May 12, 2010

Membaca Peran Baru Gubernur


Desentralisasi adalah sebuah keniscayaan. Tak berlebihan jika kita menyebut desentralisasi adalah anak kandung dari demokratisasi. Ini berarti desentralisasi tidak bisa diabaikan oleh siapapun rezim penguasa di era reformasi ini. Reformasi jilid pertama tahun 1998 telah mengubah manajemen politik pemerintahan dari kekuasaan yang begitu terpusat menuju kekuasaan yang terdistribusi baik ke dalam satuan lembaga-lembaga negara non-presidensial, ke dalam satuan pemerintahan daerah maupun ke dalam kepartaian yang beragam. Keadaan ini membuat pola pengelolaan kenegaraan perlu ditata secara arif sesuai koridor perubahan struktural maupun kultural.

Hingar Bingar Desentralisasi

Perubahan strategis antara pusat – daerah tercermin dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 perihal Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Kita menyaksikan kewenangan, keuangan, dan pelayanan publik didistribusikan ke daerah, guna menumbuhkan demokrasi lokal yang substantif.

Gelombang desentralisasi ini melahirkan dua sisi mata uang, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, ada banyak terobosan yang dihadirkan oleh elite-elite birokrasi lokal, baik dalam memperkenalkan tata pemerintahan yang baik, program pemberdayaan kampung maupun pelayanan publik yang mendasar.

Namun di sisi lain, desentralisasi dan otonomi daerah meninggalkan wajah yang suram. Semangat regionalisasi dan etnisitas yang tinggi seringkali menciderai tujuan suci yang diemban. Birokrasi dan rekrutmen politik lokal dieksploitasi oleh sentimen dan ikatan kedaerahan. Kata-kata putra daerah merupakan ramuan ampuh untuk menggugurkan asas profesionalitas dan kapasitas. Meritokrasi menjadi barang yang mahal.

Itu baru satu paradoks yang muncul. Masih ada sederet persoalan lain. Karena itu, pemerintah selalu menyadari bahwa ada tugas berat yang dipikul yang harus diselesaikan, baik dari sisi kerangka regulasi, kerangka anggaran, dan kerangka kelembagaan serta kerangka politik.

Menata Peran Gubernur

Salah satu tantangan yang harus dibenahi adalah soal hubungan antar level pemerintahan, yaitu antar level pemerintah pusat – gubernur - bupati/walikota. Intinya, bagaimana menempatkan gubernur sesuai dengan kewenangan, urusan, tugas dan fungsinya secara benar. Dua beban yang diamanatkan dalam konstitusi adalah gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, dan gubernur sebagai kepala daerah.

Konstruksi seperti itu menempatkan posisi gubernur unik dan relatif berat. Unik karena harus mengelola dua ekstrem yang berbeda secara seimbang tanpa membiarkan tanggung jawab dari kedua sisi, baik pusat dan daerah. Namun, tugas gubernur dapat dikatakan berat karena harus mengkoordinasi dan memadukan kerangka kebijakan, kerangka anggaran, dan kerangka politik yang berbeda antar tingkatan pemerintahan.

Politik regulasi UU No. 22/1999 telah mengkonstruksi kewenangan yang terbatas di tingkatan provinsi, sebaliknya, meletakkan otonomi penuh di tangan kabupaten/kota. Apalagi ketika disebutkan tidak ada hubungan hirarkis antara provinsi-kabupaten/kota. Kondisi ini menyebabkan hubungan yang tidak harmonis bahkan seringkali ketidakpatuhan terbuka dari para bupati/walikota kepada gubernur. Akibatnya, ketidakharmonisan ini berimbas pada efektifitas program-program kerja lintas instansi vertikal dan horizontal di suatu kabupaten/kota.

Hal ini menjadi salah satu aspek strategis yang ditata ulang dari UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004. Di dalam undang-undang yang terbaru ini, Gubernur diamanatkan untuk mengkoordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antarkabupaten/kota dan antarinstansi vertikal di provinsi. Dalam konteks ini, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Beberapa hari lalu Koran Seputar Indonesia mengangkat pro-kontra atas PP No. 19/2010 ini.

Kehadiran PP No. 19/2010, dapat dimaknai sebagai sebuah langkah konsolidasi dalam menata posisi, sekaligus dalam menguatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan nasional dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh Indonesia. Karena itu, Peraturan Pemerintah ini menjelaskan akan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditentukan oleh Pemerintah. Pemerintah sadar ada sekian urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga diperlukan sebuah kepastian bahwa kabupaten/kota dapat mengatur dan mengurus urusan dalam koridor tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).

Untuk itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, gubernur mengemban amanat dan tugas untuk mengkoordinasi beberapa aspek strategis. Pertama, menata dan memadukan kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi. Kedua, memadukan kegiatan instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah (dinas/lembaga teknis) tingkat provinsi. Ketiga, mensinkronkan antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Keempat, mengintegrasikan dan mensinergikan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dan yang terpenting pula adalah gubernur menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Regulasi baru ini sebagai instrumen baru dalam menegaskan bagaimana gubernur diposisikan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sekaligus sebagai kepala daerah. Gubernur memiliki otoritas untuk mengundang bupati/walikota untuk duduk bersama untuk mendiskusikan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atas kebijakan dan program yang disepakati secara bersama. Hal yang penting adalah kebijakan yang bersifat lintaswilayah, lintas administrasi kabupaten/kota serta strategis dalam perspektif nasional. Misalnya saja, bagaimana gubernur memastikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lima tahunan dapat berjalan di daerah dan kemudian disinkronkan dengan skenario provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal ini, gubernur memegang posisi sentral untuk mengkoordinasi lintas wilayah, lintas level pemerintahan dan lintas sumber pembiayaan.

Intinya, prinsip koordinasi, sinkronisasi dan sinergisitas merupakan faktor-faktor yang teramat penting dalam mengelola hubungan antar tingkatan pemerintahan. Untuk itu, PP No. 19 Tahun 2010 tidaklah mengeliminasi apa yang diatur di dalam UU No. 32/2004, namun regulasi baru ini hadir untuk memperjelas posisi dan peran Gubernur di hadapan pusat dan kabupaten/kota dengan menambah bobot kewenangan dan urusan gubernur.

Penulis adalah Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah.

May 11, 2010

Warga asli Papua untuk pilkada



Liston P Siregar
Wartawan BBC Indonesia

Papua

UU Otonomi Khusus Papua untuk mengangkat warga Papua

Ketua Badan Kehormatan Majelis Rakyat Papua, MRP, Nathanael Antonius Maidepak, mengatakan warga Papua tetap sebagai syarat sebagai bupati dan wakil bupati di Papua.

"Sebab begini, kami sebagai warga negara Indonesia tidak pernah menaidi bupati di Sumatra, Kalimantan, dimana saja, tidak pernah."

"Kok kami menjadi bupati di wilayah sendiri tidak bisa diloloskan, itu bagaimana. Ini harus diperhatikan betul oleh pemerintah," katanya kepada BBC Indonesia.

Menurutnya UU Otonomi Khusus Papua itu untuk orang asli Papua dan harus diberi tenggang waktu untuk memberi kesempatan kepada orang Papua.

"Kami ketinggalan lebih jauh dari daerah-daerah lain, harus disamakan dulu. Status kami harus naik dulu, sama dengan yang lain-lain baru bicara ke depan," tegasnya.

Beberapa waktu lalu MRP mengeluarkan keputusan kultural supaya bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota untuk orang Papua asli dulu.
Jangan diskriminatif

Kita menghargai MRP untuk melindungi orang asli Papua, tapi kebijakan itu tidak boleh bersikap diskriminatif. (Dr. Velix Wanggai)

Sebelumnya Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah, Dr Velix Wanggai, memberikan tanggapan atas SK MRP tentang syarat khusus orang asli Papua dalam pemilihan kepala daerah.

"Yang ingin saya sampaikan bahwa kategori MRP tentang orang asli Papua itu harus sesuai dengan UU Otonomi Khusus Papua, No. 21/2001."

Dalam UU itu disebutkan kategori orang asli Papua adalah orang-orang yang dari sisi etnisitas adalah suku-suku asli Papua.

"Dan atau, jadi ada preseden atau orang-orang non Papua yang diakui secara adat. Artinya kita harus memaknai definisi orang Papua secara utuh."

Selain itu, tambah Velix Wanggai, bersdasarkan UU No. 21 maka syarat orang asli Papua itu hanya diberlakukan di tingkat pemilihan gubernur dan tidak untuk pemilihan bupati atau walikota.

"SK MRP ini juga harus mempertimbangkan aspek sosiologi politik yang berkembang di Papua. Kita menghargai MRP untuk melindungi orang asli Papua, tapi kebijakan itu tidak boleh bersikap diskriminatif."

"Ada sebuah keseimbangan antara semangat etnisitas, semangat lokal tapi juga ada semangat kesatuan di dalam berbangsa dan negara," tegasnya.

Dr Velix Wenggai menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menerapkan kebijakan afirmatif untuk putra-putra Papua, baik di birokrasi, TNI, Polri, maupun jalur-jalur politik.
Garis ayah

Di tingkat definisi, Velix Wenggai menyarankan agar MRP bersama gubernur dan DPRD Papua harus menjelaskan siapa sebenarnya yang disebut sebagai orang asli Papua.

"Karena berkembang di Papua bahwa orang asli Papua itu hanya dilihat dari patrilineal. Jadi maksud kami juga agar mempertimbangkan secara legalitas dan sosiologi politik."

Namun Nathanael Antonius Maidepak dari MRP menegaskan bahwa secara adat memang garis ayah yang menjadi dasar.

"Kultur Papua itu yang disebut yang punya hak penuh adalah laki-laki, bukan perempuan. Itu adat. Itu kultur orang Melanesia."

"Saya kira di daerah lain juga begitu, Batak atau apa, semua begitu. Jadi harus diperhatikan," tambahnya.

Maidepak menegaskan bahwa sebelum mengeluarkan keputusan, MRP sudah mengeluarkan sejumlah rekomendasi sehubungan dengan gagasan orang asli Papua sebagai kepala derah, namun tidak ditanggapi.

May 7, 2010

Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu dipertegas


Friday, 07 May 2010 22:43

Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu dipertegas batasannya untuk memperjelas pembagian urusan dan menghindari adanya kebijakan yang tumpang tindih.

Jakarta, 7/5 (Antara/FINROLL News) - Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu dipertegas batasannya untuk memperjelas pembagian urusan dan menghindari adanya kebijakan yang tumpang tindih.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo di Jakarta, Jumat, mengatakan sejauh ini belum ada pembagian yang jelas tentang urusan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Akibat dari belum jelasnya pembagian urusan ini, maka banyak sekali kebijakan di daerah yang saling tumpang tindih. Koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah juga tidak berjalan maksimal.

"Harus dibuat peta, mana yang menjadi urusan pusat, mana yang menjadi urusan provinsi, dan mana yang menjadi urusan kab/kota. Itu belum "clear"(jelas, red) termasuk sektor-sektornya, karena belum `clear` jadi banyak hal yang tumpang tindih," katanya dalam acara silaturahmi dan dialog yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) tentang pemilu kepala daerah (pilkada) dan isu-isu politik aktual lainnya.

Untuk itu, ia meminta pemerintah sebagai inisiator dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mempertegas kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten /kota.

"Maka yang harus dilakukan adalah membuat matriks struktur, pemerintah pusat mengurus apa, provinsi apa dan kabupaten/kota apa. Kalau sudah, kita membagi per-sektor," katanya.

Gubernur

Berbicara tentang kewenangan gubernur saat ini, Ganjar mengatakan jika gubernur diletakkan sebagai wakil dari pemerintah pusat maka seharusnya kewenangannya diperkecil dan bukannya semakin diperkuat.

"Semangat otonomi itu ada di kabupaten dan kota, sedangkan gubernur sebagai koordinatif saja," katanya.

Namun, lanjut Ganjar, pada praktiknya pemerintah belum sepenuhnya memberikan kewenangan yang sesuai pada kabupaten/kota. Ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19/2010 yang menegaskan penguatan peran gubernur.

"Saya melihat pemerintah pusat belum ikhlas memberikan kewenangannya pada daerah, maka "alat" yang bisa dipakai adalah yang disebut sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat (gubernur). Menurut saya ini tidak tepat," katanya.

Rumuskan kewenangan

Menanggapi masalah ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan pemerintah sedang merumuskan penegasan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dalam revisi UU 32/2004.

"Sekarang kita rumuskan, jadi pusat apa saja kewenangannya, provinsi apa, kabupaten/kota apa dan itu akan diikuti dengan beban-beban uang. Beban tugas sebanyak itu akan diikuti dengan kemampuan keuangannya," katanya.

Sementara itu, dialog dan diskusi yang diselenggarakan Kemdagri ini dihadiri oleh Mendagri, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Ryaas Rasyid, Staf Khusus Presiden bidang Otonomi Daerah Felix Wanggai, dan Ketua Komisi II Chaeruman Harahap.

Selain itu juga, sejumlah anggota Komisi II DPR juga hadir diantaranya adalah Ganjar Pranowo dan Budiman Sujatmiko, anggota Komisi Pemilihan Umum Sri Nuryanti dan Abdul Aziz, serta Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini dan anggota Bambang Eka Cahya Widodo serta Wirdyaningsih.

Acara silaturahmi dan dialog ini diselenggarakan dalam rangka mencari masukan untuk perbaikan yang akan datang. Rencananya silaturahmi dan dialog ini akan diselenggarakan secara rutin setiap satu bulan dengan topik yang berbeda-beda.

(T.H017/B/A011

May 2, 2010

Akhirnya ISTANA Bicara: Syarat MORAL Harus diatur UU untuk Syarat di PILKADA Pemilukada

Istana Anggap Syarat Moral Harus Diatur UU

Ahad, 02 Mei 2010, 20:07 WIB
JAKARTA--Syarat moral yang mesti dipenuhi calon kepala disarankan diatur dalam undang-undang. Pasalnya, syarat-syarat calon kepala daerah dalam undang-undang akan menjadi acuan calon kepala daerah ketika mencalonkan diri dalam pemilukada.

Aturan moral ini tidak bisa hanya diserahkan pada kecerdasan pemilih saja. Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, Ahad (5/2). ''Saya kira harus diakomodir dalam undang-undang karena moral kepala daerah itu penting, dia akan memberikan teladan kepada rakyatnya nanti,'' ujarnya.

Velix mengakui, pemilih memang sudah cukup cerdas untuk memilih kepala daerah yang memiliki moral baik dan yang tidak. Namun, kata dia, pencantuman syarat moral dalam undang-undang juga tetap perlu dilakukan karena persyaratan calon kepala daerah itu memang harus ada di dalam undang-undang.

Persyaratan calon kepala daerah diatur oleh Pasal 58 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana terdapat 16 syarat calon kepala daerah. Dalam huruf (i) Pasal 58 itu disebutkan calon kepala daerah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun, dalam undang-undang itu belum mengatur soal moral calon kepala daerah.
http://www.republika.co.id/berita/br...arus-diatur-uu

------------------

UUD Beri Peluang Penunjukan Wakil Kepala Daerah

JAKARTA--Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, mengatakan UUD 1945 memberi peluang adanya penunjukan wakil kepala daerah oleh kepala daerah terpilih. Menurut dia, wacana penunjukan wakil kepala daerah itu sudah bergulir sejak lama dan saat ini masih dalam tahap penggodokan.

''Kalau saya melihat ini bukan masalah layak atau tidak layak diberlakukan, tapi dilihat dari berbagai pertimbangan, (yakni) efektivitas penyelengaraan pemerintahan, pertimbangan politik, dan manajemen pemerintahan,'' kata Velix, Ahad (2/5).

Menurut dia, wacana itu muncul semata-mata menjadi bagian dari upaya untuk efektivitas pemerintahan. Dia memahami wacana penunjukan wakil kepala daerah ini memang didasari alasan adanya konflik antara kepala daerah dan wakilnya menjelang pemilukada tatkala keduanya sama-sama menjadi kandidat. Namun, dia mengaku, saat ini memang belum ada studi khusus mengenai jumlah daerah yang mengalami konflik kepala daerah dan wakilnya.

Menurut Velix, adanya konflik kepala daerah dan wakilnya itu tidak selalu harus disimpulkan lewat studi. Dia beralasan, selama ini sudah ada evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bahwa memang ada ketidakakuran antara kepala daerah dan wakilnya yang berimbas pada pelayanan publik. ''Jumlahnya memang belum diketahui,'' kilahnya.

Namun, dia menegaskan, UUD 1945 memberi peluang adanya penunjukan wakil kepala daerah oleh kepala daerah. ''UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Teknisnya seperti apa, itu UUD 1945 tidak mengatur,'' jelasnya.
Red: Budi Raharjo
Rep: M Ikhsan Shiddieqy

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...