Oct 18, 2012

Masa Depan Ibu Kota Negara


Jakarta | Kamis, 18 Oct 2012

M. Yamin Panca Setia
Velix Wanggai
 

Jakarta adalah pusat dari republik ini. Payung hukumnya adalah UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah Indonesia ke dunia internasional. Jakarta terus mengalami transformasi. Hari-hari ini wacana untuk perpindahan ibu kota negara menjadi perbincangan publik. Masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara kita? Sampai kapankah Jakarta bertahan? Perlukah kita membincangkan sesuatu yang out of the box untuk masa depan Jakarta.

Kita sadari bahwa daya dukung Jakarta sudah cukup berat. Penduduk Jakarta sekitar 9 jutaan orang dengan kepadatan penduduk sekitar 14,753.66 per kilometer persegi. Pertumbuhan bangunan di Jakarta semakin tak terbendung. Jakarta menjadi kota beton karena hanya mampu mempertahankan 9,79 persen lahan sebagai ruang terbuka hijau. Di samping banjir yang selalu datang di musim penghujan, kemacetan di Jakarta tak mengenal musim. Pertambahan kendaraan bermotor jauh melebihi pertumbuhan jalan raya. Bahkan diperkirakan pada 2014 kemacetan langsung kita temui begitu keluar dari rumah. Problem lingkungan lainnya adalah naiknya permukaan air laut. Bahkan ada analisis yang mengklaim bahwa air laut akan merambah masuk ke pusat pemerintahan, termasuk kawasan Monas pada 2040.
 
Sekilas tentang keadaan Jakarta kini dan ke depan, seharusnya membuat kita tidak sebatas memikirkan dampak ekologis dari kehidupan warga Jakarta melainkan juga dampak moral dan politis. Hari-hari ini mungkin pilihan realistis kita adalah membenahi dan menata permukiman kumuh dan mencari solusi total atas kemacetan. Hal ini positif bagi 10-20 tahun mendatang. Namun bagaimana wajah Jakarta pada tahun 2045, ketika kita peringati 100 tahun Kemerdekaan Indonesia?
Sejak masa kolonial (Batavia) hingga kini (Jakarta) menjadi magnet bagi semua orang. Di sinilah "bandar" politik, pemerintahan, sosial, budaya, dan ekonomi menyatu. Semua urusan harus ke Jakarta dan karena itu muncul stigma bahwa suatu kemajuan atau keberhasilan dapat dicapai kalau berhasil "menaklukkan" Jakarta. Tentu anggapan semacam itu tidak berlaku lagi ketika Indonesia memasuki konteks baru, era desentralisasi dan otonomi daerah. Sebab, secara teori, desentralisasi dan otonomi daerah menciptakan peluang bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia menjadi magnet seperti Jakarta. Di sinilah, paradigma yang diusung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2009-2014. Strateginya adalah mendorong percepatan pembangunan kawasan-kawasan di luar Jawa, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di Jawa-Bali.

Bahkan Presiden SBY telah berpikir jauh untuk masa depan Jakarta. Sejak 2010, Presiden SBY telah menggulirkan wacana pemindahan ibu kota sebagai solusi, bukan sekadar karena faktor kemacetan, banjir dan kependudukan, tetapi untuk jangka panjang kejayaan NKRI. Tiga opsi yang ditawarkan Presiden SBY. Pertama, ibu kota negara tetap di Jakarta, sehingga konsekuensinya adalah mengatasi segala persoalan di Jakarta. Kedua, memisahkan fungsi di mana ibu kota negara tetap di Jakarta, sementara pusat pemerintahan bergeser dari tempat yang baru di luar Jakarta. Dan ketiga, adalah membangun ibu kota negara yang baru di luar Jakarta.

Hari-hari ini dan ke depan, kita semua menunggu kontribusi pemikiran dari Gubernur DKI yang baru, Pak Jokowi, untuk memikirkan masa depan ibu kota negara. Gagasan perpindahan ibu kota negara adalah proyek nasional bangsa, sekaligus agenda kolektif bangsa

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...