Sep 24, 2010

RUU Pertanahan Buat Petani dan Masyarakat

Hari Tani Nasional ke-50
Hari Tani Nasional ke-50 (sumber: ANTARA)
RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria, direncanakan rampung Desember 2010. Instrumen hukum ini, diharapkan mampu mengatasi problema agraria.
Pemerintah diminta segera menyelesaikan berbagai konflik agraria. Selain mengatur pemberian kredit bagi petani, juga mengatur pemberian tanah bagi penggarap.
Poin-poin inilah yang disampaikan dalam dialog aksi damai massa Serikat Petani Indonesia (SPI) dan organisasi-organisasi lain dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional ke-50, hari ini di depan Istana Negara.
Dalam dialog tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih dan beberapa perwakilan komunitas tani diterima oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai serta Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi, Jusuf Gunawan Djangkar.
Menurut Velix, melalui rilis yang diterima redaksi beritasatu, presiden memberikan komitmen tinggi untuk percepatan pelaksanaan reforma agraria dan penataan pertanahan nasional.
“Penertiban tanah telantar menjadi salah satu agenda nasional. Karena itu, apabila terdapat kasus-kasus penyelesaian konflik agraria yang berlarut-larut, kami terbuka untuk menerima masukan mengenai pola-pola resolusi konflik agraria yang efektif dari rekan-rekan petani,” kata Velix.
Saat ini, dikatakan Velix, pemerintah tengah menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang rencananya selesai pada Desember 2010 mendatang. Secara teknis, RUU Pertanahan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara.
Sebagai tambahan, aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam sistem keagrariaan nasional. “Sementara itu, kebijakan land reform dan pemberian akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya menjadi aspek penting yang tercakup dalam PP Reforma Agraria,” jelas Velix.
Kepada para perwakilan petani, Velix Wanggai menegaskan bahwa masukan-masukan dari komunitas petani sangat penting. Hal ini sebagai bahan konsolidasi kebijakan pertanian maupun pertanahan di Indonesia.

Sep 23, 2010

Petani SPI Teriakkan Haknya di Istana Presiden

JAKARTA. Ribuan massa Serikat Petani Indonesia (SPI) tumpah ruah dan melakukan aksi di jalanan Jakarta untuk memperingati Peringatan Hari Tani Nasional dan setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) (24/09). Massa SPI yang berasal dari daerah Banten dan Jawa Barat ini mulai berkumpul di mesjid Istiqlal Jakarta sejak Kamis malam (23/09). Massa SPI mulai bergerak dari mesjid istiqlal menuju istana Presiden RI mulai pukul Sembilan pagi.

Agus Ruli Ardiansyah selaku koordinator aksi menyebutkan bahwa tanggal 24 September ini adalah Hari Rayanya kaum tani di Indonesia.

“Jadi sebagai masyarakat tani kita wajib merayakan Hari Raya kita. Oleh karena itu marilah hari ini kita melakukan aksi damai menuju istana RI untuk mendesak Presiden agar benar-benar serius memperhatikan kesejahteraan kita. Hari ini kita teriakkan hak kita yang selama ini sering dilupakan pemerintah” teriak Ruli sebelum melepas massa aksi.

Dalam aksi ini massa SPI membawa sembilan tuntutan yakni agar pemerintah segera meredistribusikan 9,6 juta hektar tanah kepada rakyat tani melalui pembaruan agraria nasional; mentertibkan dan memberdayakan 7,3 juta hektar tanah terlantar untuk pembaruan agraria dan produksi pangan untuk kedaulatan pangan, kedaulatan energi serta perumahan rakyat; melindungi pertanian kecil berbasis keluarga dan tolak korporatisasi pertanian–terutama proyek food estate; menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani. Menyegerakan dibuatnya Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Asasi Petani; Mencabut Undang-Undang Perkebunan, Kehutanan, Sumber Daya Air, Pangan, Pertambangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budidaya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pancasila dan mandat UUD 1945, serta UUPA 1960; dan Menolak Rancangan Undang Undang yang berpotensi merugikan kaum tani, seperti Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah, Pertanahan, Hortikultura.

“ Kami juga menuntut agar Pemerintah segera membentuk komisi Ad hoc penyelesaian konflik agraria dan pelaksana reforma agraria; melindungi dan memenuhi hak mendasar petani serta akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, tekhnologi, modal dan harga produksi pertanian; serta agar pemerintah mengakui bahwa tanggal 24 September adalah Hari Tani Nasional” ungkap Ruli yang juga Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan SPI.

Selain SPI, aksi ini juga diikuti oleh 44 organ pendukung yang turut berpartisipasi dalam Aksi Hari Tani Nasional ini.

Presiden Komitmen Mempercepat Reforma Agraria

Sesampainya di Istana Presiden, massa aksi SPI diterima oleh Velix Wanggai Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, bersama Jusuf Gunawan Djangkar selaku Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi. Hadir juga Yuswanda Tumenggung selaku Deputi Pengaturan & Penataan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan beberapa Deputi Sekretariat Kabinet.

Massa aksi SPI diwakili oleh Henry Saragih selaku Ketua Umum SPI, tiga orang petani perwakilan SPI, serta perwakilan dari organisasi dan LSM pendukung Aksi Hari Tani Nasional ini.

Henry Saragih menyampaikan bahwa pemerintah perlu segera melaksanakan landreform dengan membagikan tanah kepada orang-orang yang tak bertanah dan petani gurem. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu ragu menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah dicanangkan pada awal Januari 2007 dan awal Januari 2010.

“Jika lahan 10 juta hektar itu didistribusikan kepada empat juta kepala keluarga petani, masing-masing akan menerima 2,5 hektar. Multiefek positif akan terjadi mulai dari lapangan kerja yang tersedia hingga jumlah penduduk miskin yang meningkat kesejahteraannya” ungkap Henry pada para perwakilan Presiden.

“ Pemerintah juga harus membatasi dan impor pangan. Ketergantungan pada pasar pangan dunia harus dihentikan. Kalau tidak, Indonesia akan terus dalam cengkeraman spekulan pangan dunia” kata Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).

Mendengar penjelasan Henry, Velix menyebutkan bahwa penertiban tanah terlantar telah menjadi salah satu agenda nasional, sehingga apabila terdapat kasus-kasus penyelesaian konflik agraria yang berlarut-larut, pihaknya terbuka untuk menerima masukan mengenai pola-pola resolusi konflik agraria yang efektif dari organisasi petani.

“ Presiden SBY memberikan komitmen yang tinggi untuk percepatan pelaksanaan reforma agraria dan penataan pertanahan nasional ” kata Velix.

Velix juga menyampaikan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang direncanakan selesai pada Desember 2010.

RUU Pertanahan juga mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral, dan Batubara.

“Kebijakan land reform dan pemberian akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya menjadi aspek penting yang tercakup dalam PP Reforma Agraria,” tambah Velix.

Sep 21, 2010

Memaknai Wacana Perpindahan Ibu Kota

[dimuat Harian Jawa Pos, Selasa, 21 September 2010 ]

PERPINDAHAN ibu kota negara telah menjadi perbincangan publik dalam beberapa bulan terakhir. Tentu banyak alasan yang diusung berbagai pihak ketika mengangkat isu perpindahan ibu kota ini. Alasan itu mulai soal daya dukung lingkungan, kemacetan, banjir, urbanisasi, kemiskinan perkotaan, maupun kesenjangan antardaerah. Di satu sisi, ada pihak yang setuju dengan ide perpindahan ibu kota ini, namun disisi lain, ada juga pihak yang tak setuju dengan sederet alasan. Diskursus yang berkembang di arena publik ini mendapat respons positif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pembangunan yang Berimbang

Mempertimbangkan diskursus yang berkembang, Presiden SBY sadar bahwa Kota Jakarta telah menanggung beban cukup berat dalam pelbagai aspek. Ada dua pemikiran besar yang menjadi alasan bagi Presiden SBY untuk ikut menawarkan pemikiran bagi perpindahan ibu kota negara ini.

Pertama, pemikiran mikro dalam konteks Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Jakarta telah tumbuh sebagai kota megapolitan yang diwarnai oleh tumbuhnya pusat-pusat bisnis, baik di Jakarta dan pusat-pusat industri di wilayah Jakarta sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan struktur ekonomi Indonesia terkonsentrasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Jakarta bagai magnet yang menarik jutaan orang untuk memperbaiki nasib di Kota Jakarta. Akibatnya, Jakarta menanggung beban berat. Penduduk yang terus meningkat ikut membebani daya dukung lingkungan. Kendaraan roda dua dan roda empat yang terus bertambah, tanpa diiringi pembenahan prasarana jalan yang memadai, hanya berakibat pada kemacetan yang semakin parah dari tahun ke tahun. Di samping itu, persoalan sosial lain muncul ke permukaan dengan berbagai warna dari masyarakat urban.

Sederet persoalan ini perlu diselesaikan dengan pendekatan menyeluruh, terintegrasi, dan bertahap. Dalam konteks ini, Presiden SBY memberikan amanat kepada Wakil Presiden Boediono untuk merumuskan langkah-langkah yang terintegrasi antar tingkatan pemerintahan dan pelaku pembangunan untuk menyelesaikan satu pekerjaan rumah kita, yaitu kemacetan yang akut. Pada awal September 2010 lalu, wakil presiden telah merumuskan 17 instruksi untuk mengurai kemacetan yang melanda Jakarta. Ketujuh belas langkah ini semuanya dalam konteks pembenahan total transportasi terpadu di wilayah Jabodetabek.

Kedua, dalam konteks makro, pemikiran Presiden SBY perlu diletakkan dalam kerangka penataan struktur pembangunan nasional yang lebih inklusif dan berkeadilan. Sampai 2009, kita masih menghadapi soal ketidakseimbangan pembangunan antarpulau maupun antarprovinsi di Indonesia. Kesenjangan antarwilayah ini ditunjukkan oleh kemampuan produksi. Wilayah Jawa-Bali masih menjadi pusat kegiatan ekonomi utama dengan sumbangan PDRB rata-rata per tahun lebih dari 60 persen dan wilayah Sumatera lebih dari 20 persen, sementara sumbangan wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sekitar 17 persen.

Kita juga menyadari bahwa salah satu penyebab kesenjangan antarwilayah adalah persebaran investasi yang kurang merata. Pada 2008 realisasi investasi PMDN di wilayah Jawa-Bali 60,20 persen dan wilayah Sumatera 23,77 persen dari total realisasi PMDN. Demikian pula, wilayah Jawa-Bali masih menjadi pusat penanaman modal asing (PMA). Menurut lokasinya, 91,77 persen dari total nilai realisasi PMA 2008 berada di wilayah Jawa-Bali, 6,79 persen di Sumatera dan sisanya tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Karena itu, agenda Presiden SBY dalam lima tahun mendatang ini adalah mendorong persebaran kegiatan investasi, terutama ke wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Namun, struktur ekonomi yang tidak seimbang ini sebenarnya masih menyimpan pekerjaan rumah di internal wilayah Jawa-Bali. Pekerjaan rumah itu adalah soal disparitas antarprovinsi DKI Jakarta dengan provinsi-provinsi lain, disparitas antarwilayah utara Jawa dan wilayah selatan Jawa, maupun disparitas antardesa dan kota. Pada 2008 pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta sekitar 6,2 persen, yang tertinggi daripada provinsi-provinsi lain di Jawa-Bali. Jakarta juga menjadi kontributor tertinggi dalam struktur ekonomi nasional, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, investasi asing masih memilih Jakarta sebagai pilihan lokasi yang tepat untuk berinvestasi.

Kondisi seperti ini berimplikasi bagi struktur pendapatan per kapita yang tak seimbang antarprovinsi di Jawa-Bali. Pada 2008, pendapatan per kapita tertinggi dipegang Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa arus migrasi meningkat dari tahun ke tahun ke wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Tiga Opsi

Dalam konteks memikirkan masa depan ibu kota negara dan pusat pemerintahan, serta memikirkan skenario pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan antarwilayah di tanah air kita, Presiden SBY merespons wacana perpindahan ibu kota ini dengan menawarkan tiga opsi yang perlu dipertimbangkan secara serius oleh kita bersama.

Opsi pertama, ibu kota negara dan pusat pemerintahan tetap di Jakarta, namun dilakukan pembenahan total atas segala persoalan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Opsi kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta, namun pusat pemerintahan bergeser ke kota lain di Indonesia. Sedangkan opsi ketiga adalah kebijakan memindahkan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ke wilayah yang benar-benar baru di salah satu wilayah di tanah air kita. Dalam konteks kajian akademik, kita menyebut opsi pertama sebagai skenario realistis, opsi kedua yaitu skenario moderat, dan opsi ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal.

Terkait dengan ketiga opsi atau skenario tersebut, pekerjaan rumah yang kita hadapi saat ini adalah pembenahan ibu kota Jakarta secara total. Dalam hal ini, upaya yang kita curahkan adalah mengonsolidasi percepatan tujuh belas langkah yang kini dikoordinasi Wakil Presiden Boediono. Langkah-langkah tersebut, antara lain, perbaikan dan peningkatan jalan, harga khusus untuk angkutan umum, pembangunan jalan tol baru, maupun pembatasan penggunaan kendaraan bermotor. Demikian pula, upaya terobosan untuk pembangunan kereta bawah tanah, monorail, dan kereta api komuter yang diintegrasikan dengan sistem angkutan umum. Semua itu diletakkan dalam konteks rencana induk transportasi terpadu Jabodetabek.

Seiiring dengan pembenahan total Kota Jakarta, dan skenario apa pun yang nanti kita pilih, saat ini Presiden SBY tetap mengonsolidasi langkah-langkah untuk menata hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, melanjutkan desentralisasi fiskal ke daerah-daerah, dan mendorong pertumbuhan pembangunan wilayah-wilayah strategis dan tertinggal di luar pulau Jawa-Bali, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali, serta mempercepat pembangunan kawasan perdesaan di pulau Jawa-Bali.

Harapannya, kebijakan perpindahan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ini dapat mewujudkan struktur pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan. (*)

*) Staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah.

Sep 13, 2010

Pemindahan Ibukota

Tim Kecil Kaji Tiga Skenario

Senin, 13 September 2010 | 22:04 WIB
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO


JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Staf Khusus Presiden Bidang Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai melakukan kajian awal pemindahan ibukota negara. Kajian awal itu menyatakan, dari tiga opsi pembenahan total Ibukota Jakarta, memindahkan pusat pemerintahan dari ibukota negara sampai memindahkan seluruh ibukota, termasuk pusat pemerintahan, terdapat tiga skenario yang harus dikaji.

Ketiga skenario tersebut adalah skenario realistis, moderat dan radikal. Skenario tersebut memiliki asumsi, instrumen kebijakan dan alternatif-alternatif kota mana yang nantinya akan dipilih, terutama bagi skenario moderat dan radikal.

Demikian disampaikan Velix Wanggai kepada Kompas, Selasa (13/9/2010) di Jakarta. Velix menyatakan kajian awal itu akan dibahas kembali oleh tim kecil yang disiapkan Presiden Yudhoyono.

Dari opsi pertama pembenahan total Ibukota Jakarta, di antaranya adalah 17 langkah yang kemarin diputuskan oleh Wakil Presiden Boediono dalam rapat. Ke-17 langkah itu terintegrasi dengan opsi yang disampaikan Presiden Yudhoyono, yaitu opsi pembenahan total Jakarta. "Itulah yang kita sebut skenario realistis untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Ke-17 langkah itu dinilai realistis pada saat ini mengingat mencakup langkah jangka pendek dan jangka panjang," ujar Velix.

Menurut Velix, opsi kedua yaitu memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke kota lain, akan tetapi ibukota negara tetap di Jakarta, merupakan skenario moderat.

"Skenario moderat sebetulnya berjalan dengan opsi kedua yang disampaikan Presiden. Ibukota tetap di Jakarta, akan tetapi pusat pemerintahannya tidak. Kota mana yang akan dituju, itu belum dibicarakan," tambahnya.

Dari Jonggol sampai Papua

Dikatakan Velix, dalam skenario ini sambil ibukota dibenahi, berbagai persoalan kemacaten ditangani. Termasuk juga masalah desentralisasi fiskal dan lainnya tetap dijalankan. "Namun, pusat pemerintahan akan bergeser. Tentu, dalam skenario ini, pertimbangan jarak yang lebih dekat dengan ibukota negara menjadi pertimbangan," jelas Velix.

Adapun mengenai skenario radikal, lanjut Velix, merupakan pengembangan dari opsi ketiga, yaitu benar-benar memindahkan pusat pemerintahan dan memindahkan ibukota negara. Jakarta hanya akan dijadikan pusat bisnis dan lainnya. "Dengan skenario ini, akan didorong adanya spesifikasi wilayah. Misalnya, wilayah dengan sebagai pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertambangan dan lainnya yang akan dikelola lebih jauh," papar Velix.

Velix mengatakan, untuk skenario moderat dan radikal, kota pilihan pertama yang bisa dijadikan sebagai pusat pemerintahan saja atau menjadi ibukota negara yang baru adalah wilayah di sekitar Jakarta. "Apakah di Jonggol, Jawa Barat, atau dimana," tandasnya.

Pilihan kedua adalah tetap di Pulau Jawa. Misalnya, di Banten, Karawang, Purwekerto, Magelang, Yogyakarta atau Malang. Ataukah, memang harus pindah di luar Pulau Jawa. Sebut saja seperti di Palembang, Palangkaraya, Makassar atau justru Papua. "Itulah tiga alternatif dalam skenario moderat dan radikal itu," ujar Velix lagi.

Sebelumnya, saat acara buka puasa bersama dengan pers dan pimpinan media massa di Istana Negara, pekan lalu, Presiden Yudhoyono menyatakan pihaknya telah membentuk tim kecil untuk mengkaji kemungkinan membangun ibukota baru mengingat ibukota Jakarta dinilai sudah tidak layak lagi.

"Saya dengan tim yang sangat kecil bekerja pelan-pelan setelah saya mendengarkan pendapat rakyat, pendapat banyak pihak tentang masa depan Jakarta mengenai kemungkinan membangun ibukota baru atau membangun pusat pemerintahan yang baru. Diam-diam, saya juga bekerja setelah saya mendengarkan baik-baik apa yang dikehendaki rakyat," ujarnya.

Menurut Presiden, pendanaan untuk membangun ibukota baru itu tidak semua harus dari APBN. Sebagian bisa dari sektor swasta, bisa kemitraan swasta dan pemerintah (public private partnership/PPP). "Kalau memang betul-betul suatu saat kita ingin membangun pusat pemerintahan yang baru, gedung-gedung yang menganggur bisa dilepas, dan itu juga bisa menjadi sumber anggaran, sehingga APBN kita tidak tersedot habis," paparnya.

Tentang rencana pemindahan ibukota negara ini, Presiden Yudhoyono mengaku ada yang belum-belum dilaksanakan, akan tetapi sudah berkomentar pesimis.

Berkomentar, yang seolah-olah tidak mungkin dilakukan. Mari kita endapkan dulu, pahami betul idenya, kita jernih berpikir sebagaimana saya, selama dua sampai tiga bulan lalu mendengarkan terus percakapan rakyat kita. Mulai dari universitas, masyarakat usaha dan sebagainya," tuturnya.

Dengan demikian, tambah Presiden Yudhoyono, dirinya tidak berisfat reaktif, melainkan menindaklanjuti dengan tanggung jawab dan juga kepedulian yang sama ke hadapan rakyat Indonesia.

"Gagasan itu (pemindahan ibu kota) adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan secara bersama. Dan, yang penting jangan kita telat untuk memikirkan masa depan kita sendiri. Barangkali sudah generasi berikutnya lagi yang menikmati (ibukota negera yang baru) itu, pemerintahan nanti, presiden-presidennya berikutnya lagi setelah saya. Akan tetapi, kita mendapatkan tantangan sejarah untuk mengambil pilihan dan memutuskan masalah yang besar ini," demikian Presiden Yudhoyono.

Sep 7, 2010

SISI LAIN ISTANA: Bertens, Edo, Velix, dan Papua

Selasa, 7 September 2010 | 03:22 WIB

Minggu (5/9) pagi, sambil menyeberangi Jalan Melawai Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang penuh kendaraan, Kees Bertens MSC, pakar filsafat etika atau etikawan, ditanya wartawan. ”Apakah selama 49 tahun di Indonesia pernah masuk istana kepresidenan?” Pria berusia 79 tahun yang baru saja merayakan ulang tahun ke-50 menjadi seorang pastor itu mengatakan, ”Belum.”

Saat ditanya tentang kesannya terhadap para Presiden Indonesia, Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, Direktur Pusat Pengembangan Etika Universitas Katolik Atma Jaya itu mengatakan, ”Saya tidak begitu banyak punya perhatian terhadap mereka.”

Pria kelahiran Tilburg, Belanda, yang banyak menulis buku filsafat dan etika ini mengatakan, ”Saya masih terkesan dengan sebuah tulisan tentang hubungan para Presiden Indonesia dengan Papua di sebuah harian.” Ia mengaku mengkliping tulisan yang muncul pada bulan Desember 2005 itu.

Tulisan yang dikliping oleh Bertens antara lain bercerita tentang seorang anggota pasukan pengawal presiden masa Orde Baru yang mengacungkan pistol ke arah pegawai hotel di Timika, Papua. Sang pengawal ini marah karena pegawai hotel ini lamban mengantarkan pesanan makanan.

Di Wapres

Malam harinya, tak jauh dari tempat Bertens diwawancara, yakni Warung Aspirasi (Wapres) di Bulungan, Edo Kondologit, penyanyi asal Papua, melantunkan lagu ”Aku Papua” yang diciptakan Franky Sahilatua, biduan senior. Edo mengatakan, lagu ciptaan Franky itu membuat dirinya bangga menjadi orang Indonesia asal Papua.

Seusai ”Aku Papua” dilantunkan, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Efendi Gazali, yang jadi pemandu acara berseloroh, ”Andaikan pada peringatan 17 Agustus ke-65 yang lalu lagu ini juga dikumandangkan di Istana Merdeka, betapa senangnya masyarakat Papua.”

Istana kepresidenan kini punya Velix Vernando Waggai, Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, yang dilahirkan di Jayapura, 16 Februari 1962.

Senin (6/9) malam, Velix di Nabire, Papua, mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya perhatian tinggi atas Papua. Banyak alasan yang dikemukakan, antara lain terbentuknya lembaga Majelis Rakyat Papua, otonomi khusus, dan anggaran bagi Papua Barat dan Papua sebesar Rp 30 triliun. Banyak lagi alasan yang disampaikan Velix. Banyak. (J Osdar)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/07/03225242/bertens.edo.velix..dan...papua

Sep 6, 2010

SBY Bahas Pemindahan Ibukota Usai Lebaran

Setelah Idul Fitri, Presiden SBY akan mengajak kabinet merancang kebijakan pindah ibukota.
Senin, 6 September 2010, 07:12 WIB

Amril Amarullah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono rapat kabinet (Biro Pers Istana Presiden/Abror Rizki)

VIVAnews - Wacana perpindahaan ibukota yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat buka bersama KADIN di Jakarta, 3 September lalu, segera ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis oleh Kementerian dan lembaga terkait.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menyatakan setelah libur Hari Raya Idul Fitri, Presiden mengajak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, untuk membicarakan kerangka perencanaan secara komprehensif dalam menyusun kebijakan perpindahan ibukota.

Presiden mengharapkan adanya konsolidasi yang intens antara Kementerian dan lembaga untuk menyatukan rumusan kajian mengenai perpindahan ibukota.

"Semua dokumen yang telah diselesaikan, seperti asessment awal, berbagai kajian tata ruang yang terkait dengan ibukota Jakarta, serta kajian terhadap opsi-opsi alternatif ibukota akan dikerucutkan," ujar Velix Wanggai kepada VIVAnews, Minggu, 6 September 2010.

Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah memetakan adanya tiga skenario perpindahan ibukota.

Skenario pertama adalah skenario realistis, dimana Ibukota tetap di Jakarta, namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah.

"Kebijakan ini harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah," katanya.

Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini, Presiden menawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibukota negara.

Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibukota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru. Karena itu, dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal berbagai opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini.

"Tentu saja, perlu dipertimbangan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya," lanjutnya.

Sedangkan skenario ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal. Dalam opsi ini, negara membangun ibukota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis.

"Skenario radikal itu memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru," jelas Velix.

Meskipun kajian mengenai perpindahan ibukota yang dilakukan pemerintah telah berjalan, Presiden tetap mengajak para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah.

"Presiden terbuka apabila para pakar dan lembaga swadaya masyarakat ingin menyampaikan kajian yang telah mereka selesaikan secara mandiri. Intinya, pemerintah ingin agar proses menuju perencanaan perpindahan ibukota dilakukan secara partisipatif," lajutnya.

Velix mencontohkan, kajian yang dilakukan Tim Visi 2033 dibawah Andrinof Chaniago, akademisi Universitas Indonesia, sebagi salah satu masukan penting untuk melengkapi kajian-kajian yang telah dilakukan oleh jajaran pemerintah. Dalam kajiannya, Andrinof dan kawan-kawan merekomendasikan perpindahan ibukota ke Palangkaraya.

• VIVAnews

Sep 5, 2010

Pemerintah Serius Matangkan Pemindahan Ibukota Negara

Ahad, 05 September 2010, 21:12 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Wacana perpindahaan ibukota yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat buka bersama Kadin pada 3 September lalu, segera ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis oleh kementerian dan lembaga terkait. ''Setelah libur Hari Raya Idul Fitri, Presiden Yudhoyono mengajak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II membicarakan kerangka perencanaan secara komprehensif dalam menyusun kebijakan perpindahan ibukota,'' kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, di Jakarta, Ahad (5/9).

Presiden, lanjutnya, mengharapkan adanya konsolidasi yang intensif antara kementerian dan lembaga untuk menyatukan rumusan kajian mengenai perpindahan ibukota. Menurut dia, semua dokumen yang telah diselesaikan, seperti a//sessment awal, berbagai kajian tata ruang terkait dengan ibukota Jakarta, serta kajian terhadap opsi-opsi alternatif ibukota akan dikerucutkan.

Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah memetakan adanya tiga skenario perpindahan ibukota.

Pertama, skenario realistis, yakni ibukota tetap di Jakarta namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memerbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah. ''Kebijakan ini harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah,'' kata Velix.

Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini, Presiden menawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibukota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibukota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.

''Tentu saja, perlu dipertimbangan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya,'' ujar Velix.

Sedangkan skenario ketiga adalah membangun ibukota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. ''Skenario radikal itu memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibukota baru,'' jelas Velix.

Presiden, lanjutnya, tetap mengajak para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan pemerintah. ''Presiden terbuka apabila para pakar dan lembaga swadaya masyarakat ingin menyampaikan kajian yang telah mereka selesaikan secara mandiri. Intinya, pemerintah ingin agar proses menuju perencanaan perpindahan ibukota dilakukan secara partisipatif,'' katanya.


Red: Budi Raharjo

SBY Ajak Kabinet Bahas Pemindahan Ibu Kota Setelah Idul Fitri

Irwan Nugroho - detikNews

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya makin serius membahas pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta. Presiden akan mengajak para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II untuk berbicara lebih komprehensif dalam menyusun kebijakan perpindahan ibu kota itu usai liburan Hari Raya Idul Fitri 1431 H mendatang.

Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (5/9/2010).

"Presiden mengharapkan adanya konsolidasi yang intens antara Kementerian dan Lembaga untuk menyatukan rumusan kajian mengenai perpindahakan ibu kota. Semua dokumen yang telah diselesaikan, seperti asessment awal, berbagai kajian tata ruang yang terkait dengan ibu kota Jakarta, serta kajian terhadap opsi-opsi alternatif ibu kota akan dikerucutkan," ujar Velix.

Menurut Velix, meski kajian mengenai perpindahan ibu kota yang dilakukan pemerintah telah berjalan, SBY juga mengajak para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, kalangan universitas, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah itu.

"Presiden terbuka apabila para pakar dan lembaga swadaya masyarakat ingin menyampaikan kajian yang telah mereka selesaikan secara mandiri. Intinya, pemerintah ingin agar proses menuju perencanaan perpindahan ibu kota dilakukan secara partisipatif," lanjutnya.

Saat ini, imbuhnya, pemerintah telah menerima masukan penting yang diserahkan oleh Tim Visi 2033 pimpinan Andrinof Chaniago. Melalui kajian yang mereka hasilkan, Andrinof dan anggota tim merekomendasikan agar ibu kota dipindahan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Seperti diketahui, di depan peserta buka bersama dengan pengurus dan anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Jumat, 3 September yang lalu, SBY mengemukakan 3 opsi untuk mengatasi kemacetan yang makin parah di Jakarta. Ketiga opsi itu adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota dengan membenahi kemacetan, memindahkan pusat pemerintahan ke luar dari Jakarta, atau membangun ibu kota baru.

"Saya sudah berpikir diam-diam, meskipun tidak setiap saat berbicara di hadapan pers. Karena ini fundamental, diperlukan kesepakatan bersama baik itu pemerintah, parlemen dan semua kalangan masyarakat, mana yang kita pilih." kata SBY. (irw/irw)

Sep 3, 2010

Presiden SBY Respons Wacana Pemindahan Ibukota

Anwar Khumaini - detikNews

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya buka suara soal wacana pemindahan Ibukota Jakarta yang akhir-akhir ini mengemuka. Menurut SBY, Pemindahan ibukota memang merupakan salah satu dari tiga opsi untuk mengatasi kemacetan yang makin menggila di Jakarta.

"Kalau solusinya pertahankan Jakarta baik sebagai ibukota sekaligus pusat pemerintahan, maka solusinya adalah mengatasi kemacetan Jakarta, ini one option," kata SBY.

Hal tersebut dia katakan saat memberikan sambutan dalam buka puasa bersama dengan pengurus dan anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Jakarta Convention Center, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (3/9/2010).

Opsi kedua, menurut SBY, Indonesia bisa membandingkan dengan apa yang dilakukan Malaysia. Ibukota Malaysia tetap berada di Kuala Lumpur, tapi pusat pemerintahan berada di Putrajaya.

"Dipisahkan, cut off. Tetapi tentu ada komunikasi yang baik. Berkembanglah PutraJaya," ujar SBY.

"Ketiga, sama sekali membangun ibu kota yang baru, the real capital, the real govement center. Seperti Canberra, Brasilia, Ankara dan tempat-tempat yang lain," sambung SBY.

Ketiga opsi tersebut, menurut SBY ada plus minusnya. Tapi harus diputuskan. Kalau diputuskan, misalnya opsi kedua dan tiga, maka mau tidak mau harus membangun pusat pemerintahan baru. Maka 10 tahun dari sekarang baru bisa dilakukan berdirinya pusat pemerintahan yang baru yang sudah terencana dengan desain yang bagus dan memenuhi syarat-syarat sebagai pemerintahan yang baik.

"Saya sudah berpikir diam-diam, meskipun tidak setiap saat berbicara di hadapn pers, karena ini fundamental itu diperlukan kesepakatan bersama baik itu pemerintah, parlemen dan semua kalangan masyarakat, mana yang kita pilih." terang dia.

Jika opsi kedua dipilih, misalnya menurut SBY, biarkan Jakarta dipertahankan sebagai ibu kota, ekonomi, perdagangan dan semua dibangun tempat yang baru sebagai pusat pemerintahan.

"Nah kalau kita membangun baru tentu well plan, well design, kemudian kita hitung keindahan aspek lingkungan dan lain-lain. Kita barangkali butuh waktu 5-7 tahun untuk membangunnya, itu by project," ungkap SBY.

SBY mencontohkan, pusat pemerintahan di Malaysia, Putra Jaya, menghabiskan uang sekitar Rp 80 triliun. Jika Indonesia ingin membangun seperti itu dengan cakupan yang lebih luas, bisa saja. Dananya bisa diambil dari APBN sebagian, sebagian partnership, govement dengan publik, sebagian mungkin bisa melepas aset pemerintah yang ada di Jakarta.

"Kemudian kita bangun yang baru. banyak opsi yang tersedia, tetapi yang jelas. Kalau menjadi pilihan kita nanti saya akan mendengar masukan, rekomendasi dari semua pihak," papar SBY.

SBY berandai-andai, jika pemindahan ibukota benar-benar dilaksanakan,
tentunya 90 persen dibangun oleh pengusaha dalam negeri. Material yang diimpor dibatasi tidak lebih 10 persen, selebihnya di dalam negeri.

"Oleh karena itu, ini masalah besar, masalah fundamental, jangan berteriak tiap hari kemacetan-kemacetan tapi tidak berpikir besar. Kita harus think big, kemudian melakukan sesuatu dengan seksama," harapnya.

"Saya mendengar sebulan ini silang pendapat entah kemana kita. Kemananya nanti, yang penting konsepnya benar, idenya benar, desainnya benar kita sepakat bahwa apa yang kita lakukan solusi untuk Jakarta ke depan," tutup SBY disambut tepuk tangan hadirin.
(anw/rdf)

Sep 2, 2010

Menata Papua dengan Hati


oleh: Velix Wanggai
(dimuat di Harian Jurnal Nasional, 2 Sept 2010)

Artikel ini ditulis di ketinggian 35 ribu kaki di atas permukaan laut dalam perjalanan penulis dari Jayapura menuju Jakarta, Rabu 1 September 2010. Perjalanan yang cukup melelahkan, memakan waktu sekitar 7 jam, bagai penerbangan Jakarta-Tokyo atau Jakarta - Sydney. Tiga hari lamanya, penulis mengunjungi Manokwari, Ibukota Provinsi Papua Barat dan Jayapura, Ibukota Provinsi Papua.

Kunjungan ini memiliki makna yang berarti karena misi diemban adalah ingin mendengar pelbagai saran dan gagasan yang konstruktif dari para aparatur di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Bersamaan itu, penulis menyempatkan diri untuk berdialog dengan beberapa komunitas masyarakat sipil dan media-media lokal. Serangkaian pertemuan tersebut sangat berharga bagi penulis. Semua pihak menaruh harap agar pembangunan Papua semakin baik dari waktu ke waktu.

Dari sisi kultural, Papua selalu melekat di hati Presiden SBY. Presiden begitu terkesima dengan lantunan merdu lagu ‘Tanah Papua'. Semacam lagu wajib yang selalu dipromosikan Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O. Atururi. Demikian pula, lagu ‘Mentari Bersinar' adalah karya yang ditulis Presiden SBY ketika beliau pulang dalam perjalanan Merauke - Jakarta. Lagu ini seakan-akan memberi pesan bahwa Papua ‘mengirimkan' sinar mentari dari ufuk timur ke ufuk barat. Ada sejuta cahaya harapan untuk membangun negeri ini. Penduduk yang majemuk di Papua, hamparan sawah yang luas di wilayah Merauke, dan kekayaan alam yang bernilai strategis adalah fondasi bagi masa depan ekonomi Indonesia.

Perhatian Presiden SBY kepada Papua dilihat pula dari sisi struktural. Pada 16 Agustus 2010 lalu, tepatnya dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di hadapan DPR dan DPD, dan juga dalam Pidato Keterangan Pemerintah dalam Pengantar R-APBN 2011, Presiden menyebuti Papua beberapa kali. Hal ini terasa penting bagi pemerintah untuk mengurai pelbagai langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh oleh pemerintah guna mempercepat pembangunan Papua yang lebih baik.

Dari kedua pidato tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga agenda besar bagi Papua yang ditekankan oleh Presiden SBY. Pertama, dalam satu dekade ini Pemerintah telah melakukan reformasi politik di Papua. Hal itu dapat dilihat dari desentralisasi asimetris yang dirumuskan dalam payung otonomi khusus bagi Papua. Melalui kerangka otonomi khusus ini, pemerintah telah mendesain kewenangan yang luas, mendesentralisasi fiskal yang lebih besar, maupun menghargai identitas ke-papua-an melalui pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sebuah institusi khusus sebagai representasi kultural rakyat Papua, yang keanggotaannya terdiri dari wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan.

Kedua, Presiden SBY juga menunjukkan komitmennya untuk memperbaiki Papua dengan mengatakan bahwa ‘akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik'. Komunikasi yang konstruktif ini sejalan dengan pendekatan yang selama ini ditekankan oleh Presiden SBY, yaitu menerapkan pendekatan damai dan bermartabat, dan mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity) bagi penyelesaian masalah di Papua.

Ketiga, dalam Pidato R-APBN 2011, Presiden SBY meneguhkan langkahnya untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi khusus yang lebih baik. Dengan alokasi dana otonomi khusus yang semakin besar dari waktu ke waktu, maka diperlukan mekanisme pengawasan yang tertata dan terukur secara baik. Harapannya, dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang besar, taraf hidup saudara-saudara kita di Tanah Papua berubah menuju kehidupan yang lebih baik. Menata Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah kita menjadikan Tanah Papua sebagai masa depan Indonesia.

Sumber: http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Halaman%20Muka&berita=142152&pagecomment=1

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...