Sep 27, 2013

Terkait kesalahan pemberitaan CR, Staf Khusus Presiden Bantah Kritisi Kebijakan Gubernur Enembe

Felix Wanggai
Felix Wanggai

JAKARTA(CARE)- Terkait kesalahan dalam pemberitaan Cahayareformasi.com tertanggal 19 September 201, dengan judul: “ Gubernur Papua  harus belajar kebijakan Publik”akhirnya ditanggapi oleh Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai.

Velix menegaskan bahwa berita yang dimuat oleh situs berita Cahayareformasi.com, pada 19 September 2013 adalah berita bohong dan fitnah yang memecah belah orang Papua.  Hal itu diungkapkan dalam siaran persnya yang dikirim ke Bintang Papua, tadi malam (26/9).

Menurut Velix ,  situs ini dengan sengaja membuat seakan-akan ada wawancara antara Staf Khusus Presiden Velix Wanggai dengan media dari Cahayareformasi.com,  di mana Staf Khusus Presiden mengkritisi kebijakan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Wawancara ini mengada-ada dengan mengatasnamakan Staf Khusus Presiden Velix Wanggai. Padahal, Staf Khusus Presiden Velix Wanggai sejak tanggal 16 hingga 20 September 2013 sedang berada di Berlin, Jerman dalam acara “Update from the Region: Papua in Focus, Promoting Tourism, Trade, and Investment” yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin.

Acara ini juga dihadiri oleh Asisten Gubernur Papua, Ely Ibrahim Loupatti, Kepala BKPMD Papua Drs. Purnomo, dan Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Papua, Ir. Bangun Manurung, M.Sc.,  Dengan demikian, berita yang dimuat oleh situs  Cahayareformasi.com adalah berita bohong yang bermuatan fitnah dan adu domba.

Setelah ditelusuri,  kantor situs cahayareformasi.com ini dipimpin oleh Zusrizal Amir, yang beralamat di kawasan Jakarta Timur. Atas berita yang tidak benar ini, Pemred Zusrizal Amir memohon maaf kepada masyarakat Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe, dan Staf Khusus Presiden Velix Wanggai.

Pemred Zusrizal mengakui kesalahan tersebut dan meminta permohonan maaf itu dalam bentuk tertulis kepada Gubernur Papua dan Staf Khusus Presiden, serta permohonan maaf itu telah dimuat di situs Cahayareformasi.com tertanggal 26 September 2013 dengan judul “Permintaan Maaf Atas Kesalahan Dalam Pemberitaan”.

 Pemred Cahayareformasi.com mengharapkan agar pemberitaan tersebut dianggap tidak ada dan hanya isu dari orang-orang yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Dengan pernyataan kekeliruan dari Pemred Cahayareformasi.com ini, Staf Khusus Presiden Velix Wanggai mengharapkan agar sahabat-sahabat pers di Papua, pengamat sosial, dan masyarakat umum di Papua kiranya dapat memahami berita yang tidak benar ini.

Zusrizal juga memohon maaf secara khusus dan mengucapkan terimakasih terhadap rekan-rekan Pemred media massa yang telah terlanjur mengutip berita keliru tersebut dan bersedia untuk bekerja sama dan  mengklarifikasi berita tersebut dan menyatakan salut atas kebersamaan antara media demi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Kita semua menyayangkan jika ada pihak-pihak yang sengaja memperkeruh situasi yang tenang di Papua untuk kepentingannya masing-masing.

Dalam konteks perubahan Papua, Staf Khusus Presiden Velix Wanggai selalu intens berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Gubernur Papua Lukas Enembe di dalam melakukan penataan dan perubahan Papua. Velix Wanggai menilai bahwa sejak 9 April 2013 rakyat Papua telah mengetahui platform dan langkah-langkah serius yang ditempuh Gubernur Lukas Enembe guna memperbaiki warisan persoalan masa lalu.

Kita bersyukur Gubernur Papua telah melakukan terobosan dalam beberapa hal, seperti:
(1) Mendorong semangat Kasih Menembus Perbedaan yang melintasi sekat-sekat sosial;
(2) Memperbaiki komunikasi antara Gubernur-MRP-DPRP-Bupati/Walikota yang selama ini macet;
(3) Memperbaiki tata kelola pemerintahan di Papua yang selama ini kurang tepat dengan menguatkan peran dan fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua;
(4) Menyelesaikan kerangka perencanaan pembangunan jangka panjang Papua (RPJP) 30 tahun yang sejak 2001 hingga 2013 ini tidak dimiliki oleh Pemda Papua;
(5) Menyelesaikan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Papua agar ada kepastian kebijakan wilayah;
(6) Menuntaskan persoalan tata kelola di RSUD Jayapura secara drastis;
(7) Membangun komunikasi yang intens dengan para Bupati guna membangun program kerjasama antar Pusat-Provinsi-Kabupaten;
(8) Membuat kesepakatan pemahaman (MoU) antara Pusat-Pemda Papua-Pemkot Jayapura di dalam pembangunan Jembatan Holtekamp pada 2 Agustus 2013 lalu. Holtekamp menjadi landmark Indonesia di kawasan Pasifik.

Demikian pula, Velix Wanggai menyampaikan langkah strategis Gubernur Papua Lukas Enembe bertemu dengan Presiden SBY pada 29 April 2013 dan diikuti oleh audiensi Gubernur ke-15 Menteri satu demi satu. Ini langkah yang penting agar Kementerian Sektoral dapat memahami apa yang terjadi di tanah Papua, dan perubahan apa yang diterobos oleh Gubernur terpilih, Lukas Enembe. Langkah terobosan lainnya adalah adanya keinginan untuk pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Papua dalam payung formula Otonomi Khusus yang lebih luas. Hal ini yang menjadi perhatian Gubernur Papua, bersama MRP dan DPRP di dalam melakukan perubahan UU 21/2001 Otsus Papua.  Termasuk pula, di dalam upaya re-negosiasi kontrak karya PT. Freeport Indonesia yang selama ini belum menguntungkan rakyat Papua.

Perubahan yang lebih baik bagi masa depan Papua merupakan harapan dari semua anak-anak Papua. Papua Tanah Damai adalah tujuan kita semua, demikian pernyataan Staf Khusus Presiden, Velix Wanggai.


Permintaan Maaf atas Kesalahan Dalam Pemberitaan

Sementara itu Redaksi Cahayareformasi.com meralat dan meminta maaf atas kesalahan/kekeliruan dalam mekanisme pemberitaan dengan judul:
“ Gubernur Papua  harus belajar kebijakan Publik” Pada Kamis, 19 September 2013 lalu.
Kami menyadari kekeliruan tersebut yang hanya berdasarkan kiriman dari email: Suara yukugo, yang akhirnya kami dapat menyimpulkan bahwa identitas pengirim tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk itu, kami meminta maaf secara khusus kepada:
1. Bapak Velix Wanggai selaku staf khusus Presiden
2. Gubernur Papua Lukas Enembe S.IP
3. Masyarakat Papua, dan kami berharap demi persatuan dan kesatuan bangsa agar tidak terpengaruh atas pemberitaan tersebut.

Dengan permintaan maaf secara tulus dari kami, kami berharap agar pemberitaan tersebut dianggap tidak ada dan hanya isu dari orang-orang yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Permohonan maaf  tertanggal 26 September 2013 itu Zusrizal Amir selaku Pemred Cahayareformasi.com. (ist/don/l03)

Sep 26, 2013

Pelajaran Model Damai dari Aceh

galeri foto
 | Kamis, 26 Sep 2013
Rihad Wiranto

Oleh: Velix Wanggai
 

Mengelola Indonesia yang kompleks dengan latar sosial yang multi-etnik ini adalah suatu tanggung jawab yang berat nan mulia. Simak saja, warna etnik yang membentang sejak masyarakat Aceh di bumi Serambi Mekkah hingga masyarakat di tanah Papua. Penuh warna yang beragam.

Tidak hanya etnik, namun Indonesia juga ditandai dengan perbedaan dalam agama, bahasa, budaya, sosial, ras, sejarah, maupun ideologi politik. Semua keberagaman itu didesain untuk hidup dalam konstruksi kenegaaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, siapapun Presiden Republik Indonesia, tugas utama yang diemban adalah mengawal integrasi sosial sebagai fondasi penting bagi terwujudnya integrasi bangsa dan kedaulatan nasional.

Ketika ada konflik yang panjang dalam sejarah Indonesia, menjadi tugas pemimpin nasional untuk mencari solusi damai untuk penyelesaian konflik. Demikian, yang ditempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani konflik panjang di Aceh. Sejak menjadi Menkopolkam di era Presiden Megawati Soekarnoputri hingga SBY menjadi Presiden pada tahun 2004, serangkaian pendekatan telah ditempuh untuk mencari solusi damai bagi Aceh.

Apa pelajaran penting yang dipetik dari peace process di Aceh? Bagaimana peran Presiden sebagai the top policy maker dalam membawa arah jalan perdamaian di Aceh? Ketika dikukuhkan untuk doctor honoris causa bidang ilmu hukum perdamaian oleh Universitas Syiah Kuala, Presiden SBY mengurai 10 pelajaran dalam proses perdamaian di Aceh ini.

Pelajaran pertama, setiap konflik selalu ada solusinya. Seberat apapun konflik itu, kalau selalu diikhtiarkan untuk diakhiri, selalu ada jalan ke arah itu. Pelajaran kedua, setiap konflik memiliki ciri dan kepribadianya sendiri. Tidak ada dua konflik yang serupa. Setiap konflik memiliki karakter, persoalan dan dinamikanya sendiri.

Penyelesaikan konflik komunal di Sampit, Poso dan Ambon, konflik Indonesia-Timor Leste, dan konflik Aceh memiki strategi kebijakan, pendekatan dan cara yang berbeda-beda. Sedangkan pelajaran ketiga, adalah lebih baik mencegah konflik sebelum terjadi, daripada menyelesaikannya setelah konflik meletus. Mencegah konflik sebelum terjadi adalah lebih baik, lebih mudah, lebih murah, lebih aman, lebih cepat dan lebih efektif.

Pelajaran keempat yang dinyatakan Presiden SBY, yakni resolusi konflik, rekonsiliasi dan reintegrasi pasca konflik membutuhkan kepemimpinan kuat dan efektif. Pemimpin tingkat nasional harus memiliki visi, konsep dan pemikiran yang segar tapi realistik. Dalam hal ini pemimpin harus mampu "thinking outside the box".
 
Pemimpin resolusi konflik juga mesti memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit, terkadang berlawanan dengan arus besar yang ada, dan berani mengambil resiko politik yang dapat menyebabkan kejatuhannya. Tanpa kepemimpinan, proses perdamaian tidak akan memiliki kekuatan dan arah, dan pada akhirnya tidak akan berhasil.

Yang kelima, ketika sebuah konflik belum dapat diselesaikan, maka kelolalah dengan baik. Jika persyaratan untuk terjadinya resolusi konflik tidak terpenuhi, jangan pernah dipaksakan. Tapi jagalah agar konflik tidak meluas, dan tetap dapat dikelola dan di-kendalikan, demikian pesan Presiden SBY.

Demikian pula, setiap konflik selalu ada peluang dan kesempatan yang tiba-tiba datang untuk mengakhirinya (window of opportunity). Kesempatan ini biasanya kecil dan hanya sekejap. Bagian tersulit bagi seorang pemimpin adalah untuk secara cerdas dan cepat mengenali peluang itu, dan tidak melewatkannya. Ini adalah pelajaran keenam. Sedangkan pesan ketujuh yang disampaikan Presiden SBY adalah untuk menyelesaikan sebuah konflik diperlukan pendekatan yang pragmatis, fleksibel dan menjangkau jauh ke depan.

Pendekatan yang rigid dan dogmatis akan sulit mengha-silkan solusi. Menetapkan opsi bagi sebuah perdamaian mem-butuhkan banyak mendengar, dan sering harus melawan asumsi-asumsi yang lama. Kedelapan, hal paling penting untuk dicapai dalam suatu perjanjian damai adalah membangun kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik. Oleh karena itulah penting untuk diciptakan prakondisi bagi sebuah "peace process". Apa yang lakukan oleh Presiden SBY bersama pihak-pihak lain sejak tahun 2000 hingga tahun 2004, pada hakikatnya dipersembahkan untuk membangun kepercayaan (trust building).
 
Sementara itu, Presiden SBY menyampaikan yang terpenting adalah menjaga perdamaian yang telah tercipta. Banyak sekali contoh dalam sejarah, sebuah perdamaian yang diraih dengan sangat sulit runtuh, karena para pemangku kepentingan menjadi berpuas diri setelahnya. Menjaga dan menyelamatkan perdamaian memerlukan upaya yang serius, sistematik dan berkelanjutan.

Diperlukan pula keteguhan dan "political will" dari para pemimpinnya. Itulah pesan kesembilan dari penyelesaian konflik Aceh. Sedangkan pelajaran terakhir adalah tekad yang kuat dari pemimpin nasional untuk tidak mengulangi lagi berbagai kesalahan yang membikin gagalnya upaya damai yang telah dicapai pada 15 Agustus 2005. Kesalahan yang dialami pasca Perjanjian Jenewa di tahun 2002 telah menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua.

Solusi damai untuk Aceh memberikan pelajaran bagi pola resolusi konflik di Indonesia, bahkan pelajaran bagi penyelesaian konflik di belahan negara lainnya. Salah satu tugas kita adalah menjaga damai itu dengan mengawal pelaksanaan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Melalui regulasi itu, Indonesia serius untuk membangun pola desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).
 
Pilihan model desentralisasi asimetris ini merupakan bagian dari jalan demokrasi yang mengakui keberagaman masyarakat, termasuk model asimetrik di dalam merumuskan jalan damai dari dua pihak yang berkonflik. Konsep power sharing diakomodasi di dalam payung otonomi yang asimetrik. Bagi praktek demokrasi keseharian, pelajaran Aceh ini sejalan dengan apa yang dipandang oleh analis politik Arend Lijphart sebagai model demokrasi konsosianal (consociational democracy). Model ini mengenalkan pola pembagian kekuasaan dan konsensus di dalam suatu negara yang masyarakatnya plural yang berpotensi pecahnya konflik.

Hari-hari ini Indonesia masih mencari bentuk demokrasi yang tepat untuk konteks Indonesia. Model demokrasi yang menghadirkan kepercayaan rakyat (trust building), demokrasi sebagai solusi damai dari konflik, demokrasi yang mengakui kekhususan dan keberagaman setting sosial bangsa, dan demokrasi yang dipersembahkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Solusi damai untuk Aceh adalah salah satu contoh dari proses penemuan jalan tengah antara demokrasi, resolusi konflik, dan pembangunan.

galeri foto

galeri foto

Sep 6, 2013

Menulis Ulang Arah Kepolitikan Kita

 | Kamis, 5 Sep 2013
Rihad Wiranto


Oleh: Velix Wanggai
 

Telah tepatkah arah perjalanan politik Indonesia saat ini? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan umum yang dihadapi oleh kita semua anak bangsa. Limabelas tahun reformasi telah berjalan, mulai dari tertatih-tatih hingga kini prosesi demokrasi dapat berjalan di seluruh tanah air. Pilihan di jalan demokrasi adalah pilihan tepat, tak dapat dipungkiri.

Namun, telah tepatkah konstruksi dan desain besar politik Indonesia, beserta peta jalan yang ditempuh dalam limatahun terakhir ini? Kita semua terasa wajib untuk memikir ulang, bahkan mungkin menulis ulang atas konstruksi politik Indonesia, bagaimana peta jalannya, dan perilaku politik apa yang tepat dalam konteks yang majemuk di Indonesia.

Refleksi inilah yang hari-hari ini dipikirkan oleh kalangan akademisi, tak terkecuali Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Refleksi penting atas arah perjalanan politik Indonesia dilontarkan Presiden SBY ketika berbuka puasa bersama wartawan di pertengahan Ramadhan 2013 lalu. Ia mengajak kita semua untuk refleksi atas perjalanan 14 tahun demokrasi dan politik nasional Indonesia. Ada 5 pertanyaan penting yang dilontarkan oleh Presiden SBY.

Pertama, apakah sistem ketatanegaraan dan distribusi kekuasaan yang berlaku di negeri ini itulah yang terbaik. Kedua, apakah demokrasi, stabilitas, dan pembangunan dapat hidup berdampingan secara damai dan menjadi panduan kita dalam bernegara? Ketiga, bagaimana hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat (state - society relations) telah terjalin dengan tepat dan baik dalam kehidupan di negeri ini? Yang keempat, apakah jalan yang harus ditempuh oleh Indonesia untuk menjadi negara maju? Bagaimanakah karakter yang harus dibangun? Sedangkan kelima adalah bagaimanakah pola pembagian peran dan tanggungjawab untuk kemajuan negara?


Sejalan dengan refleksi itu, sebenarnya masih ada poin penting lainnya yang diungkapkan Presiden SBY ketika menyampaikan kuliah umum di hadapan elit pemuda yang tergabung dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada awal Januari 2013. Ketika itu, Presiden SBY mengajukan pertanyaan segar, yakni mana yang paling penting, demokrasi atau pembangunan ekonomi?

Selanjutnya, mana yang kita pilih, orang kuat, the strong man, atau sistem dan institusi yang kuat dalam demokrasi? Dan terakhir, demokrasi seperti apa yang kita bangun di negeri ini, menyadari bahwa bangsa kita amat majemuk.

Sederet refleksi itu menjadi panduan bagi kita untuk berpikir ulang perihal arah perjalanan politik Indonesia di saat ini maupun masa mendatang. Kesemua ini terasa penting untuk dijawab karena seiiring dengan refleksi politik itu, kita dituntut untuk mewujudkan Visi Nasional Indonesia Tahun 2005-2025, yang telah ditegaskan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional.

Visi itu, Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Ini bukan Visi Nasional yang dirumuskan oleh Presiden SBY, namun ini adalah visi nasional yang telah disepakati oleh para wakil rakyat di DPR dan Pemerintah dalam payung UU No. 17 Tahun 2007.

Harapannya, di tahun 2025, kelembagaan demokrasi semakin mantap, peran masyarakat sipil semakin kuat, kualitas desentralisasi dan otonomi daerah semakin kuat, media dan kebebasan media yang bertanggungjawab, struktur hukum dan budaya hukum semakin baik dan penegakkan hukum yang adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil.

Setiap langkah dalam perjalanan politik Indonesia memiliki catatan positif maupun catatan pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Konstruksi ketatanegaraan dan sistem distribusi kekuasaan ini terkait dengan pilar negara kita Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil.

Hadirnya perubahan UUD 1945 ini akhirnya memberikan ruang bagi terbitnya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik sebagai upaya dalam merumuskan format politik baru Indonesia. Perubahan ini memberi peluang bagi pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan politik, namun tidak jarang penataan kelembagaan ini menimbulkan konflik-konflik kepentingan.

Redistribusi kekuasaan dalam konstruksi kenegaraan kita ini, sebenarnya memberikan pesan bahwa Presiden tidak lagi memegang kekuasaan yang absolut dan Presiden tidak menjadi kekuatan tunggal di dalam menentukan arah perjalanan politik bangsa. Disinilah, ada distribusi peran dan tanggungjawab diantara lembaga-lembaga negara, dan semua pemangku kepentingan untuk memajukan arah pembangunan nasional.

Demikian pula, pilihan demokrasi, stabilitas, dan pembangunan merupakan ‘Trilogi Orde Reformasi' yang menjadi kerangka kita di dalam melangkah dewasa ini. Demokrasi yang keblabasan hanya berakibat instabilitas. Stabilitas yang dibangun dengan kekuatan yang memaksa ternyata akan memasung demokrasi. Situasi yang tak damai juga mengganggu roda pembangunan daerah dan nasional.

Dulu di era Orde Baru, Trilogi dibangun atas dasar stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan. Stabilitas politik yang kuat ini menyebabkan terkendalinya aspirasi rakyat dan terkekangnya hak-hak sipil, termasuk kebebasan pers. Pemerataan ekonomi dengan strategi ‘efek tetesan ke bawah' hanya mendorong lahirnya konsentrasi pembangunan di wilayah tertentu dan golongan ekonomi tertentu saja.

Semua itu, pelajaran yang berharga bagi kita. Untuk itu, "Trilogi Orde Reformasi", yakni keserasian antara demokrasi, stabilitas, dan pembangunan menjadi kerangka pedoman bagi siapa saja di negeri untuk mengelola Republik ini. Bahkan mata dunia juga memberikan apresiasi yang tinggi atas ‘silent revolution' yang dilakoni Indonesia dalam 15 tahun terakhi ini. Di tataran politik lokal, sebenarnya desentralisasi dan otonomi daerah adalah anak kandung dari demokratisasi.

Otonomi daerah adalah praktek langsung negara ini untuk berdemokrasi yang partisipatif. Kita mungkin dapat menyebutnya ‘Bringing State Closer to the People' (membawa negara lebih dekat dengan rakyat). Otonomi Daerah juga dapat dianggap sebagai praktek pembangunan yang menghargai kemajemukan dengan melayani publik sesuai karakter sosial-budaya dan potensinya.

Pengakuan dan penghargaan atas keragaman sosial ini adalah fondasi penting dari situasi politik yang stabil. Artinya, desentralisasi dan otonomi daerah adalah pilihan rasional yang wajib kita konsolidasikan terus-menerus.

Kita boleh menyimpulkan bahwa narasi kepolitikan kita harus terus dievaluasi dari waktu ke waktu agar perjalanannya tidak kehilangan arah.


Velix V. Wanggai

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...