Oct 31, 2013

Komitmen Bukittinggi

galeri foto
| Kamis, 31 Oct 2013
Budi Winarno
Velix Wanggai

Kota Bukittinggi adalah saksi abadi dalam pergerakan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jejak-jejak langkah penuh makna telah lahir dari Bukittinggi, maupun wilayah lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Di ranah Minang ini, banyak lahir para tokoh besar dengan segala jejak langkah perjuangan dan pemikiran kebangsaan. Pangeran Imam Bonjol, H. Mohammad Hatta (Bung Hatta), Datuk Tan Malaka, Prof. Muhammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA), Haji Ali Akbar Navis, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Chairil Anwar, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan tokoh-tokoh nasional lainnya diantaranya penyair Taufik Ismail.

Ketika di Bukittinggi, 28-30 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Sumatera Barat adalah sumber intelektual dalam pergerakan kebangsaan, dan dalam pembangunan nasional dewasa ini. Bung Hatta, Bapak Proklamator Indonesia, telah mendarmabaktikan dirinya dalam pergumulan menuju Indonesia Merdeka. Di usianya yang masih sangat muda, Bung Hatta aktif di Jong Sumatranen Bond. Jiwa aktivisnya terus ditempa di negeri Belanda pada periode 1921-1932. Ia memimpin organisasi kemahasiswaan Indische Vereniging, yang berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pidatonya dengan judul 'Indonesia Merdeka' memberikan inspirasi yang kuat bagi pergerakan kebangsaan di berbagai pelosok Nusantara.

Bagi Bung Hatta, tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Perjuangan anti-kolonial apapun, berpijak pada semangat kebangsaan. Konsep kebangsaan rakyat menjadi pilihan dari Bung Hatta, dan ia menolak konsep kebangsaan ningrat dan kebangsaan intelek. Kebangsaan apapun tidak akan berguna tanpa adanya rakyat. Intinya, konsep ini menempatklan rakyat diatas singgasana kekuasaan.

Arah pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta saling melengkapi, demikian pandangan Presiden SBY ketika berbicara di Perpustakaan Bung Hatta, 29 Oktober 2013, di Kota Bukittinggi. Bung Karno menekankan negara harus kuat. Sedangkan Bung Hatta memilih untuk memperkuat posisi dan peran rakyat. Disinilah, makna dari negara yang kuat dibangun ditas fondasi demokrasi rakyat.

Di era pasca kemerdekaan, Bukittinggi menjadi lokasi strategis di Sumatera. Di era perjuangan kemerdekaan, sejak Desember 1948 sampai dengan Juni 1949 Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Selanjutnya, Bukittinggi sempat menjadi ibukota Provinsi Sumatera dan juga ibukota Provinsi Sumatera Tengah. Ketika Sumatera Barat terbentuk tahun 1957, Bukitinggi menjadi ibukota hingga 29 Mei 1958, yang akhirnya ibukota berpindah ke Kota Padang. Peran Bukittinggi yang penting itu ditekankan oleh Presiden SBY. Selain sisi sejarah kebangsaan, Sumatera Barat juga kaya dengan bentangan alam yang indah dan sosial budaya yang unik sebagai modal sosial, sekaligus modal ekonomi dalam pembentukan struktur ekonomi wilayah Sumatera Barat.

Dari waktu ke waktu ekonomi Sumatera Barat terus bertumbuh. Di tahun 2010 lalu, ekonomi Sumatera Barat tumbuh 5,93 persen, dimana 5 sektor utama sebagai kontributor utama. Pertanian menyumbang 23,84 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 17,74 persen, sektor jasa-jasa 16,03 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 15,41 persen, serta sektor industri pengolahan 11,69 persen.

Karakter masyarakat yang berjiwa pedagang memberikan warna tersendiri dalam menggerakan ekonomi lokal Sumatera Barat. Pedagang-pedagang dan restoran Masakan Padang adalah khas yang melekat dalam benak kita semua. Namun, sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar dalam ekonomi Sumatera Barat. Misalnya, di tahun 2010 lalu, produksi padi sebanyak 2,21 juta ton yang tersebar di beberapa kabupaten. Jumlah produksi beras ini sebenarnya menandakan Sumatera Barat telah swasembada beras. Tidak hanya komoditi beras, Sumatera Barat juga memiliki populasi ternak sapi potong. Sentra-sentra sapi tersebar di beberapa kabupaten, termasuk satu sentra sapi pembibitan di Payakumbuh yang dikunjungi Presiden SBY.

Di kota Bukittinggi yang bersejarah ini kembali menjadi saksi atas keseriusan Presiden SBY dan jajaran Kementerian untuk menegaskan sebuah komitmen untuk menciptakan kemandirian di bidang pangan. Di Bukittinggi, akhirya ditetapkan 'Rencana Aksi Bukit Tinggi tentang Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan', yang selanjutnya dideklarasikan sebagai 'Rencana Aksi Bukit Tinggi'.

Komitmen Bukit Tinggi ini dihasilkan melalui Sidang Kabinet Terbatas yang langsung dikomandani oleh Presiden, dan dihadiri Kementerian/Lembagan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan dan perbankan, pimpinan Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN), dan para Gubernur seluruh Indonesia. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Radjasa, memimpin serangkaian pertemuan lintas pemangku kepentingan, baik di Jakarta maupun di Bukit Tinggi.

Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini, produksi pangan Indonesia mengalami peningkatan yang berarti. Namun seiiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tantangan perubahan iklim, dan tantangan semakin berkurangnya lahan pertanian di kawasan-kawasan subur, terutama di Pulau Jawa, maka mutlak diperlukan suatu aksi terpadu (integrated action) yang sesuai dengan konteks dan karakteristik dari setiap wilayah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia dalam rangka peningkatan produksi pangan nasional yang merata, inklusif, dan berdaya saing.

Rencana Aksi Bukittinggi memuat komitmen Pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang pangan untuk memadukan langkah, sekaligus menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di sejumlah komoditas utama, baik beras, kedelai, gula, jagung, dan daging sapi. Ada 7 (tujuh) Kesepakatan Bukittinggi.

Pertama, Rencana Aksi Bukit Tinggi ini merupakan strategi terpadu (integrated strategy) yang bersifat terobosan, tidak business as usual, sinergi, kemitraan, crash program, dan action-oriented dalam meningkatkan produksi 5 komoditas utama. Rencana Aksi Bukittinggi ini merupakan crash program yang melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Melalui Rencana Aksi ini berupaya untuk memobilisasi sumber daya, baik mencakup lahan, pembiayaan, SDM, teknologi pangan, transportasi, infrastruktur pendukung, serta regulasi yang terkait dengan peningkatan produksi pangan.

Kedua, tujuan utama Rencana Aksi Bukittinggi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya ditandai oleh meningkatnya kemampuan swasembada beras dan komiditas pangan lainnya, menjaga harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah bawah, menjaga nilai tukar petani agar menikmati kemakmuran, membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, meningaktnya status gizi ibu dan anak pada golongan rawan pangan, meningkatnya daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif dari sektor pertanian di kawasan Asia dan Global.

Ketiga, Rencana Aksi Bukittinggi sepakat untuk meningkatkan target swasembada pangan (beras, jagung, kedele, gula, dan daging sapi) pada akhir tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya, memastikan kelancaran distribusi dan memastikan terjaganya supply and demand di seluruh Indonesia.

Keempat, Rencana Aksi Bukit Tinggi menetapkan sasaran produksi dari setiap komoditi utama tahun 2014, yakni sasaran produksi beras 43,046 juta ton, kedelai 2,7 ton, gula 3,1 juta ton, jagung 20,80 juta ton, dan daging sapi 462.000 ton. Untuk mencapai target itu, Rencana Aksi menekankan produksi pangan berbasis Provinsi-Provinsi yan memiliki potensi dan karakteristik yang berbeda-beda.

Kelima, Rencana Aksi Bukittinggi juga mensepakati langkah-langkah terpadu yang bersifat terobosan, crash program, dan tidak 'business as usual' dalam meningkatkan produksi beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai. Strategi ini menekankan kluster-kluster wilayah di setiap provinsi yang berbeda potensi dan konteks wilayah. Langkah khusus antara lain system rice intensification di Jawa, pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, perluasan area tanam di lahan terlantar, perbaikan budidaya, pergantian ratoon gula, maupun pengembangan integrasi sapi-kelapa sawit.

Keenam, implementasi Rencana Aksi ini membutuhkan kemitraan dan pembagian peran antara Pemerintah, Pemda, dan Dunia Usaha. Langkah-langkah percepatan yang diperlukan adalah percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), perbaikan irigasi dan transportasi, sentra-sentra produksi, maupun perbaikan teknologi pangan.

Kesepakatan Ketujuh adalah dibentuknya Desk Peningkatan dan Perluasan Produksi Pangan dibawah koordinasi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kesepakatan Bukittinggi ini adalah bukti keseriusan Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pangan di Tanah Air.

galeri foto

Oct 11, 2013

Ideologi "Pembangunan Untuk Semua" APEC 2013

galeri foto
| Kamis, 10 Oct 2013
Rihad Wiranto

Oleh:
Velix Wanggai



Tanggal 8 Oktober 2013 Pulau Dewata Bali kembali menjadi saksi bagi penegasan ulang komitmen para pemimpin ekonomi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Re-konfirmasi komitmen itu ditujukan untuk mewujudkan Bogor Goals yang memberi ruang bagi perdagangan bebas, investasi, tarif, dan kerjasama kelembagaan yang adil di kawasan Asia Pasifik. Bogor Goals juga memuat kebijakan afirmasi dengan membedakan tingkat pembangunan ekonomi dari setiap negara.

Negara-negara yang telah maju, perdagangan bebas diterapkan di tahun 2010. Sedangkan negara-negara berkembang diterapkan pada tahun 2020. Dan, di Pulau Bali yang indah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan tujuh poin strategis sebagai hasil APEC 2013. "Tujuh Kesepakatan Bali" itu memberikan makna pentingnya peran Indonesia dalam membentuk arsitektur ekonomi regional dan global. Perjalanan sejak Bogor tahun 1994 hingga Bali 2013, menghadirkan narasi pentingnya peran Indonesia.

Dengan semakin pentingnya kekuatan ekonomi Asia Pasifik, APEC Summit tahun 2013 ini mengangkat tema ‘Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth'. Ketika berpidato, Presiden SBY menegaskan kekuatan ekonomi APEC merupakan sumber penting dari pertumbuhan global. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi APEC sebagai kelompok sekitar 6,3 persen di tahun 2013 dan 6,6 persen di tahun 2014. Ini berarti dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia.

Bagi kepentingan Indonesia, Presiden SBY dengan menekankan pentingnya agenda pertumbuhan yang berkeadilan, perdagangan yang seimbang, penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai tulang punggung ekonomi kawasan, konektivitas antarwilayah, dan pentingnya jaringan pengaman sosial dan kebijakan keuangan yang inklusif. Ini berarti gagasan Pembangunan Untuk Semua menjadi agenda strategis yang diperjuangkankan Indonesia dalam APEC Summit 2013 ini.

Karakter sosial yang beragam juga menghadirkan warna spesial dari pagelaran APEC 2013 ini. Selain menggunakan jas lengkap, para pemimpin ekonomi APEC mengenakan kain tenun asal Bali yang bermotif garis dan kotak abstrak. Gaya dan pola baju menjadi warna tersendiri dalam perjalanan APEC Summit dari waktu ke waktu. Ketika di Seoul tahun 1991, para pemimpin dunia mengenakan Hanbok, di Seattle Amerika Serikat tahun 1993 ada Bombardier Jackets, dan di Shanghai tahun 2001 ada Tangzhuang. Ketika pertemuan di kawasan Amerika Latin, yakni di Chile, gaun tradisional Chamantos dikenakan oleh para pemimpin ekonomi. Di Hanoi tahun 2006 kostum Ao dai, di Peru tahun 2008 ada Ponchos, dan di Sydney kostum Drizabones dan Akubra hats. Sedangkan di Bogor tahun 1994, desain batik karya Iwan Tirta dikenakan pada pemimpin delegasi APEC.

Kawasan Asia Pasifik penuh dengan warna yang beragam. Keberagaman itu pula menjadi pedoman dasar ketika Perdana Menteri Australia Bob Hawke dalam pidatonya di Seoul, Januari 1989, mengajukan proposal untuk pembentukan kerjasama regional antarpemerintahanpembentukan kerjasama yang lebih permanen dalam bidang perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik.

Belajar dari pengalaman Pacific Economic Cooperation Council (PECC), para pengamat mencatat sejumlah prinsip yang mendukung keberhasilan kerjasama Asia Pasifik, yakni keterbukaan, keadilan, saling menguntungkan, transparansi, non-diskriminasi dalam kebijakan perdagangan dan ekonomi, dan kerjasama kawasan yang mendukung pertumbuhan kawasan, bahkan pertumbuhan global. PECC yang dimotori Australia memainkan peran bagi lahirnya APEC di tahun 1989.

Untuk itu, 24 tahun kemudian, "Kesepakatan Bali" dalam APEC Sumit 2013 ini adalah re-konfirmasi dari komitmen dasar yang telah disepakati dari konsensus APEC yang dideklarasikan di Canberra pada tahun 1989. Sejak awal terbentuknya APEC, kerjasama ini wajib mengakui keberagaman negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk perbedaan sistem ekonomi dan sosial, serta tingkat pembangunan dari setiap negara.

Prinsip ‘the diversity of the region' inilah yang melatari lahirnya Bogor Goals yang membedakan masa berlakunya perdagangan bebas, baik bagi negara-negara maju di tahun 2010 maupun bagi negara-negara berkembang di tahun 2020. Tujuh poin strategis dari Kesepakatan Bali ini memuat ide dasar Pembangunan Untuk Semua. Poin pertama, para pemimpin ekonomi APEC setuju untuk melipatgandakan usaha untuk mencapai Bogor Goals. Kedua, mereka setuju meningkatkan perdagangan intra-APEC, termasuk fasilitasi perdagangan, kapasitas institusi, dan fungsi system perdagangan multilateral. Yang ketiga, koneksivitas antara masyarakat (people-to-people) juga ditekankan oleh para pemimpin APEC.

Yang keempat, sepakat untuk meningkatkan komitmen untuk mewujudkan pertumbuhan global yang inklusif, keberlanjutan, seimbang, dan kuat. Sejalan dengan ini, tulang punggung ekonomi kawasan menjadi perhatian penting, yakni usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan pengusaha wanita dan pengusaha muda. Kelima, setuju untuk membangun kolaborasi kawasan dalam mengembangkan keamanan pangan, air, dan energi. Keenam, dengan semakin pentingnya arsitektur global dan kemitraan ekonomi, para pemimpin APEC setuju untuk menguatkan sinergi antara APEC dan proses kerjasama regional dan multilateral lainnya seperti East Asia Summit dan G-20. Dan yang ketujuh adalah para pemimpin APEC setuju untuk kerjasama yang intensif dengan sektor bisnis melalui APEC Business Advisory Council (ABAC).

Kesepakatan Bali ini juga sebagai jawaban dari pekerjaan rumah kita untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan. Investasi yang tumbuh dan perdagangan bebas tentu harus memberikan manfaat bagi penduduk lokal, ekonomi daerah, buruh, petani, penjahit, maupun ekonomi kreatif rakyat kebanyakan. Seiiring dengan pertumbuhan, ada saja rakyat yang tersisih.

Agenda itulah yang diperjuangkan Presiden SBY dan sejumlah pemimpin negara berkembang lainnya. Disinilah, pentingnya negara atau pemerintah untuk mendistribusikan pertumbuhan yang inklusif. Inilah arah ideologi politik-ekonomi yang menjadi platform bagi Indonesia untuk mewujudkan janji kemerdekaan Indonesia, yakni "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".

galeri foto

Oct 4, 2013

Indonesia di Mata PM Tony Abbott

| Kamis, 3 Oct 2013
Rihad Wiranto


Oleh: Velix Wanggai




galeri foto


Kemenangan Anthony John "Tony" Abbot, pemimpin Partai Liberal, pada pemilihan Federal Australia, 7 September 2013, membawa era baru dalam kepolitikan Australia. Di hari kemenangan itu, PM terpilih Tony Abbott secara terbuka mendeklarasikan bahwa Pemerintahan Australia telah berubah dan Australia terbuka untuk bisnis. Kembalinya Partai Liberal ke tampuk kepemimpinan nasional setelah berjuang 6 tahun lamanya untuk meyakinkan rakyat Australia. Dengan merebut 99 kursi di Parlemen, meninggalkan Partai Buruh yang hanya memperoleh 55 kursi. Ini kemenangan yang berarti bagi Partai Liberal, mengingat ketika pemilihan umum pada Agustus 2010, Tony Abbot sebagai pemimpin oposisi kalah beberapa kursi dari PM Julia Gillard.

Saat itu, dari 150 kursi di Parlemen Australia, partai Buruh menguasai 72 kursi. Setelah 17 hari bernegoasi antara Julia Gillard dan Tony Abbot untuk memenangkan 4 kursi tambahan, akhirnya Partai Buruh pimpinan Julia Gillard memenangi 76 kursi, ketimbang 74 kursi yang diperoleh Tony Abbot saat itu. Namun, peta politik tahun 2010 itu telah menceritakan sebuah episode baru bagi hadirnya Tony Abbott sebagai tokoh potensial Australia dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan Partai Buruh.

Apa makna bagi Indonesia atas terpilihnya PM Tony Abbott? Adakah platform dan opsi yang berbeda dengan Partai Buruh dalam merumuskan kebijakan luar negeri Australia, terutama ditujukan ke Indonesia? Jika kita simak dengan cermat, PM Tony Abbott meletakkan prioritas yang tinggi terhadap Indonesia. Tiga hari sebelum pemilihan umum Parlemen Australia, tepatnya tanggal 4 September 2013 lalu, Tony Abbott menyatakan jika ia terpilih sebagai PM Australia, maka perjalanan luar negeri pertama yang ia lakukan adalah ke Indonesia, China, Jepang, dan Korea Selatan.

Bahkan Tony Abbott tekankan Indonesia adalah kepentingan dan hubungan terpenting bagi Australia. Dalam pandangan Tony Abbott, kunjungan pertama ke Indonesia ini bukanlah karena faktor hubungan keamanan, hubungan ekonomi, maupun hubungan sejarah yang terpenting. Namun lebih dari itu, Indonesia dipandang oleh Tony Abbott sebagai kekuatan yang terus berkembang dengan ukuran wilayah yang luas. Bahkan Tony Abbott memiliki ide baru agar setiap PM Australia di masa mendatang menjadikan kunjungan ke Indonesia sebagai suatu konvensi (www.smh.com.au, September 4, 2013).

Duapuluh tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 30 September 2013, PM Tony Abbott menginjakkan kakinya ke kota Jakarta. Selain membicarakan hubungan ekonomi antar kedua Negara, kunjungan PM Australia ke-28 ini bermakna penting bagi pemerintahan baru Australia dalam mencari solusi atas kapal-kapal pencari suaka yang berlayar ke wilayah Australia.

Agenda kebijakan pencegahan para pencari suaka atau "manusia perahu" merupakan salah satu agenda terpenting PM Tony Abbott. Bagi pemerintahan baru Australia, kapal-kapal para pencari suaka yang datang dari perairan Indonesia akan dihentikan dan akan dikirim kembali ke wilayah Indonesia. Bagi Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia dan Australia adalah korban dari para pencari suaka yang datang dari berbagai negara yang membawa beban, baik beban sosial dan ekonomi.

Karena itu, Presiden SBY menganggap pentingnya kerjasama bilateral yang baik untuk memecahkan soal "manusia perahu" dari berbagai negara dalam kerangka "The Bali Process". Presiden SBY juga menyambut baik jaminan PM Australia Tony Abbott atas kedaulatan Indonesia dalam kebijakan perahu-perahu pencari suaka ini.

Dengan demikan, sangatlah tepat apa yang ditekankan oleh Presiden SBY agar diletakkan dalam "The Bali Process". Konferensi Regional tentang penyelundupan dan perdagangan manusia, dan kejahatan trans-nasional ini dipimpin oleh Indonesia dan Australia, serta dihadiri lebih dari 50 negara dan sejumlah organisasi internasional seperti the United Nations High Commissioner for Refuges, the International Organization for Migration (IOM) maupun the United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC).

Di sinilah, posisi dasar Indonesia atas masalah penyelundupan manusia ke Australia. The Bali Process ini sebagai kerangka perjanjian internasional yang disepakati di Bali, pada Februari 2002. Bali Process sebenarnya telah memuat solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi negara-negara yang terkait dalam soal pengungsi, perdagangan manusia, penyelundupan manusia, maupun kriminalitas trans-nasional. Melalui mekanisme The Bali Process, negara-negara yang terkait dapat membagi kerjasama intelejen, penegakan hukum yang efektif, kerjasama perbatasan dan system visa, kerjasama antisipasi terhadap gerakan di perbatasan yang illegal, kerjasama dalam dalam menangani identitas dan asal negara dari para para pengungsi, pencari suaka, dan korban perdagangan manusia.

Demikian pula, the Bali Process mengharapkan agar adanya kerjasama antarnegara di dalam menyelesaikan akar persoalan dari migrasi illegal, bahkan memungkinkan kesempatan bagi migrasi yang legal antar negara-negara. Semua proses itu diletakkan di dalam kerangka kerjasama regional yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Pertemuan Presiden SBY dan PM Tony Abbott juga sebagai bentuk penegasan komitmen kedua negara untuk menghormati kedaulatan negara. Masalah Papua, misalnya. Indonesia serius untuk memajukan Papua, dan Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai negara demokrasi, ekspresi yang ada di Papua itu bagian dari demokrasi, sebagaimana pernyataan Presiden SBY.

Intinya, hubungan Indonesia - Australia akan terus diletakkan dalam payung Kemitraan Komprehensif antara Indonesia dan Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Partnership) yang disepakati oleh Presiden SBY dan PM John Howard, pemimpin Partai Liberal saat itu. Deklarasi bersama yang ditandatangani di Canberra, pada 4 April 2005 sebenarnya menandakan suatu era baru hubungan Indonesia-Australia. Indonesia tidak hanya sebagai sahabat dan tetangga terdekat, namun Indonesia dan Australia juga sebagai "fellow democracies" yang membagi kepentingan bersama terhadap wilayah Asia-Pasifik yang sejahtera, stabil, dan damai.

galeri foto

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...