Dec 11, 2017

Adakah "A Deal for Papua" sebelum 2019?

Politik  SENIN, 11 DESEMBER 2017 , 05:08:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI


Velix Wanggai/Net

SETIAP memasuki bulan Desember,  tensi sosial politik di Tanah Papua berkembang dinamis. Situasi ini tak terlepas dari pro dan kontra dari perjalanan narasi sejarah Papua. Apapun narasi yang terjadi, hari ini Tanah Papua berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Kini, di tahun 2017, agenda setting internasional terkait isu Papua semakin dinamis. Mau tidak mau, kita dihadapkan dengan fenomena internasionalisasi isu Papua. Ditambah lagi, pelbagai agenda domestik di Tanah Papua yang terasa belum tepat dalam mengurai akar persoalan.

Kita teringat ke pidato Presiden Soekarno,  pada tanggal 17 Agustus 1963. Dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (1965), Presiden Soekarno dengan keras menegaskan,  "Tjamkan!  Pembangunan Irian Barat bukan masuk dalam soal persoalan lokal Irian Barat sadja,  bukan sekedar persoalan orang Irian Barat sadja,  melainkan adalah persoalan seluruh Bangsa Indonesia,  melainkan adalah satu tantangan,  satu challenge terhadap kepada Revolusi kita seluruhnja! Pembangunan Irian Barat adalah djuga persoalanmu,  persoalanku,  persoalan kita semuanja, persoalan seluruh Revolusi Indonesia,  - persoalan seluruh bangsa Indonesia!"

Bagaimana cita-cita Soekarno di Papua saat ini? Kita menyadari bahwa sejak 2001 otonomi khusus merupakan pilihan kebijakan (policy choice) Negara atas Tanah Papua. Di berbagai belahan negara yang dihadapkan dengan gerakan sub-nasional,  regionalism,  provincialism,  dan separatism,  maka Negara hadir dengan sebuah "new institution arrangement with greater authority", yang biasanya diikat dalam konstitusi Negara.

Tantangan saat ini adalah Negara haruslah mensikapi agenda Papua dengan persepsi yang utuh. Agenda Papua tidak hanya dijalani oleh jajaran Eksekutif saja, namun menjadi agenda kolektif bangsa, termasuk media, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha.

Merumuskan Skenario untuk Tanah Papua

Hari ini dan ke depan,  kita dihadapkan ke berbagai lingkungan strategis yang semakin kompleks. Karena itu, agenda kolektif Negara perlu diarahkan untuk merumuskan dan menjalankan sejumlah skenario. Dalam konteks ini, kita merumuskan 4 Skenario untuk Tanah Papua.

Skenario pertama, Negara mengelola Tanah Papua secara konvensional seperti yang djalankan saat ini tanpa terobosan.

Otonomi Khusus berjalan sebagaimana biasanya tanpa langkah penataan dan perubahan hingga berakhirnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2019, sebagaimana yang diamanatkan dalam payung RPJMN 2015-2019. Langkah-langkah Presiden Joko Widodo hanya melanjutkan apa yang telah diletakkan Presiden SBY untuk Tanah Papua. Rangkaian kegiatan seperti Trans Papua,  Jembatan Holtekamp,  beasiswa bagi putra putri Papua dan PNS afirmasi adalah fondasi yang telah  diletakkan oleh pemerintahan sebelumnya.

Dengan demikian,  dalam Skenario I ini,  Negara melangkah seperti apa adanya hingga tahun 2019 tanpa menyentuh agenda mendasar yang disuarakan Papua.

Skenario kedua, Negara melakukan "Terobosan Terbatas" (incremental policy), dengan melakukan penataan,  perubahan dan pengembangan kebijakan  guna membuka pintu atas akar persoalan Papua.

Terobosan inkremental itu dilakukan dengan cara  mengubah UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (dan Papua Barat), yang dianggap sebagai "revisi terbatas atau minor" yang terkait dengan aspek pembangunan dan keuangan daerah.

Perubahan ini lebih ditujukan ke penguatan kapasitas fiskal Papua sebagai antisipasi "exit strategy" dari berakhirnya Dana Otsus (2 persen dari DAU Nasional) di tahun 2022. Demikian pula, perubahan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih adil dan proporsional untuk Tanah Papua. Termasuk pula, peran Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam kerangka divestasi atas PT.  Freeport Indonesia dan investasi lainnya.

Skenario ketiga, Negara meletakan format hubungan Jakarta-Papua yang lebih adil dan bermartabat. Sebuah format kebijakan yang bersifat menyeluruh dalam menyelesaikan akar persoalan yang mendasar di Tanah Papua.

Format baru kebijakan Negara ini tetap diletakkan dalam kerangka Otonomi Khusus yang diperluas (the extended special autonomy). Dengan demikian, Negara melakukan perubahan total atas desain UU 21/2001 dari sisi kewenangan, keuangan, pembangunan, sistem politik dan pemerintahan lokal, dan hukum dan hak asasi manusia.

Dengan demikian,  Negara merumuskan suatu desain UU baru perihal *Pemerintahan Tanah Papua.* Sebuah kebijakan baru yang diinisiasi oleh Negara yang bertujuan menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dialami di Tanah Papua. Kebijakan di Skenario III ini tidak lahir dari desakan atau tekanan internasional,  namun karena kesadaran elite Negara untuk Tanah Papua yang lebih baik ke depan.

Skenario keempat, Negara dalam situasi terpaksa atau dipaksa untuk merumuskan formula kebijakan baru yang bersifat radikal untuk Tanah Papua. Kebijakan baru untuk Tanah Papua lahir karena desakan dunia internasional sebagai akibat dari internasionalisasi isu Papua di fora internasional dan regional.

Dengan situasi yang dinamis, akhirnya Negara melakukan negosiasi yang bersifat "Papua Talk" dengan komponen kelompok strategis Papua yang berada di Tanah Papua maupun para diaspora Papua di luar negeri yang menetap di berbagai benua.

Adapun agenda "Papua Talk" menyangkut bagaimana konstruksi hubungan antara Negara - rakyat Papua?  Dalam realita,  sejauhmana ide Otonomi Khusus,  pemekaran provinsi atau isu referendum atau merdeka dibicarakan antara Jakarta dan Papua.

Masih dalam "Papua Talk" ini, disepakati common platform mau dibawa kemana Papua dalam konteks ke-Indonesia-an.  Dan,  adakah "A New Deal for Papua"?

Dalam Skenario keempat ini,  akhirnya dicapai sebuah kesepakatan baru berupa *Narasi besar Tanah Papua dalam NKRI dengan greater authority, yang substansinya merupakan hasil kesepakatan baru yang bersifat inklusif dari berbagai kelompok strategis Papua di dalam negeri dan di luar negeri.

Pertanyaannya,  Skenario apa yang akan dipilih dan diterapkan oleh Negara untuk Tanah Papua?

Agenda Kolektif Bangsa

Saatnya Negara berpikir luas atas perubahan geopolitik internasional yang sangat dinamis terkait isu Papua.  Internasional networks untuk Papua juga semakin luas dengan agenda yang beragam.

Ditambah lagi dengan isu ketidakadilan,  kesenjangan sosial dan hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Papua.

Memang benar, Negara telah berupaya hadir di Tanah Papua, sebagaimana dilakukan Negara sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo.  Setiap pemimpin nasional berusaha keras untuk merumuskan langkah yang tepat untuk Papua.

Di era Presiden SBY,  sebuah "New Deal for Aceh" telah tercapai di tahun 2005 dalam payung Helsinki Agreement,  dan poin-poin kesepakatan itu diletakkan ke dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kini, saatnya Presiden Joko Widodo dihadapkan dengan sebuah tantangan yang tidak ringan dan kompleks.  Agenda setting internasional yang dinamis. Pertanyaannya,  adakah sebuah "New Deal for Papua" terwujud sebelum 2019?

Marilah kita merenung bersama bahwa agenda Papua janganlah menjadi agenda politik elektoral dari partai politik semata.  Namun,  para elite nasional juga harus membuka mata melihat realitas apa yang terjadi di Papua,  apa strategi kolektif dalam mencari solusi atas persoalan yang kompleks dan adakah terobosan yang berarti dalam membangun rasa trust Papua atas Jakarta.

Kembali ke pernyataan Presiden Soekarno,  "Hajo kita bangun Irian Barat bersama-sama,  hajo kita bertjantjut-taliwanda bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud jang indah dalam Sabuk Indonesia jang melingkari Chatulistiwa ini!  Indonesia,  die zich daar slinger tom den evenaar al seen gordel van smaragd (1965:547). [***]

Penulis adalah pengamat hubungan internasional, mantan Staf Khusus Presiden RI

Dec 1, 2017

Pembangunan di Papua digalakkan Jokowi, tapi mengapa aspirasi merdeka tetap hidup?

1 Desember 2017
 
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo berusaha menggenjot pembangunan di Papua, yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, terutama lewat proyek infrastruktur.
Namun pendekatan tersebut dianggap tidak manjur untuk mengatasi tuntutan pemisahan diri Papua dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di Papua sendiri maupun di luar negeri.
"Saya pikir pemerintah terlalu menggampangkan masalah Papua. Pemerintah melihat Papua itu hanya dari aspek pembangunan ekonomi, infrastruktur dan lainnya. Mereka mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan pandangan yang tajam terkait dengan sejarah Papua," kata Ketua II Dewan Adat Papua, Fadal Al Hamid, dalam wawancara melalui telepon, Kamis (30/11.
Sejarah Papua yang dimaksud adalah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, penentuan pendapat yang hasilnya menyebutkan rakyat Papua menghendaki sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
"Pemerintah menganggap masalah ini sudah selesai, sementara sebagian rakyat Papua menganggap bahwa apa yang terjadi di tahun 1969 adalah aneksasi bukan proses integrasi."

Dukungan internasional 'semakin luas'

Oleh karenanya, lanjut Fadal Al Hamid, aspirasi merdeka tetap hidup meskipun pembangunan digalakkan di Papua, termasuk menggelontorkan dana otonomi khusus sekitar Rp7 triliun untuk tahun 2017, belum termasuk dana-dana lain.
"Teriakan-teriakan merdeka itu bukan mereda tetapi sebenarnya dibungkam, tetapi bahwa di luar, eskalasinya sangat tinggi sekali. Artinya, ada kampanye dan dukungan-dukungan internasional semakin luas dan semakin terbuka," jelasnya.
Fenomena itu, menurutnya, bertolak belakang dengan maksud pemerintah pusat yang hendak meredam tuntutan pemisahan diri. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mendongkrat pengembangan ekonomi di daerah tertinggal itu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakat.

Dan pada akhirnya, peningkatan kesejahteraan diharapkan dapat meredam tuntutan pemisahan diri dari Republik Indonesia.Namun, menurut Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Ajun Komisaris Besar Polisi Suryadi Diaz, berdasarkan pemantauan di lapangan tidak benar jika dikatakan bahwa tuntutan pemisahan diri di Papua meningkat belakangan.

"Ini hanya kelompok tertentu dan orang-orang tertentu. Kalau pada umumnya di sini tidak ada yang menyetujui itu. Hanya kelompok tertentu dan orang-orang tertentu yang merasa, katakanlah, mereka menganggap tidak adil karena memiliki tanah yang subur dan mempunyai tambang emas di dalamnya tapi mereka miskin," tegasnya.

Dialog Papua

Pendekatan pembangunan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat Papua, kata Fadal Al Hamid, memang sahih dilakukan tetapi harus dibarengi dengan terobosan politik menyangkut sejarah Papua melalui dialog yang sejati.
"Dialog itu harus ada pihak ketiga yang memediasi, orang Papua dan pemerintah Indonesia duduk dalam satu meja untuk membicarakan hal-hal yang dianggap tabu selama ini dan berusaha untuk menemukan solusi-solusi apa yang bisa dilakukan bersama."
Staf khusus presiden RI tahun 2009-2014 untuk urusan Papua, yang kini menjadi Perencana Pengembangan Wilayah Tertinggal di Bappenas, Dr. Velix Wanggai, mengakui pemerintah mempunyai tugas berat dalam mengelola isu pelurusan sejarah menjadi final.
Bagaimanapun Presiden Joko Widodo sudah menyarankan agar dialog masalah Papua terus dibangun dan ruang itu seharusnya dimanfaatkan.

"Kami melihat bahwa dari satu sisi Perpera adalah sebuah fakta hukum bahwa itu sudah final dalam konteks persepsi pemerintah tetapi sebagian dari sudara-saudara kita masih menghendaki pelurusan sejarah," jelasnya dalam wawancara melalui telepon, Kamis (30/11).
"Kita, pemerintah sudah saatnya untuk terbuka tentang berbagai persoalan yang dianggap politik atau yang krusial dalam konteks agenda pelurusan sejarah Papua tetapi juga dalam konteks menyelesaikan fenomena internasionalisasi isu Papua di berbagai forum dunia maupun forum regional."
Di antara upaya internasionalisasi Papua di kancah internasional termasuk 'penyerahan' petisi tentang referendum -yang diklaim dudukung oleh sekitar 1,8 juta warga Papua- kepada Komite Dekolonisasi PBB.
Namun Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York membantah petisi secara sah diserahkan kepada komite itu pada akhir September.
Dengan petisi itu, diharapkan, antara lain, bahwa Papua masuk kembali dalam daftar di Komite Dekolonisasi PBB, setelah dikeluarkan dari daftar tahun 1963 menyusul langkah yang disebut sebagai invasi atau integrasi Indonesia.
Di dalam wilayah Papua dan sebagian kota-kota lain di Indonesia, biasa digelar protes menuntut referendum kemerdekaan.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil Papua rencananya hari ini, Jumat (01/12) akan menggelar doa bersama di Papua untuk memperingati hari yang diperingati setiap tahun untuk mengangkat tuntutan kemerdekaan bagi Papua.

Namun dalam tahun-tahun sebelumnya, peringatan biasanya juga diwarnai protes dan pengibaran bendera bintang kejora sebagai simbol kemerdekaan.
Oleh karena itu, aparat keamanan, Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Ajun Komisaris Besar Suryadi Diaz, bersiaga satu, di seluruh Papua.

Nov 19, 2017

Lembaran Baru Majelis Rakyat Papua Periode 2017-2022

Oleh :

Gubernur Papua Lukas Enembe bercengkrama dengan masyarakat Suku Korowai di Distrik Yani Ruma, Kabupaten Boven Digoel, pada 23 Oktober 2017 (Foto: Istimewa/Dok Humas Pemprov Papua)

Kini, wajah Otonomi Khusus memiliki warna baru. Senin, 20 November 2017, Menteri Dalam Negeri akan melantik anggota MRP periode 2017-2022. Pelantikan ini menandakan harapan yang besar dari Negara dan Pemerintah kepada MRP untuk membuka lembaran baru di dalam menyelenggarakan Otonomi Khusus secara murni dan konsekuen.

Setelah 16 tahun Otonomi Khusus berjalan, banyak pelajaran berharga dari wajah MRP ini, beserta segala dinamikanya.

Negara Mengakui Filosofi Kultural ke-Papua-an
Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, Negara dan Pemerintah telah meletakkan kerangka "asymmetric decentralization" dalam bentuk Otonomi Khusus kepada Papua dan Papua Barat. Bentuk pengakuan itu tercermin dengan pengakuan kekhususan Papua dalam konteks kultural. Dengan segala perdebatan pro-kontra atas konsep kelembagaan Majelis Rakyat Papua (MRP) di era tahun 2000-2004, akhirnya Negara mengakui lembaga representasi kultural ini, sebagaimana desain MRP dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maupun Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun tentang Majelis Rakyat Papua (MRP).

Menariknya,  di dalam struktur UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kelembagaan MRP ini diletakkan ke dalam Bab V perihal Bentuk dan Susunan Pemerintahan. Selain ada Badan Eksekutif dan Badan Legislatif, dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang rnerupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Dalam perspektif Negara, konsep MRP merupakan sebuah kebijakan spesifik yang khas ke-Papua-an yang menjadi simbol dari apa yang disebut sebagai Otonomi Khusus. Berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, ternyata Negara mengakui kebudayaan orang asli Papua dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan. Aspek kultural ini terkait dengan hak-hak asli orang Papua yang dianggap selama ini termarginal di dalam pembangunan dan pemerintahan.  Karena itu, hadirnya MRP sebagai lembaga representasi kultural  merupakan bukti dan komitmen Negara dalam menghormati dan mengakui kekhususan yang hidup dalam konteks ke-Papua-an.

Gubernur Lukas Enembe: MRP Mengawal Kebijakan AfirmasiGubernur Papua Lukas Enembe menaruh perhatian penting kepada MRP. Sejak Lukas Enembe dilantik sebagai Gubernur Papua pada 9 April 2013 lalu, maka salah satu langkah prioritas yang dilakukan adalah menjalin pola komunikasi dan koordinasi yang baik dengan MRP. Bagi Lukas Enembe, MRP adalah roh dari Otonomi Khusus sebagai garda terdepan di dalam membela hak-hak dasar orang asli Papua dalam semua konteks pembangunan, sistem pemerintahan, dan kerangka sosial-politik.

Ketika melantik Paniia Seleksi MRP periode 2017 - 2022 pada 12 Oktober 2016 lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe menegaskan, "pemilihan anggota MRP merupakan wujud kebijaksanaan afirmasi bagi orang asli Papua yang dilaksanakan secara demokrasi, transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi rasa solidaritas di antara masyarakat Papua, dengan menjaha keutuhan bangsa dan negara".

Pernyataan Gubernur Lukas Enembe ini mencerminkan sebuah pesan kepada MRP bahwa MRP harus memainkan peran untuk mengawal kebijakan afirmasi kepada orang asli Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tantangan ke DepanMengacu kembali ke kewenangan, tugas dan fungsi MRP, maka MRP dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang tidak ringan.

Pertama, MRP wajib mengawal proses Pilkada serentak 2018 yang dianggap sebagai Tahun Politik. Kriteria orang asli Papua akan menjadi pekerjaan khusus dari anggota MRP yang baru dalam Pemilihan Gubernur - Wakil Gubernur Papua. Namun sebenarnya, hal terpenting lainnya bagaimana MRP menjaga situasi politik yang harmonis, tertib, dan kondusif dalam setting sosial Papua yang majemuk dewasa ini. Ini tugas yang tidak ringan karena Pemerintah, khususnya, Kemenko Polhukam, telah memetakan Papua sebagai salah satu daerah-daerah yang rawan konflik dalam proses Pilkada serentak 2018. MRP haruslah mendorong Pilkada di Papua sebagai "festival gagasan" guna memperkaya arah pembangunan Papua ke depan.

Kedua,  MRP wajib untuk  mengawal Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), baik sejak rancangan Perdasus, proses pengambilan keputusan, dan pelaksanaan Perdasus yang telah ditetapkan. Hal ini mengingat Perdasus dimaknai sebagai Peraturan Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Hal ini berarti MRP wajib memainkan peran advokasi kebijakan afirmasi yang terkait dengan hak-hak dasar orang asli Papua. Tugas MRP tidak hanya berhenti setelah draft Perdasus ditetapkan, namun MRP wajib untuk mengawal pelaksanaan (policy implementation) dari materi-materi dari Perdasus tersebut. Misalnya saja, bagaimana MRP mengawal pelaksanaan turunan dari Perdasus Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan maupun berbagai Perdasus lainnya.

Ketiga, MRP juga perlu memainkan peran untuk memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga (baik dari dalam negeri maupun luar negeri) yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Salah satu tugas di depan mata adalah bagaimana sikap MRP periode 2017-2022 terhadap berakhirnya Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia di tahun 2021. Artinya, perlu ada agenda komprehensif yang ditawarkan MRP dan pentingnya MRP menjalankan advokasi hak-hak orang asli Papua dari setiap tahan proses re-negosiasi, baik antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan pihak PT Freeport Indonesia.

Keempat, tugas terpenting MRP periode 2017-2022 adalah merumuskan langkah-langkah di dalam menghadapi berakhirnya Dana Otonomi Khusus di tahun 2021, sebagaimana amanat dari Pasal 34 perihal Keuangan. Adakah agenda setting yang harus disiapkan MRP di dalam mengajukan kerangka konsep anggaran baru dari Dana Otonomi Khusus ini menjelang tahun 2021.

Taklupa, sejumlah tugas lainnya adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Terakhir, MRP Periode 2017-2022 wajib untuk mengawal, menerjemahkan, dan melaksanakan Visi Besar Papua 2025, yakni "Papua yang Mandiri secara Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik", sebagaimana yang ditetapkan Gubenur Papua Lukas Enembe dalam Perda No. 21 tahun 2013 perihal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Papua Tahun 2005-2025. Selamat bertugas MRP Periode 2017-2022. (*/adv)

*Penulis adalah Pengamat Pembangunan Papua

Sep 11, 2017

Menulis Ulang Desentralisasi Asimetrik Dalam Indonesia-Sentris

SENIN, 11 SEPTEMBER 2017 , 12:16:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI


INDONESIA-sentris merupakan paradigma baru yang diletakkan Presiden Joko Widodo dalam kerangka pembangunan nasional. Sejalan dengan paradigma Indonesia-sentris, Presiden Joko Widodo juga menempatkan pesan pentingnya desentralisasi asimetrik dalam narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019. 

Dalam perjalanan hampir tiga tahun ini, bagaimana wajah desentralisasi asimetrik di Indonesia, dan sejauhmana desentralisasi asimetrik menjadi solusi dari Indonesia-sentris?

Indonesia penuh warna. Warna yang beragam sudah pasti memerlukan perhatian yang khusus di dalam mengelola keberbedaan itu. Mengelola dengan cara yang desentralistik merupakan pilihan kita bersama. Dan, desentralisasi asimetrik telah menjadi salah satu jalan untuk mengakui kekhususan dan keistimewaan berbagai daerah-daerah di Indonesia.

Paradigma Indonesia-sentris telah diletakkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai paradigma pembangunan nasional. Sebuah paradigma yang ingin mengubah, bahkan membongkar realitas pembangunan yang tertumpuk di Pulau Jawa, atau yang dilabeli dengan Jawa-sentris. Sumbangan dalam struktur ekonomi nasional yang dominan sebenarnya menandakan konsentrasi pembangunan di wilayah tertentu, dan sebaliknya sebagian wilayah tertinggal dan termarginal dalam konteks pembangunan.

Lantas, bagaimana kerangka desentralisasi asimetrik memberikan warna atas paradigma baru Indonesia - sentris ini?

Selama ini, desentralisasi asimetrik telah dikemas sebagai kebijakan administrasi pemerintahan, sekaligus sebagai kebijakan politik yang akomatif kepada sejumlah daerah-daerah di Indonesia. Konstitusi Indonesia, UUD 1945 memberikan ruang bagi penerapan desentralisasi asimetrik. Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) menyebutkan, "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa".

Dalam perjalanan di era reformasi ini, Negara telah mensikapi beberapa daerah dengan paket kebijakan desentralisasi asimetrik.  Pertama, Presiden B.J Habibie mensahkan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kedua, Presiden Megawati Sukarnoputri mensahkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  dan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensahkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UU No. 13/2012 perihal Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan demikian, tercermin tiga model desentralisasi asimetris yang digunakan  Negara dalam mengelola daerah-daerah. Pertama, model negara dalam mengatasi konflik vertikal antara Pusat - Daerah seperti Aceh dan Papua. Kedua, model negara dalam menempatkan provinsi dengan fungsi danstatus ibukota negara, yakni DKI Jakarta. Ketiga, model negara dalam mengakui asal-usul suatu daerah dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tantangan dalam Mengelola Desentralisasi Asimetrik
Sejauh mana perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan desentralisasi asimetrik ini?

Pertama, soal penerapan UU No. 11/2006. Tantangan terbesar adalah sejauhmana Pusat membicarakan kewenangan dan urusan yang telah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, dan bagaimana kewenangan/urusan yang diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberlaku standar nasional.

Pada awal Juni 2017, elemen masyarakat sipil Aceh yang tergabung dalam DPP Suara Rakyat Aceh (DPP-SURA) mempertanyakan ke Pusat perihal konsistensi Pusat dan kelambanan  Pusat dalam mengesahkan sejumlah kewenangan Aceh yang diatur dalam UUPA 2006. Dalam pandangan masyarakat sipil Aceh, kewenangan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah soal pembagian hasil Migas Aceh, pertanahan, soal batas wilayah, Komisi Penyelesaian Klaim, soal bendera dan lambang, serta kelembagaan Wali Nanggroe, serta sejumlah kewenangan lainnya.

Kedua, soal peran, status, dan beban dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.

Wacana perpindahan Ibukota yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal 2017 sebenarnya menandakan bahwa DKI Jakarta telah menanggung beban yang berat dalam berbagai hal, baik daya dukung lingkungan, penurunan air tanah, penurunan muka tanah, banjir, macet, dampak ekonomi-kesehatan-psikologis kemacetan maupun menumpuknya aktivitas ekonomi di wilayah DKI Jakarta.

Karena itu, pesan Presiden Joko Widodo kepada Bappenas untuk melakukan kajian perpindahan ibukota negara adalah sebuah pekerjaan rumah penting dalam melihat kembali peran dan fungsi DKI Jakarta, sebagaimana amanat dalam UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.

Disini, akan terlihat bagaimana sikap Negara terhadap peran dan status DKI Jakarta. Apakah tetap memainkan peran sebagai Ibukota Negara, ataukah hanya sebagai pusat bisnis dan ekonomi dalam kerangka kota megapolitan di dunia.

Ataukah negara memindahkan Ibukota ke luar Jawa, apakah ke Kalimantan, Sulawesi atau bahkan ke Papua?

Ataukah opsi DKI Jakarta tetap sebagai Ibukota, dan hanya pusat administrasi pemerintahan saja yang digeser ke kawasan Jonggol, Bogor, sebagaimana Keppres Nomor 1/1997 tentang Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.

Ketiga, soal masa depan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat).

Banyak hal yang didiskusikan soal Otsus Papua ini. Kemendagri dan lembaga Kemitraaan (Parnership) pernah melakukan evaluasi atas UU Otsus yang menyoroti soal pelaksanaan kebijakan Otsus.

Demikian pula, soal persepsi Kementerian/Lembaga dalam memaknai roh UU Otsus dalam pelbagai kebijakan sektoral, kebijakan kewilayahan dan kebijakan anggaran yang sesuai konteks ke-papua-an.

Situasi geopolitik internasional yang mengangkat isu Papua baik soal pelanggaran HAM, tuduhan dari berbagai komunitas internasional 'slow motion genocide', Otsus yang gagal, dan desakan Dialog Jakarta - Papua, merupakan tantangan tersendiri dalam mengelola Papua.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah model desentralisasi asimetrik sebagaimana UU No. 21/2001 masih relevan menjawab berbagai soal pembangunan dan isu-isu politik internasional-domestik (inter-mestik) yang dihadapi/terjadi di Papua?

Adakah model baru atau desain baru dari desentralisasi asimetrik untuk Papua di tengah-tengah lingkungan strategis yang dinamis dan berubah ini? Dan, apakah model baru ini dapat menjadi jawaban resolusi konflik Papua? Lantas, adakah skenario Negara dalam mensikapi poin Dana Otsus 2 persen yang akan berakhir pada 2022 dan adalah skenario peran serta Papua dalam kebijakan perpanjangan investasi Freeport Indonesia pada tahun 2021? Sederet pekerjaan rumah yang menjadi tugas kita bersama.

Keempat, sikap Negara dalam menerapkan aspek keistimewaan UU Keistimewaan DI Yogyakarta.

Belajar dari pengalaman proses formulasi UU Keistimewaan Yogyakarta yang dinamis pada tahun 2012, Presiden Joko Widodo pasti sangat berhati-hati dalam mensikapi penerapan UU Keistimewaan Yogyakarta.

Tim Pemantau Otsus dari DPR mencermati sejumlah isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian. Hal itu antara  aspek pertanahan (agraria) dan sinkronisasi kebijakan Pusat dengan UU Keistimewaan Yogyakarta.

Aspek kepemimpinan daerah Aceh juga menjadi agenda menarik. Sudah pasti Negara menghargai proses di internal Keraton Ngayogyakarta, sebagaimana juga diatur dalam UU No. 13/2012. Perkembangan terakhir, pada 31 Agustus 2017,  Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan ruang bagi perempuan untuk berhak menjadi pemimpin daerah.

Adakah Model Baru Desentralisasi Asimetrik?


Saat ini, Negara juga tidak bisa menutup mata dengan berbagai tuntutan yang bersumber dari aspirasi masyarakat.

Pertama, tuntutan Otsus Bali untuk keadilan pariwisata.

Saat ini berkembang aspirasi agar Bali mendapatkan Otonomi Khusus bidang Kepariwisataan. Salah satu elemen masyarakat yakni Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menuntut Otsus Pariwisata (www.nusabali.com, 22/8/2016). Harapannya, industri pariwisata harus berkontribusi terhadap pelestarian budaya Bali. Ada pandangan, baiknya pendapatan pajak di sektor pariwisata di Bali dikelola di Bali untuk pengembangan ekonomi masyarakat lokal Bali maupun pelestarian budaya Bali yang seringkali menyedot dana pribadi masyarakat Bali dalam berbagai prosesi Bali.

Tuntutan Bali ini pernah disampaikan pada tahun 2005 oleh tokoh-tokoh Bali. Intinya, desakan agar pendapatan sektor pariwisata di Bali yang mencapai ratusan milyar dapat juga dirasakan dan dikelola oleh Bali secara adil (www.detik.com, 13/9/2005). Bahkan sejak Desember 2015, ada inisiasi publik Bali untuk mengumpulkan petisi yang ditujukan ke Presiden Joko Widodo soal Bali layak menjadi memperoleh otonomi khusus Bali.

Kedua,  Kalimantan Timur menuntut keadilan melalui Otsus Kaltim.

Saat ini Kalimantan Timur juga mendesak Pusat agar diberikan payung Otonomi Khusus. Dalam pandangan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek,  alasannya adalah, potensi sumber daya alam Kalimantan Timur dikuras menjadi devisa negara, sementara pembangunan daerah Kalimantan Timur berjalan lamban (antarakaltim.com, 28/5/2015). Sebelumnya, diawal tahun 2015, Gubernur Faroek menegaskan ke Pusat, "Kita sedang berjuang menuntut keadilan pusat untuk memberikan otonomi khusus bagi Kaltim. Sudah cukup lama kita bersabar dan sekarang saatnya kita bersatu dan lebih kompak. Mari bersama-sama berjuang demi rakyat Kaltim yang lebih sejahtera".  Selanjutnya, Gubernur Awang Faroek menjelaskan, "Perjuangan rakyat Kaltim menuntut Otsus akan lebih dititikberatkan pada ketidakadilan pusat, dimana Kaltim sebagai daerah penghasil devisa dari ekploitasi sumber daya alam menjadi penanggung risiko terbesar, sementara persentase pembagian ke daerah sangat tidak sebanding dengan luas Kaltim" (antarakaltim.com, 18/1/2015).

Ketiga, desakan Otonomi Khusus Kelautan untuk Maluku.

Publik Maluku juga mendesak Pusat untuk memberikan ruang baru bagi Maluku dengan payung Otonomi Khusus.  Direktur Eksekutif Archipelago Solidarity Foundation, Angelina Pattiasina (rmol.co, 3/8/2015) menegaskan bahwa tuntutan untuk hak otonomi khusus kelautan bagi Maluku adalah sesuatu yang wajar dan semestinya diberikan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Maluku yang kini masuk wilayah empat besar termiskin dari 34 provinsi.

Dalam pandangan Pattiasina, selama ini pendapatan domestik regional bruto rendah karena kerap dihitung berdasarkan wilayah daratan dan jumlah penduduk dan itu tidak sesuia dengan kenyataan di Maluku.

Dalam pandangan Pattiasina,  hak ulayat laut dikembalikan kepada Maluku. Karena, hanya satu provinsi yang memiliki hak ulayat yang disebut Petuanan di mana kepala daerah berkuasa hingga ke lautan. Namun, hak atas laut ini tidak ada lagi, demikian penjelasan Pattiasina.

Keempat, desakan Sultan Tidore dan kaum muda Maluku Utara menuntut Otonomi Khusus Maluku Kie Raha (Empat Kerajaan di Maluku Utara).

Sultan Tidore Husain Sjah menjelaskan bahwa 4 Kerajaan Di Maluku Utara telah berkontribuso besar kepada negara. Dalam pandangan Sultan Tidore, “Kalau Jogjakarta mendapat keistimewaan karena mereka pernah mengancam negeri ini dengan membuat referendum, kemudian Papua dengan Ancaman Operasi Papua Merdeka (OPM) dan Aceh dengan 99 batang emas dengan satu buah pesawat, kemudian diberikan istimewa, Lalu kita memberikan konstribusi sepertiga dari pada wilayah Republik Indonesia ini, kenapa itu tidak diberikan?” (www.malut.co, 20/5/2017).

Bagi Sultan Tidore, Otsus Maluku bukanlah sesuatu yang mustahil karena hal ini dijamin dalam UUD 1945, dan aspirasi Otsus Maluku Utara ini dalam koridor NKRI.

Kelima, ada sejumlah aspirasi untuk Otonomi Khusus untuk Provinsi Kepulauan Riau dan Otonomi Khusus Provinsi Riau.

Bagi Riau, alasannya lebih mirip dengan Kalimantan Timur perihal keadilan dalam pembagian dana yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam di Riau, terutama minyak bumi dan gas (riaucitizen.com, 25/2/2015).

Demikian pula, Gubernur Kepulauan Riau HM Sani yang mendorong pentingnya Otonomi Khusus Kepulauan Riau.  Daratannya hanya 4 persen, sedangkan sisanya perairan. Dalam pandangan Gubernur HM Sani,  kondisi ini menunjukkan potensi kelautan Kepri sangat besar, namun sayang hal tersebut belum mampu dikeola secara maksimal.

Menurut Gubernur HK Sani, "Hal ini dikarenakan kewenangan daerah untuk mengelola wilayah lautnya yang sangat terbatas. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan laut masih sangat dominan" (antarakepri.com, 21/3/2016).

Belum lagi dengan sejumlah alasan seperti Provinsi Kepri berbatasan dengan Singapura dan Malaysia sebagai pusat perdagangan internasional dan investasi.  Demikian pula, dengan katakteristik wilayah yang memiliki 2.400 pulau dan  19 Pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.

Dari berbagai aspirasi daerah-daerah ini, memberikan pelajaran yag bermakna bagi negara.

Pertanyaannya, apakah ada model desentralisasi asimetris guna menyelesaikan soal kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan antarwilayah dan kesenjangan fiskal Pusat - Daerah? Apakah desentralisasi asimetrik telah diterapkan dalam konteks pendekatan dan kebijakan sektoral di level Kementerian/Lembaga teknis?

Adakah model desentralisasi asimetrik untuk mengelola agenda perbatasan, pembagian fiskal pusat - daerah yang baru soal pariwisata, kelautan dan pajak, dan minyak bumi dan gas. Adakah strategi pengembangan daerah-daerah perairan yang berbeda dan spesifik kewilayahan. Demikian pula, adakah solusi untuk Maluku dan Maluku Utara dalam konteks historis, hak ulayat laut dan pengembangan sektor kelautan.

Artinya, sudah saatnya negara mengelola daerah-daerah yang beragam dengan model desentralisasi asimetrik yang lebih variatif dan komprehensif, tanpa terjebak dengan payung hukum otonomi khusus baru. Untuk itu, perlu terobosan yang think out of the box di luar regulasi nasional dalam menjawab aspirasi, desakan dan permasalahan pembangunan di daerah - daerah yang penuh warna.

Kini, 72 tahun Indonesia Merdeka, saatnya Indonesia Kerja Bersama untuk menulis ulang format desentralisasi asimetrik  guna masa depan Indonesia Emas 2045.[***]


Penulis adalah Doktor Bidang Ilmu Hubungan internasional, Pemerhati Otonomi Daerah

Sep 2, 2017

Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib? Perspektif Inter-Mestik Dalam Kajian Resolusi Konflik

Nusantara  SABTU, 02 SEPTEMBER 2017 , 07:54:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI
1.6K
SHARES


MENARIK membaca pernyataan dari anggota Komisioner Komnas HAM,  Maneger Nasution pada 3 Agustus 2017 lalu.

Nasution menegaskan, "Semampang sebelum Maghrib, di sisa-sisa waktu yang relatif tidak banyak, Presiden Jokowi sebaiknya bergegaslah memimpin penyelesaian masalah-masalah Papua. Sekali lagi bersegeralah sebelum terlambat. Masalah-masalah Papua sudah mendekati Maghrib (www.republika.co.id, 3 Agustus 2017).

Apa makna dari pernyataan ini? Sebuah pernyataan yang menimbulkan pertanyaan, apakah benar sebegitu kompleksnya masalah Papua sehingga digolongkan mendekati magrib yang menandakan masuknya suasana kegelapan malam.

Setelah membaca pernyataan Maneger Nasution itu, mungkin memunculkan 3 sikap atas pernyataan Maneger Nasution ini. Pertama,  ternyata tidak benar masalah Papua mendekati Magrib. Ada sebuah rasa optimisme dalam mencari peta jalan dalam menata pelbagai permasalahan yang dihadapi Tanah Papua saat ini.

Kedua, ternyata benar bahwa masalah Papua sangat serius untuk dibenahi secara bertahap dan parsial. Ketiga, ternyata masalah Papua ini bukannya mendekati Magrib, namun lebih dari asumsi Nasution, ternyata masalah Papua telah bertumpuk-tumpuk memasuki Isya yang lebih gelap dari Magrib. Karena itu, membutuhkan pilihan pendekatan yang komprehensif, sekaligus fundamental.

Kini, wajah Papua dengan berbagai narasi besarnya sangat tergantung dengan sikap Negara (Pemerintah dan jajarannya,  MPR, DPR, DPD) dalam menentukan arah jalan Tanah Papua. Istilah Magrib dari Anggota Komnas HAM adalah perlu dimaknai sebagai konteks waktu dan derajat kedalaman sebuah masalah kebangsaan, yakni Tanah Papua. Sekaligus, pernyataan Nasution ini sebagai cambuk bagi Negara dalam mencari format yang tepat untuk Papua.

Membaca Setting Internasional yang Dinamis

Berbicara Tanah Papua, tidaklah terlepas dari perhatian dunia internasional. Karena sejak 1945, bahkan jauh di abad ke-15, Tanah Papua telah menjadi tanah perebutan. Kini, fenomena Papua tetap menjadi perhatian dunia internasional.

Fenomena pertama, sejak "Papuan Spring" pasca Orde Baru, sebagaimana istilah Richard Chauvel, Indonesianist dari Australia,   isu "Internasionalisasi Papua" semakin meningkat. Dinamika internasionalisasi isu Papua diperkirakan akan semakin meningkat di tahun 2017 dan tahun-tahun ke depan. Hal itu ditandai dengan hadirnya International  Parliament for West Papua (IPWP), International Lawyer for West Papua (ILWP), dan berbagai solidaritas dan jaringan West Papua di berbagai negara di belahan dunia dengan aktor yang semakin beragam. International advocacy untuk Papua juga semakin beragam dan meluas tanpa mengenal batas administrasi negara.

Fenomena kedua, yakni konsolidasi sayap diplomasi West Papua juga semakin tertata dengan hadirnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pertemuan tingkat tinggi Melanesian Spearhead Group (MSG) di Noumea, Kaledonia Baru, 20 - 21 Juni 2013, menjadi embrio hadirnya sebuah payung organisasi yang inklusif dan kedatangan para Menteri Luar Negeri dari MSG ke Indonesia (termasuk ke Jayapura). Selanjutnya, dalam Special MSG Leader's Summit di Port Moresby, pada 26 Juni 2014 menghasilkan Komunike. Dalam komunike itu untuk mengundang semua kelompok West Papua untuk membentuk sebuah payung organisasi yang bersatu dan inklusif untuk berkonsultasi dengan Indonesia. Alhasil, lahir ULMWP pada akhir 2014 di Vanuatu. Selanjutnya, masuknya ULMWP sebagai observer di MSG menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia di dalam mengelola diplomasi publik di Pasifik.

Sedangkan fenomena ketiga, internasionalisasi isu Papua juga semakin mendapat ruang di forum PBB dan fora internasional lainnya. Sejumlah Kepala Negara dari Pasifik mengangkat isu Papua baik di forum Majelis Umum PBB, di forum Dewan HAM, dan di forum Komisi Dekolonisasi. Terakhir muncul Pacific Coalition for West Papua yang terdiri dari 7 negara-negara Pasifik. Di akhir Juli 2017 lalu, pertemuan regional ke-14 Majelis Gabungan Parlemen ACP - EU di Port Vila, Vanuatu juga menyoroti soal pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Terakhir,  Papua yang terletak di Pasifik, sebenarnya saat ini berada dalam 'a new cold war' atau perang dingin baru antara China dan Amerika Serikat. Kedua negara sangat gencar untuk memantapkan "the influence zone" di negara-negara di Pasifik, termasuk di Pasifik Selatan. Membaca perpanjangan PT. Freeport Indonesia pada 29 Agustus 2017, sebenarnya diletakkan pula sebagai upaya Amerika Serikat untuk mempertahankan dominasi kehadiran Indonesia di Pasifik, khususnya di Tanah Papua.

Masih terdapat sejumlah peristiwa di level internasional yang bisa diurai satu persatu untuk menjelaskan bahwa fenomena internasionalisasi isu Papua meningkat dan meluas dalam geo-politics internasional dan kawasan Pasifik.

Mengurai Masalah Domestik
Tanah Papua menjadi agenda Negara dari masa ke masa. Setiap era pemerintahan memiliki gaya kepemimpinan dan pilihan kebijakan (policy choices) yang berbeda sesuai konteks dan setting persoalan. Namun, menarik pandangan dari mantan Gubernur Barnabas Suebu yang pernah mengatakan bahwa persoalan utama yang kita hadapi adalah soal perbedaan persepsi di antara para aktor dalam melihat apa yang dihadapi di - dan - untuk Tanah Papua. Misalnya, Gubernur Suebu mecontohkan, perbedaan persepsi antara policy makers di Jakarta dan rakyat Papua dalam memaknai apa substansi dan filosofi mendasar dari Otonomi Khusus.

Kita menyadari telah banyak pihak dalam memetakan akar persoalan dan symptom (gejala tampak) di Tanah Papua.

Bagi Negara, pemetaan isu dan agenda setting telah tampak dalam perencanaan nasional, sebagaimana di dalam RPJMN Tahun 2015 - 2019. Dari persoalan yang bersifat teknokratis di Papua, akhirnya ada pendekatan sektoral untuk Tanah Papua dan pendekatan kewilayahan untuk Papua.

Bagi elite-elite Papua di Pemerintahan Papua (eksekutif dan legislatif) lebih memaknai persoalan dengan isu kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterisolasian, kematian). Gubernur Lukas Enembe mengurai apa penyebab itu karena ternyata karena titik mulainya (start) pembangunan yang terlambat sejak 1969 ketimbang provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Lembaga think tank Pemerintah, LIPI, telah memetakan 4 persoalan, yakni (1) sejarah integrasi, status politik Papua, dan identitas politik; (2) kekerasan politik dan pelanggaran HAM; (3) kegagalan pembangunan; dan (4) inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua. Intinya, LIPI menawarkan ide Dialog (LIPI, 2009).

Sebaliknya, tokoh-tokoh Papua dan komunitas melihat Tanah Papua dengan perspektif yang berbeda atas akar persolan dan solusi yang berbeda untuk Papua.

Gembala Dr. Socrates Yoman, Ketua Umum Gereja-Gereja Baptis se-Tanah Papua, memiliki persepsi yang kritis dalam menyuarakan suara-suara rakyat Papua. Dalam bukunya, Otonomi Khusus Papua Telah Gagal (2012), Gembala Dr. Socrates Yoman menawarkan 3 solusi. Pertama, solusi dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Kedua, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kembali tuntutan rakyat Papua melalui Tim 100 26 Februari 1999, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres Nasional III Papua, 26 Mei-Juni 2000. Ketiga, pengalaman dan realitas ini menghasilkan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia dan telah kehilangan harapan masa depan dalam Indonesia.

Dalam konteks internasional, persoalan Papua dilihat dengan perspektif yang kritis. Sejumlah komunitas internasional melihat adanya "slow motion genocide" yang terjadi di Tanah Papua, pelanggaran HAM yang terus berlanjut, sejarah integrasi Papua 1969 yang cacat karena tidak mengusung "One Man One Vote" maupun kebebasan berekspresi yang dibatasi dan pelarangan jurnalis ke Tanah Papua. Pandangan seperti itu tampak dari IPWP, AWPA, ULMWP, Pacific Coalition for West Papua, Papua Studies di University of Sydney, dan berbagai networks yang tersebar di berbagai negara.

Isu dialog untuk Papua juga menjadi isu tersendiri di komunitas internasional. The State Secretary AS Hillary Clinton pernah mengatakan, "Dialogue would be help address Papuan concern, help resolve conflict peacefully and implementation governance and development...the need for inclusive consultation and implementation of the special autonomy law for Papua" (4 September 2012). Bahkan, negara tetangga terdekat, PNG mulai mengambil sikap dengan perspektif yang kritis. Walaupun PM Peter O'Neill tetap mendukung Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, namun PM O'Neill mengungkapkan, "it is time to raise West Papua" (5 Februari 2015).

Adakah "the New Deal for Papua?"

Dengan konteks geopolitics internasional seperti itu, dan ditambah dengan situasi domestik Indonesia, termasuk situasi pembangunan di Tanah Papua, apa yang harus dilakukan oleh Negara?

Dalam pandangan pribadi, sudah saatnya Negara harus memiliki Narasi Tunggal perihal Agenda Tanah Papua. Dengan menyimak dinamika lingkungan internasional dan domestik (perspektif inter-mestik), terbangun 3 Skenario untuk Tanah Papua.

Skenario Pertama, yakni Skenario Realistik. Artinya, narasi tunggal Negara yang memaknai Tanah Papua secara normal tanpa terobosan yang berarti. Arah besar Tanah Papua ke depan diletakkan hanya berbasis dokumen Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019 dengan pendekatan sektoral (sectoral-based policies) dan pendekatan kewilayahan (regional-based policies). Hal ini sesuai pula dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai komitmen global.

Dari sisi internasional dalam Skenario Realistik, Negara melanjutkan sejumlah strategic/comprehensive partnership dengan negara-negara besar, termasuk di Pasific Selatan. Namun, Negara tidak memiliki narasi public diplomacy untuk Papua yang progresif maupun Negara tidak memilih opsi dialog dengan representasi pergerakan West Papua via ULMWP. Konsekuensinya, narasi diplomasi hanya berbicara 'soft politics' seperti komitmen Negara atas pembangunan Tanah Papua, tanpa menyentuh isu 'high politics' seperti status integrasi, HAM dan isu slow motion genocide.

Dalam skenario realistik ini, situasi Tanah Papua akan berjalan seperti saat ini dengan segala kompleksitasnya.

Skenario Kedua, yakni Skenario Moderat. Artinya, Negara menempuh pilihan kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough) di luar kebiasaan dengan tetap mengedepankan pendekatan 'soft politics' (isu pembangunan)

Dalam Skenario Moderat, diletakkan upaya percepatan, upaya rekognisi, upaya afirmatif, dan terobosan regulasi yang selama kaku dalam melihat konteks ke-papua-an dalam pembangunan. Maknanya adalah regulasi sektoral di seluruh Kementerian/Lembaga harus menyentuh kearifan lokal 7 wilayah Adat yang hidup di Tanah Papua.

Demikian pula, makna percepatan pembangunan harus diikuti dengan perubahan kerangka keuangan (financial arrangement) yang berbeda dengan pola umum secara nasional. Misalnya, jika pajak selama ini langsung disetor ke Kas Negara dan kemudian didistribusi secara umum dengan DAU atau Dana Kementrian, maka sudah saatnya skema pendapatan dari pajak diberikan dulu ke Kas Daerah, dan sekian persen (misalnya 40%) diserahkan ke Pusat. Hal ini berlaku hanya suatu jangka waktu tertentu, dan akan kembali normal ketika kebutuhan riil rakyat Tanah Papua dalam pembangunan telah terpenuhi. Termasuk soal skema pembiayaan khusus bagi Papua dalam memperoleh saham di PT. Freeport atau apapun investasi sumber daya alam di Tanah Papua.

Masih dalam Skenario Moderat, pintu Dialog Papua - Jakarta mulai dijajaki. Walaupun narasi Dialog masih menimbulkan persepsi yang berbeda di tubuh Negara. Namun sebenarnya, dalam RPJMN 2015-2019 telah dinyatakan "Dialog Pembangunan Ekonomi Papua - Jakarta", sebagaimana diurai dalam buku III RPJMN. Dialog Sektoral untuk Papua diletakkan dalam bangunan Skenario Moderat yang tetap hanya membahas "soft politics".

Sedangkan Skenario Ketiga, yakni Skenario Progresif. Dalam skenario ini, muncul pilihan kebijakan yang luar biasa (thinking and acting outside the box) yang berlaku umum. Sebuah skenario yang memilih solusi komprehensif baik dalam konteks soft politics dan high politics. Alhasil, Negara wajib memiliki tawaran bargaining yang bermakna bagi rakyat Tanah Papua.

Tawaran apa? Bisa jadi tawaran maksimal adalah "Rasa Merdeka dalam NKRI". Formulasi substansinya sangat tergantung dengan sebuah "The Papua Peace Talk" yang bersifat inklusif yang menjadi sebuah payung hukum baru untuk Tanah Papua.

Indonesia telah belajar dari cara mengelola konflik. Pernah ada resolusi konflik Maluku 1999 dengan "Malino Agreement". Demikian pula, Henry Dunant Centre (HDC) pernah berperan sebagai mediasi yang menghasilkan sebuah "Jeda Kemanusiaan" (Joint of Understanding for Humanitarian Pause) antara Indonesia - Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di awal Desember 2002. Dan selanjutnya, Presiden ke-10 Finlandia Martti Ahtisaari dan the Crisis Management Initiative (CMI) sebagai lembaga 'peace broker' telah sukses memainkan peran mediator antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alhasil, dicapai Helsinki Agreement pada 15 Agustus 2005.

Konteks dan kompleksitas Aceh berbeda dengan Papua. Namun model "The Aceh Way" pernah menjadi model resolusi konflik vertikal di era Presiden SBY.

Komitmen Presiden Joko Widodo begitu besar. "Ini bukan soal jumlah suara di Papua, namun ini soal komitmen dan perhatian pertama untuk Papua. Matahari senantiasa terbit dari timur, terbit dari Papua", demikian kata yang diungkapkan Joko Widodo ketika mengawali kampanye hari pertama di Jayapura, 5 Juni 2014. Sebuah kalimat yang sangat menyentuh hati rakyat Papua.

Kini saatnya, Negara (eksekutif, legislatif, partai politik, kampus, media, dan komponen bangsa) mensepakati narasi tunggal yang komprehensif untuk Tanah Papua. Saatnya Negara memilih apakah Skenario Realistik, Skenario Moderat, ataukah Skenario Progresif?

Pilihan ini menjadi persiapan agenda setting Negara untuk menuju sebuah "The Papua Peace Talk" yang menghadirkan rangkaian solusi yang fundamental bagi rakyat Papua.

Akhirnya, menarik apa yang diungkapkan Bung Hatta pada pertengahan tahun 1950-an perihal agenda diplomasi Irian Barat. Ia mengingatkan ke seluruh rakyat Indonesia, khususnya para elite partai politik. Kata Bung Hatta, "whatever might be differences of internal politics, the Irian issues was not among them" (Bone,1958).

Dalam keprihatinan atas politik kepartaian yang terbelah di tahun 1950-an, Bung Hatta mengajak apapun warna bendera partai politik, namun harus satu bahasa dalam hal agenda Irian Barat. Ini memberikan makna untuk hari ini, apapun warna benderanya, namun agenda Tanah Papua adalah soal kebangsaan yang serius sebagai agenda kolektif seluruh anak bangsa.

Kini, kita semua menanti orkestra Indonesia Kerja Bersama untuk Tanah Papua, guna menjawab apakah benar masalah Papua mendekati Magrib. [R]

Penulis adalah pemerhati Papua (pandangan pribadi)
.

Aug 15, 2017

Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka

Selasa, 15 Agustus 2017 – 13:35 WIB
Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka - JPNN.COM

Penulis adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta
 
Yogyakarta, 17 Agustus 1946, menjadi saksi dari amanat Presiden Sukarno ketika memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia menyampaikan renungan, “Tatkala pada 17 Agustus tahun yang lalu kita memproklamasikan kemerdekaan kita dengan kata-kata jang sederhana, - belum dapat kita membajangkan benar-benar apa jang kita hadapi. Kita hanjalah mengetahui, bahwa proklamasi kita itu adalah satu pekik "berhenti!" kepada pendjajahan jang 350 tahun. Kita madjukan proklamasi kita itu kepada dunia sebagai hak asli kita, hak bangsa kita, hak kemanusiaan kita, hak hidup kita, dengan tjara jang setadjam-tadjamnja". 
Perjalanan 72 Tahun Indonesia merdeka adalah sebuah narasi besar yang heroik, dinamis, dan transformatif. Penggalan demi penggalan sejarah telah kita lalui sejak 1945 hingga 2017. Dalam 7 dekade Indonesia merdeka, tidak mudah untuk membangun Indonesia yang majemuk dengan segala kompleksitasnya. Namun, kita patut bersyukur karena ujian demi ujian telah dilalui dengan selamat. Tak salah ketika mengunjungi Indonesia pada awal November 2010, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berujar, "I believe that Indonesia is not only a regional power that is rising, but also the global force".
Apa yang dicapai hari ini adalah sentuhan dan langkah yang telah ditunaikan oleh semua anak-anak bangsa, dari era Presiden Sukarno hingga era Presiden Joko Widodo. 

Transformasi di Era Globalisasi
 
Kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Presiden Sukarno menegaskan, "Di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat".
Generasi 45 dikenang sebagai sebagai generasi emas yang mengubah nasib bangsa ini. Pada titik ini, kita menyimak wajah transformasi Indonesia dalam empat aspek yang strategis. 

Pertama, peran dan profil Indonesia meningkat di panggung global. Wajah kita di dunia internasional ini sangat relevan dengan misi besar kita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia, dan keadilan sosial. 

Peran internasional Indonesia ini tidak terlepas dari prinsip dasar bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia. Prinsip yang digagas oleh Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta, di tahun 1947 dalam pidatonya, "Mendayung di antara Karang" sebagai renungan dalam menyikapi persaingan antara Blok Kapitalisme Barat dan Blok Komunisme Timur. Napas inilah yang melatari Presiden Sukarno dalam menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955. Demikian pula, berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), 8 Agustus 1967, tidak terlepas dari peran penting pemerintahan Presiden Suharto. 

Dalam konteks peran politik luar negeri Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjelaskan peran internasional Indonesia yang telah dijalankan dewasa ini, yakni membangun jembatan dialog antar peradaban (bridge builder), membangun perdamaian (peace maker), membangun konsensus (consensus builder) dan menyuarakan aspirasi dari negara-negara berkembang (voice of the developing world). 

Dari sisi consensus builder, Indonesia berhasil untuk membangun sebuah konsensus global atas dasar visi. Hal itu tercermin ketika negosiasi soal perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim ke-13 yang digelar oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Bali, pada pertengahan Desember 2007. Indonesia juga menjalankan peran sebagai bridge builder. Indonesia memainkan pendekatan soft power untuk membangun jembatan dialog antar peradaban, Barat dan dunia Muslim.
Indonesia juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang (voice of the developing world), baik di Gerakan Non-Blok, G-77, APEC, dan G-20. Suara dari negara-negara berkembang semakin dipromosikan oleh Indonesia ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai co-chair High Level Panel of Eminent Persons untuk merumuskan visi besar dari agenda pembangunan paska 2015. Alhasil, PBB meluncurkan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, menggantikan MDGs 2015. Dan kini, sejak 4 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 

Kedua, Indonesia melakukan transformasi sistem pemerintahan dari model yang sentralistik menuju model desentralistik. Kita mencatat bahwa dinamika hubungan antara Pusat - Daerah menjadi agenda menarik dalam perjalanan 72 Indonesia merdeka. Tarik menarik otoritas, bahkan sejumlah konflik vertikal di daerah-daerah di Indonesia disebabkan oleh perasaan ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara pusat dan daerah. 

Pasca reformasi 1998, ketika itu Presiden B.J. Habibie mengubah hubungan pusat - daerah secara drastis. Ia menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun dengan perkembangan keadaan, pada 15 Oktober 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri mensahkan regulasi baru, menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat - Daerah. 

Setelah berjalan 10 tahun, regulasi otonomi daerah ini ditata kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi 3 undang-undang yang terpisah, baik UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, maupun UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga regulasi itu membuat wajah Indonesia semakin desentralistik. 

Indonesia juga mengelola hubungan pusat - daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Pasca pasca reformasi 1998, Indonesia menghadirkan regulasi khusus untuk Aceh melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 

Namun, konflik yang berkepanjangan di Aceh menjadi sebuah pekerjaan rumah. Dengan pendekatan soft power, akhirnya lahir UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sementara itu, sejalan dengan kebijakan asymmetrical autonomy, akhirnya lahir UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Ketiga, profil ekonomi Indonesia meningkat di panggung global dan regional. Struktur ekonomi Indonesia mengalami transformasi yang pesat. Dalam konteks Asia, ekonomi Indonesia tumbuh dari negara yang terbelakang, akhirnya Indonesia tumbuh sebagai middle-income country, dan berada di posisi ekonomi ke-16 terbesar dunia. 

Demikian pula, perhatian serius ditujukan terhadap penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pembangunan jaminan sosial. Hal itu ditandai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Bahkan, dianggap sebagai sistem Jaminan Kesehatan terbesar di dunia. 

Wajah ekonomi Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari perjalanan panjang fondasi ekonomi nasional dan struktur perencanaan pembangunan nasional sebagai peta jalan pembangunan dari waktu ke waktu.
Di era Presiden Sukarno, terdapat Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebagai haluan negara. Hal ini diikuti dengan pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 1963. Memasuki era Orde Baru, Presiden Suharto lebih menekankan pembangunan nasional yang bertahap secara kaku melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). 

Transisi pemerintahan di tahun 1998 telah berimplikasi terhadap pola pembangunan nasional. Di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri, telah menjadikan dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai haluan dalam mengelola pembangunan. 

Akibat perubahan UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. Mensikapi situasi ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan haluan pembangunan yang dikemas dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 - 2025. 

Sebagai penjabarannya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, menerapkan kerangka kebijakan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang diletakkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2005 - 2009, RPJM 2010 - 2014, dan RPJM 2015 - 2019, dimana salah satu agenda terpenting adalah visi Presiden Joko Widodo di dalam Membangun Indonesia dari Pinggiran. 

Keempat, Indonesia mengalami transformasi menuju kehidupan politik yang demokratis. Demokrasi telah menjadi pilihan yang terbaik. Indonesia telah melewati pemerintahan demi pemerintahan dan telah mengalami kehidupan demokrasi yang beragam tergantung konteks internasional, setting nasional, dan kepemimpinan nasional sejak 1945 hingga 2017. Kita juga berhasil menghadapi ujian demokrasi. 

Di awal transisi demokrasi di tahun 1998, berbagai skenario politik dilabelkan ke Indonesia. Secara ekstrem, Indonesia diproyeksikan mengalami "balkanisasi" dan disintegrasi. Namun, kita secara arif menghadapi transisi demokrasi dan berhasil melakukan konsolidasi demokrasi. Bahkan, di tahun 2004 Indonesia telah melakukan sebuah eksperimen politik terbesar melalui pemilihan Presiden - Wakil Presiden secara langsung.
Komunitas internasional melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Sejalan dengan perubahan politik ini, identitas internasional Indonesia semakin dikenal bahwa demokrasi, modernisasi, dan Islam berjalan seiiring dalam satu tarikan langkah. 

Mengelola Pekerjaan Rumah
 
Dalam rentang panjang selama 7 dekade ini, konteks lingkungan internasional berkembang dan berubah dinamis. Kini dunia internasional lebih berwajah multipolar, tidak lagi unipolar. Menyimak peta seperti itu, Indonesia perlu memainkan peran penting sebagai bridge builder di panggung global dan regional ketika menghadapi isu-isu hubungan internasional yang krusial, seperti potensi konflik di Laut China Selatan, Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Agenda/SDGs), globalisasi, dan arsitektur keamanan yang berubah, serta isu-isu kekinian lainnya. Di level nasional, Indonesia mendapatkan bonus demografi yang dapat bermanfaat dalam pembangunan. Diproyeksikan pada periode 2020 - 2030, bonus demografi ditandai dengan jumlah usia angkatan kerja (15 - 64 tahun) mencapai sekitar 70 persen. 

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, kita masih dihadapkan dengan agenda kebangsaan yang penting, yakni mengelola identitas sosial, multikulturalisme, dan kerukunan sosial. Anggapan benturan peradaban (clash of civilizations) haruslah diubah menjadi kerukunan antar peradaban (harmony among civilizations). Ujian atas toleransi dan kerukunan masih terjadi di Indonesia. 

Kemajuan yang dicapai selama 7 dekade ini merupakan modal terpenting. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang dihadapi ketika kita ingin melunasi janji kemerdekaan. 

Kembali kita menyimak refleksi Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Ia mengajukan sebuah pertanyaan dalam pidatonya itu, "Apakah jang kita miliki pada waktu itu? Pada waktu itu jang ada pada kita hanjalah kehendak, kemauan, djiwa, jang menjala-njala dengan semangat kemerdekaan”.(***)



Aug 7, 2017

PON XX Tahun 2020: Gubernur Enembe Memperluas Redistribusi Pembangunan Berbasis Adat

Oleh: Dr. Velix Wanggai

Hari-hari ini Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua sedang  merumuskan substansi  kebijakan dan program yang tepat dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang terkait dengan dukungan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Tahun 2020 di Provinsi Papua.

Terbitnya Inpres ini sebagai bukti dari sebuah kerja kolektif antara Pusat - Daerah dalam membangun Indonesia dari Pinggiran dalam perspektif keolahragaan.
Di tengah-tengah Sidang Kabinet Terbatas perihal Papua di Kantor Presiden, pada 19 Juli 2017, Gubernur Lukas Enembe sempat menjelaskan ke Presiden Joko Widodo. Gubernur Enembe mengurai olahraga adalah identitas dan talenta yang telah mengalir dalam darah daging orang Papua. Olahraga dalam konteks ke-Papua-an adalah seni, sport is the art.

Menoleh ke belakang di tahun 1970-an ketika Gubernur Acub Zainal sangat getol dengan dunia olahraga, terutama sepakbola.  Misalnya saja, ketika sehari sebelum final Persipura melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976, Acub Zainal mengirim surat ke pemain-pemain Persipura.

Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija  dengan skor 4 - 3.

Identitas dan Olahraga di Panggung Internasional
 
Belajar dari pengalaman di belahan negara lain, olahraga merupakan instrumen dalam membangun solidaritas sosial bangsa.  Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.

Identitas nasional, kebanggaan, dan kepercayaan diri dibangun melalui olahraga dan slogan-slogan yang menyertainya. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream". Kesebelasan Australia, dengan slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History" dan  Ghana berslogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara, Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, slogan, "Heroes play like Greeks", diangkat oleh Yunani (www.cnn.com, 15 Mei 2014).

Kebangkitan Olahraga dan Upaya Redistribusi Pembangunan
 
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama Stadion Utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015. Menurut Presiden Joko Widodo, "Proyek pembangunan venue PON di Papua memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.

Dalam konteks Papua, Gubernur Enembe menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Meepago, Leepago, dan Animha ke dalam pelaksanaan PON XX 2020. Dengan berbasis sosial budaya, dilakukan redistribusi pusat-pusat venues olahraga ke 5 wilayah adat, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura.

Sebagai tuan rumah PON XX, Papua diletakkan sebagai bagian visi "Indonesia-sentris" yang diangkat Presiden Joko Widodo. Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden seputar dukungan kebijakan guna percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, haruslah dilihat sebagai narasi besar mempercepat pemerataan pembangunan ke Kawasan Timur Indonesia, membangun karakter bangsa, memperkuat persatuan dan ketahanan nasional.

*Penulis adalah pengamat pembangunan Papua*

Akankah Thai Kra Canal Mengubah Geopolitik Asia Pasifik?

Dunia  SABTU, 05 AGUSTUS 2017 , 20:34:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI



Ilustrasi/Net

SINGAPURA, kini menjadi hubungan internasional yang sangat strategis dalam arsitektur geopolitik dan geoekonomi Asia Pasifik, bahkan dalam konteks politik ekonomi-keamanan global.  Singapura dengan pelabuhannya di selat Malaka telah memainkan peran sangat strategis yang menyambungkan pergerakan ekonomi dari timur dan barat Singapura.

Namun, dewasa ini, Singapura berada dalam sebuah tantangan, bahkan ancaman baru terhadap posisi strategis Singapura. Tantangan baru yang bisa  mengubah peta ekonomi Asia Tenggara, kawasan Asia Pasifik, bahkan peta ekonomi global. Tantangan itu datang dari gagasan lama perihal Kra Canal atau Thai Canal yang akan membelah dataran negara Thailand yang menghubungkan Teluk Thailand dengan laut Andaman di selatan Thailand. Kra Canal relatif mirip terusan Suez dan terusan Panama.

Jika Kra Canal yang rencana panjangnya sekitar 102 kilometer dengan lebar sekitar 400 meter dan kedalaman 25 meter, maka jalur laut ini akan menghemat waktu perjalanan laut sekitar 1.200 kilometer ketika melewati Selat Malaka.

Ide dan upaya untuk merealisasikan ide Kra Canal hingga saat ini masih menyimpan pro-kontra di antara kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Tentu saja, pihak yang paling dirugikan atas ide Kra Canal ini. Sebaliknya, China sangat getol untuk merealisasikan ide ini karena berfaedah dari sisi geo-politik dan geo-ekonomik China. Demikian pula, Thailand akan terkena imbas positif atas ide Kra Canal ini dengan menggeser peran Singapura ke depan.

Lintasan Sejarah Thai Kra Canal

Gagasan Kra Canal sebenarnya merupakan ide lawas yang muncul di tahun 1667 di era Raja Thailand Narai. Ketika seorang insinyur Perancis De Lamar melakukan survei perihal kemungkinan membangun terusan laut yang menghubungkan Songkhla dengan Marid. Kemudian, di awal abad ke-19, The British East India Company tertarik ide terusan ini namun belum berhasil untuk diwujudkan. Karena belum sepakat dengan ide ini, akhirnya Thailand dan Inggris sepakat di tahun 1897 untuk lebih memilih Singapura sebagai hubungan utama dalam jalur perdagangan laut (www.iims.org.uk, 14/1/2015).

Namun, memasuki abad ke-20, ide Kra Canal tetap hidup dengan beberapa kajian yang menampilkan sejumlah opsi rute dari terusan Kra ini. Di internal politik Thailand, masih terus berdebat soal ide proyek strategis ini. Ada pihak yang tak sepalat dengan mega proyek ini karena mahalnya mega proyek ini dan juga membelah daratan Thailand menjadi 2 wilayah yang terpisah.

Namun, dengan hadirnya Raja baru Thailand, Vajiralongkorn Rama X, tampaknya ia menyambut ide Kra Canal ini. Salah seorang anggota the King's Privy Council, Thanin Kraivichien, mantan perdana menteri Thailand sejak Oktober 1976 hingga Oktober 1977, menulis surat terbuka kepada pemerintah Thailand perihal dukungannya terhadap konstruksi Kra Canal. Ia menilai bahwa Thailand jangan ketinggalan dari bagian perdagangan global dan konektivitas maritim yang terkait dengan China (www.channelnewsasia.com, 13/1/2016).

Dewasa ini Kra Canal ini menyita perhatian kekuatan-kekuatan dunia, baik China, Amerika Serikat, dan Jepang. Pihak China menempatkan proyek Kra Canal ini dalam strategi Silk Road, yang akan menghemat biaya transportasi dan jarak tempuh dari lintasan suplai energi China tanpa melewati Singapura. Silk Road atau Jalur Sutra Abad ke-21 merupakan strategi China di dalam menguatkan pengaruh ekonomi di wilayah di Asia, Eropa dan Afrika.

Bahkan, sebagian pengamat melihat kebijakan Jalur Sutra China dilihat sebagai pertarungan pengaruh geopolitik antara China dan Amerika Serikat. China begitu serius menggarap Jalur Sutra ini yang tercermin dari pelaksanaan One Belt One Road (OBOR) Forum di Beijing, pada pertengahan Mei 2017 lalu. Mega proyek ini memakan biaya sekitar US 28 billion dan rencananya dibangun selama 10 tahun yang melibatkan sekitar 30.000 pekerja.

Bagi China, hampir 80 persen minyak yang dibeli China dari Timur Tengah dan Afrika melewati Selat Malaka. Yang diantipasi adalah ketika konflik terjadi di sekitar Selat Malaka, maka pesaing-pesaing China akan memblokade Selat Malaka sehingga memotong jalur energi China dari Timur Tengah dan Afrika. Mantan Presiden China Hu Jintao menyebut situasi ini dengan istilah "Malacca Dilemma".

Connectography" dari Thai Canal dalam Geopolitik Asia Pasifik

Ketika Thai Canal dibangun, Singapura adalah negara yang paling dirugikan. Bahkan, seorang pemikir terkenal dari Singapura, Parag Khanna, dalam bukunya "Connectography, Mapping the Future of Global Civilization", memprediksi Thai Canal yang menggeser peran Singapura sebagai hub internasional sehingga dapat menghilangkan peran strategis Singapura selamanya (www.straitstimes.com, 30 April 2016. Bahkan, dilaporkan, Thai Cra Canal ini akan mengurangi kontribusi peran pelabuhan Singapura sebesar 7 persen terdahap GDP Singapura (www.financialexpress.com, 29 Februari 2016).

Dalam konteks pemikiran "Connectography", Parag Khanna mengenalkan bagaimana mengaitkan konektivitas dan geografi yang berdampak terhadap masa depan global. Ia memandang, kita akan bergerak ke sebuah era dimana kota-kota akan menjadi penting ketimbang negara dan aliran suplai akan menjadi lebih penting dibandingkan sumber-sumber kekuatan militer. Karena itu, konektivitas yang kompetitif merupakan senjata di abad ke-21. Dalam hal ini, ia menempatkan China telah melukis kembali ide historis Jalan Sutra untuk mengurangi peran strategis Selat Malaka (www.nytimes.com, 9 April 2016).

Tidak hanya dari sisi ekonomi saja kerugian yang dialami Singapura, namun dari sisi geopolitik wilayah, peran Thailand semakin strategis menggeser peran Singapura. Apalagi, saat ini Thailand secara intens memperkuat kerjasama pertahanan dan keamanan dengan China, Rusia dan Eropa.  Militer Thailand mulai menoleh dengan berbagai jenis persenjataan produksi China.
  
Amerika Serikat juga risau dengan ide Kra Canal ini. Menteri Pertahanan AS Donald H. Rumsfeld membedah dokumen Energy Futures in Asia yang memuat strategi baru kekuatan militer melalui jaringan laut dari Timur Tengah ke Laut China Selatan. Dari kajian tim yang dibidani Donald Rumsfeld menyebutkan hal ini sebagai strategi ofensif dan defensif China dalam melindungi  kepentingan energi China, dan juga sebagai bagian dari tujuan militer China (www.washingtontimes.com, 17/1/2005).

Tentu saja, pembangunan Kra Canal ini memiliki dampak di negara-negara Asia Tenggara.  Diperkirakan Myanmar, Kamboja dan Vietnam paling merasakan manfaat dari Thai Canal dalam konteks perdagangan, kawasan industri dan pariwisata. Kota-kota di pesisir Myanmar dan Thailand akan semakin strategis ketika Kra Canal terwujud. Di bulan Mei 2008 lalu, Thailand dan Myanmar bekerjasama untuk membangun sebuah pelabuhan dalam internasional di Dawei yang diperkirakan menjadi bagian penting dari aliran suply di Kra Canal ini.

Bagi Vietnam, Kra Canal akan memotong secara signifikan jalur kapal yang selama ini melewati Singapura. Akses yang lebih cepat ke Vietnam melalui Kra Canal ini menjadi sebuah insentif ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi Vietnam yang ekonominya tergantung dari akses laut.

Visi Maritim Indonesia dalam Geopolitik yang Berubah

Bagi Indonesia, ide Thai Kra Canal menjadi momentum untuk mereview profil regionalnya di kawasan Asia Tenggara.

Paling tidak, ada beberapa poin penting yang perlu disikapi Indonesia.

Pertama, memaknai kembali visi Indonesia sebagai salah satu pusat poros maritim dunia. Karena itu, patut diapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Saatnya pendekatan baru ini dibumikan dalam semua sisi pembangunan dan kehidupan bangsa dan negara.

Kedua, perlunya membumikan pendekatan maritim yang terletak dalam visi Kementerian Luar Negeri tahun 2015 - 2019, yakni "Terwujudnya Wibawa Diplomasi guna Memperkuat Jati Diri Bangsa sebagai Negara Maritim untuk Kepentingan Rakyat".

Indonesia harus lebih kreatif untuk mengoptimalkan Asosiasi Negara-negara Lingkar Samudera Hindia, Indian Ocean Rim Association (IORA). Padang Komunike dan Kerjasama Maritim yang ditandatangani di Padang, Sumatera Barat, 25 Oktober 2015 menjadi fondasi Indonesia.

Puncaknya, Indonesia telah berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IORA pada 6-7 Maret 2017. Alhasil, berhasil disepakati "Jakarta Concord" yang berisi 6 poin utama, salah satunya kerjasama blue economy, perdagangan, investasi dan perikanan.

Ketiga, dalam konteks sistem distribusi dan logistik nasional dan internasional. Sudah saatnya perlu diperkuat fungsi  pelabuhan Sabang sebagai penghubung internasional (international hub port).  Kejayaan masa lalu Aceh dengan Sabang sebagai internasional hub perlu direvitalisasi sebagaimana pendekatan Jalan Sutra, Silk Road yang dikembangkan dewasa ini. Modal historis dikemas dalam konteks kekinian guna pertumbuhan ekonomi dan profil internasional Indonesia.

Keempat, yakni a new cold war antara Thailand dan Singapura perlu disikapi oleh Indonesia secara arif. Disinilah, Indonesia perlu mengedepankan pendekatan geopololitics of cooperation guna menjauhkan kawasan Asia Tenggara dari geopolitics of conflict. Disinilah, ASEAN menjadi sarana untuk memediasi ide besar dari Thai Canal, dan sejauhmana dampaknya bagi negara-negara di seputaran Selat Malaka.

Kelima, dalam konteks visi "Indonesia-sentris", atau Membangun dari Pinggiran, sudah saatnya Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman perlu untuk mereview kebijakan pembangunan kewilayahan seperti kawasan ekonomi khusus atau kawasan industri serta kawasan strategis lainnya yang terletak di bagian utara Sumatera, pantai Barat dan pantai timur Sumatera.

Perhatian perlu ditujukan ke KEK Arun di Aceh, KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara, KEK Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, kawasan Sibolga sebagai "Barus Road" yang pernah terkenal ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Demikian pula, perhatian ditujukan ke kawasan industri Tanjung Buton di Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan kawasan Kuala Langsa di utara Aceh. Peran sejarah pelabuhan Kuala Langsa menjadi fondasi bagi aliran suplai ke Selat Malaka.

Terakhir (enam), adalah Indonesia perlu melihat secara kritis pendekatan Silk Road-nya China atau One Belt One Road (OBOR). Tidak hanya dari sisi manfaat ekonomi dan peluang investasi yang mengalir ke Indonesia saja, namun perlu dicermati pula sisi "sphere of influence" yang dibangun China sebagai konsekuensi dari peran dingin baru "new cold war" antara China dan Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik.

Sebagai penutup kata, terasa tepat konsep Connectography yang dikembangkan pakar strategist di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Parag Khanan, bahwa faktor konektivitas dan geografi akan membentuk wajah baru urusan-urusan global. Artinya, ide dan aksi nyata Thai Canal sedikit banyak mempengaruhi geopolitik Asia Pasifik, bahkan arsitektur keamanan (energi) dunia. [***]

Penulis adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta

Jul 30, 2017

PON XX 2020: Olahraga dan Identitas Kepapuaan

MINGGU, 30 JULI 2017 , 20:07:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI


Foto/Net

KETIKA Sidang Kabinet Terbatas tentang Papua di Kantor Presiden, pada 19 Juli 2017, Gubernur Lukas Enembe menyempatkan diri menceritakan kepada Presiden Joko Widodo bahwa olahraga dan seni adalah identitas dan talenta yang telah mengalir dalam darah daging orang Papua yang mengangkat kebanggaan orang Papua. Pernyataan Gubernur Enembe penuh makna yang mendalam.

Syukur, ketika orang Papua terlahir di muka bumi, jiwa dan talenta olahraga telah melekat dalam dirinya. Bagi orang Papua, olahraga juga sebagai seni yang tumbuh subur dalam masyarakat Papua. Hal ini sejalan pula dengan berbagai teori yang menggambarkan olahraga adalah bentuk dari seni sebagai ekspresi dari ketrampilan yang kreatif dan imaginasi dari setiap individu, yang memproduksi emosi dan spirit. Karena itu, olahraga adalah skill, kreativitas, emosi, dan imaginasi.

Menyadari realitas sosial itu, Gubernur Acub Zainal di awal tahun 1970-an, memberikan perhatian ke pengembangan olahraga. Ia memprakarsai pemugaran Stadion Mandala menjadi stadion yang memiliki tribun dan layak dalam berbagai pertandingan nasional. Tidak hanya itu saja, Acub Zainal juga membangun Gedung Olahraga (GOR) Jayapura yang terletak di tengah kota Jayapura. Bahkan, kecintaannya kepada sepakbola begitu tinggi.

Walaupun Acub Zainal tidak bertugas di Papua lagi di tahun 1976, ia mengirim sebuah surat dari Bandung, pada 18 April 1976, sehari sebelum final melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976.

Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija dengan skor 4 - 3.

Olahraga dan Identitas di Panggung Global

Belajar dari pengalaman di belahan negara-negara lain, olahraga memiliki karakter yang melintasi batas-batas wilayah budaya dan politik. Sepakbola menjadi identitas rakyat di Amerika Latin karena bertolak dari kesamaan sejarah atas penderitaan atas penjajahan dan situasi ekonomi yang sulit.

Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.

Demikian pula, China juga menganggap olahraga sebagai sarana untuk membangun kebanggaan bagi wajah baru China di panggung global. Setelah China tidak mengikuti Olimpiade selama 30 tahun, akhirnya China mengambil bagian dair Olimpiade tahun 1984. Kemenangan yang diraih oleh atlet-atlet China menggambarkan sebuah China baru yang penuh dengan harapan, keterbukaan, dan spirit. Dengan kekuatan ekonomi, sekolah-sekolah olahraga dibangun dengan kompetisi yang teratur. Alhasil, China meraih rangking pertama dalam Olimpiade 2008 yang digelar di China.

Identitas nasional dibangun melalui olahraga adalah sumber terpenting di dalam membangun kebanggaan nasional, apapun rezim politiknya, baik demokratis atau rezim otoriter. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream". Slogan-slogan selama piala dunia juga mencerminkan semangat, kepercayaan diri, dan kebanggaan nasional.

Kesebelasan Australia, mengangkat slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History". Ghana dengan slogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, Yunani mengangkat slogan, "Heroes play like Greeks" (www.cnn.com, 15 Mei 2014).

Senada dengan berbagai slogan dari negara-negara tersebut, dalam pembukaan Piala Presiden di Sleman, Yogyakarta, pada 4 Februari 2017, Presiden Joko Widodo juga menekankan, sepakbola kita menjadi sepakbola yang mempersatukan.

Talenta Papua dan Kebangkitan Olahraga
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama stadion utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan, "Proyek pembangunan venue PON di Papua ini memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menambahkan pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.

Dalam konteks Papua, olahraga adalah talenta orang Papua. Menjadi rahasia umum, Papua telah melahirkan bibit olahraga di berbagai cabang olahraga. Untuk mengangkat talenta-talenta yang tersebar di berbagai daerah di Papua, Gubernur Enembe adalah mengakomodasi pendekatan pembangunan berbasis sosial budaya dengan menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Laapago, Meepago dan Animha. Harapannya, kearifan lokal, potensi sumber daya manusia dan potensi alam didekati dan dikembangkan dalam konteks kebijakan teknokratis.

Pendekatan berbasis 5 wilayah adat ini menjadi dasar bagi penentuan 5 kluster dari tuan rumah cabang-cabang olahraga selama PON XX tahun 2020 di Papua, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura. Dalam skenario ini, ada redistribusi pemerataan pusat-pusat olahraga dan ekonomi wilayah sebagai imbas tuan rumah dari sejumlah cabang olahraga.

Papua sebagai tuan rumah juga dapat ditempatkan sebagai bagian dari strategi membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam pandangan Gubernur Enembe, PON di tanah Papua harus diletakkan sebagai komitmen Pemerintah di dalam membangun Indonesia dari pinggiran, sebagaimana visi besar yang diangkat Presiden Joko Widodo.

Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden perihal percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, sebagaimana hasil Sidang Kabinet pada 19 Juli 2017, dilihat sebagai upaya mempercepat redistribusi pembangunan dan sebagai upaya mengurangi kesenjangan pusat-pusat olahraga antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

Melalui Inpres PON ini, sejumlah langkah-langkah kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga diarahkan untuk mendukung persiapan dan penyelenggaraan PON.

Dengan cara ini, PON tidak hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja, namun menjadi kerja kolektif baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Misalnya saja, sejumlah Kementerian Pariwisata bertugas untuk mempromosikan berbagai destinasi wisata Papua di berbagai forum internasional dan nasional. Juga, kementerian komunikasi dan informasi mendorong pembangunan jaringan telekomunikasi di berbagai daerah di Papua. Begitu juga, Kementerian PUPR menyiapkan berbagai infrastrukur dasar guna mendukung kawasan-kawasan di lokasi PON.

Dengan demikian, PON XX Tahun 2020 di Papua adalah sebuah langkah besar untuk mewujudkan janji, harapan, dan visi besar dari UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Harapannya, PON di Papua merupakan strategi dalam menjamin pemerataan akses olahraga, menguatkan kepribadian yang bermartabat dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperkukuh ketahanan nasional. [***]

Penulis adalah mantan Staf Khusus Presiden dan Direktur Eksekutif The Institute for Regional Institutions and Networks (IRIAN Institute)

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...