Sep 26, 2013

Pelajaran Model Damai dari Aceh

galeri foto
 | Kamis, 26 Sep 2013
Rihad Wiranto

Oleh: Velix Wanggai
 

Mengelola Indonesia yang kompleks dengan latar sosial yang multi-etnik ini adalah suatu tanggung jawab yang berat nan mulia. Simak saja, warna etnik yang membentang sejak masyarakat Aceh di bumi Serambi Mekkah hingga masyarakat di tanah Papua. Penuh warna yang beragam.

Tidak hanya etnik, namun Indonesia juga ditandai dengan perbedaan dalam agama, bahasa, budaya, sosial, ras, sejarah, maupun ideologi politik. Semua keberagaman itu didesain untuk hidup dalam konstruksi kenegaaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, siapapun Presiden Republik Indonesia, tugas utama yang diemban adalah mengawal integrasi sosial sebagai fondasi penting bagi terwujudnya integrasi bangsa dan kedaulatan nasional.

Ketika ada konflik yang panjang dalam sejarah Indonesia, menjadi tugas pemimpin nasional untuk mencari solusi damai untuk penyelesaian konflik. Demikian, yang ditempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani konflik panjang di Aceh. Sejak menjadi Menkopolkam di era Presiden Megawati Soekarnoputri hingga SBY menjadi Presiden pada tahun 2004, serangkaian pendekatan telah ditempuh untuk mencari solusi damai bagi Aceh.

Apa pelajaran penting yang dipetik dari peace process di Aceh? Bagaimana peran Presiden sebagai the top policy maker dalam membawa arah jalan perdamaian di Aceh? Ketika dikukuhkan untuk doctor honoris causa bidang ilmu hukum perdamaian oleh Universitas Syiah Kuala, Presiden SBY mengurai 10 pelajaran dalam proses perdamaian di Aceh ini.

Pelajaran pertama, setiap konflik selalu ada solusinya. Seberat apapun konflik itu, kalau selalu diikhtiarkan untuk diakhiri, selalu ada jalan ke arah itu. Pelajaran kedua, setiap konflik memiliki ciri dan kepribadianya sendiri. Tidak ada dua konflik yang serupa. Setiap konflik memiliki karakter, persoalan dan dinamikanya sendiri.

Penyelesaikan konflik komunal di Sampit, Poso dan Ambon, konflik Indonesia-Timor Leste, dan konflik Aceh memiki strategi kebijakan, pendekatan dan cara yang berbeda-beda. Sedangkan pelajaran ketiga, adalah lebih baik mencegah konflik sebelum terjadi, daripada menyelesaikannya setelah konflik meletus. Mencegah konflik sebelum terjadi adalah lebih baik, lebih mudah, lebih murah, lebih aman, lebih cepat dan lebih efektif.

Pelajaran keempat yang dinyatakan Presiden SBY, yakni resolusi konflik, rekonsiliasi dan reintegrasi pasca konflik membutuhkan kepemimpinan kuat dan efektif. Pemimpin tingkat nasional harus memiliki visi, konsep dan pemikiran yang segar tapi realistik. Dalam hal ini pemimpin harus mampu "thinking outside the box".
 
Pemimpin resolusi konflik juga mesti memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit, terkadang berlawanan dengan arus besar yang ada, dan berani mengambil resiko politik yang dapat menyebabkan kejatuhannya. Tanpa kepemimpinan, proses perdamaian tidak akan memiliki kekuatan dan arah, dan pada akhirnya tidak akan berhasil.

Yang kelima, ketika sebuah konflik belum dapat diselesaikan, maka kelolalah dengan baik. Jika persyaratan untuk terjadinya resolusi konflik tidak terpenuhi, jangan pernah dipaksakan. Tapi jagalah agar konflik tidak meluas, dan tetap dapat dikelola dan di-kendalikan, demikian pesan Presiden SBY.

Demikian pula, setiap konflik selalu ada peluang dan kesempatan yang tiba-tiba datang untuk mengakhirinya (window of opportunity). Kesempatan ini biasanya kecil dan hanya sekejap. Bagian tersulit bagi seorang pemimpin adalah untuk secara cerdas dan cepat mengenali peluang itu, dan tidak melewatkannya. Ini adalah pelajaran keenam. Sedangkan pesan ketujuh yang disampaikan Presiden SBY adalah untuk menyelesaikan sebuah konflik diperlukan pendekatan yang pragmatis, fleksibel dan menjangkau jauh ke depan.

Pendekatan yang rigid dan dogmatis akan sulit mengha-silkan solusi. Menetapkan opsi bagi sebuah perdamaian mem-butuhkan banyak mendengar, dan sering harus melawan asumsi-asumsi yang lama. Kedelapan, hal paling penting untuk dicapai dalam suatu perjanjian damai adalah membangun kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik. Oleh karena itulah penting untuk diciptakan prakondisi bagi sebuah "peace process". Apa yang lakukan oleh Presiden SBY bersama pihak-pihak lain sejak tahun 2000 hingga tahun 2004, pada hakikatnya dipersembahkan untuk membangun kepercayaan (trust building).
 
Sementara itu, Presiden SBY menyampaikan yang terpenting adalah menjaga perdamaian yang telah tercipta. Banyak sekali contoh dalam sejarah, sebuah perdamaian yang diraih dengan sangat sulit runtuh, karena para pemangku kepentingan menjadi berpuas diri setelahnya. Menjaga dan menyelamatkan perdamaian memerlukan upaya yang serius, sistematik dan berkelanjutan.

Diperlukan pula keteguhan dan "political will" dari para pemimpinnya. Itulah pesan kesembilan dari penyelesaian konflik Aceh. Sedangkan pelajaran terakhir adalah tekad yang kuat dari pemimpin nasional untuk tidak mengulangi lagi berbagai kesalahan yang membikin gagalnya upaya damai yang telah dicapai pada 15 Agustus 2005. Kesalahan yang dialami pasca Perjanjian Jenewa di tahun 2002 telah menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua.

Solusi damai untuk Aceh memberikan pelajaran bagi pola resolusi konflik di Indonesia, bahkan pelajaran bagi penyelesaian konflik di belahan negara lainnya. Salah satu tugas kita adalah menjaga damai itu dengan mengawal pelaksanaan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Melalui regulasi itu, Indonesia serius untuk membangun pola desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).
 
Pilihan model desentralisasi asimetris ini merupakan bagian dari jalan demokrasi yang mengakui keberagaman masyarakat, termasuk model asimetrik di dalam merumuskan jalan damai dari dua pihak yang berkonflik. Konsep power sharing diakomodasi di dalam payung otonomi yang asimetrik. Bagi praktek demokrasi keseharian, pelajaran Aceh ini sejalan dengan apa yang dipandang oleh analis politik Arend Lijphart sebagai model demokrasi konsosianal (consociational democracy). Model ini mengenalkan pola pembagian kekuasaan dan konsensus di dalam suatu negara yang masyarakatnya plural yang berpotensi pecahnya konflik.

Hari-hari ini Indonesia masih mencari bentuk demokrasi yang tepat untuk konteks Indonesia. Model demokrasi yang menghadirkan kepercayaan rakyat (trust building), demokrasi sebagai solusi damai dari konflik, demokrasi yang mengakui kekhususan dan keberagaman setting sosial bangsa, dan demokrasi yang dipersembahkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Solusi damai untuk Aceh adalah salah satu contoh dari proses penemuan jalan tengah antara demokrasi, resolusi konflik, dan pembangunan.

galeri foto

galeri foto

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...