Nov 17, 2014

Presiden Jokowi Terus Melanjutkan Proses Otsus di Tanah Papua

  Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan  Otonomi Daerah yang saat ini sebagai Perencana di Bappenas, Velix Wanggai membenarkan kalau pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala tetap melanjutkan proses otonomi khusus di tanah Papua.
“Kalau diletakkan dalam agenda pemerintah baru, Bapak Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala, kita melihat bahwa sebetulnya ada misi besar dari Presiden Jokowi untuk terus melanjutkan proses otonomi kusus (Otsus) ini,”kata Felix Wanggai saat dicegat di VIP Room Bandara Sentani Kabupaten Jayapura, Sabtu (15/11).

Menurut Felix , jika dilihat di visi Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla saat masa kampanye lalu,  maka  ada satu poin yang disebut sebagai sembilan agenda besar.  “Nawacita dari Presiden Jokowi, salah satunya adalah membangun Indonesia dari daerah pinggiran. Dan satu poin penting di dalam agenda membangun Indonesia dari daerah pinggiran adalah mereka menyampaikan akan meletakan dasar-dasar desentralisasi asimetris untuk mendukung percepatan pembangunan di daerah-daerah perbatasan, mendukung daya saing regional dan daerah,”kata Felix Wanggai.

Dan yang ketiga mempercepat pelayanan publik di daerah yang sumber dayanya terbatas.
“Itu kata-kata yang sangat jelas yang disampaikan oleh bapak presiden Jokowi sejak bulan Mei 2014. Beliau menyampaikan bahwa akan meletakkan dasar-dasar desentralisasi asimetris,” katanya.
Artinya,kerangka Otsus bagi Tanah Papua, Jogjakarta dan  bagi Daerah Istimewa Aceh, ini dalam rangka desentralisasi asimetris, karena pengertian lain dari desentralisasi asimetris adalah sebuah kerangka otsus bagi daerah yang memiliki kekhususan
.
“Itu artinya kita sebetulnya memberikan harapan. Papua ada harapan dari Presiden Jokowi bahwa beliau akan tetap melanjutkan. Karena  sesuai dengan visi dari Presiden Jokowi,”ungkapnya.
Yang kedua selain visi yang sudah diletakkan oleh Presiden Jokowi kata Velix Wanggai, dari visi misi ketika calon presiden.

“Yang mana kita melihat arah perencanaan pembangunan nasional yang saat ini sedang dirumuskan di Bappenas. Di situ salah satu poin untuk percepatan pembangunan wilayah Papua adalah melakukan revisi undang-undang Nomor: 21 Tahun 2001. Artinya point kedua adalah Bappenas telah merumuskan salah satu agenda pengembangan di Papua yaitu percepatan pembangunan wilayah di Papua adalah melakukan revisi atau penyesuaian undang-undang otsus itu. Itu sebuah pegangan kita,” kata jebolan UGM Jogjakarta itu.

Dan yang ketiga lanjut staf perencanaan pada Bappenas itu bahwa dari aspek kerangka kebijakan, kini di Kemendagri telah melihat bahwa pihak Dirjend Otda telah melaporkan kepada Mendagri, menyampaikan tentang langkah yang telah dilakukan oleh Otsus bagi Papua.
“Capaian yang selama ini sudah dilakukan dari sisi proses, teman-teman di Dirjend Otda telah menyampaikan beberapa hal kepada Menteri yang baru adalah  menyampaikan proses yang sudah berjalan,”ujarnya.

Kemudian yang kedua adalah substansi dari otonomi khusus yang saat ini yang  diusulkan oleh Papua dan Papua Barat. Menariknya, saat ini tidak hanya Papua yang akan dilakukan revisi, tapi ternyata kita melihat beberapa daerah lain juga menginginkan sebuah perlakuan khusus .

“Kita melihat seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan juga Riau. Saya pikir itu kecenderungan yang terjadi di Jakarta. Mudah-mudahan ini memberikan sebuah peluang bagi Papua. Tadi harapan adalah memberikan sebuah peluang bagi Papua dan harapan bagi Papua  untuk pemerintahan Jokowi melanjutkan ini,”ujarnya.

Dari aspek proses legal, Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang mempersiapkan untuk mengajukan Draft RUU sebagai Prolegnas prioritas 2015.
“Ini yang terpenting adalah draft ini masuk dalam Prolegnas prioritas 2015 dan selanjutnya akan dilanjutkan pembahasan” tutupnya.
Di tempat yang sama, Bupati Lany Jaya, Befa Jigibalon menilai Presiden Jokowi orang yang praktis dan tidak bertele-tele dalam konsep. “Jadi dalam kepemimpinan seperti itu dia harus mampu cepat melihat hal yang praktis dan sederhana yang sedang menjadi pergumulan dan harapan besar seluruh masyarakat Papua. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh orang Papua asli, itu beliau harus mengerti di dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia,”ujar mantan Ketua Bappeda Kabupaten Jayawijaya itu.

Menurutnya di Papua saat ini ada ketidakberdayaan dan ketidakpastian di Papua saat ini.
“Ada ketidakberdayaan, ada ketidakpastian masa depan. Dan  itu yang Jokowi harus berikan, pemberdayaan dan kepastian akan masa depan di dalam negara ini,”ungkapnya lagi.
Dan itu hanya bisa menurut Befa Jigibalon,  seorang pemimpinnya tidak hanya bicara, tetapi konsisten mengikuti setiap perkembangan yang di tanah Papua.
“Mengikuti setiap kebijakan-kebijakan itu. Jangan habis bicara, lalu berharap untuk para Menterinya jalankan, itu jamannya bapak SBY begitu. Presidennya oke, tapi anak buahnya di bawah tidak jalan. (Roberth Wanggai)

Oct 20, 2014

Ini 3 Program SBY untuk Papua yang Harus Dilanjutkan Jokowi

Senin 20 Oktober 2014, 00:21 WIB
 
Jakarta - Selama 10 tahun terakhir, Papua menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden SBY. Perubahan pendekatan, terobosan pembangunan, dan berbagai jejak langkah untuk Tanah Papua telah diletakkan oleh Presiden SBY dan jajaran kementerian/lembaga dalam satu dasawarsa ini.

Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyampaikan tiga agenda strategis Presiden SBY. Tiga hal itu sekaligus sebagai pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi).

Tiga agenda itu adalah rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU 'Otonomi Khusus Plus', agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.

"Komitmen Presiden SBY untuk Tanah Papua ditegaskan sejak awal dalam pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004," kata Velix Wanggai dalam keterangannya, Minggu (19/10/2014).

SBY yakin otonomi khusus menjadi solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Sejalan dengan solusi otonomi asimetris untuk Tanah Papua ini, sejumlah pendekatan yang humanis, dialogis, dan kultural ditempuh oleh SBY. SBY meyakini kebijakan afirmasi (affirmative policy) terus diberikan kepada rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya.

"Pertama, Presiden SBY meyakini otonomi khusus menjadi solusi yang adil, menyeluruh, fundamental, dan bermartabat bagi Tanah Papua. Sejak tahun 2004 hingga 2014 ini Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk mengotimalkan pelaksanaan UU 21/2001 ini. Langkah mendasar yang ditempuh yakni membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No.54/2004 yang dianggap sebagai 'hadiah Natal' bagi rakyat Papua," jelasnya.

Menurut Velix, hal itu diikuti oleh pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua. Itu terlihat dari desentralisasi fiskal yang semakin meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014 ini.

"Namun Presiden SBY juga tidak menutup mata dengan permasalahan yang masih melekat dalam pelaksanaan otsus. Dari hasil evaluasi 12 tahun terakhir, Presiden SBY menegaskan saatnya untuk revisi UU 21/2001, dan perlunya 'Otonomi Khusus Plus'," imbuhnya.

Velix Wanggai menjelaskan proses perubahan ini telah dijalan selama 1 tahun terakhir ini di tingkat Papua dan Papua Barat. Komitmen SBY ditunjukkan melalui Surat Presiden (Surpres) tanggal 18 September 2014 No: R-53/Pres/9/2014 perihal RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

Lebih lanjut, Velix Wanggai menjelaskan agenda strategis kedua, adanya komitmen untuk menyelesaikan konflik menuju Papua Tanah Damai. Komitmen ini ditegaskan sejak awal pemerintahan KIB I. Pendekatan humanis, bijaksana, dan dialogis menjadi pilihan yang ditempuh SBY. Ketika kunjungan ke Merauke tahun 2005, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa lalu yang tidak tepat di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.

"Namun, Presiden SBY menegaskan keutuhan wilayah NKRI adalah harga mati, dan akan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara. Ini adalah tugas konstitusi yang diemban seorang Presiden," jelasnya.

SBY, lanjut Velix, terus menyapa rakyat dan membuka pintu dialogis dengan kelompok-kelompok strategis Papua. Tercatat sejak 2004 hingga 2014, SBY telah mengunjungi Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat.

"Presiden SBY juga berdialog dari hati ke hati dengan para pendeta asal Papua, baik dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) maupun Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP). Perdamaian melalui Pembangunan (peace through development) menjadi pilihan pendekatan Presiden SBY di dalam mengelola rekonsiliasi dan reintegrasi sosial di Tanah Papua," kata Velix.

Menurut Velix, Papua selalu di hati Presiden. Aspek humanis, kultural, dan spiritual menjadi kerangka dasar Presiden SBY dalam mengelola Papua. Langkah membangun Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua Barat sebagai pintu gerbang peradaban di Tanah Papua adalah pilihan langkah kultural Presiden SBY. Proses ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan perdamaian antar peradaban, baik Islam dan Kristen di wilayah Timur Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.

"Sedangkan, agenda ketiga, Presiden SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Tanah Papua. Velix Wanggai mengurai akar persoalan yang dihadapi di Tanah Papua adalah soal ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Sederet soal itu jika seringkali menyebabkan trust, kepercayaan rakyat Papua ke Jakarta rendah," ujar velix Wanggai.

Selama 10 tahun terakhir ini, Pemerintahan Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan.
Dari konteks perencanaan, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014. Ini menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Dari sisi regulasi, Presiden pernah menetapkan 'New Deal for Papua' yang dimasukkan ke dalam Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

Di era KIB II, Presiden SBY mengkoreksi Inpres 5/2007, dan menerbitkan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan “New Deal for Papua” ini diikuti oleh kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Namun, di dalam berbagai kesempatan, Velix Wanggai menceritakan Presiden SBY belum puas dengan kinerja pembangunan di Tanah Papua. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Akses pelayanan dasar masih belum menjangkau seluruh Tanah Papua. Tingkat kemahalan harga juga masih tinggi. Kepercayaan publik (trust) juga masih perlu ditingkatkan di kalangan grass root Papua. Keamanan di beberapa daerah di kawasan Pegunungan Tengah masih terganggu. Ada juga tuntutan dialog Jakarta-Papua masih terus dituntut kepada Pemerintah.

"Sejumlah poin itu akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo.
Di akhir perbincangannya, Velix Wanggai berpesan kiranya 3 agenda strategis yang telah diletakkan Presiden SBY menjadi agenda yang berlanjut untuk dikelola lebih baik lagi di tahun 2014-2019. Tiga agenda itu, yakni agenda rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU “Otonomi Khusus Plus”, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif," tutupnya.


(mpr/bar)

Program SBY untuk Papua yang Harus Dilanjutkan Jokowi


Program SBY untuk Papua yang Harus Dilanjutkan Jokowi
 
19 Oktober 2014
Metroterkini.com - Selama 10 tahun terakhir, Papua menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden SBY. Perubahan pendekatan, terobosan pembangunan, dan berbagai jejak langkah untuk Tanah Papua telah diletakkan oleh Presiden SBY dan jajaran kementerian/lembaga dalam satu dasawarsa ini.
Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyampaikan tiga agenda strategis Presiden SBY. Tiga hal itu sekaligus sebagai pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi).
Tiga agenda itu adalah rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU 'Otonomi Khusus Plus', agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.

"Komitmen Presiden SBY untuk Tanah Papua ditegaskan sejak awal dalam pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004," kata Velix Wanggai dalam keterangannya, Minggu (19/10/2014).
SBY yakin otonomi khusus menjadi solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Sejalan dengan solusi otonomi asimetris untuk Tanah Papua ini, sejumlah pendekatan yang humanis, dialogis, dan kultural ditempuh oleh SBY. SBY meyakini kebijakan afirmasi (affirmative policy) terus diberikan kepada rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya.

"Pertama, Presiden SBY meyakini otonomi khusus menjadi solusi yang adil, menyeluruh, fundamental, dan bermartabat bagi Tanah Papua. Sejak tahun 2004 hingga 2014 ini Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk mengotimalkan pelaksanaan UU 21/2001 ini. Langkah mendasar yang ditempuh yakni membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No.54/2004 yang dianggap sebagai 'hadiah Natal' bagi rakyat Papua," jelasnya.

Menurut Velix, hal itu diikuti oleh pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua. Itu terlihat dari desentralisasi fiskal yang semakin meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014 ini.
"Namun Presiden SBY juga tidak menutup mata dengan permasalahan yang masih melekat dalam pelaksanaan otsus. Dari hasil evaluasi 12 tahun terakhir, Presiden SBY menegaskan saatnya untuk revisi UU 21/2001, dan perlunya 'Otonomi Khusus Plus'," imbuhnya.
Velix Wanggai menjelaskan proses perubahan ini telah dijalan selama 1 tahun terakhir ini di tingkat Papua dan Papua Barat. Komitmen SBY ditunjukkan melalui Surat Presiden (Surpres) tanggal 18 September 2014 No: R-53/Pres/9/2014 perihal RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

Lebih lanjut, Velix Wanggai menjelaskan agenda strategis kedua, adanya komitmen untuk menyelesaikan konflik menuju Papua Tanah Damai. Komitmen ini ditegaskan sejak awal pemerintahan KIB I. Pendekatan humanis, bijaksana, dan dialogis menjadi pilihan yang ditempuh SBY. Ketika kunjungan ke Merauke tahun 2005, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa lalu yang tidak tepat di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.
"Namun, Presiden SBY menegaskan keutuhan wilayah NKRI adalah harga mati, dan akan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara. Ini adalah tugas konstitusi yang diemban seorang Presiden," jelasnya.

SBY, lanjut Velix, terus menyapa rakyat dan membuka pintu dialogis dengan kelompok-kelompok strategis Papua. Tercatat sejak 2004 hingga 2014, SBY telah mengunjungi Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat.

"Presiden SBY juga berdialog dari hati ke hati dengan para pendeta asal Papua, baik dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) maupun Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP). Perdamaian melalui Pembangunan (peace through development) menjadi pilihan pendekatan Presiden SBY di dalam mengelola rekonsiliasi dan reintegrasi sosial di Tanah Papua," kata Velix.

Menurut Velix, Papua selalu di hati Presiden. Aspek humanis, kultural, dan spiritual menjadi kerangka dasar Presiden SBY dalam mengelola Papua. Langkah membangun Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua Barat sebagai pintu gerbang peradaban di Tanah Papua adalah pilihan langkah kultural Presiden SBY. Proses ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan perdamaian antar peradaban, baik Islam dan Kristen di wilayah Timur Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.
"Sedangkan, agenda ketiga, Presiden SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Tanah Papua. Velix Wanggai mengurai akar persoalan yang dihadapi di Tanah Papua adalah soal ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Sederet soal itu jika seringkali menyebabkan trust, kepercayaan rakyat Papua ke Jakarta rendah," ujar velix Wanggai.

Selama 10 tahun terakhir ini, Pemerintahan Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan.
Dari konteks perencanaan, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014. Ini menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Dari sisi regulasi, Presiden pernah menetapkan 'New Deal for Papua' yang dimasukkan ke dalam Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Di era KIB II, Presiden SBY mengkoreksi Inpres 5/2007, dan menerbitkan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan “New Deal for Papua” ini diikuti oleh kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Namun, di dalam berbagai kesempatan, Velix Wanggai menceritakan Presiden SBY belum puas dengan kinerja pembangunan di Tanah Papua. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Akses pelayanan dasar masih belum menjangkau seluruh Tanah Papua. Tingkat kemahalan harga juga masih tinggi. Kepercayaan publik (trust) juga masih perlu ditingkatkan di kalangan grass root Papua. Keamanan di beberapa daerah di kawasan Pegunungan Tengah masih terganggu. Ada juga tuntutan dialog Jakarta-Papua masih terus dituntut kepada Pemerintah.
"Sejumlah poin itu akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo.

Di akhir perbincangannya, Velix Wanggai berpesan kiranya 3 agenda strategis yang telah diletakkan Presiden SBY menjadi agenda yang berlanjut untuk dikelola lebih baik lagi di tahun 2014-2019. Tiga agenda itu, yakni agenda rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU “Otonomi Khusus Plus”, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif," tutupnya. [dt]

Oct 19, 2014

Ini 3 Program SBY untuk Papua yang Harus Dilanjutkan Jokowi

Senin, 20/10/2014 00:21 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

SBY (foto:Setpress) 
 
Jakarta - Selama 10 tahun terakhir, Papua menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden SBY. Perubahan pendekatan, terobosan pembangunan, dan berbagai jejak langkah untuk Tanah Papua telah diletakkan oleh Presiden SBY dan jajaran kementerian/lembaga dalam satu dasawarsa ini.

Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menyampaikan tiga agenda strategis Presiden SBY. Tiga hal itu sekaligus sebagai pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi).

Tiga agenda itu adalah rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU 'Otonomi Khusus Plus', agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif.

"Komitmen Presiden SBY untuk Tanah Papua ditegaskan sejak awal dalam pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004," kata Velix Wanggai dalam keterangannya, Minggu (19/10/2014).

SBY yakin otonomi khusus menjadi solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Sejalan dengan solusi otonomi asimetris untuk Tanah Papua ini, sejumlah pendekatan yang humanis, dialogis, dan kultural ditempuh oleh SBY. SBY meyakini kebijakan afirmasi (affirmative policy) terus diberikan kepada rakyat Papua untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lainnya.

"Pertama, Presiden SBY meyakini otonomi khusus menjadi solusi yang adil, menyeluruh, fundamental, dan bermartabat bagi Tanah Papua. Sejak tahun 2004 hingga 2014 ini Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk mengotimalkan pelaksanaan UU 21/2001 ini. Langkah mendasar yang ditempuh yakni membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan PP No.54/2004 yang dianggap sebagai 'hadiah Natal' bagi rakyat Papua," jelasnya.

Menurut Velix, hal itu diikuti oleh pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua. Itu terlihat dari desentralisasi fiskal yang semakin meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014 ini.

"Namun Presiden SBY juga tidak menutup mata dengan permasalahan yang masih melekat dalam pelaksanaan otsus. Dari hasil evaluasi 12 tahun terakhir, Presiden SBY menegaskan saatnya untuk revisi UU 21/2001, dan perlunya 'Otonomi Khusus Plus'," imbuhnya.

Velix Wanggai menjelaskan proses perubahan ini telah dijalan selama 1 tahun terakhir ini di tingkat Papua dan Papua Barat. Komitmen SBY ditunjukkan melalui Surat Presiden (Surpres) tanggal 18 September 2014 No: R-53/Pres/9/2014 perihal RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

Lebih lanjut, Velix Wanggai menjelaskan agenda strategis kedua, adanya komitmen untuk menyelesaikan konflik menuju Papua Tanah Damai. Komitmen ini ditegaskan sejak awal pemerintahan KIB I. Pendekatan humanis, bijaksana, dan dialogis menjadi pilihan yang ditempuh SBY. Ketika kunjungan ke Merauke tahun 2005, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa lalu yang tidak tepat di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.

"Namun, Presiden SBY menegaskan keutuhan wilayah NKRI adalah harga mati, dan akan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara. Ini adalah tugas konstitusi yang diemban seorang Presiden," jelasnya.

SBY, lanjut Velix, terus menyapa rakyat dan membuka pintu dialogis dengan kelompok-kelompok strategis Papua. Tercatat sejak 2004 hingga 2014, SBY telah mengunjungi Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat.

"Presiden SBY juga berdialog dari hati ke hati dengan para pendeta asal Papua, baik dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) maupun Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP). Perdamaian melalui Pembangunan (peace through development) menjadi pilihan pendekatan Presiden SBY di dalam mengelola rekonsiliasi dan reintegrasi sosial di Tanah Papua," kata Velix.

Menurut Velix, Papua selalu di hati Presiden. Aspek humanis, kultural, dan spiritual menjadi kerangka dasar Presiden SBY dalam mengelola Papua. Langkah membangun Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Papua Barat sebagai pintu gerbang peradaban di Tanah Papua adalah pilihan langkah kultural Presiden SBY. Proses ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan perdamaian antar peradaban, baik Islam dan Kristen di wilayah Timur Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.

"Sedangkan, agenda ketiga, Presiden SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Tanah Papua. Velix Wanggai mengurai akar persoalan yang dihadapi di Tanah Papua adalah soal ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Sederet soal itu jika seringkali menyebabkan trust, kepercayaan rakyat Papua ke Jakarta rendah," ujar velix Wanggai.

Selama 10 tahun terakhir ini, Pemerintahan Presiden SBY mencurahkan perhatian untuk langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan.
Dari konteks perencanaan, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014. Ini menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Dari sisi regulasi, Presiden pernah menetapkan 'New Deal for Papua' yang dimasukkan ke dalam Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

Di era KIB II, Presiden SBY mengkoreksi Inpres 5/2007, dan menerbitkan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan “New Deal for Papua” ini diikuti oleh kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Namun, di dalam berbagai kesempatan, Velix Wanggai menceritakan Presiden SBY belum puas dengan kinerja pembangunan di Tanah Papua. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Akses pelayanan dasar masih belum menjangkau seluruh Tanah Papua. Tingkat kemahalan harga juga masih tinggi. Kepercayaan publik (trust) juga masih perlu ditingkatkan di kalangan grass root Papua. Keamanan di beberapa daerah di kawasan Pegunungan Tengah masih terganggu. Ada juga tuntutan dialog Jakarta-Papua masih terus dituntut kepada Pemerintah.

"Sejumlah poin itu akan menjadi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo.
Di akhir perbincangannya, Velix Wanggai berpesan kiranya 3 agenda strategis yang telah diletakkan Presiden SBY menjadi agenda yang berlanjut untuk dikelola lebih baik lagi di tahun 2014-2019. Tiga agenda itu, yakni agenda rekonstruksi UU 21/2001 menuju RUU “Otonomi Khusus Plus”, agenda penyelesaian konflik menuju Papua Tanah Damai, dan agenda melanjutkan pembangunan Tanah Papua yang komprehensif dan ekstensif," tutupnya.

Sep 21, 2014

Revisi UU Otsus Plus Papua, Parpol Lokal Papua Dimungkinkan Dibentuk

Senin, 22/09/2014 09:40 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Kerangka baru Otonomi Khusus yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR menjadi solusi penyelesaian yang menyeluruh bagi Tanah Papua. Tidak hanya pendekatan kesejahteraan yang dikedepankan, namun pendekatan sosial-politik yang bersifat rekonsiliatif juga mendasari hadirnya RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

"Ada 3 pendekatan yang digunakan dalam meredesain UU No. 21/2001," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Senin (22/9/2014).

Pertama, Pemerintah melanjutkan aspek-aspek strategis yang telah diletakkan dalam UU 21/2001. Kedua, mengubah, menyesuaikan, dan melengkapi poin-poin strategis yang ada dalam UU 21/2001.

"Mungkin sudah ada poin yang bagus, namun disesuaikan dengan situasi dan tuntutan kekinian di dalam konteks kebijakan pembangunan dan tata kelola pemerintahan," ungkapnya.

Sedangkan, ketiga adalah Pemerintah memasukkan poin-poin strategis yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001 Pemerintah bersama Pemerintah Papua dan Papua Barat berdiskusi cukup panjang selama lebih dari 1 tahun ini di dalam merumuskan kerangka strategis perubahan UU Otsus Papua.

"Prinsip dasarnya adalah perlindungan dan pengakuan identitas Orang Asli Papua, afirmasi kebijakan dalam konteks percepatan pembangunan, dan redistribusi pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Demikian pula, prinsip penguatan representasi orang asli Papua di dalam berbagai sektor pembangunan maupun prinsip rekonsialisi di dalam penyelesaian konflik," paparnya.

"Dalam hal ini, Pemerintah ingin terapkan perdamaian melalui pembangunan di Tanah Papua," imbuhnya.

Dalam RUU ini, lanjut Velix, ada 5 kerangka utama yang ditekankan. Pertama, kerangka kewenangan. Pemerintah ingin memperkuat Pemerintahan Papua dan Papua Barat dengan kewenangan dan urusan yang lebih luas.

"Dalam beberapa aspek, provinsi-provinsi di Tanah Papua memiliki kewenangan di dalam aspek hubungan luar negeri, rencana tata ruang pertahanan dan keamanan, maupun kebijakan kehutanan dan pertambangan," terangnya.

Kedua, kerangka kebijakan pembangunan strategis. RUU ini memuat 25 kebijakan strategis pembangunan. Hal ini berbeda dengan UU 21/2001 yang hanya mencakup 9 sektor pembangunan. Melalui revisi ini, Pemerintah mengusulkan agar provinsi-provinsi di Tanah Papua mengelola kebijakan kehutanan, pertambangan, infrastruktur ekonomi, pariwisata dan ekonomi kreatif, pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan dan investasi, perencanaan pembangunan dan tata ruang, lingkungan hidup, perumahan rakyat, sosial dan kebudayaan, pemuda dan olah raga, kependudukan dan ketenagaan kerjaan, kelautan dan perikanan, maupun perlindungan hak-hak masyarakat adat dan HAM.

"Kesemua ini ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua, serta menjadikan Papua sebagai salah satu pintu gerbang Indonesia di kawasan Pasifik," jelas Velix.

Sedangkan ketiga, kerangka keuangan daerah. Melalui RUU ini, Pemerintah ingin memperkuat dan memperluas kebijakan desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris (asymmetrical fiscal decentralization). Pemerintah mengusulkan perubahan formula Dana Otonomi Khusus dan Dana Bagi Hasil, serta perluasan pemanfataan Dana Otsus yang dulu hanya pendidikan dan kesehatan, namun diperluas ke sejumlah sektor-sektor prioritas sesuai kebutuhan daerah. "Demikian pula, diatur pola divestasi saham, kontrak kerjasama, penyertaan modal, maupun dana tanggungjawab sosial dunia usaha," kata Velix.

Keempat, kerangka kelembagaan pemerintahan. Revisi UU Otsus Papua ini ingin memperkuat otonomi khusus di level provinsi, dan juga menguatkan peran dan kewenangan Gubernur, Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), hubungan kewenangan Provinsi – Kabupaten/Kota, distrik, dan kampung. Di dalam RUU ini, Pemerintah mengajukan hanya ada 1 MRP yang kedudukannya di Jayapura, sebagai lembaga representasi kultural di seluruh Tanah Papua, tanpa dibatasi administrasi provinsi.

Terakhir, yang kelima, kerangka politik dan hukum yang rekonsiliatif. Pemerintah ingin RUU ini hadir sebagai sarana penguatan re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. "Salah satu ide baru yang diusulkan yakni dibentuknya partai politik lokal bagi orang asli Papua," lanjutnya.

"Melalui momentum perubahan UU Otsus ini, Presiden SBY menekankan pemerintah daerah di Tanah Papua untuk merumuskan langkah terpadu di dalam mewujudkan Papua Tanah Damai," tutupnya.

Presiden SBY Telah Kirimkan Revisi UU Otsus Plus Papua ke DPR

Senin, 22/09/2014 09:36 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Presiden SBY telah menandatangani Surat Presiden (Surpres), yang sebelumnya disebut Amanat Presiden (Ampres), mengenai Revisi UU No 21/2001 tentang Pemerintahan Otonomi Khusus Plus Papua. Setelah ditandatangani, Surpres tersebut dikirim ke DPR dan dibahas di dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) yang langsung dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

"Surpres tersebut ditandatangi oleh Presiden beberapa jam sebelum bertolak ke Amerika Serikat tanggal 18 September lalu. Surpres ini sebagai kelanjutan dari sidang kabinet terbatas yang membahas revisi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua," ujar Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai dalam keterangan tertulisnya kepada detikcom, Senin (22/9/2014).

Velix menjelaskan rekonstruksi Otsus Papua ini sebagai wujud komitmen Presiden SBY untuk mencari kerangka penyelesaian masalah Papua secara mendasar dan menyeluruh. Tawaran Otonomi Khusus Plus atau Otonomi Khusus yang Diperluas ini didasarkan atas pengalaman, pengamatan, dan pemahaman Presiden terhadap dinamika yang terjadi di Tanah Papua maupun perhatian yang dicurahkan komunitas internasional atas agenda Papua.

"Dengan Surpres ini, Presiden mengharapkan ada sisi plus, afirmasi, dan nilai tambah yang diperoleh oleh rakyat Papua maupun pemerintahan Papua dan Papua Barat. Dengan demikian, proses panjang draft Otsus Plus yang dimulai sejak pertemuan Presiden SBY dan Gubernur Papua pada 29 April 2013 lalu telah mencapai puncaknya di level Pemerintah pada 18 September," tutur Velix.

Dari sisi nama UU, Presiden SBY setuju berubah menjadi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Kata 'Otonomi Khusus' tetap digunakan di dalam RUU ini karena Otonomi Khusus memiliki akar sejarah dan nuansa batin dari dinamika politik yang terjadi pada tahun 1998 hingga tahun 2001.

"Otonomi Khusus dianggap sebagai jalan tengah yang diakui Negara guna menjembatani 2 titik ekstrem, baik pihak yang menuntut otonomi daerah dalam wadah negara kesatuan, maupun pihak yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan," paparnya.

Velix menjelaskan bahwa nama RUU ini juga menggunakan kata 'Pemerintahan'. Hal ini sebagai wujud penegasan dari implementasi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dalam wadah NKRI. Demikian pula dengan kata 'Otonomi Khusus yang Diperluas' ini diperuntukan kepada provinsi-provinsi yang berada di wilayah Pulau Papua.

"Adanya kesatuan kultural dan geografis ini menjadi ikatan tanpa dibatasi oleh administrasi provinsi-provinsi di Pulau Papua,"imbuhnya.

Kini, lanjut Velix, bola beralih ke arena DPR dan pihak DPR juga menyambut baik atas political will dari Pemerintah untuk desain ulang UU Otsus Papua. Dua hari sebelum Surpres, Sidang Paripurna DPR telah menyetujui RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua sebagai Prolegnas Prioritas 2014.

"Hari-hari ke depan, Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menkumham akan memulai membahas dengan pihak DPR hingga 30 September 2014," tutup Velix Wanggai

Sep 19, 2014

Felix Wanggai: Otsus Plus untuk NKRI Tegak dan Merah Putih Berkibar di Tanah Papua

Penulis : Admin MS | Jum'at, 19 September 2014 12:26
Felix Wanggai. Foto: Ist.

Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- "Ketika dialog Presiden SBY dan para tokoh pemerintahan Papua di Biak, 24 Agustus 2014 lalu, Presiden menegaskan Aceh dan Papua ini berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air. Karena itu, solusi 'Otonomi Khusus Plus' dianggap oleh Presiden SBY sebagai jalan tengah bagi Papua. Prinsipnya, NKRI tetap tegak dan Merah Putih selalu berkibar di seluruh Tanah Papua."

Begitu kata Felix Wanggai, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, kala berbincang-bincang seputar polemik Otonomi Khusus (Otsus) dan Otsus Plus di tanah Papua dengan detik.com di Jakarta, Jumat (12/9/14).

Dalam draft RUU Pemerintahan Otsus bagi Provinsi di Tanah Papua, Wanggai menjelaskan, revisi itu telah memuat prinsip percepatan pembangunan, rekognisi hak-hak dasar rakyat, afirmasi kebijakan khusus untuk Papua, redistribusi pembangunan yang adil antara pusat daerah, maupun prinsip rekonsiliasi.

"Dengan kewenangan yang luas dan kebijakan afirmasi yang berskema khusus, serta dengan dukungan kebijakan fiskal yang proporsional, diharapkan kesejahteraan rakyat Papua berubah lebih baik dalam naungan NKRI, demikian pesan Presiden SBY," tuturnya dikutip detik.com edisi Sabtu, 13 September 2014.

Kaukus Papua Indonesia dan HMI Community, Alfit, menilai, revisi Undang-Undang Otsus Papua yang rencananya menjadi Otsus 'Plus' bukan merupakan jalan keluar dan kebutuhan bagi rakyat Papua.

Dilansir tribunnews.com edisi 19 September 2014, Alfit menilai, yang bermasalah ada pejabat pemerintahan Papua yang korup.

"Faktor utama dari kegagalan Otsus Papua bukan dari segi produk perundang-undangannya, melainkan mental pejabat Pemerintahan Papua yang sangat korup. Dengan adanya otsus ini, Pemprov Papua sangat memiliki peran dalam menata dan mengelola pemerintahan daerahnya secara otonom tetapi dengan mental korup dari pejabat inilah Otsus Papua berjalan tidak maksimal," kata Alfit.

Sementara itu, dengan terpilihnya presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo, sebelum dilantik bersama kabinetnya, orang Papua mulai meminta banyak hal.

Sejumlah orang Papua yang mengklaim sebagai "masyarakat Papua" bertemu dengan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), kemarin, Jumat, (12/09/14) di Gedung Balaikota Jakarta, sebuah gedung kuno dan bersejarah di Medan Merdeka Selatan No. 8. Baca: Sejumlah "Orang Papua" temui Jokowi.

Mama-mama asli Papua juga menemui Jokowi. Menamakan diri Solidaritas Perempuan Pembela HAM Papua, mereka menyampaikan tiga prioritas perempuan asli Papua yang harus menjadi perhatian serius dalam pemerintahan Jokowi-JK. Baca: Perempuan Asli Papua Sampaikan 3 Isu Prioritas bagi Jokowi-JK.

Sementara itu, Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua telah menyampaikan keprihatinan gereja atas berbagai persoalan di Papua pada tanggal 29 Agustus 2014 melalui Tim Transisi.

Pada, Sabtu (13/09/14) lalu, Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua kembali menyerahkan surat lanjutan dengan fokus kepada 'depopulasi' Orang Asli Papua, yang sedang terjadi Papua. Baca: Ini Surat dari Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua untuk Jokowi.

Surat diterima oleh Deputi Tim Transisi, Andi Widjajanto di rumah transisi di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat bersamaan dengan tiga prioritas perempuan asli Papua yang harus menjadi perhatian serius dalam pemerintahan Jokowi-JK yang disampaikan oleh Solidaritas Perempuan Pembela HAM Papua. (BT/Tribunnews.com/Detik.com/MS)

Sep 14, 2014

UU Otsus Papua Diharapkan Mampu Selesaikan Permasalahan di Tanah Papua

Sabtu, 13/09/2014 08:28 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Pemerintah dan Baleg DPR sepakat membahas revisi UU Otsus Papua. Revisi UU ini dinilai suatu kebutuhan dari rakyat Papua untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di tanah Papua.

Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah tingginya harga-harga. Misalnya mahalnya harga BBM di Papua.

"Kami sampai hari ini khususnya di Puncak Jaya, satu liter itu Rp 100 ribu. Kemahalan ini sudah lama terjadi, ada subsidi tapi datangnya terbatas, sementara masyarakatnya kebutuhannya banyak, jadi bukan terjadi ketika ramai-ramai di Jakarta kemarin," ujar Bupati Puncak Jaya Henok Ibo saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Contoh lainnya adalah tingginya harga bahan material bangunan. Untuk satu sak semen saja bisa mencapai Rp 2 juta.

"Semen satu sak itu Rp 2 juta, keadaan ini sudah lama sejak 5 tahun lalu, yang mahal itu ongkos transportasinya. Jadi untuk Papua, tingkat kemahalan yang paling tinggi itu ada di Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Puncak," jelasnya.

Menurut Ibo, selama jalur distribusi dilakukan melalui transportasi udara, kemahalan itu tidak bisa dhilangkan. Selain faktor infrastruktur, wilayah yang rentan konflik di Papua juga membutuhkan anggaran lebih dibandingkan wilayah yang cenderung kondusif.

"Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, Lani Jaya ini wilayah konflik. Jadi mereka, pemerintah pusat juga harus menghitung juga variabel keamanan, sebab semua pergerakan di situ pemerintah daerah yang membiayai," ungkapnya.

Ibo berharap pemerintah pusat tidak hanya menghitung variabel dengan 'tolak ukur' Jakarta. Sebab, anggaran yang dihitung dengan 'tolak ukur' Jakarta itu tidak bisa disamakan di Papua.

"Mereka itu masih menghitung harga Jakarta untuk di Papua, tidak bisa. Makanya kita hitung dengan harga disini," kata Ibo.

Dengan adanya revisi UU Otsus Papua ini, Ibo berharap masalah-masalah di Papua bisa teratasi. Salahsatunya masalah-masalah yang ada di Kabpuaten Puncak Jaya.

"Di Puncak Jaya kita harapkan jika dana Pemprov Papua itu cukup, daerah isolasi itu bisa dibuka, mereka kan membawa hasil bumi mereka, karena hanya bisa ke kabupaten-kabupaten, tidak bisa dibawa keluar karena ongkosnya mahal. Misalnya dibawa ke Jaya Pura mahal. Jadi dari UU Otsus ini pertama dibangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, meski sudah jalan tapi kita mau lebih lagi dibuka ke desa," tuturnya.

Mengenai masalah keamanan di Puncak Jaya, Ibo mengatakan aparat keamanan di daerahnya juga terkendala dengan anggaran. Sehingga kekurangan anggaran juga terkadang dibebankan ke pemerintah daerah.

"Keamanan di sana semenjak 2004 terganggu. Dalam perjalanan ini pemda yang meminta bantuan ke kodam, polda, konsekuensinya pemda yang harus menanggung, mereka juga terkendala anggaran, untuk operasional, untuk mereka sendiri dari pusat tidak tersedia, apalagi dengan tingkat kemahalan yang tinggi," tutupnya.

Velix Wanggai: Otonomi Khusus Plus untuk Kemuliaan Papua

Sabtu, 13/09/2014 06:33 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua dinilai suatu kebutuhan dari rakyat Papua untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di Bumi Cendrawasih itu. Proses revisi ini bolanya di daerah, karena Presiden SBY menghendaki aspirasi dari bawah.

"Ketika menerima Gubernur Papua, Ketua MRP, dan Ketua DPRP Papua, pada 29 April 2013 lalu, Presiden berpesan perlunya Triple Track Strategy for Papua," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai, saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Pertama, Pemerintah memberikan ruang kewenangan yang lebih luas bagi Papua. Hal ini yang dinamakan Presiden sebagai 'Otonomi Khusus Plus'. Konsekuensinya, revisi UU 21/2001 sebagai suatu kebutuhan dalam mengubah kebijakan bagi Papua. Kedua, penyelesaian konflik guna mewujudkan Papua Tanah damai.

"Dalam hal ini, Presiden SBY menekankan penting aspek sosial-budaya dan adat diakomodasi dalam penyelesaian politik. Sedangkan strategi ketiga, Presiden SBY akan terus melanjutkan strategi percepatan pembangunan yang komprehensif dan intensif di tanah Papua," tuturnya.

Dari draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua, Velix Wanggai menjelaskan revisi ini memuat prinsip percepatan pembangunan, rekognisi hak-hak dasar rakyat, afirmasi kebijakan khusus untuk Papua, redistribusi pembangunan yang adil antara pusat–daerah, maupun prinsip rekonsiliasi.

"Ketika dialog Presiden SBY dan para tokoh pemerintahan Papua di Biak, 24 Agustus 2014 lalu, Presiden menegaskan Aceh dan Papua ini berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air. Karena itu, solusi 'Otonomi Khusus Plus' dianggap oleh Presiden SBY sebagai jalan tengah bagi Papua. Prinsipnya, NKRI tetap tegak dan Merah Putih selalu berkibar di seluruh Tanah Papua," kata Velix.

"Dengan kewenangan yang luas dan kebijakan afirmasi yang berskema khusus, serta dengan dukungan kebijakan fiskal yang proporsional, diharapkan kesejahteraan rakyat Papua berubah lebih baik dalam naungan NKRI, demikian pesan Presiden SBY,"tutupnya.


Ikuti berbagai berita menarik hari ini di program "Reportase" TRANS TV yang tayang Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB

(mpr/ahy)

Pemerintah dan Baleg DPR sepakat Bahas Revisi UU Otsus Papua

Sabtu, 13/09/2014 05:45 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 

Jakarta - Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk meningkatkan hak-hak dasar rakyat Papua melalui revisi UU Otonomi Khusus Papua semakin jelas di akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua.

Beberapa hari lalu, Senin, 8 September 2014, Rapat Badan Legislatif DPR yang dipimpin oleh Ahmad Yani dan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM telah membahas kebijakan Pemerintah untuk rekonstruksi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai, setelah berjalan 13 tahun terakhir, Pemerintah Pusat, Pemerintahan Papua dan Pemerintahan Papua Barat sepakat untuk melakukan evaluasi terhadap desain Otonomi Khusus yang dianggap perlu disesuaikan dengan situasi kekiniaan.

"Revisi UU Otsus ini, sesuai dengan komitmen Presiden SBY yang menegaskan formula baru otonomi khusus Papua ini akan memberikan nilai tambah dan terobosan bagi kemajuan dan kemuliaan Papua," ujar Velix Wanggai saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Dalam rapat di Baleg DPR lalu, Menteri Hukum dan HAM menyampaikan latar belakang dari draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Revisi ini akan menegaskan komitmen negara untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua, menguatkan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua, dan sebagai sarana rekonsiliasi.

"Pihak Baleg DPR yang dipimpin Ahmad Yani sangat menyambut baik inisiatif Pemerintah guna memperkuat otonomi khusus dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.

Velix mengatakan proses revisi ini telah berjalan satu tahun lebih. Velix mengurai proses perumusan draft yang berjalan sejak Mei 2013 hingga Agustus 2014 ini.

"Dialog intensif dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintahan Papua dan Papua Barat, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan DPR Papua. Bahkan pihak MRP Papua dan MRP Papua Barat telah berdialog dengan mengajak wakil-wakil adat dan tokoh masyarakat dari 42 Kabupaten se-Tanah Papua pada akhir Juli 2013 lalu. Presiden SBY juga telah berdialog dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat di Istana Bogor, pada 28 Januari 2014, dan Presiden menerima draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Draft usulan Papua kemudian dibahas di Kementerian Dalam Negeri dan harmonisasi di tingkat Kementerian/Lembaga sejak Maret hingga awal Agustus 2014 lalu," paparnya.

Setelah pembahasan antara Baleg DPR dan Menkumham, menurut Velix, saat ini Kemendagri sedang menyiapkan langkah-langkah legislasi dalam masa sidang terakhir DPR periode 2009-2014 ini. "Harapannya, formula baru Otsus Papua ini akan memuat terobosan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua," tutupnya.

Sep 9, 2014

Baleg DPR terima usulan RUU Otonomi Khusus Papua

Selasa, 9 September 2014 02:39 WIB | 3.619 Views
 
Baleg DPR terima usulan RUU Otonomi Khusus Papua
 Ahmad Yani (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
 
Jakarta (ANTARA News) - Badan Legislasi DPR (Baleg) menerima 1 usulan RUU tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014.

Usulan tersebut disampaikan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin  dalam Rapat Kerja yang dipimpin Wakil Ketua Baleg, Ahmad Yani  di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/9)

“Mudah-mudahan dapat kita selesaikan bersama, apalagi ini menyangkut saudara kita dan bagian dari NKRI kita,” kata Yani.

Sesungguhnya pembahasan UU itu menurut Yani, jika semangatnya kita ingin menyelesaikan bisa cepat, bisa juga  lama itu tergantung dari kita.

Dijelaskan Yani, bahwa Dewan tinggal memiliki waktu 16 hari lagi. Tapi jika bisa digunakan secara maksimal bisa melipatkan akselerasinya seperti 5 tahun. “5 tahun tidak akan ada artinya apabila kita tidak punya akselerasinya,” tukas Yani.

Dalam penjelasannya kepada Baleg, menurut Menkumham, Amir Syamsudin  alasan mengusulkan RUU Otonomi Khusus Papua yaitu adanya tuntutan terhadap percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua yang komprehensif, demokratis dan bermartabat.

Menurut Amir, UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua tidak dapat terlaksana dengan baik walaupun sudah berjalan kurang lebih 13 tahun.

Kata Amir, tanah papua perlu dikelola dengan kewenangan yang diberikan lebih besar dari otonomi khusus yang telah ada, agar pembangunan Papua lebih intensif dan komprehensif dalam mewujudkan kemajuan dan kemuliaan masyarakat Papua yang baik dan damai.

Secara garis besar, terang Amir,  RUU ini mencakup kewenangan pemerintah Papua yang diperluas di berbagai sektor yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota dan masyarakat adat, perlindungan dan pengakuan masyarakat adat Papua.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © 2014

Sep 1, 2014

Gubernur Papua Berharap Revisi UU Otsus Rampung di Era Pemerintahan SBY

Senin, 01/09/2014 03:42 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
Mendagri dan Gubernur Papua di Istana Bogor (Foto:Abror/setpres) 
 
Jakarta - Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan pihaknya saat ini sedang merampungkan draft revisi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Lukas berharap revisi UU tersebut rampung di era pemerintahan SBY.

"DPR pada prinsipnya menunggu draft ini. Kami sampaikan kalau bisa diselesaikan dalam pemerintahan SBY dalam satu bulan ini. Kita menunggu dari Kemendagri, karena dari awal ini jadi usulan pemerintah," ujar Lukas saat berbincang dengan detikcom, di Jakarta, Minggu (31/8/2014).

Lukas mengatakan pada 28 Agustus 2014 lalu, dirinya telah menemui Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dan Wakil Ketua Baleg Ahmad Yani berserta sejumlah pihak untuk membicarakan tahap akhir draft revisi UU tersebut. Menurut Lukas, DPR menyambut positif draft yang sudah ada tersebut.

"Kita sudah mendapat arahan dari pimpinan DPR langkah selanjutnya, seperti pertemuan antar fraksi. Kemudian di Komisi II, paling tidak kita bisa
menjelaskan gambaran draft. Mereka DPR, apresiasi karena sejak 12 tahun lalu UU ini tidak pernah dievaluasi. Ini inisiatif yang baik dan mereka siap membahasnya," ungkapnya.

Lukas menambahkan pihaknya akan melakukan langkah-langkah komunikasi dengan pemerintah pusat diantaranya Mendagri dan Menko Polhukam. Lukas akan menjelaskan bahwa revisi UU Otsus Papua tersebut dilakukan demi kesejahteraan rakyat Papua.

"Apa yang kita lakukan untuk kepentingan Papua, tidak boleh lagi ada kecurigaan. UU ini untuk kesejahteraan rakyat Papua, pasal-pasal yang dianggap krusial sudah tidak ada, jadi harus percaya kepada pemprov dan masyarakat Papua, tidak boleh ada keraguan dan kecurigaan," tuturnya.

Lukas yakin revisi UU tersebut akan rampung sebelum pemerintahan SBY berakhir. Dia juga yakin akan hal itu karena mendapat dukungan dari DPR.

"DPR sangat optimis, mendorong kita untuk cepat, saya lihat semua responnya positif," tutupnya.

Aug 24, 2014

Warga Mansinam: Terima Kasih SBY, Semoga Jokowi Buat Tempat Kami Lebih Baik

Minggu, 24/08/2014 09:38 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews


 
 
Papua - Revitalisasi Pulau Mansinam di Manokwari, Papua Barat tidak lepas dari peran pemerintah pusat. Presiden SBY menaruh perhatian khusus untuk membangun Pulau Mansinam agar menjadi daerah wisata rohani dan budaya di Tanah Papua.

Seiring dengan cerita sejarah masuknya Injil di Pulau Mansinam, Presiden SBY mengunjungi Pulau Mansinam untuk pertama kalinya pada 22 Januari 2009. Dalam kunjungan tersebut, SBY berjanji akan membantu pembangunan Situs Pekabaran Injil baik selaku pribadi maupun sebagai Kepala Negara.

SBY berharap Pulau Mansinam akan menjadi daerah tujuan wisata religi untuk mengenang nilai-nilai sejarah dan religi masyarakat di Tanah Papua. SBY juga menginstruksikan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan dan Menteri Lingkungan Hidup untuk berkunjung ke Pulau Mansinam sekaligus untuk meletakkan batu pertama pembangunan situs sejarah di Pulau Mansinam pada 5 Februari 2012.

Dan pada 24 Agustus 2014, Presiden SBY dijadwakan akan meresmikan situs tersebut. Atas hal itu, masyarakat Pulau Mansinam berterimakasih kepada Presiden SBY.

"Kami punya kerinduan besar kepada Pak SBY. Pada 2009, beliau datang ke sini dan 2014 ini dia menunjukan janjinya, terjawab semua, kami masyarakat senang sekali, kami bersyukur kepada tuhan, berkat kerja Pak SBY, mendapat berkat dari Tuhan. Kami mendoakan Bapak SBY dalam menjalankan tugas kepala negara,"ungkap Sekretaris Gereja Lahai Roi, Boas Rumadas saat berbincang dengan detikcom di Pulau Mansinam, Sabtu (23/8/2014).

Boas juga menaruh harapan kepada presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Boas berharap Jokowi dapat melanjutkan apa yang sudah SBY lakukan untuk Pulau Mansinam.

"Sebagai masyarakat kami harapkan Pak jokowi sama dengan Pak SBY. Pak Jokowi melanjutkan apa yang sudah bapak SBY buat disini," tutur pria 42 tahun ini.

"Rumah penduduk ditambah. Kalau bisa jalan-jalan di aspal karena kalau dilewati mobil dengan beban berat bisa rusak jalannya," imbuhnya.

Harapan yang sama juga disampaikan oleh Heremina (45). Ibu rumah tangga ini berharap dengan adanya situs pekabaran Injil, dirinya dan masyarakat sekitar bisa mendapatkan penghasilan yang lebih layak.

"Mama berharap masyarakat, para pemuda disini mendapatkan pekerjaan dari dibangunnya situs ini," tutur Heremina.

Heremina sehari-hari hanya menjual pinang dan kue-kue. Menurutnya, wisatawan datang ke Pulau Mansinam hanya ramai pada setiap peringatan masuknya Injil yang digelar setiap 5 Februari.

"Wisatawan tidak terlalu banyak, setahun sekali kalau lagi ada acara. Kita jualan kecil-kecilan, kita berharap dapat penghasilan, karena kalau wisatawan ramai, kita juga dapat keuntungan," tutur ibu delapan anak ini.

Sama halnya dengan Heremina, Linda Marantika (38) juga banyak berharap kepada presiden terpilih Jokowi. Menurutnya hal yang harus diperhatikan dari pulau ini adalah dari sisi pendidikan dan kesehatan.

"Disini ada PAUD hingga SMP, puskemas juga ada tapi hanya satu. Masalah transportasi juga disini sulit, kalau ada pasien gawat susah dibawa ke kota, ada juga anak-anak sekolah yang ke kota naik perahu, belum hujan, gelombang, perjalanan setengah mati," ungkapnya.

Sementara itu Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai berharap, kedepannya Pulau Mansinam ini menjadi situs nasional. Sehingga menjadi perhatian dari pemerintah pusat dan kementerian terkait. Sehingga dari sisi kebijakan, kelembagaan, dukungan pengelolaan mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

"Kita berharap apa yang sudah diletakan oleh Pak SBY ini dengan pendekatan berbasis hati juga dilakukan oleh Pak Jokowi. Sehingga presiden terpilih Pak Jokowi selalu dirindukan untuk mengelola Papua dengan pendekatan hati dan kasih. Apa yang baik dilanjutkan, apa yang kurang dibenahi," tutur Velix.

SBY Resmikan Patung Yesus Setinggi 30 Meter di Pulau Mansinam

Minggu, 24/08/2014 08:38 WIB 
Mega Putra Ratya - detikNews


Papua - Presiden SBY pagi ini akan meresmikan Situs Pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Kota Manokwari, Papua Barat. Dalam kunjungan kali ini, Presiden SBY didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Presiden SBY beserta rombongan tiba di Pelabuhan Pulau Mansinam pukul 10.00 WIT atau 08.00 WIB, Minggu (24/8/2014). Menggunakan KRI Sampari, Presiden SBY disambut hujan rintik saat tiba di pelabuhan.

SBY dan Ibu Ani juga disambut dengan tarian penjemputan khas Papua. Selain itu, disambut juga oleh Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Perhubungan EE Mangindaan dan Wakil Gubernur Papua Barat Rahimi Acong.

Ikut mendampingi Presiden SBY diantaranya Menko Perekonomian Chairul Tanjung, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, jubir presiden Julian Aldrin Pasha, dan Staf Khusus Bidang Pembangunandan Otonomi Daerah Velix Wanggai.

Sejumlah proyek dibangun di Situs Pekabaran Injil Papua di Pulau Mansinam. Di antaranya adalah Patung Yesus Kristus setinggi 30 meter, gereja, musium, infrastruktur jalan dan rusunawa. Secara simbolis SBY akan meresmikan sejumlah proyek tersebut.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai mengatakan ini adalah kunjungan kedua SBY ke Pulang Mansinam. Pada 22 Januari 2009, SBY menjadi Presiden pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Mansinam. Saat itu SBY datang bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono untuk menyapa masyarakat.

"Ketika itu, gubernur menyampaikan keinginan dan harapan masyarakat dari umat kristiani di Tanah Papua untuk membuat sebuah monumen atau revitalisasi semua aspek yang ada di Pulau Mansinam. Pada saat itu Presiden menyatakan komitmennya untuk membantu baik sebagai kepala pemerintahan maupun secara pribadi," tutur Velix.


Pulau Mansinam Menjadi Simbol Harmoni Islam dan Kristen di Papua

Minggu, 24/08/2014 06:18 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews
 

Papua - Pulau Mansinam di Manokwari, Papua Barat menjadi tempat bersejarah bagi rakyat Papua. Sebab, di pulau inilah pertama kalinya ajaran Injil disebarkan oleh dua pendeta asal jerman, Carl William dan Goltlob Geisller (Ottow dan Geisller).

Dikutip dari berbagai sumber, sebelum tiba di Pulau Mansinam, Ottow dan Geisller lebih dulu masuk ke Indonesia melalui Jakarta yang saat itu disebut Batavia pada 7 Oktober 1852. Kemudian pada 30 mei 1854, mereka tiba di Ternate untuk belajar dan memperdalam bahasa melayu serta belajar mengkaji berbagai informasi tentang Papua.

Mereka kemudian menerima surat jalan dari Sultan Tidore yang merupakan salah satu kerajaan Islam di nusantara. Sultan memberikan surat Izin bagi mereka bahkan memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.

Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang Kapal menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Setelah melewati perjalanan laut selamat 25 hari, pada 5 Februari 1855 kapal mereka membuang sauhnya untuk berlabuh di teluk Doreri.

Peristiwa tersebut menjadi sebuah nilai toleransi antara umat muslim dan kristiani saat itu. Sehingga Pulau Mansinam menjadi simbol harmoni dan toleransi umat beragama yang sudah dibangun sejak dulu.

"Toleransi beragama yang bisa dijadikan contoh bagi masyarakat baik nasional ataupun internasional, juga sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda baik di Tanah Papua maupun di Indonesia. bahwa toleransi sudah dibangun di Tanah Papua sejak lama oleh saudara saudara muslim dan kristiani," tutur Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai saat berbincang dengan detikcom di Pulau Mansinam, Sabtu (23/8/2014).

Di tanah pertama mereka injakkan kaki di Pulah Mansinam, dibangunlah sebuah prasasti sebagai simbol kedatangan mereka. Di lokasi ini terdapat sebuah Prasasti Salib besar setinggi kurang lebih 6 meter.

Dibelakangnya terdapat relief gambar-gambar yang menceritakan soal kedatangan mereka yang disambut oleh warga setempat. Ada juga empat patung perunggu keduanya yang masing-masing menghadap ke laut dan ke arah Salib.

Di bagian bawah kaki prasasti, terdapat tulisan tangan mereka yang tertulis 'Soli deo Gloria. De Eerste Zendelingen van Nederlandsch Nieuw Guinee C.W. Ottow En J.G. Geissler Zyn Hier Geland op 5 Februari 1855'. Di sisi lainnya, ada terjemahan dalam bahasa lokal. Artinya, kurang lebih, Zending pertama untuk Papua Ottow-Geissler tiba di sini 5 Februari 1855.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...