May 30, 2009

Menata Ulang Organisasi Daerah di Papua


Oleh: Velix.V.Wanggai
Direktur Eksekutif Institute for Regional Institutions And Networks (IRIAN)

Dari angin yang berhembus lembut di ufuk timur Indonesia, kita mendengar, melihat, dan membaca bagaimana sibuknya kepemimpinan Gubernur Bas Suebu dan Wakil Gubernur Alex Hasegem membolak-balik sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2001 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP No. 41 Tahun 2001), dan mereka secara rutin melakukan konsultasi dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Tentu saja, penataan struktur organisasi ini memiliki pengaruh bagi kocok ulang ’kabinet’ di Pemerintah Provinsi Papua. Terbitnya PP No. 41 Tahun 2007 ini bermaksud untuk menggantikan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Karena PP No. 8 Tahun 2003 ini dianggap belum cukup memberikan pedoman yang menyeluruh terhadap penyusunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah serta pengelolaan urusan pemerintahan. Lagi pula, lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membutuhkan langkah-langkah penyesuaian yang lebih teknis di berbagai level pemerintahan.

Pertanyaan yang hadir saat ini adalah, apakah ada perlakuan khusus (special treatment) yang diberlakukan kepada Provinsi Papua dalam proses perancangan struktur organisasi ini? Mengapa pertanyaan ini muncul, karena sejak tahun 2001 manajemen pemerintahan di Papua telah dikelola dalam payung Otonomi Khusus. Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk membedah PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, dan bagaimana relevansinya dengan konteks pemerintahan di tanah Papua? Harapannya adalah agar payung Otonomi Khusus bagi Papua dapat berjalan secara efektif dengan struktur organisasi yang dirancang secara khusus dan berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Republik ini.

Organisasi Perangkat Daerah

Kita memahami bahwa mengelola otonomi asimetris seperti yang terjadi di tanah Papua membutuhkan prasyarat struktur perangkat organisasi yang relevan dan juga membutuhkan kapasitas birokrasi yang memiliki hati untuk membangun ’raksasa yang sedang tidur’ ini. Elemen-elemen dari birokrasi pemerintahan dituntut untuk mengelola kewenangan dan urusan pemerintahan, baik yang bersifat urusan wajib maupun urusan pilihan. PP No. 41 Tahun 2007 telah memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah tentang bagaimana menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan dari masing-masing daerah.

Menyimak PP No. 41 Tahun 2007, regulasi ini mengatur beberapa aspek penting, yaitu: (1) pembentukan organisasi perangkat daerah; (2) kedudukan, tugas, dan fungsi perangkat daerah provinsi/kabupaten/kota; (3) besaran organisasi dan perumpunan perangkat daerah; (4) susunan organisasi perangkat daerah; (5) esalon perangkat daerah; (6) staf ahli; dan (7) pembinaan dan pengendalian organisasi.

Dari sisi kedudukan, tugas, dan fungsi, terdapat 6 (enam) perangkat daerah di tingkat provinsi, yakni Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilaan Rakyat Daerah, Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, diatur pula penatan kecamatan dan kelurahan.

Apa yang membedakan antara Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Secara jelas, PP No. 41 Tahun 2007 memaknai kedua institusi ini secara berbeda. Dinas adalah unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh Kepala Dinas, dan bertujuan untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. Di internal Dinas dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas guna melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasionl dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai satu atau beberapa daerah kabupaten/kota.

Sedangkan, Lembaga Teknis Daerah berbeda dengan Dinas. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang bersifat spesifik. Ia dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit, yang dikomandani oleh kepala badan, atau kepala kantor, maupun direktur rumah sakit. Sama halnya dengan dinas, maka Lembaga Teknis Daerah juga dapat membentuk unit pelaksana teknis tertentu.
Dalam konteks Papua, salah satu contoh dari Lembaga Teknis Daerah adalah Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri. Sebuah institusi yang bertujuan untuk mengelola urusan-urusan perbatasan antarnegara dalam berbagai aspek kerjasama. Berbeda dengan provinsi lainnya di Tanah Air, lembaga ini adalah satu-satunya badan khusus perbatasan yang dibentuk dan bertujuan untuk mengelola berbagai aspek dalam pembangunan perbatasan antarnegara, terutama antara negara Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).

Ukuran Organisasi: Berbeda antara Jawa dan Luar Jawa

Ada beberapa faktor utama yang berpengaruh dalam menentukan besar kecilnya organisasi perangkat daerah. Hal ini meliputi faktor keuangan, kebutuhan daerah, ruang lingkup tugas, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah, dan sarana serta prasarana penunjang tugas.

Secara khusus pasal 19 PP No. 41 Tahun 2007 menguraikan 3 (tiga) variabel penentu format organisasi, yaitu: Pertama, jumlah penduduk. Kedua, luas wilayah. Ketiga, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terkait dengan variabel tersebut, tampaknya Pemerintah menunjukkan komitmennya untuk bersikap adil dan proporsional dalam menentukan struktur organisasi di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa.
Pertama, dalam hal jumlah penduduk di pulau Jawa, kelas interval dari populasi terhitung dari yang kurang atau sama dengan 7,5 juta jiwa hingga lebih dari 30 juta jiwa. Nilainya dihitung dari 8 hingga 40 poin. Sedangkan kelas interval dari jumlah penduduk di luar Pulau Jawa lebih kecil dari ukuran penduduk di Pulau Jawa. Kelas intervalnya bertolak dari 1,5 juta jiwa hingga lebih besar dari 6 juta jiwa.

Kedua, luas wilayah pun memiliki ukuran yang berbeda antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Di Jawa, kilometernya diukur dari 10.000 km2 sampai lebih dari 40.000 km2, Sedangkan di luar Pulau Jawa, luas wilayah dihitung sejak 20.000 km2 hingga lebih dari 80.000 km2.
Ketiga, terkait dengan variabel keuangan regional, tidak ada perbedaan antara Jawa dan luar Jawa sehingga kelas interval yang dibuat sama antara Jawa dan luar Jawa. Kelas interval terkecil dari jumlah APBD adalah sebesar Rp. 500 milliar hingga APBD yang berjumlah lebih dari Rp. 2 Triliun. Ukuran Rp. 500 Milliar hanya bernilai 4 poin, sedangkan APBD yang berjumlah Rp. 2 Triliun dinilai sebesar 25 poin.

Bagaimana dengan jumlah atau ukuran dari organisasi perangkat daerah? PP No. 41 Tahun 2007 mengklasifikasi 3 (tiga) ukuran organisasi. Pertama, jumlah organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40, maka jumlah organisasinya terdiri dari: (a) Sekretariat Daerah, terdiri dari paling banyak 3 Asisten; (b) Sekretariat DPRD; (c) Dinas paling banyak berjumlah 12 dinas; dan (d) Lembaga teknis daerah paling banyak 8 lembaga.

Kedua, jumlah organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40 sampai dengan 70 poin, terdiri dari: (a) Sekretariat Daerah, terdiri dari paling banyak 3 Asisten; (b) Sekretariat DPRD; (c) Dinas paling banyak 15 dinas; dan (d) Lembaga teknis daerah paling banyak 10 lembaga.
Sedangkan, ketiga, adalah jumlah organisasi perangkat daerah dengan nilai lebih dari 70 poin, terdiri dari: (a) Sekretariat Daerah, terdiri dari paling banyak 4 Asisten; (b) Sekretariat DPRD; (c) Dinas paling banyak 18 dinas; dan (d) Lembaga teknis daerah paling banyak 12 lembaga.

Urusan Pemerintahan dan Struktur Organisasi

Melalui PP No. 41 Tahun 2007 ini, tampaknya Pemerintah Pusat mencoba untuk mengklasifikasi berbagai rumpun urusan pemerintahan guna diselaraskan dengan urusan Dinas dan Lembaga teknis daerah. Dalam hal rumpun-rumpun kedinasan, ada 12 rumpun urusan, yaitu: (1) pendidikan, pemuda, dan olah raga; (2) kesehatan; (3) sosial, tenaga kerja dan transmigrasi; (4) perhubungan, komunikasi, dan informatika; (5) kependudukan dan catatan sipil; (6) kebudayaan dan pariwisata; (7) pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan tata ruang; (8) perekonomian mencakup koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, industri dan perdagangan; (9) pelayanan pertanahan; (10) pertanian meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat, kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan; (11) pertambangan dan energi; dan (12) pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.

Di sisi lain, ada 12 rumpun urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan rumah sakit. Hal itu meliputi: (1) perencanaan pembangunan dan statistik; (2) penelitian dan pengembangan; (3) kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat; (4) lingkungan hidup; (5) ketahanan pangan; (6) penanaman modal; (7) perpustakaan, arsip, dan dokumentasi; (8) pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa; (9) pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana; (10) kepegawaian, pendidikan, dan pelatihan; (11) pengawasan; dan (12) pelayanan kesehatan.

Tentu saja, penataan Dinas dan Lembaga teknis daerah berpengaruh bagi perubahan jumlah kepala dinas/lembaga teknis (esalon II a dan II b), kepala bagian dan kepala bidang (esalon III a dan III b), maupun kepala seksi, kepala subbagian, dan kepala subbidang (esalon IV a dan IV b). Dari bincang-bincang informal dengan sejumlah birokrat di Provinsi Papua, saat ini suasana di lingkungan birokrasi diwarnai oleh ketidakpastian dalam hal posisi di lingkungan dinas atau lembaga teknis, sehingga menimbulkan suasana kerja yang kurang kondusif di kalangan birokrat.

Menata Ulang Organisasi yang Khas Papua

Dalam konteks paradigma pembangunan, struktur organisasi yang dibangun di lingkungan pemerintahan daerah tentunya memiliki hubungan yang erat dengan visi, misi, dan kebijakan nasional dan masing-masing daerah. Di situ ada korelasi positif antara ruang lingkup organisasi birokrasi dan skenario pembangun ke depan.

Wilayah Provinsi Papua seluas 317.062 Km2 atau dalam konteks PP No. 41 Tahun 2007, Provinsi Papua memiliki nilai yang setara dengan 35 poin. Jumlah penduduk sebanyak 1,8 juta jiwa di tahun 2005 (atau setara dengan 16 poin), dan jumlah APBD yang besarnya lebih dari Rp. 4 Triliun (atau setara dengan 25 poin). Varibel luas, jumlah penduduk, dan jumlah APBD memberikan gambaran kepada kita bahwa poin yang dimiliki oleh Papua adalah sebesar 76 poin. Jika mengacu pada Pasal 20 PP No. 41 Tahun 2007, maka struktur organisasi di Provinsi Papua dapat meliputi : Pertama, Sekretariat Daerah (Sekda), terdiri dari paling banyak 4 (empat) Asisten. Kedua, Sekretariat DPRD. Ketiga, Dinas paling banyak berjumlah 18 dinas. Dan keempat, Lembaga teknis daerah paling banyak 12 lembaga.

Masing-masing Asisten Sekda memiliki 3 Biro, dimana masing-masing Biro memiliki Bagian paling banyak 4 Bagian, dan masing-masing Bagian terdiri dari 3 Sub-bagian. Di tingkat Dinas, terdiri dari 1 Sekretariat dengan 4 Bidang paling banyak, dan Sekretariat terdiri dari 3 Sub-bagian, dan masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 Seksi.
Sedangkan Lembaga Teknis Daerah, khususnya Badan, memiliki 1 Sekretariat dan paling banyak 4 bidang, Sekretariat terdiri dari 3 Subbagian, dan masing-masing Bidang terdiri dari 2 Sub-bagian atau kelompok jabatan fungsional.
Selain itu, PP No. 41 Tahun 2007 memberikan kesempatan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Papua untuk memiliki Staf Ahli yang jumlahnya paling banyak 5 (lima) Staf Ahli. Mereka ini diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Tugas yang diberikan kepada Staf Ahli bersifat eksternal atau di luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Staf Ahli gubernur merupakan jabatan struktural Esalon IIa dan Staf Ahli Bupati/Walikota merupakan jabatan Struktural Esalon IIb.
Kita semua menyadari bahwa penataan organisasi maupun perubahan di tubuh ’Kabinet’ Provinsi Papua butuh pertimbangan yang komprehensif. Tentu, ada reposisi jabatan, jabatan yang hilang, restrukturisasi organisasi, pergeseran jabatan, maupun promosi. Bagi penulis, penataan organisasi tidak bisa hanya diukur dari kategorisasi rumpun urusan kewenangan saja, maupun dengan pertimbangan rasionalitas struktur birokrasi. Namun lebih dari itu, perubahan organisasi perlu mempertimbangkan rasa psikologis dan perubahan kultur di tubuh birokrasi sendiri. Memang tidak mudah, namun dengan kekhususan dalam payung Otonomi Khusus, nampaknya penataan ulang organisasi perangkat daerah di level Provinsi maupun di Kabupaten/Kota, mesti mendapat perlakuan khusus dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.

Demikian pula, tak bisa dipungkiri bahwa ada suasana kekhawatiran dan ketidakpastian yang berkembang di tubuh birokrasi di Provinsi Papua. Perasaan was-was ketika struktur diubah dan diciutkan, dan hilanglah jabatan yang selama ini disandang oleh elite-elite Papua. Tentu saja, suasana ini akan menyebabkan ketidakpastian akan kinerja di masing-masing unit satuan kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi.

Karena itu, diperlukan kesepakatan antara Pemerintah Provinsi dan Komisi A DPRP untuk menetapkan desain restrukturisasi organisasi yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kondisi wilayah di tanah Papua. Sejak awal, pihak Sekretaris Daerah Provinsi Papua perlu untuk melakukan sosialisasi atas rancangan struktur baru kepada seluruh jajaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dengan demikian, para birokrat mengetahui secara langsung dan memahami rancangan struktur baru, dan ini dapat mengurangi informasi yang bias dari laporan media massa atau selentingan yang tidak berdasar.

Perlunya Lembaga-lembaga Khusus

Diperlukan inisiatif dan gagasan baru dari Pemerintah Provinsi Papua dalam merancang strukur organisasi yang baru ini. Payung UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan jalan yang tepat sebagai justifikasi dalam memasukkan desain posisi-posisi baru dalam organisasi daerah.

Jika PP No. 41 Tahun 2007 mengijinkan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memiliki Staf Ahli, maka Kepala Dinas atau Kepala Badan perlu juga memiliki Staf Ahli atau Staf Khusus atau dengan nama lainnya. Staf Ahli/Khusus ini ditunjuk dan ditetapkan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan mereka berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Ini sebagai langkah untuk mengakomodasi pegawai-pegawai senior yang memiliki pangkat yang cukup dan keahlian yang sesuai dengan bidangnya. Mereka bertugas untuk memberikan nasehat dan masukan atau rekomendasi kebijakan (policy recommendation) atas urusan-urusan tertentu yang terkait dengan pengembangan sektor-sektor strategis di tanah Papua. Dalam beberapa hal, Kepala Dinas/Badan dapat menugaskan tugas-tugas khusus kepada Staf Ahli untuk bertanggung jawab terhadap suatu program tertentu.

Misalnya saja, di tubuh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua, perlu dibentuk Staf Ahli Urusan Pendidikan Asrama. Di Dinas Kesehatan perlu dibentuk Staf Ahli Urusan Penanggulangan HIV/AIDS. Di Dinas Pekerjaan Umum dibentuk Staf Ahli Urusan Pengembangan Masyarakat dan Pembangunan Infrastruktur Kampung. Di Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan dapat dibentuk Staf Ahli Urusan Energi Alternatif (untuk intensifikasi jagung, tebu, kedelai, kelapa sawit dan sebagainya). Ini hanya sekedar contoh bahwa Pemerintah Provinsi Papua memiliki kekhususan untuk menciptakan perangkat-perangkat daerah yang baru guna menyelesaikan persoalan-persoalan khusus dan strategis yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Papua.

Intinya, Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mesti mengusulkan kepada Pemerintah Pusat bahwa perlu ada kebijakan khusus (affirmative action) dalam menerapkan PP No. 41 Tahun 2007 di Tanah Papua, dan dimungkinkannya pembentukan lembaga-lembaga khusus dalam payung UU No. 21 Tahun 2001. Ini pula terkait dengan kebijakan khusus perihal sistem kepangkatan, jabatan, dan struktur gaji dari sumber daya aparatur di lembaga-lembaga khusus tersebut.

Penyelesaian Konflik Papua dalam Konteks Otonomi Khusus

Oleh: Velix V. Wanggai
Direktur Eksekutif Institute for Regional Institutions And Networks (IRIAN)

Beberapa minggu terakhir ini situasi sosial politik di Bumi Cenderawasih cukup menyita perhatian kita. Di tengah-tengah perhelatan pesta demokrasi, kita dikejutkan oleh serangkaian peristiwa yang mengganggu perdamaian di Tanah Papua. Papua sebagai ‘Tanah Damai’ yang selalu digaungkan oleh tokoh-tokoh Papua telah ternoda.
Serentetan kejadian ini cukup menyibukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hari-hari pasca penyontrengan pada 9 April lalu. Presiden pun mengkonsolidasikan jajarannya terutama mereka yang mengurusi politik, hukum dan keamanan. Setelah rentetan kejadian tersebut, nun jauh di Washington, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan pemerintahan Presiden Barack Obama akan meminta sebuah otonomi yang lebih besar bagi Papua (www.republika.co.id/24/4/2009). Pernyataan Menlu Hillary ini dikeluarkan untuk merespon desakan dari seorang delegasi tanpa suara asal Samoa di Kongres, Eni F.H Faleomavaega, yang selama ini begitu getol menyuarakan agenda Papua.

Soal Ketidakadilan

Mengapa konflik atau tindakan kekerasan masih saja terjadi di Papua? Tentu saja, ada soal yang melatari konflik dan tindak kekerasan tersebut.
Dalam sebuah laporan yang berjudul Peace and Development Analysis in Indonesia, yang disusun oleh CPRU-UNDP, BAPPENAS, CSPS UGM, LabSosio dan LIPI (2005), mengurai konteks nasional sejak tahun 1998 yang sedikit banyak berpengaruh bagi munculnya konflik atau kekerasan, termasuk format penyelesaian konflik tersebut di Papua.
Dalam konteks rejim Orde Baru, konteks politik diwarnai oleh kontrol politik yang sentralistik, sistem patronase yang kuat, sentralisasi pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam maupun migrasi internal yang terjadi dalam skala besar. Kondisi ini menyebabkan ketidakadilan sosial, ekonomi, politik maupun kesenjangan budaya dan identitas. Dari sisi ekonomi misalnya, walaupun pendapatan perkapita provinsi Papua terlihat tinggi dalam konteks nasional, tetapi kenyataannya tingkat kemiskinan di wilayah Papua lebih tinggi diatas rata-rata nasional. Kondisi ketidakadilan ini ternyata saling bersinggungan dengan ideologi dan aspirasi separatis yang telah hidup di beberapa daerah seperti di Aceh dan Papua, termasuk di dalam menggugat sejarah integrasi Papua (SKP Keuskupan Jayapura, 2006). Jika soal ketidakdilan ini tidak diselesaikan dan dikelola secara tepat, ini dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal atau tindak kekerasan ditengah-tengah masyarakat yang berbeda latar belakang. Juga, dari sisi konflik vertikal, soal ketidakadilan dapat dijadikan justifikasi bagi perlawanan vertikal terhadap pemerintah pusat.

Otonomi Asimetris bagi Papua

Dengan setting politik yang terjadi seperti itu, maka pilihan politik yang ditempuh di awal reformasi adalah politik otonomi yang bersifat asimetris yang memberi kewenangan khusus dan luas bagi Papua. Jalan tengah ini diwujudkan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-undang ini mengakui akar persoalan yang dialami Papua selama ini, yaitu soalnya ketidakadilan, rendahnya penegakkan hukum, dan perlunya penegakkan Hak Asasi Manusia.
Karena itu, Otonomi Khusus merupakan kewenangan khusus dan kewenangan yang lebih luas yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, serta pengakuan terhadap eksistensi hak-hak adat dan identital lokal. Salah satunya adalah dibentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai sebuah lembaga representasi kultural yang mengakomodasi wakil-wakil dari kaum adat, perempuan, dan agama.
Selain corak politik yang akomodatif dan rekonsiliatif, ternyata Undang-undang ini merubah pola hubungan keuangan antara Papua dan Jakarta ke arah lebih memihak Papua. Dalam tujuh tahun terakhir ini, ‘subsidi’ pusat ke Papua meningkat cukup drastis dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Tahun 2008 lalu, total dana yang berasal dari berbagai lintas sumber pembiayaan telah mengalir ke Tanah Papua (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat) sebanyak Rp. 28 trilliun (Bappenas, 2008).
Namun, besarnya dana ternyata tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan rakyat maupun meredahnya konflik vertikal atau tindak kekerasan. Mengapa? Penulis melihat hal ini disebabkan oleh ketidaksungguhan kita dalam melaksanakan pasal demi pasal dari UU No. 21/2001. Juga adanya strategi perencanaan anggaran yang lemah serta manajemen pemanfaatan dana yang relatif kurang menyentuh kebutuhan nyata orang asli Papua. Akibatnya UU No. 21/2001 berjalan tertatih-tatih. Elite-elite daerah juga disibukkan dengan berbagai persoalan politik yang bersifat simbolistis ketimbang hal-hal bersifat substansial dalam merumuskan dan menetapkan sejumlah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang terkait dengan penjabaran kewenangan khusus.
Belum lagi, perbedaan persepsi terus terjadi dalam melihat kebijakan pemekaran provinsi. Mengingat hingga saat ini Pemerintah Provinsi Papua tidak memiliki desain besar (grand design) pemekaran provinsi, sehingga berakibat pada munculnya pro dan kontra di kalangan elite dan masyarakat dalam memperdebatkan wacana dan aspirasi pembentukan provinsi baru. Demikian pula, hingga awal tahun 2009 ini, telah berdiri 40 kabupaten/kota di seluruh pelosok Tanah Papua. Hal ini memberikan pekerjaan rumah tersendiri dalam mengelola penataan institusi pemerintahan lokal, mengatur pola dan hubungan kerja antara provinsi dan kabupaten/kota, menyelesaikan konflik atas batas wilayah administrasi, serta menyusun strategi pembangunan wilayah lintas kabupaten/kota.

Mengelola New Deal for Papua

Mencermati konteks internasional, nasional, dan daerah yang terjadi dan untuk mengantisipasi tantangan ke depan, tampaknya diperlukan beberapa langkah strategis yang tepat untuk menyelesaikan masalah Papua dalam koridor Otonomi Khusus.
Pertama, sadar akan lambatnya pelaksanaan otonomi khusus, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Inpres ini berguna untuk mengoptimalkan pelaksanaan UU No. 21/2001 terutama yang terkait dengan strategi pembangunan Papua. Inpres ini mengintrodusir ‘kesepakatan baru’ bagi Papua (new deal for Papua) yang memuat lima kebijakan prioritas, yakni: (1) penanganan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan; (2) peningkatan penyelenggaraan pendidikan; (3) peningkatan pelayanan kesehatan; (4) pengembangan infrastruktur terutama di daerah-daerah pedalaman dan perbatasan; serta (5) perlakuan khusus (affirmative action) bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli Papua. Kebijakan khusus diarahkan bagi perluasan partisipasi kader-kader Papua di dunia birokrasi di tingkat nasional, TNI dan Polri, maupun pengembangan keahlian khusus bagi kaum muda Papua.
Kedua, diperlukan evaluasi yang bersifat komprehensif terhadap pelaksanan UU No.21/2001. Langkah evaluasi ini sejalan dengan Pasal 78 yang mengamanatkan perlunya proses evaluasi yang digelar pada akhir tahun ketiga. Untuk itu, pekerjaan rumah bagi Presiden baru yang terpilih adalah merumuskan dan menetapklan sebuah ‘Strategi Besar (Grand Strategy) Pelaksanaan UU No.21/2001’. Kiranya, Grand Strategy ini meliputi strategi pelaksanaan pasal demi pasal, merumuskan peta jalan (road map) pelaksanan dan tahapan-tahapan yang dilalui, serta menampilkan indikator pencapaian (indicator performance) yang terukur.
Ketiga, ke depan, para elite-elite pemerintahan, baik di pusat, provinsi dan kabupaten/kota perlu untuk membuka pintu dialog guna membicarakan penyelesaian masalah yang terjadi. Kebuntuan dialog perlu dipecahkan. Pintu dialog perlu dilakukan baik dialog antara Pusat dan Provinsi; Provinsi dan Kabupaten/Kota; maupun Pusat dan kelompok-kelompok strategis di Papua. Alangkah baiknya, agendanya difokuskan pada faktor-faktor utama yang menghambat implementasi otonomi khusus.
Ketiga hal diatas merupakan agenda utama yang dihadapi oleh pemerintahan SBY-JK saat ini, dan pemerintahan baru yang akan datang. Intinya, diperlukan kerja-kerja struktural dan kultural yang serius dan konsisten untuk mewujudkan janji-janji otonomi khusus bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, penegakkan hukum, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat Papua.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...