Nov 27, 2008

Islam Atau Kristen Agama Orang Papua?

Written by Administrator/Ali Athwa, Majalah Hidayatullah

Thursday, 27 November 2008 09:54

Ada tiga kesalahan orang memandang Papua. Pertama, Papua identik
dengan koteka, Kedua, hanya orang-orang primitiv dan Ketiga, Identik dengan
Kristen. Padahal, itu keliru [bagian pertama]

Hidayatullah.com--Untuk poin pertama dan kedua, fakta itu boleh jadi
benar, bahwa di kawasan-kawasan tertentu di pedalaman bumi cenderawasih ini,
hingga hari ini masih diketemukan masyarakat dengan pola hidup primitif,
sebagian masih mengenakan koteka, serta menjalani hidup secara kanibal.

Hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti terbatasnya akses
informasi-atau bahkan ketiadaan informasi yang mereka terima--serta luasnya
kawasan tersebut yang hampir 4 kali luas pulau Jawa. Bahkan, Papua, termasuk
pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark. Maka wajar bila
fakta-fakta seperti koteka dan kehidupan primitif masih ditemui di Papua.

Namun tentu saja hal itu tidak semuanya, mengingat sebagian dari
mereka, kini, sudah terbiasa dengan pola kehidupan maju dan melek teknologi,
utamanya mereka yang tinggal di kawasan perkotaan dan hidup di daerah
pantai, baik penduduk asli maupun perantau dari luar Papua.

Fakta lain yang selama ini terselimuti kabut tebal adalah perihal
komunitas Muslim di kawasan ini. Selama ini pula, banyak orang yang
bertanya-tanya, adakah orang Islam di Papua? Adakah komunitas pribumi
(penduduk asli Papua) yang memeluk Islam sebagai agama mereka? Ironisnya,
belum lagi pertanyaan itu terjawab, seolah ada ungkapan pembenaran bahwa:
Papua identik dengan Kristen. Atau dengan bahasa yang lebih lugas lagi:
setiap orang Papua ya mesti Kristen.

Tentu saja statemen seperti ini membawa dampak negative yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan dakwah Islam di kawasan yang masih
menyimpan hasil kekayaan alam yang sangat melimpah ruah ini.

Bahkan saat ini jumlah komunitas Muslim di Papua sudah mencapai angka
900 ribu jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2.4 juta jiwa, atau
menempati posisi 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua. 60% penduduk
merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Animisme.

Namun, di antara imej yang kurang menguntungkan seperti itu, juga
"tekanan psikologis" suasana serba Kristen, dimana setiap mata memandang
begitu banyak gereja-- sebagai buah dari kerja keras para missionaries, yang
didukung dengan dana yang nyaris tak terbatas, serta ditunjang sarana
teknologi komunikasi dan transportasi canggih, pelan-pelan komunitas Islam
tumbuh dan menyinari bumi cenderawasih yang di lingkungan kaum muslimin
menyebutnya sebagai kawasan Jabal an Nuar.

Ismail Saul Yenu (67), seorang pendeta sekaligus kepala suku besar di
Yapen Waropen telah masuk Islam dengan diikuti istri dan anaknya. Ismail
yang juga Ketua Benteng Merah Putih pembebasan Irian Barat dan Ketua
Assosiasi Nelayan Seluruh Papua telah menunaikan ibadah haji pada tahun
2002.

Seorang pendeta di Biak Numfor bernama Romsumbre (Abdurrahman) juga
telah masuk Islam beserta keluarga dan 4 orang anaknya. Wilhelmus Waros
Gebse Kepala suku Marin, Merauke juga telah meninggalkan agama lamanya
Katolik dan memilih masuk Islam bersama Istri dan anak-anakknya. Kini
Wilhelmus sedang merintis sebuah pondok pesantren di kampung halamannya di
Merauke.

Saat ini, di desa Bolakme, sebuah distrik di Lembah Baliem, seorang
pendeta dan kepala suku bersama 20 orang warganya ingin sekali memeluk
Islam.

Berkali-kali keinginan itu disampaikan ke tokoh masyarakat Muslim,
akan tetapi pihak MUI agaknya sangat berhati-hati dalam menerima mereka.
Alasannya, di samping faktor keamanan, juga pembinaan terhadap mereka
setelah itu, tidak ada. "Inilah tantangan bagi kita. Tidak sedikit penduduk
asli yang ingin masuk Islam, tapi kita kekurangan dai." tutur H.Burhanuddin
Marzuki, ketua MUI Kabupatern Jayawijaya yang sudah 30 tahun tinggal di
Lembah Baliem.

Berita yang sempat meramaikan media massa adalah dengan masuk Islamnya
"kepala suku perang" H. Aipon Asso pada tahun 1974.Sebelum itu, seorang
tetua di desa Walesi bernama Marasugun telah lebih dulu masuk Islam setelah
berinteraksi dengan para perantau di kota Wamena yang berasal dari
Bugis-Makassar, Jawa, Madura maupun Padang.

Keislaman Aipon Asso lalu diikuti oleh 600 orang warganya di desa
Walesi. H. Aipon yang kini sudah berusia 70 tahun menjadi kepala suku yang
sangat di segani di seluruh lembah Baliem. Wilayah kekuasaannya membentang
hampir 2/3 cekungan mangkuk lembah Baliem.

Ia benar-benar sosok kepala suku mujahid yang sangat diperhitungkan di
kawasan ini.

Bahkan ketika ia baru pulang dari menunaikan ibadah haji (1985),
dengan mengenakan surban dan baju gamis panjang, secara demonstratif ia
turun ke jalan dan melakukan pawai di pusat kota Wamena sambil mengerahkan
ratusan warganya yang masih mengenakan koteka dan bertelanjang dada.

Teringatlah kita pada kisah sahabat Nabi Muhammad yakni Umar bin
Khattab ketika akan melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang tilakukannya
tanpa sembunyi-sembunyi dan tanpa ada rasa takut.

Saat kerusuhan menimpa Wamena tahun 2000 lalu, sebagian pendatang baik
Muslim maupun Kriten dicekam rasa takut. Tidak terkecuali Muslim pribumi pun
mengalami hal serupa. Untuk meredam situasi, pihak pemerintah
menyelenggarkan pertemuan dengan kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama.
Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah tersebut H.Aipon
mengusulkan ditempatkannya aparat keamanan secara permanen di kawasan ini
dan itu disetujui.

Di ibukota provinsi Papua, Jayapura, seperti juga di kota-kota lain
seperti Fak-Fak, Sorong, Wamena, Manukwari, Kaimana, Merauke, Timika, Biak
dan Merauke, suasana keislaman semakin tampak, khususnya di kalangan
pendatang. Selain jumlah rumah ibadah yang semakin bertambah, kegiatan
halaqah juga tumbuh tidak kalah subur. Selain itu, bila kita jalan-jalan di
pusat kota Jayapura tidak sulit kita menemui Muslimah berjilbab lalu lalang
di antara keramaian. Termasuk di kampus ternama di Papua Universitas
Cenderawasih, para wanita berjilbab juga dengan mudah kita temui.

Penduduk Muslim di kota terdiri dari para pedagang, pagawai,
pengusaha, pelajar/mahasiswa, guru, atau buruh.

Secara keseluruhan jumlah komunitas Muslim di Papua mengalami
peningkatan yang cukup pesat, utamanya di kota kabupaten atau provinsi.
Dalam catatan yang dikeluarkan oleh LP3ES, Papua, termasuk dari 7
kantong-kantong Kristen di seluruh Indonesia yang semakin penyusutan.
Sebaiknya jumlah penduduk Muslim semakin tumbuh.

Sebenarnya potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Muslim di Papua tidak
kalah banyak di banding dengan ummat lain.

Akan tetapi nampaknya ada semacam perasaan 'tidak PD" di kalangan
mereka untuk tampil dan terlibat langsung dalam lingkar pemerintahan.
Akibatnya, mereka hanya menjadi penonton, atau-katakanlah-- turut terlibat,
namun ada di 'wilayah yang tidak menentukan'.

"Ini tentu saja menjadi PR kita ke depan. Ummat Islam Papua harus
menghalau rasa tidak PD-nya, dan selanjutnya bersama yang lain terlibat
langsung membangun Papua," tutur Mohammad Abud Musa'ad MSi(42), intelektual
Muslim Papua yang juga anggota tim penyusun UU otonomi khusus Papua.

"Secara historis, keberadaan ummat Islam sebagai pendatang awal di
Tanah Papua, sudah klir. Dan itu sudah tertuang dalam buku putih yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Papua." jelas Musa'ad yang tinggal di bilangan
Abepura, Jayapuran ini. "Namun yang terpenting, kita harus segera berkarya
dan tidak boleh asyik bernostalgia dengan sejarah,"pesannya pada Muslim
Papua.

Musa'ad juga menyadari, kendati sejumlah pertemuan tentang kedudukan
ummat Islam di Papua pernah dilakukan, akan tetapi karena tidak adanya
sosialisasi dan tindak lanjut dalam program, semua seolah lenyap tanpa
bekas.

Masih kata Musa'ad, bahwa peran politik ummat Islam Papua saat ini
masih terlalu kecil, yakni tidak lebih dari 10 %. Kenyataan ini tentu saja
sangat memperihatinkan.

Bahkan dapat dibayangkan dari 900 ribu jiwa Muslim yang tersebar dalam
29 kabupaten/kota yang ada saat ini, hanya terdapat dua kabupaten yang
dipimpin oleh pejabat Muslim yakni di Fak-Fak dan di Kaimana. Bahkan di
kantong-kantong kabupaten berpenduduk asli mayoritas Muslim seperti Babo dan
Bintuni, misalnya, saat ini dipimpin oleh non-Muslim.

Senada dengan Musa'ad, menurut DR (desertasi) Toni Vm Wanggai yang
juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Yapis Jayapura, bahwa sosialisasi dan
pelurusan sejarah Islam di Papua harus dilakukan terus menerus.

Hal itu perlu dilakukan agar ummt Islam di Papua mengetahui jati diri
mereka, sekaligus menginformasikan kepada fihak lain yang belum faham, untuk
tidak menganggap kaum Muslimin sebagai 'tamu di Papua'. Muslim adalah juga
pemilik sah kawasan ini, sehingga mereka memiliki porsi keterlibatan yang
sama untuk membangun Papua. Islam hadir di Papua abad ke-XV sedang Kristen
masuk Papua pertengahan abad ke-XIX (5 Februari 1855).

Kegelisahan Toni, adalah seiring dengan adanya upaya dari kelompok
Kristen yang ingin menghapuskan jejak Islam di kawasan ini, khusunya di
kawasan Raja Ampat Di mana hama "Raja Ampat" akan dihilangkan dan diganti
dengan nama lain. Padahal, nama Raja Ampat adalah se-monumental sejarah
Papua sendiri.

"Nama Raja Ampat diambil dari eksistensi kerajaah-kerajaan Islam yang
berkuasa di kawasan Indonesia timur saat itu yakni: Ternate, Tidore, Jailolo
dan Bacan." tegas Toni yang mengambil desertasinya tentang 'Rekontruksi
Sejarah Islam Papua'.

Kendati masih sebatas wacana yang dipublikasikan di media lokal, namun
tak urung informasi nyeleneh seperti itu membuat gelisah sejumlah tokoh
Muslim.

"Itu sama dengan bunuh diri." kata M Shalahuddin Mayalibit, SH,
mengomentari gagasan itu. " Sekalipun dipublikasikan seribu kali, itu tidak
akan terwujud." kata dosen Fakultas Hukum di Universitas Cenderawasih ini
menjelaskan.

" Raja Ampat dan Muslim sudah menjadi satu kesatuan yang sulit
dipisahkan," tegas cucu Muhammad Aminuddin Arfan, tokoh Muslim dari kerajaan
Salawati yang ditugasi Raja Tidore untuk mengantar CW. Ottow dan GJ Geissler
si bapak Kristen ke Papua.

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus, peluang keterlibatan Muslim di pemerintahan semakin
terbuka lebar. (baca: Peluang dan Tantangan di Era Otonomi) Hanyasaja
diperlukan kekompakan dari segenap elememen

Muslim baik para intelaktualnya, ormas Islam, alim ulama, tokoh
pemuda, mahasiswa dan remaja, pondok-pondok pesantren, dll.

Tanpa dengan itu mereka akan tetap terpinggirkan, dan bahkan tidak
mustahil akan menjadi 'kambing hitam politik' oleh kelompok kepentingan yang
sudah lama ingin menguasai Papua(Kristen). [Ali Athwa. Penulis adalah
wartawan Majalah Hidayatullah dan penulis buku "Islam Atau Kristen Agama
Orang Irian (Papua)". Tulisan diambil dari Majalah Hidayatullah]
bersambung..

Last Updated ( Thursday, 27 November 2008 12:03 )

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article...

Islam Atau Kristen Agama Orang Papua? [2]

Written by Administrator

Friday, 28 November 2008 14:06

Pada tahun pertama penjajah Belanda di Papua, hampir seluruh tenaga
yang ditempatkan di sana adalah missionaries. Islam Atau Kristen Agama Orang
Papua? [bagian kedua]

Habis Manis Sepah Dibuang

Hidayatullah.com--Para sejarawan Barat seperti Thomas W. Arnold maupun
WC.Klein dalam bukunya "The Preaching Of Islam" dan "Neiuw Guinea"
menjelaskan bahwa Islam hadir di kawasan Papua ini 3 abad lebih dulu (1520)
dari para missionaris Kristen yang pertama yakni C.W.Ottow dan G.J. Geissler
yang mendarat di Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Februari 1855.

Uniknya kedatangan para missionaris itu justru diantar oleh tokoh
Muslim dari kerajaan Ternate dan Salawati, yang pada saat itu sangat
berpengruh di kawasan Timur Indonesia khususnya di Maluku dan Papua(baca
buku: Islam atau Kristen Agama Orang Irian? Pustaka Dai: 2004). Saat itu
setiap orang yang akan memasuki Papua harus meminta izin penguasa dari
kerajaan Muslim tersebut.

Ottow dan Geissler yang berasal dari Gereja Protestan Jerman, adalah
murid Ds. OG. Heldring yang membentuk perhimpunan "Pengijil Tukang" yakni
juru injil yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan
pertanian, pada tahun 1847.

Selain Ottow dan Geissler, delapan orang utusan di kirim oleh
institusi tersebut ke Sangir dan Talaud, sebuah kawasan di bagian utara
pulau Sulawesi Utara.

Mereka itulah missionaries-missionaris handal pada masanya, yang telah
sukses menancapakan tonggak Kristenisasi secara permanen di kawasan timur
Indonesia, khususnya Papua.

Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta kapan
kedatangan Islam di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof
den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569
pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan
terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan)

Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat,
Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar.

Begitupun adanya fakta dan data yang tak terbantahkan dengan jelas
menyebutkan bahwa, sebelum kedatangan dua orang missionaris tersebut,
beberapa daerah di Papua seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati dll
telah memeluk agama Islam.

Catatan dari Kitab Klasik

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama,
misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut: " Ikang sakasanusasanusa
Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar
muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning
angeka nusatutur".

Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain
untuk daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Semua tempat itu
berada di Kaimana, Fak-Fak.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh
Periplus Inc. Berkeley, California 1991, sebuah wadah sosial milik
misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam: Dalam kitab
Negarakertagama, di abad ke-14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, dimana di sana disebutkan dua wilayah di Irian
yakni Onin dan Seran. Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian
armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari
pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh
sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di
antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate,
Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan
pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan
di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana."

Dari data tersebut jelaslah bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit
sejumlah daerah di Papua sudah termasuk milayah kekuasaan Majapahit. Seiring
dengan runtuhnya kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai sejumlah
kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai, hingga
Thailand, hadirlah kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan sejak
zaman baru itu, atau bahkan jauh sebelumnya, pengaruh kerajaan Islam Demak
menyebar ke Papua. Melalui jalur perdagangan para saudagar dan dai Muslim
sudah berdakwah ke sana.

Bahkan menilik dari catatan di Troloyo, sebagaimana diungkapkan oleh
Prof.DR. Habib Mustopo, seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi
Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada sejak
zaman Kerajaan Majapahit.

Pada saat Majapahit eksis dakwah Islam juga sudah eksis. Apalagi
dengan diketemukanya data artefaktual yang waktunya terentang antara
1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton
Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton
Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan. Kedigjayaan Majapahit sendiri
runtuh secara total tahun 1527 M. Itu artinya, satu setengah abad sebelum
keruntuhan Majapahit Islam sudah berkembang, justru di jantung Majapahit.
Fakta ini tentu saja menepis anggapan yang ada selama ini bahwa perkembangan
dan bertumbuhan Islam, khususnya di Pulau Jawa, ada setelah keruntuhan
Majapahit. Para dai Muslim juga menyebar ke mana-mana baik yang dari tanah
Jawa maupun dari Timur Tengah termasuk ke Pulau Burung Papua.

Lalu munculah tentara kolonial Belanda. Di awal kedatangannya ke
Papua, hampir sebagian besar pasukan kolonial Belanda yang diterjunkan ke
kawasan ini adalah merangkap rohaniawan gereja(missionaries).

Catatan di bawah ini menjelaskan tentang hal itu. "Sejak tahun 1855
CW.Ottow dan GJ. Geissler menetap sebagai penyiar agama Kristen di daerah
Doreri, lambat laun jumlah golongan orang-orang Belanda di Irian
Barat(Papua) bertambah dengan para penyiar agama yang berusaha menyebarkan
agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Malah pada tahun-tahun pertama
dari masa penjajahan Belanda di Irian Barat [Papua] hampir seluruh golongan
orang-orang Belanda di daerah tersebut, terdiri dari para penyiar agama
Kristen". (Penduduk Irian Brat hal. 105)

Artinya, di samping sebagai tentara, dokter atau perawat, ya juru
rohani juga. Maka sangat wajar jika mereka dengan gigih berjuang meski
menghadapi medan yang sulit, menguasai dan mengontrol wilayah jajahan,
sekaligus mengajak warga pribumi kepada Kristen.

Terhadap penduduk pribumi mereka menanamkan mitos-mitos meyesatkan
bahwa nenek moyang mereka sesungguhnya berwarna kulit putih dan akan kembali
datang (messiah) dalam bentuk kulit putih.

Sangat jelaslah bahwa semboyan pereka (Barat) yang dikenal dengan tiga
G (Gold, Glory, Gospel; Emas, Kebebasan dan Injil) bukan lagi suatu rahasia.
Mereka dengan penuh semangat mendatangi negeri-negeri jajahan demi memenuhi
ambisinya itu. Bahkan Indonesia, bagi mereka(missionaris) disebutnya sebagai
lahan yang sangat subur untuk Injil.

Secara sistematis kemudian para zending ini bekerja menyebarkan agama
Kristen dengan melalui organisasi yang berpusat di negeri Belanda yang
benama: Utrechtsehe Zendingvereeniging. Begitu pula kemudian kegiatan yang
dilakukan oleh kaum missionaris Kristen Katolik, yang juga berpusat di
Belanda, yakni suatu ordo Franciscan di Tilberg yang merupakan suatu cabang
dari pusat missi di Vatikan yaitu: Sacra Congregatio de Propaganda
Fide.(Penduduk Irian barat hal. 344-355)

Akan tetapi nampaknya dalam proses penginjilan di Papua, para
missionaris itu mengalami ketidakakhuran.

Akhirnya mereka membagi Papua menjadi kedua wilayah penggarapan,
dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan. Pembagian
seperti itu kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda di mana di
sana diterapkan sistem seperti itu.

Menyangkut kondisi ummat Islam kalau itu, menilik penelitian
antropologis yang pernah dilakukan oleh Harsja W.Bachtiar pada tahun 1963
misalnya melaporkan sbb:

....beberapa daerah di Irian Barat(Papua) menjadi daerah kekuasaan
Sultan Tidore dan Sultan Banda. Sayang sekali karena tidak ada
peninggalan-peninggalan berupa keterangan-keterangan tertulis, kita tak
mengetahui bilamana dan di mana didapati pula orang-orang Indonesia yang
berasal dari pulau-pulau Indonesia di luar wilayah Irian barat(Papua). Pada
umumnya mereka menganut agama Islam.

Lain halnya dengan penyebaran para pendatang yang non-Muslim, laporan
tersebut memberikan gambaran yang sedikit jelas dengan melaporkan antara
lain sbb:

"Sejak diadakan usaha-usaha menyiaran agama Nasrani di Irian
Barat(Papua.pen) oleh penyiar-penyiar agama dari Negeri Belanda jumlah orang
Indonesia bukan pribumi bertambah di Irian Barat(Papua.pen), karena
penggunaan tenaga-tenaga kerja yang berasal dari pulau-pulau sekitarnya
untuk membantu para penyiar agama, terutama sebagai guru sekolah dan
perawat. Banyak orang-orang yang menganut agama Nasrani ini didatangkan dari

pulau-pulau Maluku seperti Kei, Ianimbai, Banda dan Sangir."

Tentang komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua, berdasarkan catatan
yang dibuat tahun 1963, di dapat angka-angka sebagai berikut:

Kristen Protestan................... 130.000

Katolik Roma.......................... 47.000

Islam....................................... 11.000

Agama Tionghoa.................... 3.000

Agama-agama pribumi. ...... 500.000

Terhadap data dan komposisi ragam pemeluk agama tersebut, laporan itu
memberikan penjelasan: Angka-angka 500.000 yang menunjukkan jumlah penganut
agama-agama pribumi bukanlah angka pasti, karena didasarkan atas taksiran
jumlah orang-orang pribumi di daerah pedalaman yang berada di bawah
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru (kini Jayapura).

Golongan penganut agama Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah
yang pernah dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut
agama Katolik Roma terutama didapati di daerah pantai selatan. Golongan
penganut agama Islam amat banyak di daerah semenanjung Doreri dan Merauke,
sedangkan golongan menganut agama Tionghoa didapati diberbagai tempat.

Tentang kesulitan melacak gerakan dakwah Islam di Papua, juga
dimungkinkan oleh faktor internal ummat Islam sendiri, yaitu karena faktor
kurang terbiasanya ummat Islam setempat melakukan pencatatan yang menyangkut
kegiatan mereka. Berbeda dengan para missionaris Belanda.

Secara rutin dan teliti mereka mendata jumlah penduduk setempat agar
dapat mengikuti perkembangan jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing.
Kaum missionaris memiliki "Buku Jiwa" sedang kaum Zending memelihara "Buku
Serani" yang berisi catatan tentang penduduk di wilayah kerjanya itu. Dari
catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah oleh pusat-pusat organisasi
mereka.

Air Susu Dibalas dengan Pengusiran Mengenai bagaimana watak dan corak
pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dalam hubungannya dengan
persoalan agama, telah menjadi pengetahuan umum yang luas. Mereka menekan
dan memenjarakan tokoh-tokoh Islam di tanah Papua. Sebutlah misalnya Alwi
Racham dan Raja M Rumangseng Al-Alam Umar Sekar yang berasal dari daerah
Kokas. Beliau bersama pejuang Papua lainnya seperti Silas Papure, Markus
Indeu, Lukas Rumkorem memperjuangkan Papua dari cengkeraman penjajahan
Belanda. Mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Kolonial Belanda
karena tidak mau dibujuk untuk menyerahkan uang tambang minyak kepada
Belanda

Bahkan mereka tidak segan mengusir atau membuang tokoh-tokoh Muslim.
Muhammad Aminuddin Arfan seorang tokoh Muslim dari Kerajaan Islam Salawati
yang turut mengantar kedatangan OC.Ottow dan GJ.Geissler -Sang Bapak Gereja
di Papua--di Pulau Mansinam, dibuang dan diasingkan ke Maros karena
menentang penjajahan Belanda dan meninggal di sana. Habis manis sepah
dibuang.

Muhammad Aminuddin Arfan adalah orang penting di Kerajaan Salawati. Ia
adalah adik kandung Raja Salawati. Pada saat itu Kerajaan Salawati merupakan
bagian dari kekuasaan kerajaan Islam Ternate. Sesuai prosedur wilayah,
setiap tamu yang akan berkunjung ke Papua, mereka harus minta izin ke
penguasa kawasan di Salawati yang merupakan bagian kekusaan Ternate. Itu
pula yang dilakukan Kerajaan Ternate. Sembari membawa dua orang missionaris
berkebangsaan Jerman, Ottow dan Geissler dengan kapal khusus berwarna putih,
utusan

Kerajaan Ternate pamit dulu dengan Penguasa Kerajaan Salawati,
sekaligus meminta beberapa orang untuk mendampingi missionaris yang akan
melakukan tugas penginjilan di pulau Mansinam, Manukwari.

Pulau Mansinam dipilih lantaran dianggap masih dihuni mayoritas
Animisme. Setelah dua bulan "memperkenalkan" Ottow dan Geisler kepada
kepala-kepala adat, barulah Muhammad Aminuddin Arfan kembali ke Salawati.

Ironisnya, selang berapa waktu setelahnya, Muhammad Aminuddin Arfan
yang memang anti Belanda ditangkap dan diasingkan di Maros. Beliau tidak
diperkenankan pulang, dan dibiarkan di sana hingga wafatnya. Di sinilah
liciknya para penjajah Salibis. Ditulung malah Mentung (dibantu malah
melukai), kata peribahasa Jawa. Air susu dibalas dengan air tuba.

Mungkin karena keadaan yang demikian itulah maka perkembangan dakwah
Islam di Papua menjadi amat lambat, bahkan mungkin (pernah) terhenti sama
sekali.

Apalagi yang menyentuh masyarakat pedalaman yang notabene terhadap
penduduk asli. [Ali Athwa. Penulis adalah wartawan Majalah Hidayatullah dan
penulis buku "Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)". Tulisan
diambil dari Majalah Hidayatullah]

--

Nov 25, 2008

MUSLIM DI NEGERI KANGGURU

Oleh: Mukhlison S. Widodo

Australia memiliki sejarah panjang dalam interaksinya dengan Islam.
Resistensi warga mayoritas masih tinggi. Sementara warga muslimnya
terkotak-kotak menurut komunitas etnisnya.

Bagi Susan Carland, penduduk Australia masih menganggap wanita berjilbab itu
aneh. Orang-orang selalu berpikir kita itu alien. Padahal jilbab kan hanya
sebuah bahan biasa, seperti kaos, jilbab tidak memiliki kekuatan
sihir, katanya.

Itulah yang dirasakan Susan, selama dia menjadi muslimah di Australia.
Padahal dia seorang kulit putih yang lahir di Australia, dan menjadi muslim
sejak 20 tahun lalu. Namun, sejak bulan mei lalu, dosen di School of
Political and Social Inquiry di Monash University ini bisa memulai kampanye
bagaimana sesungguhnya kehidupan seorang muslim.

Adalah sebuah stasiun televisi di Australia, SBS TV yang merilis sebuah
acara baru berjudul Salam Cafe. SBS TV adalah sebuah stasiun televisi yang
peduli dengan isu-isu pluralisme dan minoritas.

Acara Salam Cafe ini dikemas dalam format perbincangan santai, penuh humor.
Mengangkat berbagai hal yang sedang menjadi isu hangat di kalangan muslim
minoritas. Selain juga memotret berbagai aktivitas kehidupan pemuda muslim
Australia. Melakukan wawancara di jalanan kota-kota Australia. Bertanya
kepada warga sejauh mana mereka mengenal Islam.

Dan di sini Susan menjadi salah satu penelis tetapnya. Setiap hari rabu,
pukul 10 malam, Salam Cafe menjadi sebuah acara untuk meluruskan
kesalahpahaman yang banyak dihadapi kaum muslim Australia. Untukku, adalah
sangat penting bahwa pertunjukan ini adalah tentang muslim. Ini menyatakan
bahwa kita bukanlah dari planet Islam, kata Susan.

Memang, semenjak peristiwa World Trade Centre (WTC) 11 September 2001, juga
bom Bali 2002 dan 2005, yang kebanyakan korbannya adalah warga Australia,
membuat wajah Islam di Australia berubah menjadi buruk. Muslim di Australia
yang minoritas itu pun dicurigai, dan dianggap semuanya adalah teroris.

Meski sekarang suasana sudah berubah. Setelah adanya pergantian kepemimpinan
di sana. Partai Liberal dengan Perdana Menterinya John Howard yang terlalu
kaku dalam bersikap soal kebebasan memeluk agama khususnya bagi muslim itu
kini sudah berganti. Partai Buruh, dengan Perdana menteri yang baru, Kevin
Rudd lebih longgar dalam menerapkan kebijakan soal kebebasan beragama ini.

Seorang mahasiswa asal Indonesia yang sudah sejak tahun 2004 bermukim di
Australia, Velix Wanggai juga merasakan perubahan itu. Meski dari pihak
muslim sendiri juga perlu berbenah diri dan tidak bersikap eksklusif.
Beberapa yang punya aliran fundamental, memang terkadang menimbulkan
permasalahan, katanya.

Menurut Velix, sekarang ini, islamphobia yang terjadi di negara benua ini
sudah mulai pudar. Keinginan dari warga non muslim untuk mempelajari Islam
juga mulai tumbuh. Sementara pemerintah Australia juga mendukung adanya
pembauran di semua golongan warganya.

Memang masih ada beberapa penolakan masyarakat terhadap simbol-simbol Islam.
Kasus paling baru, pada mei lalu, warga kota Camden, New South Wales,
menolak didirikannya sebuah sekolah Islam di sana.

Maka, seorang pemuda dengan wajah timur tengah, lengkap dengan sorban, dan
peci, serta jenggot panjangnya berkeliling kota Camden. Bertanya kepada
setiap orang yang ditemui. Mereka yang non muslim itu ditanyai soal
pengetahuannya tentang Islam. Juga diminta untuk mendukungnya dalam
pembangunan sekolah muslim di Camden.

Si pemuda, yang bernama Uncle Sam ini adalah pembawa acara Salam Cafe.
Akhirnya dia bertemu walikota Camden, Chris Patterson. Dengan gaya gaul
Uncle Sam berbincang tentang permasalahan hangat di kota kekuasaan Chris
itu.

Chris pun menjelaskan kalau penolakan itu bukan berlatar belakang politis
atau karena agama. Ini semua karena masalah tata kota. Begitulah, sebuah
perbincangan cair yang disiarkan oleh SBS TV dalam acara Salam Cafe. Memang
diharapkan acara-acara seperti ini bisa menjembatani kebuntuan komunikasi
antara warga mayoritas dan minoritas di Australia.

Profesor Kevin Dunn dari Universitas of Western Sydney mengakui bahwa ada
gejala yang ia sebut sebagai akumulasi dari Islamofobia di Australia, suatu
hal yang sudah umum terjadi di negara-negara Barat.

Dunn dalam penelitiannya telah melakukan survei untuk memetakan sikap
orang-orang Australia terhadap Islam. Hasilnya, sekitar sepertiga orang
Australia tidak tahu sama sekali tentang Islam. Hanya separo orang Australia
tahu sedikit tentang Islam. Secara keseluruhan, menurut hasil pemetaan yang
dilakukan Dunn, 8 dari 10 orang Australia benar-benar tidak tahu tentang
Islam.

Padahal sesungguhnya Islam di Australia sendiri sudah ada sejak sekitar abad
17. Orang Indonesia adalah yang pertama kali menyebarkan agama samawi ini di
negeri kangguru ini. Fakta ini merupakan hasil kajian seorang dosen
Universitas Griffith, Brisbane, Australia. Prof. Regina Ganter. Ia
membuktikan agama Islam masuk ke Australia sejak 1650-an dan bukan 1850-an
yang merupakan versi resmi Pemerintah Australia.

Orang Indonesia itu adalah pelaut-pelaut Makassar yang menjalin hubungan
dengan penduduk asli Australia, suku Aborigin. Para pelaut ini sering
mencari Teripang di Pantai Utara Australia. Gelombang besar lainnya, siar
Islam di Australia adalah kedatangan para peternak unta dari Afghanistan dan
Pakistan.

Mereka juga dipekerjakan pemerintah Inggris pada pembangunan rel kereta api
dari Port Augusta ke Alice Springs, dan pembangunan kabel telepon antara
Darwin dan Adelaide pada tahun 1870. Kondisi lingkungan di Australia
hampir sama dengan alam di Afganistan dengan gurun-gurunnya, kata Velix.

Dan sambil membangun sarana transportasi dan komunikasi itu, para pekerja
Afghan ini membangun tempat ibadah mereka, yang menjadi masjid pertama di
Australia pada tahun 1888 di kota Adelaide.

Bila dipetakan, tahap awal Islam masuk ke Australia adalah berada di daerah
pesisir utara, yang berasal dari pelaut Indonesia, dan bagian tengah
Australia digerakkan oleh para pekerja Afghanistan dan Pakistan.

Selain muslim dari Asia, Australia juga diserbu oleh imigran muslim dari
Turki dan Libanon. Mereka datang pada dekade tahun 60-an hingga 70-an.
Pemerintah waktu itu membuka lebar-lebar pintu migrasi tenaga kerja ke sana.


Selain para pelaut dan pekerja, komposisi muslim di Australia ditambah
dengan para pelajar. Seperti dari Malaysia, Indonesia, Banglades, juga
negara-negara persia. Mereka tinggal di pusat pendidikan Australia seperti
Brisbane, Sydney, Melbourne, dan Perth.

Dan pemerintah Australia juga membuka negerinya untuk menjadi tempat
penampungan para pengungsi muslim. Seperti dari Somalia, Sudan, Irak, dan
Iran. Diperkirankan dari 21 juta penduduk Australia, 1,5% hingga 2% adalah
muslim,

Saat ini, ditinjau dari segi latar belakang suku bangsanya, muslim
Australia paling tidak terdiri dari 37 etnis. Mayoritas mereka tinggal di
dua kota bisnis terbesar yakni Sydney dan Melbourne. Kota-kota ini
merupakan kota bisnis, yang menarik para muslim yang memang mata
pencariannya berdagang, kata Velix yang saat ini sedang mengambil doktor
ilmu politik di Australian National University, Canberra.

Menurut sensus tahun 2006, ada lebih dari 350 ribu muslim di Australia, 130
ribu diantaranya lahir di Australia. Paling banyak adalah warga keturunan
Afghanistan, ada sekitar 16 ribu orang, disusul Pakistan 18 ribu orang,
kemudian Bangladesh 13 ribu orang, Iraq 10 ribu orang, dan Indonesia 9 ribu
orang.

Di Melbourne, komunitas muslim terbesar di sana adalah orang Turki dan etnis
Albania. Sementara muslim dari negeri Arab kebanyakan tinggal di Sydney.
Kota Perth juga merupakan tempat komunitas muslim yang besar. Di daerah
Thornlie ada masjid agung dan Australian Islamic College, yang menampung
2.000 mahasiwa.

Banyaknya kantong muslim di Australia, juga menyebabkan mereka
terkotak-kotak. Mereka punya masjid sendiri, juga komunitas sendiri, kata
Velix yang pernah menjadi Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia
periode 2004-2006 ini.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...