Jun 23, 2017

SENTUHAN GUBERNUR LUKAS ENEMBE DALAM MERAWAT KEBERSAMAAN

 
    DR Velix Wanggai (Foto: Istimewa)
 
Kehidupan sosial di Tanah Papua penuh dengan warna. Mengelola sebuah perbedaan bukanlah sebuah hal yang mudah, namun perlu ketekunan, kesabaran, ketenangan, dan kearifan mengelola perbedaan itu.

Di berbagai negara yang masyarakatnya plural, dibutuhkan landasan filosofi dan strategi sosial di dalam mengelola perbedaan sosial itu. Bahkan, di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44, ketika pidato pelantikan pada 21 Januari 2013, mengajak publik Amerika Serikat untuk bersatu dalam perjalanan negara Amerika Serikat, apa pun warna kulit, keyakinan, dan asal usul nama. Sebelumnya, dalam kunjungan ke Indonesia, pada 10 November 2010, Obama memuji prinsip dasar Bhineka Tunggal Ika sebagai modal dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia.

Relevan dengan konteks mengelola sebuah keragaman sosial, Tanah Papua adalah sebuah contoh toleransi dan kerukunan sosial yang tinggi. Bagaimana mengelola kehidupan sosial yang beragam ini disadari sejak awal oleh Gubernur Lukas Enembe.

Di saat pidato perdana, pada 9 April 2013, Gubernur Lukas Enembe menyerukan filosofi Kasih Menembus Perbedaan sebagai modal sosial, modal kultural, sekaligus modal spritual di dalam mengelola perbedaan dan kebersamaan di Tanah Papua.

FILOSOFI KASIH MENEMBUS PERBEDAAN
Tanah Papua adalah tanah yang diberkati. Di atas Tanah ini, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan manusia-manusia Papua yang begitu beragam suku, bahasa, etnik, dan pola kehidupannya.

Di atas Tanah ini, Tuhan menganugerahkan potensi kekayaan alam yang melimpah yang bernilai strategis, dan ditambah dengan keindahahan alam yang begitu cantik. Saking indahnya burung Cenderawasih, burung ini dijukuki "the bird of paradise".

Sebagai Tanah yang diberkati, adalah menjadi tugas mulia kita semua untuk merawat dan menjaga kehidupan sosial yang begitu penuh warna.

Demikian pula, kewajiban kita untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya dengan rasa keadilan sosial tanpa merusak ekosistem di sekitar kita.

Melihat konteks sosial Papua ini, sehingga mengapa Gubernur Lukas Enembe di awal kepemimpinan, sejak 9 April 2013, menggaungkan prinsip Kasih Menembus Perbedaan. Kasih menjadi landasan kita untuk berikir, melangkah, bersikap, dan mengambil kebijakan pemerintahan, strategi pembangunan, dan pelayanan sosial.

Kasih mengajarkan ketulusan, kesantunan, kasih sayang, tolong menolong, saling menghormati, maupun panjang sabar.

Nilai-nilai sosial yang mulia ini menjadi fondasi kita semua di dalam mengelola Papua yang penuh keragaman ini.

Karena itu, di awal kepemimpinannya, Gubernur Lukas Enembe berpesan bahwa Kasih ini melewati batas-batas sosial dan menembus sekat-sekat primordialisme, sehingga semua orang di Tanah Papua ini hidup penuh kedamaian, kerukunan dan toleransi yang tinggi. Dalam pandangan Lukas Enembe, filosofi Kasih Menembus Perbedaan memiiki makna yang suci.

Bagi Enembe, Kasih Allah adalah kasih yang sempurna, karena itu kasih tidak mengenal suku, usia, status.

Karena kasih menembus semua perbedaan tersebut dan pada akhirnya menyatukan kita dalam sebuah ikatan kasih yang penuh damai sejahtera.

TANAH PAPUA, CONTOH TOLERANSI KEHIDUPAN BERAGAMA
Di dalam berbagai kesempatan, dalam mensikapi dinamika sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Papua, Lukas Enembe telah berulang kali menghimbau kepada masyarakat Papua agar jangan sampai diboncengi kepentingan tertentu.

Kata Enembe, "Kita upayakan Papua menjadi contoh bagi Provinsi lain di Tanah Air tentang toleransi kehidupan beragama...Kita senantiasa menjaga Papua sebagai tanah damai".

Ketika menghadapi ujian keamanan beberapa saat lalu di Tolikara, Gubernur Lukas Enembe segera mengambil langkah-langkah persuasif guna meredam situasi dan membangun kembali rasa aman dan rekonsiliasi.

Enembe mengatakan,  "Kasus Tolikara ini bersifat insidental, muncul karena kesalahpahaman baik antaraumat beragama maupun masyarakat dengan pihak keamanan, tidak perlu dibesar-besarkan lagi seakan-akan di Papua ini tidak junjung toleransi. Sejak dulu, Papua ini sangat menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

Untuk itu diharapkan semua pihak terus membangun wilayah itu dalam keberagaman dan dengan kasih. Saya juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Tolikara, pihak keamanan (TNI/Polri) dan para pemimpin atau tokoh agama untuk terus membangun komunikasi penuh kasih dan pendekatan persuasif".

Sejalan dengan upaya merawat keharmonisan dan kerukunan, Enembe selalu mengajak tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk membangun toleransi di tengah-tengah era globalisasi dan perubahan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia. Tentu, kita ingin simpul- simpul sosial yang moderat dan toleran, yang jauh dari sikap radikal. Radikalisme tidak cocok dalam setting sosial ke-Papua-an.

KEBERSAMAAN DALAM PEMBANGUNAN
Dalam mengelola masyarakat yang plural  seperti Papua, ada pakar seperti Arend Liijphart, meneliti soal "democracy in plural societies" (1977), yang menasehati agar dimiliki sebuah platform bersama di dalam mengelola perbedaan. Karenanya, filosofi Kasih Menembus Perbedaan yang digagas Lukas Enembe sangat relevan dalam setting sosial Papua.

Seruan dan ajakan dari Enembe selalu disampaikan di berbagai pertemuan publik. Dalam sebuah kesempatan di pertengahan Juni 2014 lalu, Gubernur Enembe mengajak, "Kita semua Papua, karena itu mari kita bekerja untuk Tanah Papua yang kita cintai ini tanpa adanya perbedaan".

Marilah seluruh komponen masyarakat bergandengan tangan dalam ikatan kasih sebagai sebuah persaudaraan dalam semangat kebersamaan untuk membangun Tanah Papua, sesuai tugas dan tanggung jawab kita masing-masing untuk menuju era baru peradaban baru Papua yang Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera".

Demikian juga,  ketika di acara buka puasa bersama di Timika, pada 11 Juni 2017, Gubernur Enembe menyampaikan bahwa sebanyak 250 suku asli di Papua dengan ragam budaya dan bahasanya yang mewarnai kehidupan masyarakat, termasuk kekayaan alam meliputi pertambangan, perikanan, kehutanan, dan lainnya harus dijaga agar tetap lestari.

Untuk menjaga keutuhan wilayah dengan sumber daya yang terkandung di dalamnya, maka rakyat Papua harus menggelorakan semangat empat pilar kebangsaan, baik NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam konteks buka puasa di bulan Ramadhan ini, Lukas Enembe memandang buka puasa merupakan momen silaturahmi antar umat beragama, apalagi Papua termasuk daerah yang erat dalam menerapkan toleransi.

Bagi Enembe, silaturahmi untuk menjalin toleransi harus tetap dipegang teguh karena sangat bermanfaat bagi kita di Papua. Kita harus bersyukur dengan adanya kebhinnekaan ragaman, kita bisa menjadi bangsa yang besar.

Sebagai tokoh yang moderat, terbuka dan inklusif, Gubernur Enembe senantiasa mengajak rakyat Papua menjaga keharmonisan dan persaudaraan. Kebhinekaan yang sudah terpelihara pun harus dipertahankan.

Karenanya, bagi seluruh masyarakat Papua, baik yang ada di gunung maupun pesisir dan kepulauan, perlu selalu waspada dengan segala bentuk perpecahan dengan isu suku, agama maupun ras. Keragaman budaya yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu harus terus diangkat menjadi kekuatan dalam pembangunan Papua.

Akhirnya, di akhir Mei 2017 lalu, Gubernur Enembe, mengajak seluruh masyarakat Papua, memasuki bulan puasa dan jelang Hari Raya Lebaran, untuk menjaga situasi keamanan di lingkungan masing-masing guna merawat keragaman kerukunan dan persaudaraan dalam kebersamaan.

Filosofi Kasih Menembus Perbedaan menjadi dasar di dalam kehidupan sosial di tanah Papua, dan juga sebagai nilai yang dipedomani di dalam merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan di tanah Papua. Persaudaraan dalam kebersamaan merupakan modal berharga di dalam kehidupan sosial di Tanah Papua. (*/adv)

Editor: Anwar Maga
COPYRIGHT © ANTARA 2017

Jun 20, 2017

“Enembe-nomics” dalam Desentralisasi Fiskal Papua: Bring the State Closer to the People

Perjalanan kepemimpinan Lukas Enembe – Klemen Tinal telah berjalan lebih dari 4 tahun. Jejak langkah telah diletakkan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe dalam berbagai sektor pembangunan, pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan.

Ada hal menarik yang digagas dan dijadikan kebijakan Enembe adalah men-desentralisasi fiskal-an anggaran dana Otonomi Khusus dengan formula 80 persen ke Kabupaten/Kota se-Papua. Hal ini tentu dianggap sebagai terobosan, dan dalam konteks tema politik pembangunan Papua dapat dijuluki sebagai “Enembe-nomics”.

Artinya, kebijakan yang digagas oleh Enembe dengan seperangkat landasan filosofis, landasan teori desentralisasi fiskal, landasan teori manajemen pemerintahan, landasan teori politik electoral, maupun landasan teori perubahan sosial.

Dan, tidak berhenti digagasan saja, namun gagasan ini diikuti oleh kebijakan keuangan lokal yang dipayungi oleh peraturan daerah, sehingga dijadikan pedoman di dalam mengelola pembangunan di Papua.

Landasan Filosofis

Ketika 9 April 2013 di hadapan ribuan rakyat Papua di lapangan Mandala, Kota Jayapura, diiringi deburan ombak Lautan Pasifik, Lukas Enembe, Gubernur terpilih dan baru saja dilantik oleh Menteri Dalam Negeri, menyampaikan pidato: “Perjalanan kita masih panjang, tetapi perahu Papua akan terus berlayar, perjalanan Papua tidak lengkap jika bapa dan mama, saudara-saudara masih hidup dalam kegelapan dan keterisolasian, perjalanan Papua tidak lengkap jika bapa dan mama masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, kehidupan bapa dan mama tidak lengkap jika masih sulit untuk mendapatkan pelayanan pendidian yang baik, perjalanan pendapatan yang layak, mari kita tanamkan semangat optimieme untuk menghadapi tantangan yang dihadapi”.

Selanjutnya, Gubernur Lukas Enembe menggugah rakyat Papua, dimana Enembe menyampaikan, “Ada yang mengatakan Papua raksasa yang sedang tidur, atau raksasa yang mulai bangun dari tidurnya, namun saya mengajak kita semua pada saat ini, detik ini juga raksasa Papua harus bangun, kita harus tegakan harkat dan martabat Papua, kita harus menemukan win-win solution bagi semua pihak, kita juga berjuang agar rakyat lebih sejahtera, satu rupiah pun yang jatuh diatas tanah ini harus digunakan dengan baik untuk perubahan kehidupan orang Papua. Orang Papua tidak boleh lagi miskin diatas kekayaannya, kue pembangunan harus dibagi dengan adil dan tepat, tidak boleh makan sendiri tetapi merata untuk rakya Papua. Kami juga berusaha agar hak-hak dasar orang Papua terpenuhi, kami akan perbaiki kebijakan-kebijakan sektor pendidikan, kesehatan ekonomi rakyat badan infrastuktur. Untuk itu perlu kebijakan baru dalam mengelola pembangunan di Papua yaitu kebijakan untuk semua rakyat Papua”. Demikian, pidato Gubernur Enembe di lapangan Mandala, pada 9 April 2013.

Landasan Manajemen Pemerintahan 
 Dari landasan filosofi itu, Gubernur Enembe menegaskan diperlukan upaya radikal untuk membalikkan anggaran pembangunan Papua yang berasal dari Dana Otonomi Khusus.
Dari sisi landasan manajemen pemerintahan dan politik anggaran nasional, Papua memperoleh skema asymmetric fiscal decentralization atau dana otonomi khusus dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hal ini yang dinyatakan di dalam UU No. 21/2001 bahwa, “Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2 % (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan”.

Dari Gubernur demi Gubernur di Papua sejak tahun 2001 hingga awal 2013 memiliki strategi penggunaan dana otonomi khusus. Tentu, ada strategi, pendekatan, dan penekanan prioritas yang berbeda dari waktu ke waktu. Ada konteks yang melatari apa kebijakan yang ditempuh oleh masing-masing Gubernur, dimana dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur wilayah. Kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga 2013 hanya berpijak pada Peraturan Gubernur yang dibuat setiap tahun.

Di era Gubernur Enembe, ia sejak awal telah menegaskan ke publik bahwa ia akan membalikkan paradigma desentralisasi keuangan dalam pembangunan Papua, dimana mengalokasikan dana lebih besar ke kabupaten-kabupaten yang sebetulnya lebih dekat dengan rakyat atau grass root.
Dalam pandangan seorang ahli pemerintahan di Amerika Serikat, “Bring the State Closer to the People” (membawa Negara lebih dekat ke rakyat). Ini bermakna bahwa negara atau pemerintah daerah melakukan desentralisasi perencanaan dan penganggaran ke daerah-daerah di bawah gubernur untuk mengelola dana sendiri sesuai kebutuhan lokal yang dihadapi di level paling bawah.

Terobosan PERDASUS No. 25/2013: Skenario Anggaran 80 : 20

Tepatnya tanggal 30 Desember 2013, atau 8 bulan setelah Lukas Enembe dilantik pada 9 April 2013, Gubernur Enembe menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Khusus (Perdasus) Nomor 25 Tahun 2013 tentang Pembagian Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Dana Otonomi Khusus, yang ditetapkan pada 30 Desember 2013.

Sejak tahun 2001 hingga 2013 pengelolaan dana Otonomi Khusus, termasuk pembagian dana Otonomi Khusus hanya berdasarkan Peraturan Gubernur yang dikeluarkan setiap tahun. Keadaan ini menimbulkan masalah dan persepsi yang berbeda-beda di tengah-tengah publik Papua, bahwa kemana saja penggunaan dana Otonomi Khusus dan apa latar belakang pembagian dana antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Oleh sebab itu, Enembe melihat diperlukan TEROBOSAN dengan membuat payung hukum yang transparan dan terukur di dalam mengelola tata keuangan daerah, termasuk jaminan kepastian hukum dan kepastian kemanfataan yang adil.

Kebijakan mendasar dalam desentralisasi fiskal ini, dapat disebut sebagai “Enembe-nomics”. Dalam Enembe-nomics, bahwa pemberian otonomi khusus bagi Papua perlu diikuti dengan pemberian kewenangan khusus yang dibagi antara daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota dimana fungsi-fungsi pengaturan berada di daerah Provinsi, sedangkan fungsi pelayanan masyarakat diberikan secara bertahap dan proporsional kepada daerah kabupaten/kota.

Enembe-nomics juga melihat diperlukan kebijakan khusus dari Pemerintah Provinsi untuk menjangkau semua daerah kabupaten/kota dalam rangka membuka keterisolasian fisik dan sosial, mendukung peningkatan dan pemerataan pendidikan, kesehatan, serta menumbuhkan kemandirian ekonomi rakyat secara berkeadilan.

Di dalam Enembe-nomics ini, mengatur skenario anggaran yang berubah, yakni 20 persen untuk Provinsi dan untuk Kabupaten/Kota sebesar 80 persen. Pola alokasi ini dilakukan sebelumnya dikurangi oleh pembiayaan Program Strategis Pembangunan Kampung (Prospek) dan program strategis lintas kabupaten/kota untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini bersifat terobosan karena selama 12 tahun, sejak 2001 hingga 2013, pembagian dana alokasi khusus 2 persen dari DAU Nasional ini dibagi dengan format 40 persen untuk Provinsi dan 60 persen untuk Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, Enembe-nomics mengatur pula bahwa dana otonomi khusus bagian Provinsi digunakan untuk membiayai: (1) program pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur yang merupakan kewenangan Provinsi; (2) bantuan untuk institusi keagamaan, lembaga masyarakat adat asli Papua, dan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan; (3) penataan data untuk kebutuhan perencanaan pembangunan otonomi khusus; (4) monitoring dan evaluasi dana otonomi khusus; (5) peningkatan kinerja keuangan otonomi khusus; (6) belanja operasional pelaksanaan tugas dan fungsi MRP.

Sementara itu, dalam strategi Enembe-nomics juga memberikan pedoman bahwa peruntukan dana otonomi khusus bagian kabupaten/kota dialokasikan untuk: (1) pembiayaan pelayanan bidang pendidikan minimal 30 persen; (2) pembiayaan pelayanan kesehatan minimal 15 persen; (3) pembiayaan pengembangan ekonomi kerakyatan minimal 20 persen; (4) pembiayaan infrastruktur minimal 20 persen; (5) pembiayaan bantuan afirmasi kepada lembaga keagamaan, lembaga masyarakat adat asli dan kelompok perempuan dialokasikan maksimal 6 persen; (6) membiayai perencanaan dan pengawasan pemerintah daerah, monitoring dan evaluasi serta pelaporan dialokasikan maksimal 4 persen.

Enembe-nomics di dalam desentralisasi fiskal ke kabupaten/kota adalah salah satu terobosan dalam politik pembangunan Papua.

Perjalanan dari terobosan kebijakan ini tentu tidak mudah. Masih ada saja pekerjaan rumah yang dihadapi. Ini adalah tugas kolektif baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mensukseskan terobosan kebijakan desentralisasi fiskal ini.

Hal ini juga merupakan sebuah jawaban teknokratik bahwa dana Otonomi Khusus yang diberikan oleh “Jakarta”, digunakan dengan tepat, terukur, dan transparan.
Bring the State Closer to the People adalah sebuah strategi yang tepat dalam mewujudkan Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera


“Enembe-nomics” dalam Desentralisasi Fiskal Papua: Bring the State Closer to the People

Oleh: Velix Wanggai

Perjalanan kepemimpinan Lukas Enembe – Klemen Tinal telah berjalan lebih dari 4 tahun.

 Jejak langkah telah diletakkan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe dalam berbagai sektor pembangunan, pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Ada hal menarik yang digagas dan dijadikan kebijakan Enembe adalah men-desentralisasi fiskal-an anggaran dana Otonomi Khusus dengan formula 80 persen ke Kabupaten/Kota se-Papua. Hal ini tentu dianggap sebagai terobosan, dan dalam konteks tema politik pembangunan Papua dapat dijuluki sebagai ”Enembe-nomics”. Artinya, kebijakan yang digagas oleh Enembe dengan seperangkat landasan filosofis, landasan teori desentralisasi fiskal, landasan teori manajemen pemerintahan, landasan teori politik electoral, maupun landasan teori perubahan sosial
Dan, tidak berhenti digagasan saja, namun gagasan ini diikuti oleh kebijakan keuangan lokal yang dipayungi oleh peraturan daerah, sehingga dijadikan pedoman di dalam mengelola pembangunan di Papua.

Landasan Filosofis
Ketika 9 April 2013 di hadapan ribuan rakyat Papua di lapangan Mandala, Kota Jayapura, diiringi deburan ombak Lautan Pasifik, Lukas Enembe, Gubernur terpilih dan baru saja dilantik oleh Menteri Dalam Negeri, menyampaikan pidato: “Perjalanan kita masih panjang, tetapi perahu Papua akan terus berlayar, perjalanan Papua tidak lengkap jika bapa dan mama, saudara-saudara masih hidup dalam kegelapan dan keterisolasian, perjalanan Papua tidak lengkap jika bapa dan mama masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, kehidupan bapa dan mama tidak lengkap jika masih sulit untuk mendapatkan pelayanan pendidian yang baik, perjalanan pendapatan yang layak, mari kita tanamkan semangat optimieme untuk menghadapi tantangan yang dihadapi”.


Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.IP, MH., saat memberikan keterangan pers. (Eveerth Joumilena/LintasPapua)

Selanjutnya, Gubernur Lukas Enembe menggugah rakyat Papua, dimana Enembe menyampaikan, “Ada yang mengatakan Papua raksasa yang sedang tidur, atau raksasa yang mulai bangun dari tidurnya, namun saya mengajak kita semua pada saat ini, detik ini juga raksasa Papua harus bangun, kita harus tegakan harkat dan martabat Papua, kita harus menemukan win-win solution bagi semua pihak, kita juga berjuang agar rakyat lebih sejahtera, satu rupiah pun yang jatuh diatas tanah ini harus digunakan dengan baik untuk perubahan kehidupan orang Papua. Orang Papua tidak boleh lagi miskin diatas kekayaannya, kue pembangunan harus dibagi dengan adil dan tepat, tidak boleh makan sendiri tetapi merata untuk rakya Papua. Kami juga berusaha agar hak-hak dasar orang Papua terpenuhi, kami akan perbaiki kebijakan-kebijakan sektor pendidikan, kesehatan ekonomi rakyat badan infrastuktur. Untuk itu perlu kebijakan baru dalam mengelola pembangunan di Papua yaitu kebijakan untuk semua rakyat Papua”. Demikian, pidato Gubernur Enembe di lapangan Mandala, pada 9 April 2013.

Landasan Manajemen Pemerintahan

Dari landasan filosofi itu, Gubernur Enembe menegaskan diperlukan upaya radikal untuk membalikkan anggaran pembangunan Papua yang berasal dari Dana Otonomi Khusus.
Dari sisi landasan manajemen pemerintahan dan politik anggaran nasional, Papua memperoleh skema asymmetric fiscal decentralization atau dana otonomi khusus dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hal ini yang dinyatakan di dalam UU No. 21/2001 bahwa, “Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2 % (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan”.
Dari Gubernur demi Gubernur di Papua sejak tahun 2001 hingga awal 2013 memiliki strategi penggunaan dana otonomi khusus. Tentu, ada strategi, pendekatan, dan penekanan prioritas yang berbeda dari waktu ke waktu. Ada konteks yang melatari apa kebijakan yang ditempuh oleh masing-masing Gubernur, dimana dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur wilayah. Kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga 2013 hanya berpijak pada Peraturan Gubernur yang dibuat setiap tahun.

Di era Gubernur Enembe, ia sejak awal telah menegaskan ke publik bahwa ia akan membalikkan paradigma desentralisasi keuangan dalam pembangunan Papua, dimana mengalokasikan dana lebih besar ke kabupaten-kabupaten yang sebetulnya lebih dekat dengan rakyat atau grass root.
Dalam pandangan seorang ahli pemerintahan di Amerika Serikat, *”Bring the State Closer to the People” (membawa Negara lebih dekat ke rakyat).* Ini bermakna bahwa negara atau pemerintah daerah melakukan desentralisasi perencanaan dan penganggaran ke daerah-daerah di bawah gubernur untuk mengelola dana sendiri sesuai kebutuhan lokal yang dihadapi di level paling bawah.

Terobosan PERDASUS No. 25/2013: Skenario Anggaran 80 : 20
Tepatnya tanggal 30 Desember 2013, atau 8 bulan setelah Lukas Enembe dilantik pada 9 April 2013, Gubernur Enembe menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Khusus (Perdasus) Nomor 25 Tahun 2013 tentang Pembagian Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Dana Otonomi Khusus, yang ditetapkan pada 30 Desember 2013.  Sejak tahun 2001 hingga 2013 pengelolaan dana Otonomi Khusus, termasuk pembagian dana Otonomi Khusus hanya berdasarkan Peraturan Gubernur yang dikeluarkan setiap tahun.
Keadaan ini menimbulkan masalah dan persepsi yang berbeda-beda di tengah-tengah publik Papua, bahwa kemana saja penggunaan dana Otonomi Khusus dan apa latar belakang pembagian dana antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.


Foto//Ketua DPD Partai Demokrat Papua, Lukas Enembe, SIP, MH saat berfoto selfi mengabadikan momen fenomena alam terjadi di Lapangan Cenderawasih Biak disela-sela Deklarasi Lukas Enembe sebagai Calon Gubernur Papua periode 2018-2023 dari Partai Demokrat, Rabu (17/5/1017). (Istimewa)

Oleh sebab itu, Lukas Enembe melihat diperlukan TEROBOSAN dengan membuat payung hukum yang transparan dan terukur di dalam mengelola tata keuangan daerah, termasuk jaminan kepastian hukum dan kepastian kemanfataan yang adil.

Kebijakan mendasar dalam desentralisasi fiskal ini, dapat disebut sebagai “Enembe-nomics”. Dalam Enembe-nomics, bahwa pemberian otonomi khusus bagi Papua perlu diikuti dengan pemberian kewenangan khusus yang dibagi antara daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota dimana fungsi-fungsi pengaturan berada di daerah Provinsi, sedangkan fungsi pelayanan masyarakat diberikan secara bertahap dan proporsional kepada daerah kabupaten/kota.

Enembe-nomics juga melihat diperlukan kebijakan khusus dari Pemerintah Provinsi untuk menjangkau semua daerah kabupaten/kota dalam rangka membuka keterisolasian fisik dan sosial, mendukung peningkatan dan pemerataan pendidikan, kesehatan, serta menumbuhkan kemandirian ekonomi rakyat secara berkeadilan.

Kaka Lukas.Enembe, kembali dipercayakan memimpin Partai Demokrat Papua. (Foto Dian Mustikawati Sawaki)

Di dalam Enembe-nomics ini, mengatur skenario anggaran yang berubah, yakni 20 persen untuk Provinsi dan untuk Kabupaten/Kota sebesar 80 persen. Pola alokasi ini dilakukan sebelumnya dikurangi oleh pembiayaan Program Strategis Pembangunan Kampung (Prospek) dan program strategis lintas kabupaten/kota untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini bersifat terobosan karena selama 12 tahun, sejak 2001 hingga 2013, pembagian dana alokasi khusus 2 persen dari DAU Nasional ini dibagi dengan format 40 persen untuk Provinsi dan 60 persen untuk Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, Enembe-nomics mengatur pula bahwa dana otonomi khusus bagian Provinsi digunakan untuk membiayai: (1) program pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur yang merupakan kewenangan Provinsi; (2) bantuan untuk institusi keagamaan, lembaga masyarakat adat asli Papua, dan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan; (3) penataan data untuk kebutuhan perencanaan pembangunan otonomi khusus; (4) monitoring dan evaluasi dana otonomi khusus; (5) peningkatan kinerja keuangan otonomi khusus; (6) belanja operasional pelaksanaan tugas dan fungsi MRP.

Sementara itu, dalam strategi Enembe-nomics juga memberikan pedoman bahwa peruntukan dana otonomi khusus bagian kabupaten/kota dialokasikan untuk: (1) pembiayaan pelayanan bidang pendidikan minimal 30 persen; (2) pembiayaan pelayanan kesehatan minimal 15 persen; (3) pembiayaan pengembangan ekonomi kerakyatan minimal 20 persen; (4) pembiayaan infrastruktur minimal 20 persen; (5) pembiayaan bantuan afirmasi kepada lembaga keagamaan, lembaga masyarakat adat asli dan kelompok perempuan dialokasikan maksimal 6 persen; (6) membiayai perencanaan dan pengawasan pemerintah daerah, monitoring dan evaluasi serta pelaporan dialokasikan maksimal 4 persen.

Enembe-nomics di dalam desentralisasi fiskal ke kabupaten/kota adalah salah satu terobosan dalam politik pembangunan Papua. Perjalanan dari terobosan kebijakan ini tentu tidak mudah. Masih ada saja pekerjaan rumah yang dihadapi. Ini adalah tugas kolektif baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mensukseskan terobosan kebijakan desentralisasi fiskal ini.

Hal ini juga merupakan sebuah jawaban teknokratik bahwa dana Otonomi Khusus yang diberikan oleh “Jakarta”, digunakan dengan tepat, terukur, dan transparan.
Bring the State Closer to the People adalah sebuah strategi yang tepat dalam mewujudkan Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera.

Jakarta, Selasa, 20 Juni 2017
(Catatan Setelah Subuh, pukul 6.15 WIB).
(Velix Wanggai)


Jun 16, 2017

Perlukah Tafsir Sosial Baru terhadap Orang Asli Papua (OAP)

Oleh: Velix Wanggai


Menarik menyimak pelbagai diskusi di kalangan masyarakat Papua, khususnya yang menyentuh orang asli Papua (OAP). Pertanyaan yang sering mengemuka adalah berapa banyak jumlah orang asli Papua saat ini? Dan, apakah defisini OAP di tengah-tengah perubahan sosial yang sedang dan terus berlangsung di Tanah Papua?

Dan kemudian, sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang menarik mengikutinya, bagaimana nasib orang asli Papua di atas Tanah Papua di Republik ini? Adakah strategi yang tepat untuk mengubah, memberdayakan, dan mengangkat nasib orang asli Papua di atas tanah sendiri?
Bagaimana OAP hidup di tengah-tengah perubahan sosial yang terjadi begitu cepat?
Di satu sisi, OAP masih hidup di rumah-rumah balabu di kampung-kampung pesisir, di honai-honai, dan di atas pohon, sementara di sisi lain, arus globalisasi, kemajuan teknologi informasi, dan perubahan sosial yang penuh dengan persaingan.

Di tengah situasi yang berubah ini, bagaimana OAP mensikapi perubahan sosial ini? Bagaimana Negara mensikapi OAP dalam konteks pembangunan, kebangsaan dan kenegaraan? dan, bagaimana, nasib OAP dalam proses pengelolaan otonomi asimetrik yang konon akan berakhir pada 2022 (dana Otsus 2 % dihentikan)?

Bahkan, ada julukan ke OAP, dimana OAP mati diatas keberlimpahan risorsis di atas tanahnya sendiri? Kemudian, bagaimana juga nasib OAP dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini?
Kita bisa menulis panjang pertanyaan-pertanyaan lagi seputar OAP menurut tafsir kita masing-masing.
Namun, ketika berbicara OAP, terasa penting bagi kita untuk menjawab pertanyaan Kaka Gembala Dr. Socrates Yoman seputar populasi OAP dewasa ini.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Provinsi Papua di tahun 2014 adalah 3.091.047 jiwa, dimana terpadat di kota Jayapura sebanyak 272.544 jiwa, diikuti Merauke sebanyak 213.484 jiwa, Jayawijaya 203.085 jiwa, dan yang terkecil adalah penduduk di Supiori sebanyak 17.288 jiwa.
Dari jumlah sekitar 3 juta jiwa ini, berapa banyak jumlah OAP? Hal ini penting jika dikaitkan dengan strategi pemberdayaan OAP dalam konteks Otonomi Khusus.

Menarik Pemda Papua di tahun 2013 telah melakukan terobosan untuk melakukan survei khusus tentang Papua Asli Dalam Angka (Profil Penduduk Suku Asli Papua) di tahun 2013, dengan menggunakan data dasar tahun 2010.

Ketika mengacu ke data tahun 2010, jumlah penduduk Papua sebanyak 2.780.144 jiwa, ternyata jumlah OAP adalah sebanyak 2.121.436 jiwa dan penduduk Non-OAP berjumlah 658.708 jiwa.
Dari sisi penyebaran penduduk OAP sebagian besar berada di wilayah Pegunungan Tengah (lebih dari 96 persen), dan juga di dataran rawa-rawa di Mamberamo, Mappi, dan Asmat. Sedangkan Non-OAP tersebar di Kota Jayapura, Merauke, Keerom, Mimika, Nabire, yang komposisinya hampir 50 persen.
Bagaimana struktur komposisi OAP di setiap Kabupaten/Kota?
1. Merauke 72.554 OAP, sedangkan 122.130 non-OAP
2. Jayawijaya 177.581 OAP, sedangkan 18.025 non-OAP
3. Jayapura 68.116 OAP, sedangkan 42.684 non-OAP
4. Nabire 61.364 OAP, sedangkan 67.705 non-OAP
5. Kepulauan Yapen 64.034 OAP, sedangkan 17.969 non-OAP
6. Biak Numfor 93.340 OAP, sedangkan 33.102 non-OAP
7. Paniai 136.456 OAP, sedangkan 3.389 non-OAP
8. Puncak Jaya 99.368 OAP, sedangkan 1.780 non-OAP
9. Mimika 71.533 OAP, sedangkan 96.725 non-OAP
10. Boven Digoel 36.659 OAP, sedangkan 18.091 non-OAP
11. Mappi 72.134 OAP, sedangkan 9.259 non-OAP
12. Asmat 68.425 OAP, sedangkan 7.948 non-OAP
13. Yahukimo 160.620 OAP, sedangkan 2.320 non-OAP
14. Pegunungan Bintang 62.343 OAP, sedangkan 3.067 non-OAP
15. Tolikara 113.226 OAP, sedangkan 1.090 non-OAP
16. Sarmi 22.890 OAP, sedangkan 9.695 non-OAP
17. Keerom 16.609 OAP, sedangkan 27.851 non-OAP
18. Waropen 16.597 OAP, sedangkan 4.257 non-OAP
19. Supiori 15.297 OAP, sedangkan 9.695 non-OAP
20. Mamberamo Raya 17.092 OAP, sedangkan 1.273 non-OAP
21. Nduga 78.389 OAP, sedangkan 664 non-OAP
22. Lanny Jaya 148.367 OAP, sedangkan 155 non-OAP
23. Mamberamo Tengah 39.329 OAP, sedangkan 208 non-OAP
24. Yalimo 50.355 OAP, sedangkan 408 non-OAP
25. Puncak 92.532 OAP, sedangkan 408 non-OAP
26. Dogiyai 83.400 jiwa, sedangkan 830 non-OAP
27. Intan Jaya 40.413 OAP, sedangkan 76 non-OAP
28. Deiyai 50.249 OAP, sedangkan 538 non-OAP
29. Kota Jayapura 89.164 OAP, sedangkan 166.225 non-OAP

Dari struktur komposisi OAP setiap kabupaten/kota, terlihat jumlah penduduk non-OAP lebih besar jumlahnya dari OAP, yakni Kota Jayapura, Merauke, Nabire, Mimika, dan Keerom.
Sementara, jumlah non-OAP di Kabupaten Jayapura hampir seimbang.

Dari gambaran tersebut, apa hikmah dibalik komposisi itu? Banyak hal yang dapat kita kaji atau gunakan sebagai panduan bagi strategi pembangunan kewilayahan, misalnya, pendekatan pembangunan sesuai wilayah adat, suku, dan klan. Dengan kata lain, ethnic-oriented development atau communitybased development, termasuk tingkat pendidikan, akses kesehatan, mata pencaharian dari OAP.

Demikian pula, komposisi OAP dapat dilihat pula dari pergeseran demografi politics yang berpengaruh dalam kontestasi politik lokal, relasi sosial antara suku, etnik, atau bahkan relasi agama.
Tidak hanya itu, data ini akan bermanfaat juga untuk peruntukan dana otonomi khusus maupun affirmative policy apa yang diperuntukan bagi OAP baik dari sisi pemerintahan, pembangunan, rekrutmen politik, gagasan partai politik lokal, ataukah kebutuhan pembangunan lainnya.

Ke depan, pertanyaan klasik bagi kita semua, bahwa mungkin yang perlu kita pikirkan adalah, sebenarnya apa definisi OAP dalam konteks kekinian dan ke depan di tengah perubahan sosial di tanah Papua ini?
Sederet argumen menyertainya, apakah Bapak dan Ibu yang asli? ataukah jalur Bapak saja? lantas jalur Ibu bagaimana? Jalur Tete atau Nene? bagaimana penduduk Papua yang memiliki tanda cap hitam di lengan pada transisi pemerintahan di tahun 1960-an? Lalu, bagaimana anak-anak non-OAP yang tinggal dari generasi ke generasi di tanah Papua, dan mereka telah lupa dengan kampung mereka di Jawa, Sulawesi, Maluku atau Sumatera? ataukah ada definisi lain diluar definisi OAP dalam pembukaan UU No. 21/2001?
Rasanya, KITA PERLU TAFSIR SOSIAL BARU atas definisi OAP saat ini dan di masa mendatang.
Jakarta, 18 Juni 2017

Jun 9, 2017

Urun Rembuk Agenda Perpindahan Ibukota

Oleh : Velix Wanggai


Bappenas mendapat kepercayaan untuk merumuskan konsep perpindahan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agenda kajian perpindahan Ibukota, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, meminta Bappenas secara serius mengkaji perpindahan ibukota ke kota Palangkaraya.
Pertanyaannya, haruskah Palangkaraya? Bappenas, salah satu perannya adalah lembaga think thank perlu merumuskan dan menawarkan konsep alternatif, tidak hanya Palangkaraya saja.

Sehubungan dengan agenda ini, kami pada bulan September 2010 hingga 2014 telah membuat kajian kecil tentang agenda perpindahan Ibukota. Mengingat dalam konsep pemerintahan, ada satu konsep yakni perpindahan Ibukota dan pusat pemerintahan, maupun satu konsep lainnya yakni hanya perpindahan pusat pemerintahan tidak diikuti oleh perpindahan Ibukota.
Kami merumuskan tiga skenario perpindahan Ibukota, yakni skenario realistis, skenario moderat dan skenario radikal.

Skenario Realistis
Skenario realistis, di mana ibu kota tetap di Jakarta. Namun, untuk yang pilihan ini, harus ada pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memperbaiki beberapa persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, dan tata ruang wilayah.
Dalam skenario ini, kebijakan desentralisasi harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.

Skenario Moderat
Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini, pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis. Namun, pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.
Karena itu, dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal beberapa opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini. Dalam hal ini, tentu saja, perlu dipertimbangkan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infra struktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya.

Skenario Radikal
Adapun skenario ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal.
Dalam opsi ini, negara membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis.
Skenario radikal itu memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan beberapa opsi penentuan calon ibu kota baru.

Dalam skenario radikal ini, kami membuat 3 opsi lokasi baru, yakni:
Opsi I: Ibukota baru di sekitar Jakarta dengan jarak tempuh 2 – 3 jam jalan darat dari Jakarta. Alternatif lokasi yakni Maja, Jonggol, Purwakarta, Kerawang dan Majalengka.
Opsi II : Lokasi baru Ibukota masih di Pulau Jawa. Alternatif ibukota di Purwokerto, Yogyakarta, Magelang, Solo dan Malang.
Opsi III: Lokasi Ibukota baru di luar Pulau Jawa, yakni alternatifnya di Bandar Lampung, Palangkaraya, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Jayapura. Dari kajian 3 ada Pemda yang serius dalam mempersiapkan kajian/FS lokasi alternatif yakni Bappeda Lampung, Bappeda Kalimantan Tengah dan Bappeda Jawa Barat.

Dalam kajian perpindahan Ibukota ini, tampaknya Bappenas perlu mempertimbangkan:
1. Perubahan UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota NKRI.
2. Penyiapan Keputusan MPR dan DPR tentang perpindahan ibukota baru.
3. Penyiapan UU baru untuk Daerah Khusus Ibukota yang baru.
4. Kajian geo-politik dan geo-ekonomi atas arsitektur keamanan dan konflik di Asia Pasifik dan pola trends ke depan.
5. Kajian lingkungan, potensi sumber daya air baku, dan peta bencana di calon lokasi Ibukota baru.
6. Kajian infra struktur wilayah dan konektivitas terpadu serta dukungan sarana dan prasarana.
7. Kajian sosiologis dan demografik masyarakat lokal sebagai calon ibukota baru.
8. Kajian pertahanan dan keamanan wilayah ibukota dan buffer zone dari ibukota serta lapisan-lapisan wilayah (layer 1, layer 2 dan seterusnya).
9. Kajian sistem logistik dan konektivitas ke ibukota baru.
10. Kajian ekosistem di calon ibukota.
11. Kajian skenario APBN dan sumber pembiayaan dalam pembangunan ibukota baru.
12. Kajian desain arsitektur bangunan di kawasan pusat pemerintahan.
13. Kajian pusat-pusat perwakilan negara asing dan diplomatik serta organisasi dunia di ibukota baru.

Dr Velix Wanggai, Mantan stafsus Presiden SBY

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...