Nov 24, 2011

Meneguhkan Peran Sentral ASEAN


Jurnal Nasional | Kamis, 24 Nov 2011
Velix Wanggai

Indonesia telah berhasil menggelar 19th ASEAN Summit dan Related Summits. Selama satu minggu, sejak 15 hingga 20 November 2011, ratusan juta orang di dalam negeri maupun di luar negeri melihat Bali dengan penuh harapan. Sebagai Keketuaan ASEAN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah meneguhkan komitmen negara-negara di kawasan ASEAN untuk bersatu untuk mewujudkan cita-cita Keketuan ASEAN 2011, yakni “ASEAN Community in a Global Community of Nations‘. Indonesia berjuang untuk mewujudkan komunitas ASEAN yang terdiri dari 3 (tiga) pilar, yaitu komunitas politik-keamanan ASEAN, komunitas ekonomi ASEAN, dan komunitas sosial budaya ASEAN.

KTT ASEAN ke-19 ini bernilai strategis dalam konteks arsitektur regional dan global. Baru kali ini, para pemimpin kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dunia hadir, duduk bersama di satu meja untuk membicarakan kemitraan dengan ASEAN, dan sekaligus mendiskusikan peran ASEAN dalam lingkungan global. Simak saja, selain KTT ASEAN, digelar pula East Asia Summit, ASEAN-PBB, ASEAN-Amerika, maupun ASEAN-China. KTT ASEAN kali ini telah berhasil untuk menyusun langkah-langkah konkret guna memperkuat tiga pilar komunitas ASEAN. Langkah-langkah ini berguna untuk mengubah ASEAN dari sekesar asosiasi menuju komunitas ASEAN. Pada kesempatan ini, dibentuk ASEAN Institute for Peace and Reconciliation dan disepakatinya ASEAN Framework for Equitable Economic Development: Guiding Principles for Inclusive and Sustainable Growth dan ASEAN Framework for Regional Comprehensive Economic Partnership. Demikian pula, para pemimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini sepakat agar ASEAN Architecture for Economic Integration and Cooperation dapat berjalan dengan baik, dan mensepakati langkah-langkah teknis untuk melaksanakan The Master Plan on ASEAN Connectivity guna mendukung kerja sama perdagangan intra-ASEAN.

Para pemimpin ASEAN untuk meneguhkan perannya di level global. Dari diskusi yang panjang, Bali kembali dicatat sebagai tempat bersejarah dalam perjalanan ASEAN. Kali ini, KTT ASEAN ke-19 berhasil mengesahkan Bali Declaration on ASEAN Community in a Global Community of Nations (“Bali Concord III‘). Sebagai warga dunia, ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 600-an juta orang merupakan kekuatan ekonomi yang strategis dalam arsitektur ekonomi regional dan global. Untuk itu, ASEAN ingin memain peran sentralnya dalam konteks kawasan Asia Timur. Dalam KTT Asia Timur di Bali lalu, juga berhasil disepakati The Declaration of the 6th East Asia Summit on ASEAN Connectivity.

Selama satu minggu mengikuti 19th ASEAN Summits dan Related Summits, kita menyaksikan betapa tak kenal lelah Presiden SBY untuk memimpin pertemuan-pertemuan yang strategis itu. Mengelola forum sidang adalah kemampuan tersendiri yang dimiliki Presiden SBY. Di Bali ini, Presiden SBY mengajak negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk memperkuat kerjasama di pelbagai aspek. Bahkan isu-isu sensitif ternyata dikelola oleh Presiden SBY dengan santun dan terbuka. Misalnya saja, kehidupan demokrasi di Myanmar, isu Laut China Selatan, isu konflik Thailand-Kamboja, isu maritim, dan bahkan kehadiran basis militer Amerika di Darwin, Australia. Dan, pertemuan Presiden SBY-Presiden Barack Obama dan Presiden SBY-PM Julia Gillard betapa strategis untuk meneguhkan komitmen Amerika dan Australia untuk menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semua jejak langkah Presiden SBY ini didedikasikan untuk sebuah arsitektur global yang seimbang, adil, dan inklusif

Nov 18, 2011

Mewujudkan Abad Asia Pacific


Jurnal Nasional | Kamis, 17 Nov 2011
(oleh: Velix Wanggai)

Kini saatnya berbuat untuk perubahan tatatan dunia yang lebih adil dan inklusif. Dengan modal atas kinerja dan postur domestik Indonesia yang semakin baik dalam tujuh tahun terakhir ini, Indonesia telah hadir untuk mewujudkan keseimbangan regional dan global. Karena itu, kita sebagai anak bangsa harus menanamkan semangat optimistis. Dalam konteks itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan bahwa Abad ke-21 adalah Abad Asia Pasifik.

Dalam tiga minggu terakhir ini, Indonesia hadir di tengah-tengah publik global untuk membagi pengalaman. Selain hadir di KTT G20 di Cannes, Perancis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kehormatan untuk berbagi pengalaman. Di Paris, 2 November 2011, Presiden diundang oleh UNESCO untuk menyampaikan pidato kunci pada peringatan 10 tahun Deklarasi Universal mengenai “Keanekaragaman Budaya‘. Presiden SBY menegaskan bahwa "Multikulturalisme adalah bagian dari DNA nasional, formula bagi keberlangsungan hidup, dan jalan yang dibutuhkan untuk generasi mendatang‘.

Seusai pembukaan SEA Games di Palembang, Presiden SBY bertolak ke Honolulu, Hawaii untuk menghadiri Forum APEC CEO Summit 2011. Berada di pulau yang terletak di tengah-tengah Samudera Pasifik, Presiden memberi judul pidatonya, “The Asia-Pacific Century‘. Untuk mewujudkan Abad Asia Pasifik, ada empat poin penting yang perlu pertimbangkan dengan baik.
Pertama, Abad Asia Pasifik harus menjadi pusat bagi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat, berkelanjutan, pertumbuhan yang seimbang dan inklusif. Kawasan Asia-Pasifik akan menjadi pusat untuk penyeimbangan global. Presiden SBY mengajak negara-negara di Kawasan untuk mengejar konsolidasi fiskal, dan berbagai kebijakan lainnya.

Kedua, Presiden SBY mengajak negara-negara Asia Pasifik untuk mendefinisikan arsitektur regional yang berwajah inklusif, efektif, terbuka, dan transparan. Menurut Presiden, kita sekarang harus mempromosikan arsitektur regional yang baru. Dalam kerjasama itu, kita mendorong negara-negara untuk bekerja sama sebagai pemangku kepentingan bersama atas dasar kepentingan bersama.

Ketiga, Abad Asia Pasifik dibangun dalam sebuah keseimbangan dinamis. Kini pusat-pusat kekuatan-kekuatan ekonomi baru telah tumbuh dan berkembang dalam konteks stabilitas, kerjasama, dan perdamaian. Untuk itu, Presiden SBY percaya bahwa kita harus menyebarkan pola kemitraan dalam hubungan antarnegara. Pola kemitraan itu dapat berupa “Strategic partnership, comprehensive partnership, economic partnership, 21st century partnership‘.

Keempat, Abad Asia-Pasifik harus dibangun pada landscape sosial yang sedang berubah. Kata Presiden, saat ini kita hidup di abad konektifitas, abad informasi, dan dan abad keterbukaan. Untuk itu, negara-negara di Kawasan ini harus mengakomodasi perubahan revolusioner di landscape sosial. Misalnya saja, facebook dan twitter telah menjadi media sosial baru yang mengubah hubungan sosial yang tradisional. Semua ini berpengaruh pula dalam tatatan politik, ekonomi dan masyarakat.Dan, yang terpenting lagi, menurut Presiden SBY, kita negara-negara di Asia Pasifik ini harus bangkit bersama-sama. Disinilah, pentingnya kita perlu mengedepankan pendekatan win-win solution, bukannya the zero-sum, win-lose approach. Ketika di Paris pada 2 November 2011, Presiden SBY mengajak kita untuk membangun “The New We‘. Kita bersama-sama di Kawasan Asia Pasifik untuk bersatu dalam keragaman.Kini kita memulainya dari ASEAN. Welcome Leaders to 19th ASEAN Summit and Related Summits 2011.

Nov 14, 2011

Pemerintah Akan Percepat Dialog Jakarta-Papua

Penulis : Ary Wibowo | Senin, 14 November 2011 | 20:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menyatakan akan terus berupaya untuk mempercepat pelaksanaan dialog Jakarta dan Papua. Hal itu dikemukakan Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menanggapi desakan dari berbagai pihak untuk mempercepat pelaksanaan dialog tersebut.

"Pemerintah mengharapkan ada yang dicapai dalam satu tahun ini. Dan mudah-mudahan target tiga bulan ke depan ada yang tercapai. Target jangka sangat pendek yang harus terwujud dalam 2012," ujar Velix di Jakarta, Senin (14/11/2011).

Ditambahkan Velix, di masa pemerintahan yang tinggal tersisa tiga tahun lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan untuk tahun 2012 mendatang, harus ada action plan atau blue print dari kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk pelaksanaan dialog tersebut."Tetapi tentu kita akan lakukan pemetaan persoalan yang ada di masyarakat Papua terlebih dahulu," kata Velix.

Selain itu, lanjut Velix, pemerintah juga akan melakukan pemetaan dan pendekatan dengan kelompok-kelompok strategis di Papua. Setelah itu, baru pemerintah akan menyusun kebijakan dan mekanisme format dari komunikasi kontrukstif yang akan dilakukan dalam dialog Jakarta-Papua.

Meski demikian, Velix mengatakan untuk membentuk forum dialog konstruktif tersebut memang diperlukan waktu yang cukup memadai. Ia menilai, Papua sangat berbeda dengan Aceh, di mana banyak organisasi atau kelompok masyarakat sehingga diperlukan banyak pemetaan lebih serius.

"Yang pasti kalau beberapa hari ini sudah dilakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait. Jadi, mudah-mudahan ini semua dapat dilakukan dalam action plan jangka pendek ya. Dan ini berarti memang teman-teman harus berlari, harus sprint mengejar ini semua," kata Velix.
Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo

Persoalan Papua Selesaikan Pelanggaran HAM dan Luruskan Sejarah Papua



Khaerudin | Agus Mulyadi | Senin, 14 November 2011 | 23:07 WIB

Papua Barat dan Papua.
JAKARTA, KOMPAS.com Persoalan Papua, yang tak pernah selesai sejak wilayah itu direbut dari Belanda, diharapkan selesai dalam tiga tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Salah satu persoalan kunci yang harus diselesaikan dalam tiga tahun mendatang adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu, dan pelurusan sejarah Papua.

"Kami menyadari ada persoalan sosial politik yang menjadi warisan masa lalu yang kita harus selesaikan. Presiden SBY menyadari, harus ada penyelesaian dalam periode sisa tiga tahun terakhir pemerintahannya. Mudah-mudahan penyelesaian Papua yang lebih bermartabat dan secara damai ini bisa diselesaikan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai, Senin (14/11/2011) di Jakarta.

Velix mengatakan, salah satu yang harus dibenahi pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua adalah aspek yang bersifat politik, hukum, dan HAM.
"Misalnya penanganan pelanggaran HAM, kemudian penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, kemudian masalah klarifikasi sejarah Papua," katanya.

Pemerintah, lanjut Velix, tak bisa sendiri dalam mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah. Terlebih lagi, menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).

Padahal, tadinya KKR akan dilibatkan dalam penanganan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah Papua.

"Terakhir MK memutuskan untuk membatalkan UU KKR. Ini kan implikasinya terhadap otonomi khusus tidak bisa membentuk KKR yang tugasnya adalah klarifikasi sejarah Papua dan juga menyusun strategi rekonsiliasi sosial," katanya.

Empat Persoalan Kelola Otsus di Papua


Penulis : Ary Wibowo | Senin, 14 November 2011 | 20:10 WIB

Empat Persoalan Kelola Otsus di PapuaPapua Barat dan Papua.
JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, mengakui untuk mengelola Otonomi Khusus di Papua memang tidak sederhana. Velix menilai, untuk mengelola otsus tersebut setidaknya ada empat persoalan besar yang kini masih menjadi perhatian serius pemerintah pusat.

"Pertama, di dalam otsus ini kita harus membenahi berbagai strategi aspek pembangunan. Karena banyak pasal-pasal yang bicara soal pembanguan. Harus disusun dari aspek perencanan, kemudian pembenahanya, dan pendekatan yang tepat untuk Papua," ujar Velix di Jakarta, Senin (14/11/2011).
Persoalan kedua, lanjut Velix, adalah pembenahan dalam strategi aspek pembiayaan keuangan dalam otsus tersebut, termasuk dana otsus semenjak 2002 ditambah dengan dana-dana sektoral. Setelah itu, harus juga ditentukan strategi yang tepat untuk pengalokasian dana tersebut.

"Kemudian harus juga dibenahi hubungan pusat dengan daerah supaya pembiayaan ini bisa berjalan sinergis, dan perlu juga diperhatikan aspek pengendalian dana itu sendiri," tuturnya.
Ditambahkan, aspek pemberdayaan pemerintahan juga masih menjadi persoalan. Ia menilai, pembenahan bagaimana kapasitas aparatur propinsi, kabupaten, kemudian hubungan antara kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten masih kurang berjalan optimal.

"Lalu, bagaimana juga caranya agar Papua ini akan dimekarkan menjadi dua provinsi saja atau lima provinsi. Ini kan aspek kelembagaan yang harus dibenahi, dan masih menjadi persoalan," kata Velix.
Aspek terakhir, menurut Velix, adalah persoalan yang bersifat politik, hukum, dan Hak Asasi Manusia. Ia mencontohkan mengenai aspek penanganan pelanggaran HAM, di mana diantaranya banyak juga pelanggaran HAM masa lalu yang berkaitan dengan sejarah daerah tersebut.
Velix menilai, untuk menangani persoalan tersebut berbagai pihak baik pemerintah daerah, dan pusat, dalam hal ini termasuk legislatif dan eksekutif, harus bertanggung jawab mengatasi permasalahan tersebut.

"Apalagi terakhir Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini kan artinya otsus tidak bisa membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tugasnya adalah mengklarifikasi sejarah Papua, dan menyusun strategi rekonsiliasi di Papua," kata Velix.

Karena itu, menurut Felix, persoalan otsus tidak bisa hanya disederhanakan dengan adanya anggaran yang besar di Papua. Pasalnya, empat persoalan tersebut masih menjadi kendala untuk melaksanakan otsus agar dapat berjalan dengan baik di Papua.

Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo

Persoalan Papua dan Papua Barat: UP4B untuk Dorong Pelaksanaan Otonomi Khusus

Khaerudin | Agus Mulyadi | Senin, 14 November 2011 | 22:32 WIB

Papua Barat dan Papua.

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah mengakui bahwa meski hampir 10 tahun disahkan, pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua belum optimal. Hal tersebut juga diakui sebagai bagian dari kesalahan pemerintah.

Untuk itu, pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B), guna mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai di Jakarta, Senin (14/11/2011), mengakui, dalam banyak aspek, pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Papua belum efektif.

"Ada aspek-aspek, misalnya kewenangan, pengelolaan keuangan otsus, ada hal-hal yang belum efektif di tingkat pusat, kabupaten/kota. Ada yang belum efektif di tingkat provinsi. Hal-hal ini yang mungkin kita harus sama-sama benahi, dan itu masih di domain eksekutif. Namun, kita juga harus menyadari bahwa banyak hal yang tidak hanya terkait domain eksekutif saja, tetapi juga domainnya legislatif dan di lembaga lain," kata Velix.

Velix mengatakan, pemerintah sadar pelaksanaan otonomi khusus tidak berjalan optimal di Papua.

"Dengan kesadaran seperti itu, pemerintah melihat ada aspek manajemen yang masih belum efektif dan optimal sehingga UP4B ini hadir. UP4B ini sebetulnya sebuah penyempurnaan atau koreksi manajemen pelaksanaan otsus yang selama ini belum efektif atau optimal. Pengelolaan Papua ini tidak hanya jalan dengan hal-hal yang konvensional, tetapi juga dengan jalan yang perlu terobosan. Tidak bisa jalan dengan business as usual saja, tetapi juga harus ada terobosan yang lebih kuat," katanya.

Menurut Velix, UP4B nantinya akan mendorong dan memastikan aspek perencanaan, pembiayaan, dan pengendalian agar otonomi khusus di Papua bisa berjalan.

"Kegiatan yang bersifat sosial ekonomi yang prioritas itu bisa jalan. Kami juga ingin memastikan UP4B ini jadi katalisator atau men-drive komunikasi yang lebih efektif, lebih konstruktif dengan kelompok-kelompok strategis di masyarakat Papua dan Papua Barat. Kami memahami ada satu sisi tugas UP4B ini agar aspek ekonomi jalan, tetapi yang kedua, memastikan aspek sosial politik bisa selesai secara bermartabat," ujarnya.

Empat Persoalan Kelola Otsus di Papua

Ary Wibowo | Aloysius Gonsaga Angi Ebo | Senin, 14 November 2011 | 20:10 WIB

Papua Barat dan Papua.

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, mengakui untuk mengelola Otonomi Khusus di Papua memang tidak sederhana. Velix menilai, untuk mengelola otsus tersebut setidaknya ada empat persoalan besar yang kini masih menjadi perhatian serius pemerintah pusat.

"Pertama, di dalam otsus ini kita harus membenahi berbagai strategi aspek pembangunan. Karena banyak pasal-pasal yang bicara soal pembanguan. Harus disusun dari aspek perencanan, kemudian pembenahanya, dan pendekatan yang tepat untuk Papua," ujar Velix di Jakarta, Senin (14/11/2011).

Persoalan kedua, lanjut Velix, adalah pembenahan dalam strategi aspek pembiayaan keuangan dalam otsus tersebut, termasuk dana otsus semenjak 2002 ditambah dengan dana-dana sektoral. Setelah itu, harus juga ditentukan strategi yang tepat untuk pengalokasian dana tersebut.

"Kemudian harus juga dibenahi hubungan pusat dengan daerah supaya pembiayaan ini bisa berjalan sinergis, dan perlu juga diperhatikan aspek pengendalian dana itu sendiri," tuturnya.

Ditambahkan, aspek pemberdayaan pemerintahan juga masih menjadi persoalan. Ia menilai, pembenahan bagaimana kapasitas aparatur propinsi, kabupaten, kemudian hubungan antara kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten masih kurang berjalan optimal.

"Lalu, bagaimana juga caranya agar Papua ini akan dimekarkan menjadi dua provinsi saja atau lima provinsi. Ini kan aspek kelembagaan yang harus dibenahi, dan masih menjadi persoalan," kata Velix.

Aspek terakhir, menurut Velix, adalah persoalan yang bersifat politik, hukum, dan Hak Asasi Manusia. Ia mencontohkan mengenai aspek penanganan pelanggaran HAM, di mana diantaranya banyak juga pelanggaran HAM masa lalu yang berkaitan dengan sejarah daerah tersebut.

Velix menilai, untuk menangani persoalan tersebut berbagai pihak baik pemerintah daerah, dan pusat, dalam hal ini termasuk legislatif dan eksekutif, harus bertanggung jawab mengatasi permasalahan tersebut.

"Apalagi terakhir Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini kan artinya otsus tidak bisa membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tugasnya adalah mengklarifikasi sejarah Papua, dan menyusun strategi rekonsiliasi di Papua," kata Velix.

Karena itu, menurut Felix, persoalan otsus tidak bisa hanya disederhanakan dengan adanya anggaran yang besar di Papua. Pasalnya, empat persoalan tersebut masih menjadi kendala untuk melaksanakan otsus agar dapat berjalan dengan baik di Papua.

Pemerintah Akan Percepat Dialog Jakarta-Papua

Ary Wibowo | Aloysius Gonsaga Angi Ebo | Senin, 14 November 2011 | 20:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menyatakan akan terus berupaya untuk mempercepat pelaksanaan dialog Jakarta dan Papua. Hal itu dikemukakan Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, menanggapi desakan dari berbagai pihak untuk mempercepat pelaksanaan dialog tersebut.

"Pemerintah mengharapkan ada yang dicapai dalam satu tahun ini. Dan mudah-mudahan target tiga bulan ke depan ada yang tercapai. Target jangka sangat pendek yang harus terwujud dalam 2012," ujar Velix di Jakarta, Senin (14/11/2011).

Ditambahkan Velix, di masa pemerintahan yang tinggal tersisa tiga tahun lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan untuk tahun 2012 mendatang, harus ada action plan atau blue print dari kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk pelaksanaan dialog tersebut.

"Tetapi tentu kita akan lakukan pemetaan persoalan yang ada di masyarakat Papua terlebih dahulu," kata Velix.

Selain itu, lanjut Velix, pemerintah juga akan melakukan pemetaan dan pendekatan dengan kelompok-kelompok strategis di Papua. Setelah itu, baru pemerintah akan menyusun kebijakan dan mekanisme format dari komunikasi kontrukstif yang akan dilakukan dalam dialog Jakarta-Papua.

Meski demikian, Velix mengatakan untuk membentuk forum dialog konstruktif tersebut memang diperlukan waktu yang cukup memadai. Ia menilai, Papua sangat berbeda dengan Aceh, di mana banyak organisasi atau kelompok masyarakat sehingga diperlukan banyak pemetaan lebih serius.

"Yang pasti kalau beberapa hari ini sudah dilakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait. Jadi, mudah-mudahan ini semua dapat dilakukan dalam action plan jangka pendek ya. Dan ini berarti memang teman-teman harus berlari, harus sprint mengejar ini semua," kata Velix.

Persoalan Papua: Selesaikan Pelanggaran HAM dan Luruskan Sejarah Papua

Khaerudin | Agus Mulyadi | Senin, 14 November 2011 | 23:07 WIB

Papua Barat dan Papua.

JAKARTA, KOMPAS.com Persoalan Papua, yang tak pernah selesai sejak wilayah itu direbut dari Belanda, diharapkan selesai dalam tiga tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Salah satu persoalan kunci yang harus diselesaikan dalam tiga tahun mendatang adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu, dan pelurusan sejarah Papua.

"Kami menyadari ada persoalan sosial politik yang menjadi warisan masa lalu yang kita harus selesaikan. Presiden SBY menyadari, harus ada penyelesaian dalam periode sisa tiga tahun terakhir pemerintahannya. Mudah-mudahan penyelesaian Papua yang lebih bermartabat dan secara damai ini bisa diselesaikan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai, Senin (14/11/2011) di Jakarta.

Velix mengatakan, salah satu yang harus dibenahi pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua adalah aspek yang bersifat politik, hukum, dan HAM.

"Misalnya penanganan pelanggaran HAM, kemudian penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, kemudian masalah klarifikasi sejarah Papua," katanya.

Pemerintah, lanjut Velix, tak bisa sendiri dalam mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah. Terlebih lagi, menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).

Padahal, tadinya KKR akan dilibatkan dalam penanganan pelanggaran HAM masa lalu dan pelurusan sejarah Papua.

"Terakhir MK memutuskan untuk membatalkan UU KKR. Ini kan implikasinya terhadap otonomi khusus tidak bisa membentuk KKR yang tugasnya adalah klarifikasi sejarah Papua dan juga menyusun strategi rekonsiliasi sosial," katanya.

DPR Ikut Bertanggung Jawab dengan Penyaluran Dana Otsus Papua


Papua Barat dan Papua.
 
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tak mau dijadikan satu-satunya pihak yang disalahkan dalam penyelewenangan dana otonomi khusus di Papua.
Penyimpangan dan juga ketidakjelasan alokasi dana otonomi khusus Papua juga menjadi tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat dengan kewenangan penganggaran yang dimilikinya seharusnya bisa membantu agar dana otonomi khusus benar-benar diarahkan untuk membangun Papua.

Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai di Jakarta, Senin (14/11/2011) mengatakan, DPR harus memastikan dana otonomi khusus dan dana-dana lainnya yang dikucurkan ke Papua sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sana. DPR lanjut Velix bisa ikut berperan dalam membenahi pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

"Salah satunya adalah memastikan, dana-dana yang besar yang hampir Rp 30 triliun ke Papua bisa lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua. Karena sekarang bujeting power ada di DPR, sehingga proses penyusunan anggaran hingga ketok palu ada di mereka. Penyaluran dari mereka melalui kementerian Keuangan. Sehingga dari awal mereka harus memastikan, kegiatan di kementerian A atau B atau C harus sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat Papua. Pendekatan yang cocok dengan konteks sosial dan wilayah di Papua. Itu adalah tugas teman-teman DPR," katanya.

Terkait persoalan korupsi dana otonomi khusus, sehingga meski besarannya meningkat tetapi masyarakat Papua tetap miskin, Velix meminta agar hal tersebut juga dilihat dari kondisi riil Papua hari ini. "Dari sisi itu kita melihat bahwa dana yang besar harus dilihat konteks wilayah Papua yang begitu luas, kemudian penduduknya tersebar dimana-mana, sehingga alokasi dana yang besar itu kalau dibagi ke seluruh kabupaten itu relatif kecil. Kemudian terkait dengan aspek penanganan korupsi, ada dua hal yang menjadi arahan Presiden. Presiden mengharapkan ada pembenahan perencanaan, dan ini menjadi tugas teman-teman pemerintah, harus ada pembenahan perencanaan antara pusat, provinsi dan kabupaten. Kalau perencanaan baik, maka strategi alokasi dana relatif lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat," katanya.

Velix mengatakan, pemerintah juga mengedepankan aspek mitigasi atau pencegahan korupsi.
Dalam aspek penanganan korupsi atau penyalahgunaan kewenangan dan dana, pemerintah mendorong aspek mitigasi, sehingga pemerintah sudah mendorong kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri,Kementerian Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Lima lembaga ini bekerja sama untuk melakukan mitigasi dan pencegahan-pencegahan korupsi dana otonomi khusus Papua," kata Velix.

Nov 11, 2011

Mengelola Desentralisasi Asimetris


Oleh: Velix Wanggai

(Jurnal Nasional -- 10 November 2011)

Perbincangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Konstitusi kita memberikan ruang dengan mengakui praktek desentralisasi dan otonomi daerah baik yang generalis berlaku nasional dan juga ada berlaku khusus atau asimetrik (asymmetric autonomy). Hari-hari ini kita semua sedang menghadapi sebuah tantangan untuk mengelola desentralisasi asimetris agar lebih bermakna baik bagi Aceh dan Papua.

Kemaren, Rabu, 9 November 2011, lebih dari dua jam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Sidang Kabinet Terbatas mengenai Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Unit ini akan melakukan langkah-langkah terobosan (breakthrough) untuk memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang lebih baik. Kita tidak bisa melangkah dengan business as usual, namun perlu think out the box yang bersifat terobosan.

Selain soal Papua, beberapa minggu terakhir ini, Presiden SBY juga sibuk dalam menangani kemelut Pilkada Aceh. Gubernur Aceh dan KIP Aceh ingin melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi (MK) terkait diperbolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada Aceh. Sementara itu, Partai Aceh dan DPR Aceh menolaknya karena keputusan ini mengancam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai hasil kesepakatan damai Helsinki 2005.

Dua cerita diatas menggambarkan bahwa agenda yang cukup penting di dalam mengelola otonomi daerah dan desentralisasi yang bersifat asimetrik ini dalam kerangka hubungan antara pusat - daerah. Sebenarnya, saat ini kita telah melaksanakan sebuah ‘revolusi diam-diam", atau "the quite revolution" dalam konteks hubungan pusat-daerah.

Apa "revolusi diam-diam itu"? Tahun lalu, tepatnya pada 16 Agustus 2010, Presiden SBY menyatakan bahwa dalam satu dekade ini kita melaksanakan proses desentralisasi yang sangat ekstensif. Pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Lebih lanjut, Presiden SBY berujar bahwa proses politik yang sangat rumit ini berlangsung dalam waktu relatif singkat dan tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius kecuali pada periode awalnya. Kini, Indonesia dikenal sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau "the quiet revolution".

Dalam mengelola "revolusi diam-diam" ini, tentu saja tidak berjalan linier tanpa ada hambatan, rintangan dan tantangan. Pemerintah tidak hanya sebagai entitas tunggal yang menentukan kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah. Ada aktor dan institusi lainnya yang juga berperan, baik institusi legislatif, yudikatif, maupun partai politik. Keputusan lembaga-lembaga lainnya seperti Mahkamah Konstitusi juga turut berpengaruh bagi kesuksesan pelaksanaan otonomi asimetrik di Aceh. Karena itu, menjadi tugas kolektif kita untuk memahami nuansa batin dan konteks atas kehadiran suatu regulasi yang bersifat asimetik ini, baik untuk Aceh maupun Papua.

Untuk itu, mengelola desentralisasi asimetris Aceh dan Papua haruslah mengedepankan pendekatan yang smart dan utuh, demikian ujar Presiden SBY. Tantangan kita ke depan, sebagaimana dinyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memperhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang, kondisi, dan konteks dalam payung NKRI.

Nov 10, 2011

Velix: UKP4B akan Lakukan Quick Win di Papua

| Jakarta, 21:51 Thu, 10 Nov 2011
Anton Setiawan / Jurnal Nasional

Jurnas.com | MASALAH percepatan pembangunan kerap memicu terjadi konflik di Papua. Kehadiran Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), diharapkan mampu memberikan solusi, salah satunya dengan program Quick Win.

Menurut Velix Wanggai, staf khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, program ini merupakan sebagai bentuk komitmen untuk memperbaiki kondisi Papua dengan pembangunan yang bisa dirasakan langsung di bumi Cendrawasih itu. "Sesuai dengan arahan Presiden, Pemerintah melalui UKP4B, akan melakukan langkah atau program quick win, agar lebih bisa dirasakan masyarakat Papua dalam waktu singkat," kata Velix, saat dihubungi Jurnal Nasional, Kamis, 10/11.

Menurut Velix, percepatan pembangunan yang lambat disegala sektor memang kerap menjadi pemicu terjadinya konflik di Papua.

Menurut Velix, ada hal yang memicu terjadi konflik di Papua. Pertama dari strutural. Terdapat kondisi paradoks di masyarakat Papua, yang selalu merasa dengan kondisi Sumber Daya Alam (SDA), melimpah namun diri sisi kesejateraan mereka masih miskin. Selain itu, lanjut Velix, adanya kesenjangan konsentrasi pembangunan di Papua. "Selama ini pembangunan hanya dirasakan di kota, tapi belum menyeluruh sampai ke pelosok," kata Velix.

Kemudian, lanjut Velix, dari sisi kultural, masih adanya masyarakat yang terisolasi sehingga menghambat program percepatan pembangunan. "Untuk itu, program Quick win diharapkan akan menjadi solusi. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah terhadap peneyelesaian masalah di Papua. Pemerintah dan UKP4B, akan memadukan dan memastikan program dari pusat dan daerah. Tapi, UKP4B, juga terbuka bagi masyarakat, bila ingin memberikan masukan dan solusi dengan kondisi rill disana," kata Velix.

Selain mendorong program quick win, pemerintah juga akan melakukan pendekatan secara afirmatif policy, atau pendekatan khusus dalam menyelesaikan masalah di Papua.

Diantaranya, kata Velix, dengan pemberian akses lebih besar berkarir di bidang profesional, seperti di birokrasi, TNI, polisi, dan tenaga ahli di bidang profesional. "Kami juga akan memberikan akses bagi mahasiswa Papua berprestasi untuk menempuh pendidikan di kampus ternama di luar Papua," ujar Velix Wanggai.

Sementara mengenai UKP4B, kata Velix, dalam waktu dekat akan mengadakan pertemuan serta membuka komunikasi dengan kelompok strategis di Papua. Tujuannya, lanjut Velix untuk mengetahui masalah yang kerap memicu konflik di Papua. "Komunikasi ini sesuai arahan Presiden harus konstruktif, dan dilandasi dengan konteks NKRI, Otonomi Khusus. dan percepatan pembangunan," ujar Velix.

Dia berharap dengan adanya UKP4B, permasalahan di Papua bisa segera diatasi, sehingga, kedepan kata dia, tidak terulang kembali konflik sosial yang tak jarang kerap merenggut nyawa sesama masyarakat Papua.

Penulis: Andhika Tirta Saputra

Nov 3, 2011

Mengarusutamakan Pendekatan Pembangunan


Oleh: Velix Wanggai
(dimuat di Jurnal Nasional, 3 November 2011/Spektra)

Seiiring dengan usainya penataan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, saat ini menjadi tekad bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengkonsolidasi pembangunan yang lebih tepat secara menyeluruh. Presiden ingin kita semua para aparatur pemerintahan baik di pusat dan di daerah untuk berlari, all out, dalam mewujudkan pendekatan, strategi, dan program-program yang telah dicanangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010-2014.


Belajar dari berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan tantangan ke depan, Presiden SBY mengakui pentingnya untuk mengedepankan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dan pendekatan yang berbasis gender (gender perspective) sebagai mainstream di dalam pembangunan.

Oleh karena itu, di dalam strategi pembangunan nasional tahun 2010-2014 ini, Presiden menekankan pembangunan yang berkelanjutan, good governance, dan perspektif gender sebagai mainstream dalam berbagai sektor pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan dapat menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan itu tercermin di dalam keluaran pada kebijakan pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang terstruktur dan bukanlah upaya yang terpisah dari kegiatan pembangunan sektoral.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden SBY selalu menekankan perspektif berkelanjutan dalam proses pembangunan. Memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Untuk mencapai keberlanjutan yang menyeluruh, diperlukan keterpaduan antara 3 pilar pembangunan, yaitu keberlanjutan dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Untuk itu tiga aspek tersebut harus diintegrasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang selain dapat menjaga ekologi dari kehancuran atau penurunan kualitas, juga dapat menjaga keadilan sosial dengan tidak mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi.

Demikian pula, sejalan dengan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional, serta kebijakan desentralisasi dewasa ini, Pemerintah berupaya agar good governance diterapkan dalam pengelolaan pembangunan. Disini, kita semua dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip tertentu, seperti keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Harapannya, dengan dijalankannya tata kelola pemerintahan yang baik akan tercermin dari berkurangnya tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang lebih baik.

Terakhir, setting sosial Indonesia sangat beragam. Bertolak dari kondisi itu, Presiden SBY menekankan perlunya pendekatan gender dalam pembangunan. Strategi ini ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan demikian, diharapkan bahwa pengintegrasian gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah akan membuat pengalokasian sumber daya pembangunan menjadi lebih efektif, akuntabel, dan adil dalam memberikan manfaat kepada perempuan dan laki-laki.

Nov 2, 2011

WAWANCARA Velix Wanggai: Pengelolaan Dana Papua Ada yang Tidak Efektif



Rakyat Merdeka, 2 November 2011




RMOL.Presiden SBY menganggap penanganan masalah Papua tidak bisa hanya diselesaikan dengan langkah konvensional. Makanya, dibentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B).

Demikian diungkapkan Staf Khusus Presiden Bidang Pem­bangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai kepada Rakyat Merdeka, Senin (31/10).

Menurut Velix, UP4B merupa­kan langkah terobosan di bidang sosial ekonomi, sosial politik, dan terobosan dalam kelemba­gaan pengelolaan otonomi khu­sus (otsus).

“Bapak Presiden mengharap­kan masalah Papua ditangani dari detik demi detik, jam demi jam, dan hari ke hari. Unit kerja ini bisa menangani masalah Papua lebih detail, sistematis, dan teru­kur dalam menyelesaikan masa­lah,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

UP4B sudah dibentuk Sep­tem­ber lalu, apa yang sudah di­perbuat?
Betul, UP4B dibentuk 20 Sep­tember 2011. Unit ini telah me­nyiapkan blue print pemba­ngu­nan Papua dan Papua Barat.

Seperti apa blue print terse­but?

Blue print itu berisi kebijakan-kebijakan yang lebih khusus da­lam aspek pendidikan, kese­hatan, kegiatan ekonomi rakyat, dan infrastruktur.

Selain itu, dibuat juga perkem­bangan cluster ka­wa­san strategis di Papua. Pre­si­den meng­harap­kan dengan pendekatan cluster ini langkah kebijakannya bisa sesuai dengan karakteristik sosial bu­daya Papua yang beragam.

Apa arahan khu­sus dari Pre­siden dengan tim ini?

Dengan dua kebijakan da­sar, sosial-eko­nomi dan sosial politik, arahan Presiden agar kita men­coba me­madukan antara perenca­naan dan pembiayaan. Ini aspek tepenting da­lam aspek sosial eko­­nomi kita. Di de­pan kita sudah ada APBN 2011 dan RAPBN 2012 yang harus ada pe­najaman, penyem­purnaan, dan per­baikan untuk kebu­tuhan yang sangat riil bagi masyarakat Papua.

Selain itu?

Langkah yang ber­sifat sosial-poli­tik, Presiden meng­harapkan Ke­tua UP4B, Pak Bam­bang Dar­mono dan tim sudah harus mela­ku­kan pe­me­taan dan pembi­ca­raan-pem­bicaraan kepada ke­lom­pok stra­tegis di seluruh Pa­pua. Tentu saja memulai pem­bi­caraan kons­truktif dan efektif dengan ber­bagai kelompok di sana.

Selama ini dana otonomi khu­sus di Papua bocor. Kalau di­­per­besar lagi dalam APBN, per­cuma dong?
Pemerintah tidak menutup ma­­ta. Ada hal-hal yang tidak efek­tif dalam pengelolaan dana otonomi khusus, sehingga Pre­siden meng­anggap unit khu­sus ini harus mempertajam aspek peren­ca­na­an, dan menguat­kan aspek pengendalian.

Tugas unit kerja ini benar-benar memastikan perencanaan sektoral dan perencanaan regio­nal berjalan seirama dan terin­tegrasi, baik aspek sektoral dari kementerian maupun regional dari pemerintah daerah.

Bagaimana dengan aspek pen­cegahan?
Aspek pengen­da­lian ini bisa bersi­fat mitigasi dari awal. Kita tidak ingin men­­cari kesa­lahan dari orang-orang. Namun pe­me­­rintah ingin me­mastikan aspek pe­ren­canaan dan pe­ngendalian bisa lebih baik sejak awal.

Jika ada aparatur negara yang ber­sa­lah, menya­lahgu­na­kan ke­we­nangan atau menya­lah­gu­na­­­kan ke­ua­ngan, tetap akan di­pro­ses sesuai de­ngan atur­an hu­kum yang ada.

Pihak mana saja yang menga­wasi dan memeriksa da­na otsus ini?
Sejak awal Pak Pre­siden me­nyampaikan, pende­katan dalam pengelolaan keuang­an di Papua bersifat mitigasi atau pencega­han. Makanya, Presiden mendo­rong Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pem­bangunan, Lembaga Ke­bijakan Pengadaan Barang/Jasa Peme­rintah, dan KPK untuk me­nyatu­kan langkah dalam aspek pence­gahan dan pengendalian.

Diharapkan sejak awal tidak ada kebocoran. Tim bisa mela­ku­kan perencanaan lebih baik, se­hingga kebocoran dan penya­lah­gu­naan keuangan bisa dihin­dari sekecil mungkin.

Presiden mengakui ada ke­tim­pangan kesejahteraan di Papua?
Yang jelas, pemerintah menya­dari perlu ada peningkatan kese­jahteraan bagi saudara-saudara kita di Papua. Selama ini kewe­nangan pemerintahan dan ke­uangan daerah sudah besar. Se­harusnya kesejahteraan masya­rakat bisa meningkat di Papua.

Salah satu catatan penting ada­lah aspek manajemen, sehingga Presiden mengharapkan unit khu­sus ini bisa memastikan kapasitas kelembagaan pemerintahan dae­rah bisa lebih kuat dan ber­dam­pak bagi kesejahteraan masya­rakat. [rm]

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...