Nov 11, 2011

Mengelola Desentralisasi Asimetris


Oleh: Velix Wanggai

(Jurnal Nasional -- 10 November 2011)

Perbincangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Konstitusi kita memberikan ruang dengan mengakui praktek desentralisasi dan otonomi daerah baik yang generalis berlaku nasional dan juga ada berlaku khusus atau asimetrik (asymmetric autonomy). Hari-hari ini kita semua sedang menghadapi sebuah tantangan untuk mengelola desentralisasi asimetris agar lebih bermakna baik bagi Aceh dan Papua.

Kemaren, Rabu, 9 November 2011, lebih dari dua jam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Sidang Kabinet Terbatas mengenai Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Unit ini akan melakukan langkah-langkah terobosan (breakthrough) untuk memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang lebih baik. Kita tidak bisa melangkah dengan business as usual, namun perlu think out the box yang bersifat terobosan.

Selain soal Papua, beberapa minggu terakhir ini, Presiden SBY juga sibuk dalam menangani kemelut Pilkada Aceh. Gubernur Aceh dan KIP Aceh ingin melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi (MK) terkait diperbolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada Aceh. Sementara itu, Partai Aceh dan DPR Aceh menolaknya karena keputusan ini mengancam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai hasil kesepakatan damai Helsinki 2005.

Dua cerita diatas menggambarkan bahwa agenda yang cukup penting di dalam mengelola otonomi daerah dan desentralisasi yang bersifat asimetrik ini dalam kerangka hubungan antara pusat - daerah. Sebenarnya, saat ini kita telah melaksanakan sebuah ‘revolusi diam-diam", atau "the quite revolution" dalam konteks hubungan pusat-daerah.

Apa "revolusi diam-diam itu"? Tahun lalu, tepatnya pada 16 Agustus 2010, Presiden SBY menyatakan bahwa dalam satu dekade ini kita melaksanakan proses desentralisasi yang sangat ekstensif. Pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Lebih lanjut, Presiden SBY berujar bahwa proses politik yang sangat rumit ini berlangsung dalam waktu relatif singkat dan tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius kecuali pada periode awalnya. Kini, Indonesia dikenal sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau "the quiet revolution".

Dalam mengelola "revolusi diam-diam" ini, tentu saja tidak berjalan linier tanpa ada hambatan, rintangan dan tantangan. Pemerintah tidak hanya sebagai entitas tunggal yang menentukan kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah. Ada aktor dan institusi lainnya yang juga berperan, baik institusi legislatif, yudikatif, maupun partai politik. Keputusan lembaga-lembaga lainnya seperti Mahkamah Konstitusi juga turut berpengaruh bagi kesuksesan pelaksanaan otonomi asimetrik di Aceh. Karena itu, menjadi tugas kolektif kita untuk memahami nuansa batin dan konteks atas kehadiran suatu regulasi yang bersifat asimetik ini, baik untuk Aceh maupun Papua.

Untuk itu, mengelola desentralisasi asimetris Aceh dan Papua haruslah mengedepankan pendekatan yang smart dan utuh, demikian ujar Presiden SBY. Tantangan kita ke depan, sebagaimana dinyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memperhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang, kondisi, dan konteks dalam payung NKRI.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...