi Papua Barat ke dalam kerangka UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Kompas, 5/3/2008).

Lingkaran persoalan

Roda pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua tampaknya memerlukan penataan dan pembenahan yang menyeluruh. Mengapa? Karena ada sederet persoalan yang muncul dan terus melilit efektivitas pelaksanaan otonomi khusus.

Pertama, ketika duet SBY-JK naik ke tampuk kekuasaan, mereka diwariskan agenda krusial perihal kontroversi atas terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.

Kebijakan pada era Presiden Megawati menimbulkan pro-kontra yang meluas, menghabiskan energi sosial dan politik, serta bahkan jatuhnya korban jiwa di Timika, Papua.

Kedua, sejak otonomi khusus diberlakukan pada akhir 2001 kita tidak pernah menemui suatu skenario yang menyeluruh perihal bagaimana melaksanakan pasal demi pasal dan bagaimana tahapan demi tahapan untuk mewujudkan amanat dari UU No 21/2001 itu

Akibatnya, otonomi khusus bagai kehilangan makna dan berjalan tertatih-tatih. Relasi kewenangan antara pusat dan daerah belum tertata, aliran dana otonomi khusus yang kurang bermakna bagi rakyat kecil, serta persepsi yang berbeda-beda antara elite provinsi dan elite kabupaten/kota dalam mengelola kewenangan.

Ketiga, tidak seperti konteks politik dari tahun 1999 hingga 2005, saat sebagian besar rakyat Papua menolak kebijakan pemekaran provinsi, tetapi dalam dua tahun terakhir ini tampaknya arah angin pemekaran bertiup balik.

Di beberapa wilayah muncul aspirasi dan gagasan untuk membentuk provinsi dan kabupaten baru terus mencuat. Bahkan para wakil rakyat di DPR telah bergerak jauh untuk menggunakan hak inisiatif Dewan untuk membentuk provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. Kekecewaan atas hak inisiatif ini diungkapkan kembali oleh tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat ke Presiden, 4 Maret.

Bagaimana kita memaknai ketiga persoalantersebut? Adakah langkah-langkah khusus yang ditempuh oleh duet SBY-JK untuk menyelesaikannya?

Untuk menyelesaikan ketiga persoalan utama tersebut, diperlukan langkah-langkah yang sungguh-sungguh, tidak hanya pertimbangan teknokratis, tetapi juga memerlukan pendekatan hati. Maknanya, hati dan kepercayaan rakyat tanah Papua harus dikelola dengan cantik.

Pertama, selain inisiasi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam 2 (dua) bulan ke depan, perlu dipikirkan ke depan untuk melakukan revisi terbatas atas UU No 21/2001.

Ada beberapa poin penting, yakni (1) perubahan judul undang-undang, yang mungkin berubah menjadi Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Hal ini sebagai antisipasi atas berdirinya provinsi-provinsi baru yang perlu dipayungi oleh otonomi khusus; (2) mengatur karakter dan legitimasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertanyaannya adalah bagaimana mengatur keberadaan MRP, apakah lembaga kultural ini dibentuk di setiap provinsi sehingga lebih banyak wakil-wakil adat semakin terwakili atau MRP berjalan seperti saat ini; (3) mengatur kembali pola hubungan keuangan pusat-daerah yang berubah. Artinya, dengan masuknya Provinsi Papua Barat ke dalam payung otonomi khusus, skenario dana perimbangan, khususnya yang terkait dengan persentase bagi hasil sumber daya alam, perlu disesuaikan dengan amanat UU No 21/2001, dan sebaliknya, tidak mengikuti skenario UU No 32/2004 dan UU No 33/2004.

Kedua, tampaknya kurang bermakna jika gagasan pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus hanya secara khusus dikaitkan dengan kontroversi format pembagian dana antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua ataupun antara provinsi dan kabupaten/kota di lingkungan Provinsi Papua. Alangkah cantiknya jika lembaga ini diarahkan sebagai institusi yang memproduksi rencana induk (grand design) yang memuat skenario pembangunan dalam jangka waktu 20 atau 25 tahun kedepan dalam aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan ekonomi rakyat serta membagi alokasi dana dan mengendalikannya.

Ketiga, seiring dengan gagasan pemekaran provinsi dan kabupaten baru di tanah Papua, alangkah baiknya lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga kultural (MRP) di Provinsi Papua mengambil inisiatif untuk membuat peta jalan (road map) sebagai kerangka yang jelas dalam mendiskusikan beberapa aspek strategis, seperti desain pembentukan provinsi dan kabupaten, strategi tata ruang pulau Papua, strategi pembangunan infrastruktur lintaswilayah dan ekonomi wilayah, ataupun strategi peningkatan sumber daya manusia penduduk asli guna mengisi kebutuhan dan perkembangan pembangunan.

Intinya, kebijakan pemekaran Papua kiranya dipandang sebagai instrumen kebijakan yang berguna bagi percepatan pembangunan di tanah Papua.

Velix Wanggai Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional, ANU, Canberra

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/03/28/02211191


Menyambut Pemimpin Baru Australia

Velix V Wanggai

(Dimuat di Kompas, 26 November 2007)

Konstelasi politik di Australia kini mulai berubah. Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh, sekaligus sebagai pemimpin oposisi, mendapat simpati yang besar dari publik Australia. Dalam pemilu, Sabtu, 24 November 2007, Partai Buruh berhasil merebut kemenangan dari PM John Howard yang telah berkuasa selama 11 tahun.

Pertanyaan menarik yang muncul adalah bagaimana memotret strategi kubu oposisi sehingga dapat mengalahkan calon incumbent secara dramatis? Apa pelajaran yang dapat dipetik?

Kepemimpinan baru

Menjelang Pemilu 2007, Partai Buruh (ALP) mencari strategi yang tepat untuk mengalahkan dominasi partai koalisi. Salah satu strategi jitu yang ditempuh adalah mendeklarasikan slogan resmi partai, yaitu Kepemimpinan Baru (New Leadership), pada pertengahan September 2007. Australia membutuhkan pemimpin muda dengan gagasan-gagasan segar. Artinya, pemimpin yang berusia 68 tahun, seperti PM John Howard, dianggap tak layak bagi perubahan Australia.

Tokoh Kevin Rudd adalah cerminan regenerasi dalam dunia politik di Negeri Kanguru. Sejak kepemimpinan ALP beralih dari Kim Beazley ke Kevin Rudd pada 4 Desember 2006, kehadirannya dianggap sebagai tokoh alternatif yang layak menggantikan PM Howard. Tampil dengan gaya low profile dan teknokratik, Rudd ingin membuka catatan baru bagi proses pembuatan kebijakan publik yang berpihak pada kaum pekerja.

Terpilih pertama kali sebagai anggota parlemen untuk daerah pemilihan Griffith, Queensland, pada 1998, karier politik Rudd ternyata tidak jauh dari lingkaran urusan hubungan luar negeri dan keamanan internasional. Pada periode 2001-2006 Rudd dipercaya sebagai menteri bayangan yang membawahi urusan luar negeri, keamanan internasional, dan perdagangan. Ia selalu tampil mengkritisi kebijakan Menteri Luar Negeri Alexander Downer.

Visi baru

Seiring dengan slogan New Leadership, ALP menawarkan visi alternatif dengan enam kebijakan baru yang kental keberpihakannya kepada keluarga pekerja.

Pertama, revolusi pendidikan. Kecewa dengan sistem pendidikan yang tak ramah dengan keluarga pekerja, ALP menghendaki pembenahan dilakukan sejak pendidikan usia dini (pre-school) hingga mencapai perguruan tinggi. Kedua, memperbaiki rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan. Pelbagai keluhan yang dilontarkan oleh para pasien dan para pekerja menjadi perhatian kubu oposisi. Ketiga, perhatian terhadap perubahan iklim. Dalam berbagai kesempatan, Rudd dan Partai Buruh menjanjikan untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Ini menandakan bahwa isu lingkungan dan iklim dinomorsatukan ketimbang urusan politik ekonomi kaum bisnis.

Keempat, menata kembali hubungan kerja yang adil dan seimbang. Pilihannya adalah merombak regulasi sistem kerja yang merugikan kaum pekerja, sambil memberikan perlindungan terhadap usaha kecil.

Kelima, mempertahankan eko- nomi Australia yang kuat. Sesuai dengan platform partai, sejak awal, Kevin Rudd menegaskan bahwa dirinya adalah penganut aliran ekonomi konservatif yang menghendaki surplus dalam anggaran negara dan pentingnya peran pemerintah. Ia menghendaki agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dinikmati dan ditujukan kepada keluarga pekerja dan pengusaha kecil. Keenam, menguatkan keamanan nasional.

Isu penting yang dilontarkannya adalah menarik pasukan di Irak secara bertahap dengan tetap konsultasi dengan Amerika Serikat. Untuk tingkat regional, hubungan dengan negara-negara tetangga, seperti Indonesia, dianggap sebagai faktor penting dalam memelihara keamanan domestik Australia. Kevin Rudd pernah menegaskan dukungan ALP bagi keutuhan NKRI. Terkait dengan urusan Papua, Rudd sangat mendukung kebijakan otonomi khusus.

Dari keenam kebijakan baru tersebut, tampaknya Kevin Rudd sadar untuk kembali ke platform dan karakter asli Partai Buruh. Mereka berjuang dengan kemasan kebijakan yang cantik untuk membela kelas pekerja, sambil meraup kekecewaan publik Australia atas kekeliruan PM John Howard di Perang Irak. Rudd dan pendukungnya berani menampilkan karakter ideologi buruh yang sesungguhnya, yaitu kapitalisme yang beradab (Parkin, Summers & Woodward edt, 1994).

Sekali lagi bahwa Pemilu Australia memberikan pelajaran berharga bagi kita. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, calon PM incumbent dapat kalah secara dramatis di tangan tokoh muda yang menjanjikan visi alternatif bagi masa depan Australia. Slogan New Leadership dan New vision for Australia’s future ternyata menjadi rangkaian kalimat ampuh untuk mengantarkan Kevin Rudd sebagai PM baru Australia.

Velix V Wanggai, Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional di The Australian National University, Canberra, Australia, dan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia Periode 2004-2006

http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0711/26/opini/4025078.htm

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...