Jan 25, 2007

Ideas, Power, and Policy-Making: The Politics of Desentralisation Reforms in Indonesia's Transition, 1998 - 2006

Dear All
Velix Wanggai will be presenting his Pre-fieldwork Seminar - see abstract below - and would be pleased if you could attend. Monday, January 29th 3 pm - 4 pm, Seminar Room D
Pre-fieldwork Seminar
Velix Wanggai PhD candidate, Department of Political and Social Change,
Division of Political and International Relations,
Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS),
The Australian National University
Ideas, Power, and Policy-Making: The Politics of Decentralisation Reforms in Indonesia's Transition, 1998 - 2006
Dramatic political changes have taken place in Indonesia since 1998, including the introduction of dramatic new policies concerning regionalautonomy. As part of consolidating a new institutional structure, successive governments have reconstructed the relationship between the central and regional governments, including asymmetrical decentralisation for Papua and Aceh in 2001 and 2006. This dissertation examines how the transition todemocracy has changed the nature of the policy-making process in Indonesiaby asking how decentralisation reforms have been shaped.
In order to answer the major question above, this dissertation will examine the establishment of four decentralisation policies: (1) Law No.22/1999 on Regional Government; (2) Law No. 21/2001 on Special Autonomy forPapua; (3) Law No. 32/2004 on Regional Government; and (4) Law No.11/2006 onthe Government of Aceh. In analysing my case studies, I will explore three important aspects of the policy-making process: (1) the key actors in agenda setting, policy formation, and decision-making; (2) the nature of the motives, perceptions, and goals of the players; and (3) power relations and resource exchanges during the policy-making process, whether these have occured through negotiation, compromise, bargaining, lobbying, orco-optation, etc.
My hope in this research is to understand the patterns of policy-making processes in a democratic and decentralised Indonesia, to explore the dynamics of relations between the state and society during the policyprocess, and specifically to see the interplay between knowledge/ideas and interests in this process, as well as to achieve a deeper understanding of institutional design in the context of managing the unity of Indonesia in the transition era.

Anne Looker
Department of Political and Social Change
Research School of Pacific and Asian Studies
Coombs Building, Bldg. No. 9
The Australian National UniversityCanberra ACT 0200 Australia
T: +61 2 6125 3097F: +61 2 6125 5523
E: anne.looker@anu.edu.auW: http://rspas.anu.edu.au/

"Perjanjian Lombok" dan Agenda Papua

Di bulan November 2006 lalu hubungan Indonesia dan Australia seakan-akan berada dalam masa bulan madu. Di kota Adelaide, Australia Selatan, mulai tanggal 15 – 17 November 2006 dilaksanakan pembahasan kerjasama ekonomi yang dihadiri oleh sejumlah menteri bidang ekonomi dari Indonesia dan Australia, dan juga komunitas bisnis kedua negara. Sedangkan di kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 13 November 2006 Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda dan Menteri Luar Negeri Australia Alexandar Downer menandatangani sebuah perjanjian keamanan baru yang komprehensif yang memuat 10 kebijakan strategis, dimana Menlu Wirayuda menjuluki komitmen ini sebagai “Lombok Agreement” (the Australian, 14 November 2006). Perjanjian ini memuat sejumkah kebijakan strategis antara lain: kontrol perbatasan dan imigrasi, pencurian ikan (illegal fishing) dan hukum maritim, kerjasama teknologi, perdagangan manusia (people smuggling), counter-terrorism dan intelegen, kerjasama melawan penyebaran senjata nuklir (nuclear weapon proliferation), pembangunan teknologi nuklir yang damai, dan menghormati kedaulatan dan integritas masing-masing negara. Perjanjian ini dapat dikatakan sebagai babak baru hubungan Indonesia-Australia yang lebih luas, jika dibandingkan dengan perjanjian keamanan Indonesia-Australia yang dibuat oleh PM Paul Keating dan Presiden Soeharto pada tahun 1995.

Desas-desus akan adanya perjanjian keamanan baru antara Indonesia dan Australia mulai ramai diperbincangkan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Australia pada bulan April 2005. Ketika berada di negeri kanguru ini, pada tanggal 4 April 2005 Presiden SBY dan PM John Howard menandatangani Deklarasi Bersama tentang Kemitraan Yang Komprehensif antara Indonesia dan Australia (Joint Declaration on Comprehensive Partnership between Australia and the Republic of Indonesia). Deklarasi ini merupakan payung kerjasama bilateral yang mencakup kerjasama dibidang ekonomi dan teknik, kerjasama keamanan, dan pengembangan kerjasama antar masyarakat atau yang disebut people-to-people links. Dalam hal kerjasama keamanan, Deklarasi tersebut mengakui bahwa kejahatan transnasional, terorisme, dan ancaman keamanan non-tradisional seperti perdagangan manusia, narkotik, pencucian uang, dan penyebaran penyakit berbahaya telah menjadi isu kekinian yang harus dipecahkan secara bersama. Diakhir Deklarasi, Presiden SBY dan PM John Howard sepakat akan pentingnya sebuah perjanjian keamanan yang merupakan kerangka bagi arah baru dalam hubungan keamanan kedua negara (we see value in concluding a security agreement which would provide a framework for new directions in our security relationships).

Namun kedatangan 43 warga asal Papua yang meminta suaka politik ke Australia dan kebijakan kontroversi Pemerintah Australia yang memberikan visa perlindungan sementara (temporary protection visa) kepada 42 warga Papua telah membuat hubungan Jakarta dan Canberra berada dalam posisi yang terburuk setelah peristiwa Timor-Timur pada tahun 1999. Selama hampir 6 bulan, sejak Januari hingga Juni 2006 media massa Indonesia dan Australia diramaikan dengan perdebatan politik. Di Indonesia, bahkan wacana pemutusan hubungan diplomatik dan pernyataan perang dikumandangkan oleh beberapa politisi dan kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai sikap protes keras, Presiden SBY menarik duta besar Indonesia untuk Australia Hamzah Thayeb untuk ‘berkonsultasi’ di Jakarta. Namun, Kota Batam akhirnya menjadi tempat bersejarah dalam mengakhiri ‘perang dingin’ antara Indonesia dan Australia. Tanggal 26 Juni 2006 Presiden SBY dan PM John Howard bertemu dan sepakat untuk menormalisasi hubungan bilateral dan membangun kembali kerjasama yang lebih baik dan saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah.

Pekerjaan Rumah bagi Australia

Karena itu, “Lombok Agreement” ini memiliki makna strategis bagi kedua negara. Penulis menilai bahwa bagi Australia, perjanjian ini tidak hanya sekedar aspek-aspek teknis belaka yang akan mengatur nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia atau kontrol perbatasan dari perdagangan manusia dan illegal migrant, namun lebih dari hal itu, perjanjian keamanan ini merupakan symbol politik kebijakan Australia untuk membangun wilayah Asia Pasifik yang stabil dan aman. Dalam Buku Putih (white paper) Kebijakan Pertahanan Australia tahun 2000, Pemerintah Australia mengakui bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang kritis. Pertama, Indonesia sedang melakukan evolusi politik melalui demokratisasi dan desentralisasi. Kedua, reformasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ketiga, masih adanya potensi konflik agama, separatis, dan ras yang dapat mengganggu kohesi sosial dan stabilitas Indonesia. Australia melihat bahwa gejolak ekonomi dan instabilitas Indonesia akan berpengaruh bagi keamanan Australia. Karena itu, Pemerintah Australia mengakui bahwa kohesi nasional dan integritas wilayah Indonesia menjadi hal mutlak yang harus dipertahankan. Pernah sekali PM John Howard mengungkapkan bahwa kemerdekaan Papua dan Papua yang tidak aman hanya akan menyebabkan terganggunya kepentingan nasional Australia dan wilayah sekitarnya (the Australian, 13 November 2006).

Sejauh ini Partai oposisi Australia, Partai Buruh, nampaknya melihat perjanjian keamanan baru ini bermanfaat bagi Australia. Menteri Luar Negeri Bayangan Kevin Rudd menyatakan Indonesia dan Australia memiliki musuh bersama yakni terorisme. Namun terdapat 2 aspek yang perlu dibicarakan secara mendalam yakni yang terkait dengan aspek nuklir dan West Papua (ABC Radio Australia, 13 November 2006). Perjanjian keamanan baru ini juga menyebabkan munculnya suara-suara kritis di luar tubuh pemerintah Australia, khususnya yang menyangkut perhatian Pemerintah (Australia) kepada perorangan ataukah kelompok-kelompok yang dapat mengancam stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritori masing-masing negara. Pernyataan ini dianggap oleh publik Australia sangat terkait dengan adanya individu dan kelompok-kelompok di Australia yang mendukung gerakan Papua Merdeka.

Salah satu koran ternama di Australia mengungkapkan bahwa adalah kesalahan bagi Indonesia jika melihat perjanjian ini sebagai sebuah senjata untuk meredam kebebasan berbicara bagi publik Australia (the Australian, 13 November 2006). Namun cepat-cepat Menlu Alexander Downer membantah bahwa perjanjian ini akan berpengaruh pada perlakuan Australia terhadap para pencari suaka asal Papua (ABC Radio Australia 13 November 2006). Sekali lagi Downer mengatakan pakta keamanan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak individu warga negara Australia untuk mendukung gerakan-gerakan separatis (the Australian, 14 November 2006).

Perlu Kebijakan Lebih Lanjut

Penulis menilai bahwa Lombok Agreement perlu ditindaklanjuti oleh pertemuan-pertemuan lanjutan yang berguna bagu perumusan kebijakan dan langkah teknis aspek-aspek yang dikerjasamakan, khususnya yang menyangkut agenda kebijakan untuk tidak memberikan ruang yang leluasa di Indonesia dan Australia bagi suburnya pergerakan separatis. Aspek ini sangat berbeda dengan agenda lainnya seperti kerjasama keamanan, counter-terrorism, kerjasama imigrasi maupun perdagangan manusia (people smuggling) yang telah ditindaklanjuti secara intensif oleh kedua belah negara. Namun agenda seputar kebijakan untuk menghormati kedauatalan dan integritas wilayah kurang diperhatikan secara detil. Hal ini terasa penting bagi kedua negara, karena akan terbangun suatu kesepahaman yang jelas, aspek-aspek apa yang merupakan bagian ekspresi kebebasan warga negara Australia untuk mengangkat isu-isu penegakan hak-hak asasi manusia, khususnya yang terjadi di Papua, dan sebaliknya aspek-aspek manakah yang telah dilanggar oleh kelompok-kelompok masyarakat Australia yang lebih menjurus pada pemberian dukungan bagi gerakan separatis. Dengan demikian, sejak awal kedua belah negara dapat memahami posisi dan sikap politik antara tegaknya kedaulatan negara dan agenda hak-hak asasi manusia. Demikian pula, konsekuensi dan sanksi apakah yang akan diterapkan jika kedua belah negara melanggar pakta keamanan ini.

Penulis adalah mahasiswa S-3 Divisi Politik dan Hubungan Internasional, the Australian National University (ANU), mantan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia Tahun 2004 – 2006.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...