Dec 31, 2010

Natal di Jayapura

Oleh: Velix Vernando Wanggai
(dimuat di harian Jurnal Nasional, 30 Desember 2010)

Di penghujung tahun 2010 ini saya sengaja pulang kampung dan menikmati suasana Natal di Kota Jayapura. Terdapat spanduk dari Kodam Cenderawasih tertulis "Natal Membawa Kasih dan Damai", tentunya bagi Tanah Papua. Pesan di spanduk itu penting di Hari Natal 2010 ini karena di wilayah ini sering terjadi konflik politik yang mengganggu stabilitas keamanan di Bumi Cenderawasih.

Perayaan Natal di Jayapura dan Papua pada umumnya diwarnai kebaktian di gereja-gereja, nyala lilin dan hiasan "pohon terang" (pohon natal) di ruang terbuka maupun di rumah-rumah warga Kristiani. Saling mengunjungi dan mengucapkan Selamat Natal antarsesama keluarga sambil menikmati hidangan minuman dan kue-kue ringan merupakan kebahagiaan tersendiri yang masih saya jumpai saat ini.

Sebagai Muslim, tidak ada halangan bagi saya untuk menikmati hidangan yang tersaji di kala saya dan keluarga bersilaturahmi ke handai tolan dan keluarga Kristiani di kota ini. Al Quran pada Surat Al-Baqarah, Ayat 285 menegaskan bahwa seorang mulim tidak membeda-bedakan satu pun Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan kepada umat manusia.

Semua Nabi dan Rasul Tuhan itu diimani oleh setiap muslim. Isa al-Masih diimani oleh kaum muslim sebagai bagian dari ajaran inti Islam. Doa Isa al-Masih dalam Al Quran, Surat Maryam ayat 33 berbunyi : "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitan hidup kembali". Keberadaan Isa al-Masih menurut iman Islam atau Yesus Kritus menurut iman Kristen seperti dikisahkan dalam Injil Matius 1 : 21-25 sebagai Juru Selamat.

Teks Al-Kitab diatas mempertautkan kesamaan pandangan bahwa kehadiran para Nabi dan Rasul Tuhan adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa. Itulah misi utama para nabi dan rasul Tuhan yang kita imani bersama. Tetapi yang terpenting dari rasa syukur atas kedatangan para Juru Selamat manusia itu tidak perlu dengan kemewahan yang berlebihan. Sebab, bisa jadi kemewahan yang ditampilkan adalah refleksi dari kesombongan dan keangkuhan.

Etika Papua

Di hari Natal, kami mengunjungi keluarga yang merayakannya seperti halnya mereka mengunjungi kami sewaktu Lebaran. Momentum keagamaan seperti itu menjadi media silaturahmi yang efektif kaum muslim dan kristiani di Papua. Sayang sekali, terkadang perbedaan keyakinan "dipakai" sebagai titik awal konflik di masyarakat kita.

Kita patut belajar dari Tanah Papua bahwa konflik bernuansa SARA yang terjadi pada satu dekade lalu di beberapa wilayah di Tanah Air tidak sampai merambat ke Tanah Papua. Konflik SARA tidak terjadi dan Insya Allah tidak akan pernah terjadi di Tanah Papua karena di sana terdapat ikatan persaudaraan abadi atas nama adat.

Adat telah mempersatukan manusia Papua yang berbeda keyakinan keagamaan dalam ikatan toleransi dan rasa hormat yang tinggi. Ikatan sosial dalam satu marga (fam), satu klan (keret), satu suku atau bahkan tak memiliki hubungan darah maupun suku sama sekali terasa sangat kuat.

Nilai-nilai tentang rasa hormat yang tinggi, mengasihi dan bertegur sapa antarsesama adalah ciri manusia Papua. Justru dianggap aneh bahkan mungkin dikategorikan sombong apabila ada manusia Papua yang ditegur oleh sesama Papua ketika bertemu atau berpapasan di jalan tetapi yang bersangkutan tidak memberi respons apa-apa. Sikap yang demikian itu pada dasarnya bukan etika Papua.

The Golden Rule

Merayakan Natal dengan menumbuhkan sikap kasih sayang dan toleransi yang dikhotbahkan para pendeta dan pastor juga menjadi semangat keagamaan yang sering dikhotbahkan para tokoh-tokoh agama yang lain di Indonesia jangan hanya sebatas ruang ibadah saja tetapi harus terwujud dalam aksi sosial bangsa Indonesia.

Sepanjang tahun 2010 kita diperhadapkan pada suasana dimana sebagian warga bangsa hidup penuh ketakutan. Di beberapa tempat muncul teror dan intimidasi dari sebagian kelompok masyarakat kepada sebagian kelompok masyarakat lainnya. Kita masih menemukan gejala pemaksaan kehendak. Ada kelompok yang ingin menang sendiri atau menganggap diri sendiri yang benar dan yang lain salah. Ada juga kelompok masyarakat yang bertindak anarkis atas nama etika dan moral keagamaan. Kondisi brutalitas dan niretika sosial ini memperlemah komitmen kebersamaan dalam berbangsa dan merusak tatanan peradaban kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam konteks Natal 2010 ini, Presiden SBY menyerukan umat krstiani untuk kembali pada "the golden rule" yang berbunyi : "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Pesan suci ini terutama untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di Wasior, Mentawai, dan Merapi beberapa waktu lalu.

Besok kita akan menutup tahun 2010 sekaligus membuka lembaran hidup baru di tahun 2011. Sikap hidup yang demikian itu akan memupuk solidaritas kita sebagai bangsa dan menyuburkan toleransi hidup beragama dalam kehidupan bangsa yang harmonis.

Dec 30, 2010

Media Asing Bahas Perpindahan Ibu Kota

Rabu, 29 Desember 2010 | 03:09 WIB

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWANI lustrasi

KOMPAS.com - Wacana perpindahan ibu kota Indonesia, Jakarta, didiskusikan oleh media terkemuka di Prancis dan Inggris, masing-masing Le Monde dan The Guardian, Selasa (28/12/2010).

The Guardian menerbitkan ulang publikasi di Le Monde. Disebutkan, Jakarta sekarang sudah sangat tercemar, dan kelebihan penduduknya membuat orang-orang berpikir sudah mencapai titik jenuh.

Sejumlah orang menilai, Jakarta sebagai lawan mutlak dari pembangunan yang harmonis, sebuah karikatur dari kota metropolis dengan segala penyakit kehidupan perkotaan di negara-negara berkembang.

Inilah, katanya, kota terbesar sejagat yang tak punya sistem transportasi bawah tanah. Sekitar 9,6 juta orang tinggal di kota ini, tetapi pada siang hari meningkat tiga kali lipat dengan masuknya 3 juta orang dari pinggiran kota.

Pergerakan lalu lintas rata-rata hanya 13 km per jam, dan menurut beberapa statistik, orang-orang dapat menghabiskan waktu tiga atau empat jam sehari dalam kemacetan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengusulkan satu-satunya solusi adalah memindahkan ibu kota ke tempat lain, gagasan yang pertama kali disodorkan oleh Presiden Sukarno (ia sendiri menolak ejaan "Soekarno" guna menggusur pengaruh ejaan Belanda).

Kini, SBY mengulang lagi gagasan itu dengan memindahkan kantor kepresidenan, layanan publik, pemerintahan, parlemen dan seluruh instansi ke tempat baru sejauh sekitar 1.000 Km di Kalimantan.

Namun, mengutip Velix Wanggai, staf khusus Presiden SBY soal pembangunan daerah, Le Monde menyebutkan, gagasan besar yang membutuhkan satu generasi untuk mewujudkannya itu, hanya salah satu pilihan.

SBY meminta Velix Wanggai dan timnya untuk mempertimbangkan tiga kemungkinan menyelamatkan Jakarta. Pertama, pemerintah bertahan dan mengatasi urbanisasi yang tak terkendali.

Pilihan kedua, hanya pemerintah pusat yang akan dipindahkan, entah ke Jawa atau Kalimantan. Jakarta akan tetap menhadi pusat bisnis dan ibu kota administratif.

Pilihan ketiga adalah yang paling radikal, memindahkan total ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang sebagian besar masih berhutan. Wanggai semabri tersenyum menyebutkan, ia dan bosnya, SBY, lebih menyukai skenario ketiga.

Selain mengutip Wanggai, Le Monde juga mewawancarai Sonny Keraf, professor filsafat dan bekas Menteri Lingkungan Hidup semasa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001).

Dikutip pula pendapat Andrinof Chaniago, pengamat politik dan sosial dari Universitas Indonesia dan pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya. Pendapat mereka sudah banyak dikutip media dalam negeri, termasuk KOMPAS.com.

Editor: yuli Dibaca : 5456

Dec 29, 2010

Overstretched Jakarta's future as Indonesia's capital is in doubt

Can Indonesia's capital be made more livable – or must it be moved?

* Bruno Philip, Guardian Weekly,
Tuesday 28 December 2010 14.00 GMT


(Photo: Jakarta offices slums Newly constructed apartment and office buildings dominate the skyline of Indonesia's capital Jakarta. Photograph: Enny Nuraheni/REUTERS)

Jakarta is so polluted and overpopulated that people are beginning to think it has reached saturation point. Some see the capital of Indonesia as the absolute opposite of harmonious development, a caricature of the unbearable metropolis with all the ills of urban life in emerging countries. It is the world's largest city without an underground transport system. Some 9.6 million reside here but during the day the population rises by almost a third, with the influx of 3 million people from the suburbs. Road traffic moves at an average speed of 13km/h and, according to some statistics, you can easily spend three or four hours a day gridlocked. The congestion costs around $2.5bn a year in lost production.

Indonesia's president, Susilo Bambang Yudhoyono, recently suggested the only solution was to move the capital, an idea first aired by President Sukarno, who led the country to independence in 1945. The most ambitious project would involve moving the presidency, civil service, government, parliament and all the national institutions from the island of Java, on which Jakarta stands, to the Indonesian part of Borneo, about 1,000km to the north-east. According to Velix Wanggai, the president's special adviser on regional development, this big idea, which would take about a generation to realise, is just one of the available options.

Yudhoyono has asked his team to consider three possible scenarios for saving Jakarta. Under the first, the government would stay put and confront the challenge of uncontrolled urbanisation. It would try to improve the existing situation, rather than turning its back on the problem. Under the second, only the central government would move out, either elsewhere on Java or to Kalimantan, Borneo. Jakarta would remain the business and administrative capital, as part of the slow and painful devolution process currently under way.

The third and most radical solution would be to transfer all the capital's key attributes to Palangkaraya, the main town of Kalimantan province, part of which is still covered by jungle. For the time being, Wanggai says, the decision is still wide open but his smile suggests that he, and maybe his boss, prefer the third scenario – however far-fetched it may seem.

"Jakarta has reached the limits of what it can absorb. There is just no more space for urban development. This situation has a high social, economic and psychological cost," says Sonny Keraf, a professor of philosophy and former environment minister under Abdurrahman Wahid, president from 1999 to 2001. Andrinof Chanagio, a professor of political and social science at Universitas Indonesia, endorses this view: "If a political decision isn't taken in time, we will be heading straight for a major social explosion."

The possibility of moving the capital has prompted debate and controversy. Opponents laugh at the idea, arguing that the notion of reinventing a symbol of power on virgin territory would be more appropriate for an authoritarian regime, which Indonesia no longer is.

Marco Kusumawijaya, a planner and founder of Rujak, a non-government organisation advocating a sustainable future for cities and regions, condemns the cliches associated with Jakarta. "It's true the population has increased, but it is quite wrong to say the urban fabric is denser. In fact, it's the opposite: rising population goes with urban sprawl and more suburbs," he says. "It is also wrong to claim there are too many cars per capita. In Jakarta there are 250 cars per 1,000 people, compared with 800 in the United States. The real problem is that people use their cars too often in one day because of the shortcomings of the transit system."

He admits there are no easy answers. Plans to build a monorail link and a subway system are still being discussed. In 2009 Japan's international co-operation agency gave the go-ahead for a loan at preferential rates to fund much of the subway. Priority bus lanes have also been laid out along main roads, but car drivers often disregard the rules.

Kusumawijaya does not believe the president's projects will be enough to make Jakarta liveable. "The bus lanes are a good idea, but badly managed," he says. "The monorail will only serve the city centre, doing nothing to help people in the suburbs, and the subway will not be finished before 2016."

If, as the experts suggest, the answer is to improve the existing city rather than moving into the jungle, incentives will be needed to draw the middle classes back into the city centre. Just as elsewhere, high rents have driven many away – and the proliferation of lavish shopping malls has fuelled property speculation.

"We have to rethink the way we use land, encourage people to move back and stop building tower blocks," Kusumawijaya says. "We must combat the idea that Jakarta is no longer worth bothering with."

This article first appeared in Le Monde

Dec 24, 2010

SUASANA YOGYA

(Oleh: Velix Wanggai, dimuat di Jurnal Nasional, 23 Desember 2010)

“Pulang ke kotamu,
Ada setumpuk haru dalam rindu,
Masih seperti dulu,
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna,
Terhanyut aku akan nostalgi,
Saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana Yogya.” (Kla Project, Yogyakarta)



Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUKY) yang saat ini telah berada di tangan DPR diharapkan dapat segera dibahas setelah masa reses DPR bulan Januari 2011 nanti. Pengesahan keistimewaan Yogya akan mendapatkan momentumnya di awal tahun baru 2011 dengan semangat dan paradigma baru.

Filosofi utama RUUKY adalah negara mengakomodasi prinsip keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan kewenangan khusus. Keistimewaan Yogya bukan hanya persoalan kedudukan, masa jabatan dan mekanisme suksesi kepemimpinan di daerah itu tetapi meliputi berbagai aspek. Karena tujuan paling vital dari keistimewaan Yogya itu adalah kesejahteraan rakyat Yogya. Apakah status “istimewa” mampu mendatangkan kesejahteraan (dalam pengertian yang luas) bagi rakyat Yogya atau tidak? Inilah pertanyaan yang mendasari pembangunan Yogyakarta ke depan.

Pekerjaan rumah saat ini adalah konsentrasi untuk memastikan bahwa elemen-elemen kesejahteraan yang terkandung di dalam RUUKY ini harus menjadi prioritas pembahasan di legislatif. Kita sangat optimis, bahwa “pasal-pasal kesejahteraan” di dalam RUU dapat “dipelototi” secara cermat oleh para legislator tanpa terhalang oleh suasana intrik politik sesaat.

Tetap Istimewa

Polemik soal Yogya beberapa waktu lalu hampir saja ngelantur tak tentu arah. Seolah-olah Pemerintah tidak menghormati keistimewaan Yogya atau bahkan seolah-olah pemerintah hendak menghapus keistimewaan Yogya. Bahkan ada yang menghubung-hubungkan terjadi conflict of interest antara Presiden SBY dan Sultan HB X. Padahal Presiden SBY sendiri di depan Pak Sultan HB X beberapa waktu lalu menyatakan bahwa antara beliau dan Pak Sultan HB X tidak ada apa-apa.

Presiden mengungkapkan bahwa beliau adalah bagian dari Yogyakarta sehingga tidak mungkin beliau mengkhianati warisan sejarah itu. Baginya, Yogyakarta tetap memiliki keistimewaan dari sisi politik maupun kultural, sehingga pelembagaannya secara konstitusional memerlukan berbagai perspektif. Disamping perspektif keistimewaan Yogya, juga perspektif konstitusi dan demokrasi.

Modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat Yogyakarta telah berlangsung beberapa dekade lalu hingga kini, tetapi Yogya tetap Yogya. Resesi ekonomi global yang berdampak bagi perekonomian Indonesia pada satu dekade lalu tidak menggoyahkan perekonomian lokal Yogyakarta. Karena Yogya memiliki ketahanan ekonomi yang bertumpu pada tiga pilar utama yakni budaya, pariwisata dan pendidikan.

Dari tiga pilar itu, Yogya menjadi trendsetter industri kreatif di Indonesia. Keberadaan industri kreatif yang berbasis UMKM terbukti menunjukkan ketangguhan Yogya menghadapi berbagai tantangan. Hemat saya, aspek-aspek sosio-kultural ini adalah bagian dari keistimewaan Yogya yang patut menjadi bahan orientasi berpikir para politisi. Sayang sekali aspek-aspek diabaikan dan yang dimunculkan adalah bagian-bagian yang mengundang polemik. Akhirnya banyak energi terbuang percuma dan permasalahan bangsa tidak terpecahkan secara cepat dan tuntas.

Secara pribadi, saya ingin mengetengahkan kesan saya tentang Yogya yang mungkin juga merupakan bagian dari keistimewaan kultural Yogya. Keistimewaan dimaksud adalah kedamaian, ketenteraman dan cinta. Kurang lebih empat tahun belajar di Yogya pada awal era 90-an, saya dapat mencatat tiga hal penting, yakni kemudahan, keramahan, dan kemurahan.

Para mahasiswa dapat dengan mudah menjangkau kampus UGM di Bulaksumur dari arah mana saja, disamping banyak yang indekos dekat kampus. Jika kita berada di Malioboro yang terletak di jantung kota atau menyusuri perkampungan di wilayah DIY, kita akan memperoleh keramahan penduduknya yang tulus tanpa henti. Tak kalah mengesankan adalah jajanan makanan yang murah untuk ukuran kantong mahasiswa.

Sebenarnya masih banyak faktor yang bisa dicatat tentang keistimewaan Yogya itu. Tetapi yang membuat Yogya tetap istimewa di hati saya – dan mungkin juga yang lain – adalah karena di kota gudeg inilah saya menemukan pasangan hidup.

Semoga proses legislasi RUUKY di DPR nanti diliputi suasana persaudaraan yang damai dan menenangkan bak suasana Yogya. Kedamaian yang menenteramkan hati itu tidak saja terjadi di Senayan tapi yang terpenting adalah melegalisir suasana Yogya di Senayan.

Dec 17, 2010

Menyapa Surabaya

Oleh : Velix Wanggai (dimuat di harian Jurnal Nasional, Kolom Spektra, 16 Desember 2010)


Jawa Timur menyambut dengan ramah kedatangan Presiden SBY. Dan, hari Selasa, 14 Desember 2010, menjadi momen yang bersejarah bagi ITS. Kampus ini hadir dengan nilai-nilai perjuangan kemerdekaan Indonesia. ITS hadir untuk menjawab tantangan dan peluang sesuai konteks dan masa. Untuk menghadapi masa depan, dalam bahasa Presiden SBY, beliau menunggu ITS dan ITB ”ngamuk” untuk meningkatkan kontribusi teknologi yang inovatif dan kreatif bagi Indonesia yang lebih baik.


Dalam kuliah umum ini, tema besar yang diangkat adalah "Teknologi, Ekonomi, dan Masa Depan Indonesia". Dua pertanyaan besar yang diangkat oleh Presiden SBY. Pertama, apa cita-cita dan wajah Indonesia di masa depan? Kedua, kontribusi apa yang bisa dihadirkan oleh ITS, termasuk para pihak di bidang teknologi?

Membangun Indonesia haruslah dengan semangat optimis dan harus bisa. Ke depan, kita ingin Indonesia menjadi negara maju dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai cita-cita sebagai negara maju, kita memiliki kekuatan sumber daya dan perkembangan pembangunan yang semakin meningkat. Beberapa lembaga asing memotret wajah Indonesia yang semakin baik, kuat dan prospek. Indonesia sebagai salah satu emerging country, diproyeksikan akan mengikuti Brazil, Rusia, China dan India.


Dalam menggapai cita-cita ini, Presiden SBY menekankan bahwa kita telah memadukan pendekatan yang komprehensif. Kita integrasikan pendekatan berbasis sumber daya alam, pengetahuan, dan budaya. Dalam konteks desain besar ekonomi nasional, Presiden memperkenalkan strategi 'eco-social market economy', yang dikenal sebagai strategi pembangunan ekonomi pasar sosial yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya kuat dan berkelanjutan, namun pertumbuhan ekonomi yang inklusif, merata, dan berkeadilan. Kita memadukan mekanisme pasar dan peran negara yang tepat. Keduanya saling terkait, mendukung, dan saling melengkapi.


Ke depan, tiga agenda utama yang kita kembangkan secara terpadu, fokus dan terukur. Pertama, mengembangkan sektor-sektor unggulan yang meliputi antara lain pertanian, kelautan, energi dan pangan, infrastruktur, pariwisata, UKMK, dan teknologi yang inovatif dan kreatif. Kedua, mendorong pengembangan wilayah-wilayah strategis yang berdampak pula bagi percepatan pembangunan wilayah-wilayah tertinggal. Dalam lima tahun ke depan, 2010-2014, Presiden SBY berkomitmen untuk mendorong sentra-sentra ekonomi baru di pulau Sumatera, Sulawesi, Papua, Kalimantan, kepulauan Maluku, serta kepulauan Nusa Tenggara. Namun, seiiring dengan hal itu, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi pulau Jawa-Bali, serta mengurangi disparitas antara desa-kota maupun antara wilayah Utara Jawa dan wilayah Selatan Jawa. Ketiga, agenda nasional untuk menata Jakarta sebagai ibukota Jakarta, maupun membenahi kawasan Jabodetabek sebagai sentra ekonomi. Dengan peran yang multi-fungsi dewasa ini, Jakarta menanggung beban yang tinggi. Akibatnya, sederet persoalan yang perlu dipecahkan, apakah soal banjir, macet, degradasi lingkungan, tata ruang, urbanisasi, maupun kemiskinan perkotaan. Karena itu, Presiden SBY mengajak civitas akademika di ITS untuk turut memikirkan solusi yang arif dan menyeluruh atas persoalan Jakarta ini.


Pertanyaannya kini, apa kontribusi dari kaum teknolog? Tentu, dengan perkembangan ekonomi dunia, nilai-nilai inovatif dan kreatif merupakan kemudi penting dalam persaingan ekonomi. Agar ITS ”ngamuk”, Presiden SBY mengajak ITS, ITB, dan kaum teknolog lainnya, untuk memikirkan tujuh agenda penting yang perlu diselesaikan. Agenda tersebut adalah mewujudkan ekonomi nasional yang lebih efisien, meningkatkan nilai-nilai persaingan yang sehat, dan memperkuat ekonomi kreatif yang memadukan seni, teknologi dan nilai tambah. Selain itu, perlu kita pikirkan agenda untuk mengembangkan domestic connectivity, memperkuat teknologi pertahanan, dan mengembangkan techno-entrepreneur. Terakhir, Presiden SBY mengajak ITS untuk memikirkan soal Jakarta. Saatnya ada solusi yang arif, bijaksana, dan komprehensif atas berbagai soal di ibukota negara ini. Saatnya menunggu ITS ”mengamuk” demi kemajuan Indonesia.

Dec 14, 2010

Presiden : Pastikan Perusahaan Pengirim TKI Profesional

Agung Kuncahya B.

Jurnas.com | PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono meminta para bupati dan walikota untuk mendatangi setiap Perusahaan Jasa Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di kabupaten/kotanya masing-masing. Tujuannya untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan itu menjalankan tugasnya dengan benar, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut disampaikan Presiden SBY saat meninjau PT. PJTKI Perwita Nusaraya di Jalan Raya By Pass Km 31, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (14/12) sore.

Turut serta mendampingi Presiden, Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono, Menko Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menpora Andi A Mallarangeng, Meneg PP dan Perlindungan Anak, Linda Agum Gumelar, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi dan Pembangunan Daerah, Velix Wanggai dan Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha. Hadir pula Gubernur Jawa Timur, H Soekarwo, Wakil Gubernur Jatim Saefullah Yusuf dan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat.

Presiden meminta, bila ada PJTKI yang harus dibantu, mesti diberikan bantuan atau fasilitasi. "Tetapi kalau ada penyimpangan atau pelanggaran harus mendapatkan tindakan yang tegas," katanya.

Presiden mengatakan, dari sisi dalam negeri, pemerintah telah memperbaiki Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, kebijakan dan programnya. "Kita bikin lebih baik. Meskipun tiap tahun kita perbaiki, muncul lagi masalah. Kasus tertentu itu yang kita harus melakukan perbaikan-perbaikan selanjutnya. Perbaikan tidak akan pernah berhenti sebagaimana kehidupan nyata selalu muncul masalah. Masalah datang dan pergi. Satu diatasi, Masalah lain muncul. Tidak perlu cemas dan tidak perlu kita menggerutu. Kita harus hadapi dan kemudian kita atasi," kata SBY.

Diakui Presiden, banyak permasalahan dalam negeri yang harus diperbaiki dan dibenahi, baik dari sisi pemerintah maupun sisi non pemerintah. Bila itu telah dilakukan, maka selanjutnya melakukan diplomasi, dan kerjasama dengan semua negara dimana putera-puteri Indonesia bekerja di negara-negara tersebut. "Harus transparan, harus sama-sama bertanggungjawab, harus jelas perjanjiannya," katanya.

Menurut Presiden, banyak yang harus selesaikan dengan negara-negara penerima tenaga kerja. Oleh karena itu, harus berdiplomasi, mencari atau berikhtiar dengan gigih. "Mereka tidak tunduk pada UU kita, tunduk pada UU-nya," kata Presiden.

Namun, lanjut Presiden, antara Indonesia dengan negara penerima harus ada transaksi take and give. "Mereka beruntung mendapatkan tenaga kerja termasuk dari Indonesia. Kita atau saudara beruntung untuk mendapatkan pekerjaan. Sama baiknya sebetulnya, karena sama baiknya, sama menguntungkan maka harus jelas perjanjian dan tanggung jawabnya masing-masing," ujar Presiden.

Namun, Presiden bersama Ibu Negara mengaku prihatin dan sedih karena masih ada muncul kasus-kasus yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Dari 4 juta jumlah TKI di luar negeri, sekitar 0,1 persen yang bermasalah misalnya diperlakukan kurang baik, haknya terlambat diberikan, mendapatkan kekerasan, penganiayaan bahkan pelecehan seksual. "Kami semua prihatin, sedih, Ibu Negara kalau menerima berita itu, sedih. Kami juga punya hati dan perasaan. Oleh karena itu, biasanya kami merespon dan menangani dengan tuntas sampai yang melaksanakan kejahatan terhadap TKI mendapatkan hukuman yang setimpal," katanya.

Kepada para calon TKI, Presiden mengungkapkan bahwa semua pekerjaan sama, mulia dihadapan Allah SWT, apakah seorang petugas pembersihan taman, petani, penjual rokok, seorang sersan sampai presiden.

"Kita sama-sama bekerja secara halal. Itu mulia dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, semua terhormat," kata Presiden.

Yang tidak terhormat itu, kata Presiden, pekerjaan yang melanggar hukum dan Undang-Undang, misalnya, koruptor. Ditegaskan Presiden, Koruptor mungkin kaya tapi tidak mulia, haram. "Bersyukur kita tidak termasuk jenis penjahat-penjahat itu. Oleh karena itu, bekerja dimanapun sah, itu terhormat, tidak lebih rendah dari profesi apapun, dengan harapan dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dan akahirnya kalau dicintai profesi itu tentu membawa pahala. Harapan saya itu dikerjakan dengan baik," katanya.

Presiden juga berpesan kepada calon TKI manakala mendapatkan masalah maka segera memberitahu dan melapor baik ke Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal di luar Negeri, Badan Nasional Pengiriman dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Gubernur atau PJTKI.

Penulis: Friederich Batari

Respons Presiden atas Sidang Rakyat Yogya "Presiden menyarankan masyarakat berpikir jernih, menyampaikan usulan yang konstruktif."

Selasa, 14 Desember 2010, 10:23 WIB
Arfi Bambani Amri

Demonstrasi mendukung Gubernur DIY ditetapkan di Yogya (ANTARA/Wahyu Putro)

VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti aspirasi yang berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Staf Khususnya, Presiden menyampaikan apresiasi berupa pandangan, saran dan masukan dari rakyat Yogyakarta mengenai Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta.

"Karena saat ini masih tahap penggodokan yang komprehensif, Presiden menyarankan agar masyarakat dapat berpikir jernih untuk menyampaikan usulan substansi yang konstruktif kepada pemerintah maupun DPR," kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, secara tertulis ke VIVAnews, Selasa 14 Desember 2010.

Velix menjelaskan, Presiden sangat menaruh hormat kepada masyarakat Yogya. Penyelesaian UU Keistimewaan DIY ini merupakan amanat konstitusi, khususnya Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945. Pemerintah ingin memberikan kepastian payung hukum yang jelas perihal otonomi asimetris bagi Yogyakarta. Tujuannya, substansi dari keistimewaan ini perlu diwadahi dalam kerangka hukum yang jelas.

Pemerintah, kata Velix, menyusun RUUK tersebut tidak dalam kerangka politik praktis, namun dalam kerangka menyusun tatanan otonomi asimetris yang dapat memadukan pilar Keistimewaan, pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pilar nilai-nilai demokrasi. Dalam menyusun RUUK ini, prinsip-prinsip ke-bhinneka-an, kekhususan, hak asal-usul daerah, kerakyatan, dan sosial budaya selalu dikedepankan oleh pemerintah.

Dalam merumuskan model kepemimpinan DIY, Pemerintah tidak ingin merancang undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Presiden mengajak semua pihak untuk mencari titik temu, baik mereka yang meletakkan argumen pada Pasal 18 B Ayat 1, maupun mereka yang berpendapat atas dasar Pasal 18 Ayat 4 Undang-undang Dasar.

"Dengan demikian, kita semua mencapai tatanan demokratis yang bersifat istimewa. Tatanan yang tetap memberi hak, peran, dan peluang yang besar kepada pewaris Kasultanan dan Pakualaman. Akhirnya, UUK DIY nanti berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnya," kata Velix dari Surabaya.

Kemarin, ribuan rakyat Yogyakarta tumpah di sekitar Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka mendesak DPRD mendukung Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih.

• VIVAnews

Dec 11, 2010

Velix Wanggai: Perpindahan Ibukota Idealnya di Bawah 100 Km dari Jakarta

Sabtu, 11/12/2010 16:47 WIB
Andri Haryanto - detikNews


Jakarta - Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, Velix Vernando Wanggai berpendapat, pemindahan ibukota idealnya ke kota-kota yang dekat dengan Jakarta atau di bawah 100 kilometer dari Jakarta. Kota-kota itu seperti Jonggol atau Karawang
"Dalam kajian internal kami, perpindahan ibukota idealnya ke kota-kota yang berkisar dekat dengan Jakarta atau di bawah 100 kilometer seperti Jongol atau Karawang. Wakil Guberur Jabar beberapa kali telepon menawarkan Karawang menjadi ibukota," kata Velix.

Hal ini disampaikan Velix dalam diskusi bertajuk "Ibukota Baru Untuk Indonesia, perlukah?" di Kafe Domus, Jl Veteran 1, Jakarta Pusat, Sabtu (11/12/2010).

Menurut Velix, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengutarakan wacana perpindahan ibukota saat berada di Palangkaraya 2 Desember 2010. Kemudian berlanjut di dalam pertemuan Kadin beberapa pekan lalu.

"Presiden di pertemuan Kadin mengungkapkan 3 opsi perpindahan ibukota," kata Velix.

Opsi pertama, pusat pemerintahan dan ibukota tetap di Jakarta dengan konsekuensi pembenahan total ibukota dari kondisi macet,
banjir, dan segala permasalahannya.

Opsi kedua, memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jawa dan ibukota
tetap di Jakarta. Selanjutnya, opsi ketiga dengan memindahkan keduanya ke luar Jawa.

Dia menambahkan, wacana pemindahan Ibukota Jakarta tidak menjadi bagian pembicaraan yang tabu bagi SBY.

Dikatakan dia, Undang-Undang Dasar 1945 tidak menegaskan secara tertulis mengenai keberadaan ibukota Indonesia selalu
berada di Jakarta.

"Sementara dari sejarah, Indonesia sudah beberapa kali mengalami perpindahan karena kondisi politik saat itu. Secara politik sejarah juga tidak tabu dibicarakan," jelas laki-laki asal Jayapura ini.

Velix menuturkan, wacana perpindahan Ibukota Jakarta tidak hanya menjadi kewenangan eksekutif selaku pemegang keputusan. Di sisi lain, DPR bahkan juga MPR mau tidak mau terlibat dalam keputusan perpindahan itu.

"Agar ada payung hukum yang jelas untuk mengatur perpindahan itu," ujar Velix.

(ahy/aan)

Dec 10, 2010

Bali Democracy Forum


Oleh : Velix Wanggai (dimuat di Kolom Spektra, Harian Jurnas, 9 Des 2010)

Di pagi yang cerah ini, Bali kembali menjadi saksi atas digelarnya Bali Democracy Forum III. Sebagaimana tahun 2008 dan 2009 lalu, Presiden SBY kembali membuka dengan resmi acara ini. Kini, tema yang diangkat adalah “Democracy and The Promotion of Peace and Stability”. Tema yang sangat relevan dengan konteks kawasan Asia dewasa ini. Demokrasi, perdamaian, dan stabilitas adalah tujuan kita bersama. Konflik akan berakibat bagi instabilitas politik. Muaranya, pembangunan secara keseluruhan akan terganggu.

Satu dasawarsa terakhir Indonesia telah melakukan eksperimen demokrasi yang berharga. Dalam konteks itu, kita menempatkan Bali Democracy Forum sebagai inisiatif yang arif dan cerdas dari negara kita. Harapannya, kita terus-menerus dapat memperkuat pembangunan politik dan demokrasi kita. Dengan sifatnya yang inklusif dan terbuka, diharapkan Indonesia dapat menyerap berbagai pengalaman berdemokrasi dari negara-negara lain di kawasan Asia.

Sisi lainnya, Bali Democracy Forum juga merupakan wujud diplomasi Indonesia untuk menggalang dan membangun kerjasama regional dalam sektor pembangunan politik dan demokrasi yang inklusif. Dengan dialog dan saling tukar-menukar informasi dan pengalaman berdemokrasi, ada harapan penting untuk menguatkan institusi-institusi demokratik dari setiap negara. Dan ke depan, melalui Bali Democracy Forum diharapkan dapat terwujud sebuah platform bersama untuk kerjasama regional di bidang pembangunan politik dan demokrasi.

Saya teringat pada pembukaan Bali Democracy Forum II pada tahun 2009. Saat itu Presiden SBY berpesan bahwa demokrasi dan pembangunan saling bergandengan tangan guna menghadirkan kesejahteraan. Pesan ini terkait dengan tema besar yang diusung saat itu, yaitu “Promoting Synergy between Democracy and Development in Asia: Prospects for Regional Cooperation”. Demokrasi yang tumbuh baik tentu dapat menstimulasi derap langkah pembangunan. Sebaliknya, pembangunan yang dinamis akan mendorong kesadaran berdemokrasi yang cerdas. Apapun bentuk dan sistem politik, Presiden SBY menegaskan bahwa demokrasi dan pembangunan harus memberikan ruang yang besar untuk partisipasi warga untuk ikut serta dalam proses pembuatan kebijakan .

Hal ini berarti pembangunan politik dan ekonomi berjalan seiring sejalan. Jika tidak hanya kekecewaan yang kita dapati. Stabilitas politik pun dapat terganggu. Untuk itu, pembangunan dan demokrasi harus menyentuh semua lapisan masyarakat. Ini yang kita kenali saat ini sebagai pertumbuhan yang inklusif.

Dari tahun ke tahun, tema yang dibahas begitu menarik bagi pembelajaran demokrasi di kawasan Asia, khususnya bagi negara kita. Tahun ini, “Democracy and the Promotion of Peace and Stability” diangkat sebagai tema utama. Tahun lalu “Promoting Synergy between Democracy and Development in Asia: Prospects for Regional Cooperation”. Dan, tahun 2008, temanya adalah “Building and Consolidating Democracy: A Strategic Agenda for Asia”. Tentu saja tema-tema ini berkeinginan untuk menjawab isu, agenda, dan tantangan yang dihadapi saat ini dan masa depan. Melalui Bali Democracy Forum, kita ingin belajar, sekaligus menyerap pengalaman baru dalam berbagai isu, seperti sistem pemilu yang demokratis, sistem multi-partai dalam suatu masyarakat yang toleran dan pluralistik, parlemen yang efektif, sistem pengadilan yang independen, maupun tatanan hukum yang kuat.

Demikian pula, kita ingin menata kembali agenda politik lainnya seperti perlindungan dan promosi hak-hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, media yang aktif dan bertanggung jawab, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, dan kelompok sipil yang kuat, serta peran militer yang professional di dalam masyarakat demokratik.

Terakhir, melalui Bali Democracy Forum ini, kita tidak ingin menilai baik buruknya sistem demokrasi yang kita pilih. Namun lebih dari itu, dengan mendengar pengalaman dari negara-negara lain, kita dapat terus memperdalam pembangunan politik dan demokrasi dengan tetap mengakui dan menghormati ke-bhinneka-an, kekhususan, dan keistimewaan dalam masyarakat Indonesia yang plural ini.


Dec 3, 2010

ACEH DAMAI SEJAHTERA


Oleh: Velix Vernando Wanggai
(Dimuat di Jurnal Nasional, Kamis, 2 Desember 2010, Kolom: Spektra)



Senin 29 November 2010, Presiden SBY kembali menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekah, Aceh Darusalam. Mengunjungi Aceh mengingatkan Presiden pada beberapa tahun lalu dimana wilayah ini masih dilanda konflik. Waktu itu tahun 2004 ketika SBY sebagai Menkopolhukam menginisiasi langkah-langah perdamaian. Setiap Kabupaten di Aceh didatangi satu per satu untuk meyakinkan rakyat tentang urgensi perdamaian. Di setiap pertemuan dengan jajaran Pemda dan tokoh masyarakat setempat, SBY mengajak pihak-pihak yang berkonflik untuk duduk dalam satu kursi perdamaian.

Kursi perdamaian itu kemarin dianugerahkan oleh Gubernur Irwandi Yusuf kepada Presiden Yudhoyono sebagai wujud terima kasih rakyat Aceh kepada Presiden SBY. Rasa hikmat dan haru bercampur menjadi satu tatkala simbol perdamaian itu diterima Presiden SBY dan Ibu Ani yang langsung mencoba menggunakan kursi tersebut. Aceh pasca kesepakatan Helsinki memiliki wajah yang berubah. Konflik yang berkepanjangan seolah-olah menutupi masa lalu sejarah Aceh yang gemilang. Masih tersimpan dalam memori bangsa Indonesia tentang dedikasi rakyat Aceh terhadap awal terbentuknya NKRI. Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Tidak Ada Resep Ajaib

Nanggro’e Aceh Darusalam (NAD) bermakna negeri yang damai dan sejahtera. Kehidupan yang damai menjadi cita-cita seluruh umat manusia. Cita-cita untuk menciptakan kehidupan di muka bumi tidak akan terwujud jika suasana diliputi ketakutan dan tekanan. Begitupun yang dibutuhkan dalam mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan di Aceh. Itu sebabnya Presiden SBY menegaskan bahwa damai adalah prakondisi untuk kesejahteraan. Damai bukan tujuan melainkan prasyarat yang dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan di Aceh.

Pemerintah sejak lama secara konsisten mengatasi permasalahan konflik di Aceh secara adil dan bermartabat. Kebijakan politik dan langkah-langkah mediasi yang dilakukan akhirnya melahirkan kedamaian di Tanah Rencong ini. Semua aspirasi yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat di Aceh -- sebagai efek dari dinamika sosial dan politik di wilayah itu -- diakomodasi oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Aceh merupakan wujud pergumulan panjang yang menjadikan Provinsi NAD sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus bersama Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Langkah menuju Aceh yang sejahtera lagi menjadi prioritas Sang Gubernur. Bidang pendidikan dan kesehatan terus ditingkatkan. Sementara di bidang ekonomi Presiden mengamanatkan perlunya keterlibatan investasi besar di Aceh. Pengembangan investasi ini dilakukan lewat 3 cluster yang dapat membangun perekonomian Aceh sesuai potensi wilayahnya. Kebesaran sejarah Aceh di masa lalu dan status kekhususannya di masa kini perlu dikonstruksi dalam kerangka kesejahteraan. Secara teori, kesejahteraan biasanya diukur dari pendapatan per kapita, tingkat pendidikan dan kesehatan yang memadai maupun kemampuan daya beli masyarakat yang tinggi. Prasyarat dari semua itu sekali lagi adalah damai atau rasa aman. Tanpa rasa aman, cita-cita untuk mencapai kesejahteraan menjadi muspra.

Tidak ada resep ajaib dalam mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan juga tidak datang dari langit tetapi harus diwujudkan secara bersama-sama. Kebersamaan itu yang dibutuhkan saat ini, sehingga sebagai sebuah bangsa, kita tidak boleh maju sendiri-sendiri tetapi harus maju bersama-sama.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...