Oct 24, 2012

ANTARA MEKKAH DAN ARAFAH

Oleh: Velix Wanggai, 24 Oktober 2012


Photo: Subhanallah..ribuan umat tawaf tanpa henti...#viewhotelroom

Labbaik allahumma laka labbaik, sesungguhnya pujian, kenikmatan, kerajaan hanyalah milik-Mu. Tiada  persekutuan selain Engkau. Seruan yang mengantarkan kami ketika miqat hingga memandang Ka'bah, tepat berada di depan mata. Siapa pun diri kita, pasti bergidik, termangu dan meneteskan air mata. Ia hanyalah sebuah kubus kosong tak berpenghuni. Namun, kekuatannya mampu menyihir jutaan ummat Muslim dari seluruh penjuru dunia. Mereka mendatanginya dengan berjalan kaki maupun berkendaraan (Al-Hajj : 27).

Semua menyatu dalam kitaran dan irama yang sama mengelilingi Ka'bah selaku pusat tatasurya.
Ketika bertawaf, kita ibarat partikel kecil dalam lingkaran makrokosmos dengan bintang-gemintang aneka warna, jutaan planet besar dan kecil. Hitam, putih, kuning, merah, kaya, miskin, pejabat dan petani. Tidak ada perhiasan dan wewangian, tidak ada jarak, tidak ada garis hipostatis. Hanyalah kaki telanjang, sehelai kain ihram tanpa tutup kepala.  Semuanya menjadi fakir dan tak berdaya.  Berputar dan terus berputar selama tujuh kali, dimana Ka'bah ibarat matahari tetap berada pada porosnya. Mereka sedang bermi'raj menaiki tujuh tangga petala langit untuk sampai keharibaan-Nya.

Pengalaman ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mereka yang mengikuti prosesi ini sedang mengalami hipnose spiritual, sehingga bergerak lurus seirama tanpa harus berpikir untuk berpaling dari mainstream Ka'bah. Mereka ingin menyaksikan Baitullah Ka'bah, peradaban pertama di muka bumi yang terletak di Lembah Bekah (kota suci Mekah) yang diberkahi (Ali-Imran : 96).

Ibadah haji adalah ibadah kepribadian,sehingga thawaf yang bermakna ketetapan (constancy), gerakan (move) dan ketepatan (discipline) mengajarkan manusia untuk berjalan di dalam kehidupannya sesuai aturan.  Kita membutuhkan keteguhan dan kegigihan setelah kembali dari perjalanan mi'raj ke langit ketujuh. Di ujung bumi sana, Siti Hajar sedang menanti kepayahan anak-cucunya, mencari sumber kehidupan yang namanya Sa'i.  Disini kita dituntut bekerja dengan cita-cita, penuh harapan dan cinta. Sikap ini ditujukkan oleh Siti Hajar yang notabene seorang budak hitam Ethiopia.  Ia adalah pejuang yang gigih, mandiri, penuh optimisme. Kita sedang belajar padanya antara bukit Shafa dan Marwa.

Sejak kemarin dan hari ini (8-9 Dzulhijjah) kaum Muslimin meninggalkan Makkah menuju Mina dan Arafah. Sebagian dari Makkah menuju Masy'ar dan Mina menjalankan ibadah sunnah tarwiyah dan wuquf beberapa saat tetapi sebagian lagi langsung dari Mekkah menuju Arafah. Masy'ar, Mina dan Arafah, tidak ada tanda-tanda yang membedakan ketiga tempat ini sepanjang 15 mil dari kota Mekkah. Tidak ada monumen historis, atau monument keagamaan di ketiga tempat itu. Yang ada adalah engkau hanya singgah sebentar (wuquf) yang berarti berhenti, berdiri, mengejar, mencari, pengetahuan dan pemahaman.

Puncak ibadah haji esok hari tanggal 10 Dzulhijjah adalah wuquf di Arafah. Umat manusia dari pelbagai penjuru dunia pada hari ini tumpah ruah di Arafah. Inilah watak ibadah yang menghadirkan corak pluralisme dan kosmopolitanisme. Disana mereka berbeda dalam corak ragam budaya tetapi memiliki tujuan yang sama, ridha Allah. Selama tiga hari (10, 11, 12 Dzulhijjah) kaum muslimin di Tanah Suci maupun di Tanah Air menyembelih hewan qurban untuk mengenang pengorbanan Ibrahim a.s dan ketulusan Ismail as. 

Dari Arafah, kita akan menuju Mina dan selanjutnya kembali ke Baitullah di kota Mekkah. Mengutip Ali Syariati, inilah gerakan pergi dan gerakan kembali. Haji yang kita lakukan, baik pergi maupun kembali, semuanya bermakna “menuju” sesuatu. Haji adalah sebuah gerakan dan bukan perjalanan. Karena kalau perjalanan maka sudah pasti ada akhirnya. Ia lebih tepat sebuah tujuan mutlak dan sebuah gerakan eksternal menuju tujuan tersebut. Tujuan haji bukanlah sebuah tujuan yang dapat kita capai tetapi yang harus kita hampiri. Itu sebabnya di dalam perjalanan pulang dari Arafah, kita harus berhenti di Mina yang tidak berada di dalam Ka'bah tetapi di luarnya. Kita tidak menggapai tetapi mampir untuk memperoleh ridha-Nya.

Perjalanan kembali kepada Allah itu terbagi tiga (Arafat, Masy'ar dan Mina) yang semuanya harus dilalui. Arafat berarti pengetahuan dan sains, Masy'ar berarti kesadaran dan Mina berarti cinta dan keyakinan. Dari Mekkah pergilah ke Arafah (inna lillahi  sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah) dan setelah itu, dari Arafah kembalilah ke Ka'bah (wa inna ilaihi raaji'uun  dan kepada-Nya kita akan kembali).

Photo: Alhamdulillah, dapat bersimpuh bersujud di depan Baitullah...air mata tiada henti..

Oct 18, 2012

Masa Depan Ibu Kota Negara


Jakarta | Kamis, 18 Oct 2012

M. Yamin Panca Setia
Velix Wanggai
 

Jakarta adalah pusat dari republik ini. Payung hukumnya adalah UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah Indonesia ke dunia internasional. Jakarta terus mengalami transformasi. Hari-hari ini wacana untuk perpindahan ibu kota negara menjadi perbincangan publik. Masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara kita? Sampai kapankah Jakarta bertahan? Perlukah kita membincangkan sesuatu yang out of the box untuk masa depan Jakarta.

Kita sadari bahwa daya dukung Jakarta sudah cukup berat. Penduduk Jakarta sekitar 9 jutaan orang dengan kepadatan penduduk sekitar 14,753.66 per kilometer persegi. Pertumbuhan bangunan di Jakarta semakin tak terbendung. Jakarta menjadi kota beton karena hanya mampu mempertahankan 9,79 persen lahan sebagai ruang terbuka hijau. Di samping banjir yang selalu datang di musim penghujan, kemacetan di Jakarta tak mengenal musim. Pertambahan kendaraan bermotor jauh melebihi pertumbuhan jalan raya. Bahkan diperkirakan pada 2014 kemacetan langsung kita temui begitu keluar dari rumah. Problem lingkungan lainnya adalah naiknya permukaan air laut. Bahkan ada analisis yang mengklaim bahwa air laut akan merambah masuk ke pusat pemerintahan, termasuk kawasan Monas pada 2040.
 
Sekilas tentang keadaan Jakarta kini dan ke depan, seharusnya membuat kita tidak sebatas memikirkan dampak ekologis dari kehidupan warga Jakarta melainkan juga dampak moral dan politis. Hari-hari ini mungkin pilihan realistis kita adalah membenahi dan menata permukiman kumuh dan mencari solusi total atas kemacetan. Hal ini positif bagi 10-20 tahun mendatang. Namun bagaimana wajah Jakarta pada tahun 2045, ketika kita peringati 100 tahun Kemerdekaan Indonesia?
Sejak masa kolonial (Batavia) hingga kini (Jakarta) menjadi magnet bagi semua orang. Di sinilah "bandar" politik, pemerintahan, sosial, budaya, dan ekonomi menyatu. Semua urusan harus ke Jakarta dan karena itu muncul stigma bahwa suatu kemajuan atau keberhasilan dapat dicapai kalau berhasil "menaklukkan" Jakarta. Tentu anggapan semacam itu tidak berlaku lagi ketika Indonesia memasuki konteks baru, era desentralisasi dan otonomi daerah. Sebab, secara teori, desentralisasi dan otonomi daerah menciptakan peluang bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia menjadi magnet seperti Jakarta. Di sinilah, paradigma yang diusung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2009-2014. Strateginya adalah mendorong percepatan pembangunan kawasan-kawasan di luar Jawa, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di Jawa-Bali.

Bahkan Presiden SBY telah berpikir jauh untuk masa depan Jakarta. Sejak 2010, Presiden SBY telah menggulirkan wacana pemindahan ibu kota sebagai solusi, bukan sekadar karena faktor kemacetan, banjir dan kependudukan, tetapi untuk jangka panjang kejayaan NKRI. Tiga opsi yang ditawarkan Presiden SBY. Pertama, ibu kota negara tetap di Jakarta, sehingga konsekuensinya adalah mengatasi segala persoalan di Jakarta. Kedua, memisahkan fungsi di mana ibu kota negara tetap di Jakarta, sementara pusat pemerintahan bergeser dari tempat yang baru di luar Jakarta. Dan ketiga, adalah membangun ibu kota negara yang baru di luar Jakarta.

Hari-hari ini dan ke depan, kita semua menunggu kontribusi pemikiran dari Gubernur DKI yang baru, Pak Jokowi, untuk memikirkan masa depan ibu kota negara. Gagasan perpindahan ibu kota negara adalah proyek nasional bangsa, sekaligus agenda kolektif bangsa

Oct 12, 2012

Era Baru Yogyakarta

galeri foto
Jurnal Nasional | Kamis, 11 Oct 2012
Oleh: Velix Wanggai


Yogyakarta selalu di hati kita semua. Tujuh Oktober, Yogyakarta genap berusia 256 tahun. Keunikan yang dimiliki Yogyakarta telah berjalan ratusan tahun. Ini mencerminkan keselarasan sosial, daya adaptasi dengan perubahan sosial, dan kreatifitas masyarakat yang terus berkembang. Sejarah Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dengan sejaah NKRI, karena Indonesia yang masih seumur jagung saat itu sangat membutuhkan dukungan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat.

Dalam usianya yang lebih dari dua setengah abad, Yogyakarta tumbuh sebagai wilayah yang dinamis dengan tetap melestarikan budaya dan kearifan lokalnya. Konteks seperti ini telah meletakkan Yogyakarta dalam posisi yang istimewa dan khusus dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yogyakarta selalu unik dan istimewa. Negara memberikan perhatian besar atas keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan dari negara. Setelah melalui proses yang dinamis, akhirnya pada 31 Agustus 2012 Presiden Republik Indonesia, Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden SBY menegaskan bahwa hal ini sebagai konsistensi pengakuan atas status keistimewaan Yogyakarta secara lebih jelas dan lebih komprehensif. Demikian pula, Presiden SBY mengakui dan menghormati hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhineka-tunggal-ika-an, efektifitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal yang hidup di masyarakat Yogyakarta.

Tepat pukul 09.00 pagi, hari Rabu, 10 Oktober 2012, Presiden Republik Indonesia, Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melantik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2012-2017. Prosesi pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Presiden SBY adalah perintah Undang-Undang yang harus Presiden SBY laksanakan sesuai dengan hirarki pemerintahan yang berlaku, sebagaimana pesan pasal 27 (ayat 1) UU Keistimewaan DIY.

Dengan hadirnya Undang-undang ini, negara memberikan kewenangan istimewa pada tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur. Selain itu, keistimewaan Yogyakarta ini menyangkut penataan kelembagaan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta hingga pengembangan kebudayaan, pengaturan pertanahan, dan tata ruang.

Kini Yogyakarta memasuki era baru dengan landasan Undang-Undang baru dan pemimpin baru yang diatur dengan Undang-undang baru. Hari ini dan ke depan, tantangan telah menanti. Presiden SBY mengamanahka agar prinsip-prinsip good governance harus terus ditaati dalam mengelola pemerintahan DIY. Yogyakarta telah melangkah pasti dengan berhasil menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Harapan Hidup yang tertinggi di Indonesia.

Yogyakarta adalah kekayaan budaya Indonesia. Karena itu, Presiden SBY mengajak rakyat Yogya dan kita semua untuk menjaga kekayaan budaya dengan tetap mengedepankan prinsip sadaya nyawiji rila gumreget ambangun diri lan nagari--bersama bersatu ikhlas dalam membangun diri dan Negara.

galeri foto

Oct 4, 2012

Koreksi Atas Kapitalisme Global

 galeri foto
Jurnal Nasional | Kamis, 4 Oct 2012
Oleh: Velix Wanggai

Saatnya sistem kapitalisme global dikoreksi secara mendasar. Dan seiiring dengan koreksi di level global itu, saatnya pula kita untuk mendefinisikan ulang ideologi, visi, strategi, kebijakan, dan program yang tepat sebagai arah besar bagi perjalanan Indonesia di masa depan.

Kalimat pembuka ini merupakan initisari dari pernyataan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) ke-44 pada tahun 2012, dan juga kata pengantar Presiden ketika menerima pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Kedua momen penting itu digelar di Jakarta, pada 2 Oktober 2012.

Di depan ratusan pengusaha nasional, Presiden SBY membawa para pejuang pembangunan ini untuk membaca tanda-tanda perubahan zaman dalam konteks pergeseran tatana dunia dalam 30 tahun terakhir ini. Tanda perubahan zaman yang pertama, dimana pada tahun 1980-an pertarungan ideologi komunisme dan kapitalisme berakhir yang ditandai oleh runtuhnya tembok Berlin.
Sedangkan tanda zaman yang kedua adalah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2000-an yang terjadi di Amerika Serikat dan diikuti krisis Eropa. Tanda zaman ketiga yang perlu dibaca juga adalah munculnya gerakan perlawanan terhadap simbol-simbol kapitalisme di berbagai belahan negara di Eropa maupun di Amerika Serikat.

Di Negeri Paman Sam ini, para aktivis yang dikenal dengan sebutan Occupy Wall Street (OWS) berusaha menduduki pusat-pusat bisnis, seperti di New York, California, dan Los Angeles. Gerakan perlawanan ini dikenal sebagai anti-Wall Street. Apa makna penting dari hadirnya gerakan anti-Wall Street ini muncul? Dalam pandangan Presiden SBY bahwa gerakan perlawanan ini harus dibaca sebagai upaya koreksi total atas sistem kapitalisme global yang tidak adil.

Setelah berbicara dengan para pengusaha yang tergabung di Kadin, Presiden SBY kemudian menantang para ekonom dan teknokrat yang tergabung di ISEI untuk merumuskan arah baru pembangunan nasional, bahkan global. Jika kita menengok ke belakang, sebut saja 2 pakar ekonom, yakni Bharat Amartya Sen (penerima Nobel Ekonomi 1998) dan Joseph Eugene Stiglitz (penerima Nobel Ekonomi 2001) yang mengoreksi kapitalisme atau sistem pasar yang dianggal gagal untuk menghadirkan keadilan dan pemerataan. Stiglizt hadir dengan "the theory of markets with asymmetric information", dan Amartya Sen berkontribusi dengan kajian "welfare economics and social choice theory" yang melekat dengan perjuangan kaum miskin di berbagai belahan negara.

Demikian pula, saat ini Presiden SBY memimpin Komisi Tingkat Tinggi (High Level Panel) PBB yang kini merumuskan "Post-2015 Development Agenda". Saatnya Indonesia memberi warna bagi tatanan dunia baru. Presiden SBY telah tawarkan platform ke depan, yaitu pembangunan berkelanjutan yang disertai keadilan (sustainable development with equity). Untuk mencapai itu, Presiden menekankan pentingnya pola kemitraan global dan win-win outcome.

Berulang kali Presiden SBY mengajak semua pihak untuk thinking outside the box. Saatnya para ekonom, teknokrat, teknolog, birokrat, praktisi bisnis, dan para aktivis untuk bergandengan tangan untuk memikirkan ulang tatanan dunia baru, sekaligus merumuskan arah baru pembangunan nasional. Di era yang sedang berubah ini, saatnya tanpa malu-malu, penulis merasa pentingnya kita untuk merumuskan apa itu "Ekonomi Pancasila". Nilai-nilai Ke-Ilahi-an, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan berjalan dalam satu napas, satu tarikan langkah.

galeri foto

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...