Jul 30, 2017

PON XX 2020: Olahraga dan Identitas Kepapuaan

MINGGU, 30 JULI 2017 , 20:07:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI


Foto/Net

KETIKA Sidang Kabinet Terbatas tentang Papua di Kantor Presiden, pada 19 Juli 2017, Gubernur Lukas Enembe menyempatkan diri menceritakan kepada Presiden Joko Widodo bahwa olahraga dan seni adalah identitas dan talenta yang telah mengalir dalam darah daging orang Papua yang mengangkat kebanggaan orang Papua. Pernyataan Gubernur Enembe penuh makna yang mendalam.

Syukur, ketika orang Papua terlahir di muka bumi, jiwa dan talenta olahraga telah melekat dalam dirinya. Bagi orang Papua, olahraga juga sebagai seni yang tumbuh subur dalam masyarakat Papua. Hal ini sejalan pula dengan berbagai teori yang menggambarkan olahraga adalah bentuk dari seni sebagai ekspresi dari ketrampilan yang kreatif dan imaginasi dari setiap individu, yang memproduksi emosi dan spirit. Karena itu, olahraga adalah skill, kreativitas, emosi, dan imaginasi.

Menyadari realitas sosial itu, Gubernur Acub Zainal di awal tahun 1970-an, memberikan perhatian ke pengembangan olahraga. Ia memprakarsai pemugaran Stadion Mandala menjadi stadion yang memiliki tribun dan layak dalam berbagai pertandingan nasional. Tidak hanya itu saja, Acub Zainal juga membangun Gedung Olahraga (GOR) Jayapura yang terletak di tengah kota Jayapura. Bahkan, kecintaannya kepada sepakbola begitu tinggi.

Walaupun Acub Zainal tidak bertugas di Papua lagi di tahun 1976, ia mengirim sebuah surat dari Bandung, pada 18 April 1976, sehari sebelum final melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976.

Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija dengan skor 4 - 3.

Olahraga dan Identitas di Panggung Global

Belajar dari pengalaman di belahan negara-negara lain, olahraga memiliki karakter yang melintasi batas-batas wilayah budaya dan politik. Sepakbola menjadi identitas rakyat di Amerika Latin karena bertolak dari kesamaan sejarah atas penderitaan atas penjajahan dan situasi ekonomi yang sulit.

Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.

Demikian pula, China juga menganggap olahraga sebagai sarana untuk membangun kebanggaan bagi wajah baru China di panggung global. Setelah China tidak mengikuti Olimpiade selama 30 tahun, akhirnya China mengambil bagian dair Olimpiade tahun 1984. Kemenangan yang diraih oleh atlet-atlet China menggambarkan sebuah China baru yang penuh dengan harapan, keterbukaan, dan spirit. Dengan kekuatan ekonomi, sekolah-sekolah olahraga dibangun dengan kompetisi yang teratur. Alhasil, China meraih rangking pertama dalam Olimpiade 2008 yang digelar di China.

Identitas nasional dibangun melalui olahraga adalah sumber terpenting di dalam membangun kebanggaan nasional, apapun rezim politiknya, baik demokratis atau rezim otoriter. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream". Slogan-slogan selama piala dunia juga mencerminkan semangat, kepercayaan diri, dan kebanggaan nasional.

Kesebelasan Australia, mengangkat slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History". Ghana dengan slogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, Yunani mengangkat slogan, "Heroes play like Greeks" (www.cnn.com, 15 Mei 2014).

Senada dengan berbagai slogan dari negara-negara tersebut, dalam pembukaan Piala Presiden di Sleman, Yogyakarta, pada 4 Februari 2017, Presiden Joko Widodo juga menekankan, sepakbola kita menjadi sepakbola yang mempersatukan.

Talenta Papua dan Kebangkitan Olahraga
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama stadion utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan, "Proyek pembangunan venue PON di Papua ini memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menambahkan pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.

Dalam konteks Papua, olahraga adalah talenta orang Papua. Menjadi rahasia umum, Papua telah melahirkan bibit olahraga di berbagai cabang olahraga. Untuk mengangkat talenta-talenta yang tersebar di berbagai daerah di Papua, Gubernur Enembe adalah mengakomodasi pendekatan pembangunan berbasis sosial budaya dengan menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Laapago, Meepago dan Animha. Harapannya, kearifan lokal, potensi sumber daya manusia dan potensi alam didekati dan dikembangkan dalam konteks kebijakan teknokratis.

Pendekatan berbasis 5 wilayah adat ini menjadi dasar bagi penentuan 5 kluster dari tuan rumah cabang-cabang olahraga selama PON XX tahun 2020 di Papua, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura. Dalam skenario ini, ada redistribusi pemerataan pusat-pusat olahraga dan ekonomi wilayah sebagai imbas tuan rumah dari sejumlah cabang olahraga.

Papua sebagai tuan rumah juga dapat ditempatkan sebagai bagian dari strategi membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam pandangan Gubernur Enembe, PON di tanah Papua harus diletakkan sebagai komitmen Pemerintah di dalam membangun Indonesia dari pinggiran, sebagaimana visi besar yang diangkat Presiden Joko Widodo.

Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden perihal percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, sebagaimana hasil Sidang Kabinet pada 19 Juli 2017, dilihat sebagai upaya mempercepat redistribusi pembangunan dan sebagai upaya mengurangi kesenjangan pusat-pusat olahraga antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

Melalui Inpres PON ini, sejumlah langkah-langkah kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga diarahkan untuk mendukung persiapan dan penyelenggaraan PON.

Dengan cara ini, PON tidak hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja, namun menjadi kerja kolektif baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Misalnya saja, sejumlah Kementerian Pariwisata bertugas untuk mempromosikan berbagai destinasi wisata Papua di berbagai forum internasional dan nasional. Juga, kementerian komunikasi dan informasi mendorong pembangunan jaringan telekomunikasi di berbagai daerah di Papua. Begitu juga, Kementerian PUPR menyiapkan berbagai infrastrukur dasar guna mendukung kawasan-kawasan di lokasi PON.

Dengan demikian, PON XX Tahun 2020 di Papua adalah sebuah langkah besar untuk mewujudkan janji, harapan, dan visi besar dari UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Harapannya, PON di Papua merupakan strategi dalam menjamin pemerataan akses olahraga, menguatkan kepribadian yang bermartabat dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperkukuh ketahanan nasional. [***]

Penulis adalah mantan Staf Khusus Presiden dan Direktur Eksekutif The Institute for Regional Institutions and Networks (IRIAN Institute)

Jul 6, 2017

Narasi Tunggal Re-Negosiasi PT. Freeport Indonesia

Politik  KAMIS, 06 JULI 2017 , 15:45:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI


Ilustrasi

AGENDA re-negosiasi PT. Freeport Indonesia (PTFI) kembali mengemuka. Selasa, 4 Juli 2017, sejumlah menteri Kabinet Kerja membahas masa depan PT. Freeport Indonesia. Hasil pertemuannya dimuat berbagai media pada hari itu. Sejumlah media mengutip pernyataan bahwa pemerintah telah menyetujui perpanjangan kontrak karya FI sebanyak 2 kali 10 tahun, hingga tahun 2041.

Namun masih di hari Selasa itu, Kementerian ESDM melalui Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M. Djuraid, membantah berita ini dan mengeluarkan klarifikasi bahwa pemerintah tidak secara spesifik membahas masalah perpanjangan PTFI karena proses perundingan antara Pemerintah dan PTFI masih sedang berjalan. Apa makna dari klarifikasi dari Kementerian ESDM ini?

Dalam pandangan penulis, hal ini sebenarnya menandakan sebuah komunikasi publik yang perlu dikelola lebih optimal di lingkungan Kementerian yang terkait agenda masa depan FI di Indonesia. Pesan-pesan kebijakan ke publik memiliki makna penting terhadap persepsi publik.

Sebelumnya, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Publik Johan Budi, ketika Istana Bogor, 23 Mei 2017, menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo, agar humas pemerintah aktif menjelaskan pentingnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Menurut Johan Budi, keaktifan pemerintah menjelaskan maanfaat sebuah investasi itu juga berguna untuk menutup ruang munculnya berita hoaks yang menyudutkan pemerintah dan tidak produktif bagi masyarakat.

Menyimak ketidaktepatan pernyataan di seputar agenda re-negosiasi PTFI, tampaknya relevan untuk memaknai kembali perlunya sebuah narasi tunggal dari Pemerintah sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran berita di publik yang menimbulkan persepsi publik yang membenturkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan dunia investasi. Apa substansi yang berkembang dari poin ke poin dari re-negosiasi dan siapakah yang menjadi corong yang menyampaikan perkembangan dari tahap ke tahap, serta sejauhmana posisi dasar Indonesia dapat terwujud, dan bagaimana kesepakatan yang diambil sebagai jalan tengah.

Narasi tunggal ini sebenarnya merupakan kebijakan dari Presiden Joko Widodo di dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Dengan demikian, publik dapat memperoleh informasi yang benar soal agenda Freeport Indonesia yang dianggap strategis bagi kepentingan nasional. Disinilah narasi tunggal proses re-negosiasi perihal masa depan PTFI di Indonesia.

Posisi Dasar Indonesia

Beberapa hari setelah Barack Obama menyampaikan pidato kunci pada Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta, 1 Juli 2017, agenda masa depan FI kembali dibahas secara khusus oleh Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada 4 poin penting yang menjadi agenda pembahasan. Pertama, apakah ada perpanjangan kontrak antara PTFI dengan Indonesia. Kedua, mengenai pembangunan smelter. Ketiga, mengenai divestasi saham dan keempat, mengenai faktor fiskal atau penerimaan negara.

Pada intinya, Pemerintah masih terus menggodok konsep kebijakan yang tepat sebagai sebuah paket perundingan antara Indonesia dan PTFI. Pemerintah berpegang teguh dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Hal ini sebagai payung politik hukum yang memberikan arah pengelolaan sumber daya alam di Republik ini. Konsekuensinya, rezim kontrak karya yang dianut oleh PTFI wajib diubah sesuai regulasi UU No. /2009 tersebut.

Selain berpegang pada regulasi Minerba tahun 2009 ini, Pemerintah sebenarnya saat ini berada di dalam sebuah keputusan, suka atau tidak suka, untuk membuka masuknya investasi asing ke Indonesia di tengah ekonomi nasional yang melemah. Berulang kali diberbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo telah menegaskan betapa pentingnya investasi bagi keberlanjutan pembangunan. Berbagai perjalanan ke luar negeri juga dimaksudkan untuk mempromosikan Indonesia guna menarik calon investor masuk ke Indonesia. Dalam konteks itu, tugas dari seorang Presiden di dunia internasional adalah mengangkat profil positif Indonesia dan bahkan menjalankan fungsi marketing kepada komunitas bisnis di panggung internasional.

Namun, bersamaan dengan kebutuhan atas investasi asing, kedaulatan ekonomi Indonesia mutlak dikedepankan. Ketika pada awal Februari 2017 soal PTFI banyak diperbincangkan di publik nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada 22 Februari 2017, menyampikan ke publik bahwa tidak ada lagi apa yang disebut berbagai macam negosiasi yang sifatnya tertutup, tidak transparan. Ia mengingatkan bahwa Indonesia menegakkan peraturan perundang-undangan, dan pemerintah terus menjelaskan secara baik kepada seluruh investor. Dengan perubahan regulasi di Indonesia, sebuah keniscayaan untuk mengkoreksi substansi kontrak karya yang selama ini diacu oleh PTFI.

Mengelola Komunikasi Publik di tengah Keberagaman Kepentingan 
Dalam konteks pengelolaan komunikasi publik soal re-negosiasi PTFI ini, tampaknya penting untuk memetakan secara jelas berbagai kepentingan yang terkait dengan masa depan tambang emas di Tanah Papua ini.

Tidak hanya dari kepentingan Pemerintah, namun juga dari kepentingan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten-kabupaten sekitar wilayah eksploitasi, masyarakat adat pemilik hak ulayat, dunia usaha baik BUMN dan dunia swasta nasional dan daerah, maupun kepentingan para penanam modal di tubuh PTFI, dan bahkan Freeport Mcmorand yang bermarkas di Phoenix.

Kepentingan PTFI telah jelas posisinya.

Ketika awal Februari 2017 lalu, President dan CEO McMorand Inc, Richard Anderson, menegaskan bahwa kontrak karya merupakan dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi Freeport. Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi Freeport untuk melakukan investasi modal skala besar berjangka panjang di Papua. Bahkan, jika perundingan dengan Indonesia menemui jalan buntu, maka Richard Anderson mengancam untuk memulai Arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan KK dan memperoleh ganti rugi yang sesuai.

Bagi rakyat Papua dan pemerintah daerah Papua, kehadiran PTFI adalah sebuah realitas yang signifikan di dalam pembangunan daerah, apalagi dalam konteks pembangunan kabupaten Mimika. Sejak pertengahan tahun 2013 Gubernur Papua Lukas Enembe telah menyodorkan 17 poin tuntutan Papua dalam konteks re-negosiasi. Intinya, apa hak-hak rakyat Papua yang wajib diperoleh dari poin demi poin di dalam proses re-negosiasi PTFI. Soal divestasi, Gubernur Enembe sepakat dengan konsep Pemerintah agar Indonesia menguasai 51 persen saham PTFI. Tentu juga, sejauhmana kepentingan masyarakat adat, hak atas lingkungan, dan pembangunan sosial yang masih dibutuhkan oleh masyarakat lokal disekitar wilayah pertambangan emas ini.

Belum lagi, bagaimana pemerintah mengelola komunikasi publik yang tepat, sebagaimana respon dari komunitas masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah. Simak saja, pernyataan Menteri ESDM Ignatius Jonan yang membandingkan kecilnya kontribusi sebesar Rp 8 Triliun ketimbang kontribusi cukai rokok sekitar Rp 135 Triliun namun tapi tidak rewel.

Kontan, pernyataan ini dikritisi oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, pada 22 Februari 2017. Ia menilai pernyataan Menteri Jonan lebay bahkan menyesatkan. Bagi Tulus Abadi, cukai rokok Rp 135 Triliun bukan dibayar oleh industri rokok, namun dibayar oleh konsumen perokok. Bahkan, industri rokok melakukan perlawanan terhadap regulasi pemerintah.

Memang tidaklah mudah mengelola kepentingan yang beragam soal agenda re-negosiasi PTFI ini. Belum lagi dengan faktor geopolitik dan warisan sejarah hadirnya PTFI di Indonesia yang tida terlepas di masa transisi Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.

Pemerintah telah tepat untuk berpegang teguh dengan politik regulasi Minerba tahun 2009 dan sejumlah aturan pendukung di tahun 2017 ini, dengan tetap menghormati hak-hak rakyat Papua, termasuk pemerintah daerah, di atas tanahnya sendiri di Tanah Papua. Pasti ada saja pro dan kontra, baik dari sisi filosofis nasionalisme ekonomi maupun dari sisi pragmatisme keberlanjutan ekonomi nasional dan daerah, khusus Tanah Papua.

Sebagai pengambil keputusan tertinggi di eksekutif, Presiden Joko Widodo, pada 16 Oktober 2015, bahkan telah menegaskan keputusan perpanjangan kontrak karya Freeport hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir sesuai UU No. 4 Tahun 2009, yakni di tahun 2019. Lima pesan dari Presiden Joko Widodo, perlunya pembangunan Papua, peningkatan lokal konten, divestasi, royalti, dan industri pertambangan di Papua.

Akhirnya, kita juga menyadari, investasi asing adalah komponen penting di dalam pembangunan nasional. Apalagi ketika ekonomi Indonesia melemah. Suka atau tidak suka, Indonesia masih membutuhkan kehadiran PTFI dengan semua cerita yang melatarinya.

Tinggal kita saat ini, khususnya, di Kementerian ESDM untuk mengelola sebuah narasi tunggal re-negosiasi PTFI yang tepat. [***]

Penulis adalah pengamat hubungan internasional, mantan Staf Khusus Presiden RI.

Jul 3, 2017

Lukas Enembe : Menjaga Harmoni Keber-agama-an





PAPUANEWS.ID – Papua dijadikan contoh sebagai daerah yang menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Menjaga harmoni keberagamaan bukanlah tugas yang ringan, namun membutuhkan kesungguhan yang penuh kearifan sosial.

Dalam pandangan Gubernur Lukas Enembe, toleransi dan kerukunan antarumat beragama telah menjadi salah satu warna dasar denyut pembangunan di Papua.  Apa yang dipraktekkan di Tanah Papua adalah cerminan dari sebuah kerukunan antarperadaban (harmony among civilizations) sebagai modal sosial dalam pembangunan di Tanah Air.

Saat-saat ini di Tanah Papua, kita menyaksikan keindahan sosial di saat umat beragama, baik umat Islam ketika merayakan Idul Fitri, umat Kristiani mengunjungi saudara-saudaranya yang beragama Islam. Orang tua, sanak saudara, dan anak-anak saling mendatangi tetangga-tetangganya yang merayakan Idul Fitri.
Mereka berbondong-bondong dengan gembira, suka cita, dan saling maaf-memaafkan diantara mereka. Sebaliknya, ketika umat Kristiani di Tanah Papua merayakan hari Natal, umat Muslim endatangi tetangga-tetangga, sanak saudara, dan handau taulan yang beragama Kristen.

Gambaran itu terlihat di berbagai daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebuah cerminan yang indah dari kehidupan sosial yang menjunjung kebersamaan, persaudaraan, dan kasih sayang.
Relasi sosial yang indah ini tidak hanya tercermin ketika hari raya saja, namun ternyata relasi sosial yang menjunjung kebersamaan ini telah berlangsung lama dalam praktek berbagai sisi kehidupan sosial di Tanah Papua.

Papua meraih Harmoni Award 2016

Kehidupan beragama yang harmoni di Papua menjadi contoh bagi daerah-daerah lainya di Tanah Air.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Agama pada 26 Februari 2017 memberikan anugerah kepada Gubernur Papua Lukas Enembe yang telah menjaga harmoni keberagamaan di Papua. Penghargaan Pemerintah disebut sebagai Harmoni Award 2016 atau Anugerah Kerukunanan Umat Beragama. Selain Provinsi Papua, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kepulauan Riau juga meraih Harmoni Award 2016.

Sementara itu, di tingkat Kabupaten, daerah-daerah yang meraih Harmoni Award adalah Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Alor, Kabupaten Jayapura, Kota Tomohon dan Kota Sungai Penuh.

Dalam pandangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, anugerah yang diraih Papua ini tak lepas dari suksesnya Lukas Enembe menciptakan keberagamaan yang baik dan sejuk.
Pemerintah menilai, Papua mampu menjaga harmoni keberagamaan dan mampu menempatkan agama pada posisi sesungguhnya, sehingga mampu mengayomi keragaman yang ada di Tanah Papua.

Selain kehidupan keberagamaan yang harmoni, masih dalam pandangan Kementerian Agama bahwa Papua juga memenuhi kriteria umum yang ditelah ditetapkan oleh Kementerian Agama, antara lain Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama, program dan kebijakan terkait kerukunan umat beragama, kegiatan kerukunan umat beragama, serta aspek dukungan APBD yang dialokasikan untuk penguatan kerukunan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Harmoni Award ini merupakan upaya Pemerintah memberikan apresiasi kepada daerah-daerah dan tokoh-tokoh di dalam membangun harmoni di tengah perbedaan sosial di Tanah Air.
Ketika acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional di Ambon, pada 6 Oktober 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengibaratkan kebersamaan dalam keragaman seperti paduan suara yang hasilnya dapat melahirkan harmoni yang indah.

Bagi Presiden Joko Widodo, kehidupan berbhinneka tunggal ika diibaratkan seperti paduan suara. Sebab, dalam paduan suara ada orang yang bersuara bas, ada yang sopran, tenor, dan juga alto, namun meskipun berbeda tetapi jika semuanya bernyanyi secara bersama hasilnya adalah harmoni yang indah.
Dalam suatu kesempatan, Presiden Joko Widodo berujar, “Kita bersyukur, Indonesia bersyukur, kodrat kebangsaan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kodrat Indonesia adalah mengelola keberagaman, mengelola kemajemukan, mengelola kebhinnekaan,” (18 April 2017).
Karena itu, upaya merawat kebersamaan menjadi tugas kolektif semua anak bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengelola Tantangan

Menjaga harmoni dalam keberagamaan bukanlah tugas yang ringan. Nilai-nilai harmoni, toleransi, kasih sayang dan kebersamaan haruslah dibangun, dirawat dan dikembangkan dari waktu ke waktu.
Mengapa relasi sosial yang harmoni harus dirawat dengan baik? Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of  World Order (Benturan Peradaban dan Pembangunan Kembali Tatanan Dunia), Samuel Huntington (1996), ilmuwan politik dari Amerika Serikat, menilai bahwa pasca perang dingin konflik tidak lagi di wilayah ideologi, namun potensi konflik di wilayah identitas kebudayaan.

Konflik-konflik komunal diantara peradaban yang berbeda. Apalagi, dalam pandangan Huntington, negara gagal secara ekonomi maupun sistem politik yang tidak akomodatif menjadi potensi muncul konflik sosial dari identitas yang berbeda. Dalam konteks inilah, kita mengingat kembali apa yang diutarakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika berpidato di Harvard University, Amerika Serikat, pada 29 September 2009.

Ia tidak setuju dengan argumen Samuel Huntington tentang the Clash of Civilizations (benturan peradaban), namun ia melihat apa yang disampaikan oleh Huntington sebagai suatu peringatan kepada bangsa-bangsa yang masyarakatnya majemuk. Sebaliknya, ia melihat betapa pentingnya ide kerukunan antarperadaban (Harmony among Civilizations). Suatu tatanan dunia yang diwarnai oleh kemitraan, kerjasama, dialog multikulturalisme, toleransi dan moderasi.

Sejalan dengan pandangan kerukunan antarperadaban ini, Presiden Joko Widodo, menceritakan berbagai negara kagum dengan kerukunan umat beragama yang terjadi di Indonesia.
Dalam dialog dengan pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bogor, pada 23 Mei 2017, Presiden Joko Widodo berpesan kerukunan dan stabilitas diperlukan untuk membangun negara, apalagi pada era kompetisi global seperti sekarang persatuan dan soliditas bangsa Indonesia akan diuji dalam kancah persaingan dunia.

Presiden Jokowi mengakui, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, Indonesia juga pasti sesekali mengalami sedikit gesekan, tetapi gesekan kecil itu segera diselesaikan sehingga menjadi pembelajaran yang berharga.

Pengakuan yang diberikan Pemerintah kepada Papua sebagai Daerah yang mampu merawat kerukunan antarumat beragama menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak ringan.
Berulang kali, Gubernur Lukas Enembe menekankan betapa pentingnya upaya-upaya sistematis di dalam mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai. Di dalam visi Tanah Damai ini, berkembang Kasih Menembus Perbedaan yang mewarnai visi pembangunan, strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang komprehensif.

Dalam suatu momen berbuka puasa dengan tokoh-tokoh FKUB dan Insan Pers, pada 8 Juni 2017, Gubernur Enembe berperan insan pers dan FKUB berjalan seiiring dengan pemerintah daerah dalam memupuk persatuan, memelihara kerukunan sosial, dan menjaga kedamaian.

Di tengah-tengah penduduk Papua yang majemuk, adalah tugas yang tidak ringan bagi Gubernur Lukas Enembe untuk menjaga harmoni keberagamaan. Harmoni Award 2016 yang dicapai oleh Papua adalah sebuah kerja kolektif semua anak bangsa yang hidup di Tanah Papua. Kehidupan sosial yang rukun dari leluhur-leluhur Papua di masa lalu, adalah modal sosial dan modal kultural bagi Papua untuk mewujudkan visi besar Papua yang bangkit, mandiri, dan sejahtera dalam masyarakat Papua yang majemuk.

Sekali lagi, Gubernur Enembe pernah berpesan, “Dari dulu Papua ini sangat menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Mari kita terus membangun Papua ini dalam keberagaman dan Kasih Menembus Perbedaan”. Untuk itulah, menjaga harmoni keberagamaan adalah tanggung jawab kita semua. (*/Adv)

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...