Jun 30, 2012

Presiden: Dialog untuk NKRI


Sabtu, 30 Juni 2012 | 02:22 WIB

Bandung, Kompas - Pemerintah siap dan terus berdialog untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah tidak akan membuka ruang dialog bagi keinginan memisahkan Papua dari NKRI.

”Kita serius. Kita sungguh ingin memajukan saudara kita di Papua, kesejahteraan dan keadilannya. Kita bisa berdialog untuk kemajuan, pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan 1.000 perwira siswa TNI/Polri, Jumat (29/6), di Markas Komando Sekolah Calon Perwira TNI AD di Bandung, Jawa Barat.

”Saya siap dan terus berdialog dengan tokoh Papua. Tetapi tidak ada diskusi, tidak ada dialog menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah (Indonesia),” lanjutnya.
Pernyataan itu disampaikan Presiden menjawab pertanyaan seorang perwira siswa. Turut mendampingi Presiden antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Presiden menegaskan, Papua dan Papua Barat merupakan wilayah sah Indonesia. Oleh karena itu, sah juga jika TNI/Polri menegakkan hukum, melindungi rakyat, dan keamanan wilayah Papua. Penegakan hukum dan upaya menjaga keamanan di Papua itu tetap dilakukan dalam koridor kepatutan dan aturan yang ada, termasuk yang dilakukan prajurit TNI/Polri.

Separatisme

Presiden juga menyinggung adanya pernyataan dari luar negeri tentang keinginan memisahkan diri atau separatisme di Papua sebagai ekspresi kebebasan berpendapat. Presiden menilai, gerakan separatisme itu bukanlah kebebasan berpendapat.

”Kalau ada gerakan di Papua untuk memisahkan diri atau separatisme, itu bukan kebebasan berpendapat. Itu bertentangan dengan semangat menjaga kedaulatan negara,” katanya.
Dalam rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Kepresidenan beberapa waktu lalu, Presiden mengatakan, pemerintah tak akan membiarkan kelompok separatis di Papua. Kaum separatis bersenjata yang melanggar hukum serta kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa harus diproses hukum (Kompas, 13/6).

Berkait dengan adanya suara tentang keinginan meluruskan sejarah jajak pendapat di Papua tahun 1969, menurut Presiden, tidak ada lagi yang perlu diluruskan. Jajak pendapat di Papua yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu hasilnya sudah jelas dan final, yakni Papua merupakan bagian dari NKRI. ”Tahun 1960-an PBB sudah menjalankan jajak pendapat. Hasilnya nyata, Papua dan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia,” katanya.

Didukung

Presiden juga menegaskan, negara-negara sahabat yang menjalin kemitraan komprehensif dan kemitraan strategis secara eksplisit telah menyampaikan pernyataan tertulis tentang dukungan mereka terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Setiap membuat nota kesepahaman dalam kerangka kerja sama strategis dengan Indonesia, selalu ada pernyataan eksplisit dari negara sahabat untuk mendukung penuh kedaulatan dan keutuhan teritorial Indonesia.

”Tahun-tahun pertama menjadi presiden, sekitar 2005-2007, saya aktif bersama menteri dan jajaran pemerintah, mendapatkan dukungan negara-negara atas keutuhan wilayah Indonesia,” katanya.
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai di Jakarta mengatakan, dialog dengan masyarakat Papua merupakan proses yang berlangsung terus-menerus seiring pelaksanaan pembangunan di Papua. Karena itu, dialog tidak berhenti hanya di sebuah forum yang disebut Dialog Jakarta-Papua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Muridan S Widjojo mengatakan, dialog memang membutuhkan waktu dan upaya yang panjang. Saat ini masih ada ketidakpercayaan pada orang Papua maupun pemerintah pusat.

Pater John Djonga yang baru saja meluncurkan buku Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua juga mengatakan, dialog butuh proses. Awalnya banyak resistensi dari orang Papua, tetapi lama-lama mereka bisa melihat bahwa dialog dalam kesetaraan bisa menjadi solusi dari rumitnya masalah selama ini.

Dalam acara peluncuran buku tersebut, Ben Mboi yang pernah ikut operasi Trikora di Papua menandaskan, tidak lagi bisa menggunakan peluru untuk mengambil hati orang Papua demi persatuan NKRI.

Hal senada dikatakan Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute dan anggota DPR Paskalis Kossay yang menyoroti masih banyaknya kekerasan di Papua. Paskalis mengatakan, sulit bagi orang Papua untuk berdialog di tengah suasana penuh tekanan, kekerasan, bahkan penyiksaan.

Direktur Program Imparsial Al Araf mempertanyakan penempatan pasukan TNI di Papua dalam jumlah banyak. ”Saat ini ada 16.000 tentara di Papua. Apa ada perang di sana? Jumlah itu hampir sama dengan tentara yang ditempatkan di Aceh saat darurat militer, padahal penduduk Papua tak sebanyak di Aceh,” katanya.(WHY/ELD/ONG/EDN/ATO)

Presiden: Dialog untuk NKRI

Sabtu, 30 Juni 2012 | 02:22 WIB

Bandung, Kompas - Pemerintah siap dan terus berdialog untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah tidak akan membuka ruang dialog bagi keinginan memisahkan Papua dari NKRI.

”Kita serius. Kita sungguh ingin memajukan saudara kita di Papua, kesejahteraan dan keadilannya. Kita bisa berdialog untuk kemajuan, pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan 1.000 perwira siswa TNI/Polri, Jumat (29/6), di Markas Komando Sekolah Calon Perwira TNI AD di Bandung, Jawa Barat.

”Saya siap dan terus berdialog dengan tokoh Papua. Tetapi tidak ada diskusi, tidak ada dialog menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah (Indonesia),” lanjutnya.

Pernyataan itu disampaikan Presiden menjawab pertanyaan seorang perwira siswa. Turut mendampingi Presiden antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Presiden menegaskan, Papua dan Papua Barat merupakan wilayah sah Indonesia. Oleh karena itu, sah juga jika TNI/Polri menegakkan hukum, melindungi rakyat, dan keamanan wilayah Papua. Penegakan hukum dan upaya menjaga keamanan di Papua itu tetap dilakukan dalam koridor kepatutan dan aturan yang ada, termasuk yang dilakukan prajurit TNI/Polri.

Separatisme

Presiden juga menyinggung adanya pernyataan dari luar negeri tentang keinginan memisahkan diri atau separatisme di Papua sebagai ekspresi kebebasan berpendapat. Presiden menilai, gerakan separatisme itu bukanlah kebebasan berpendapat.

”Kalau ada gerakan di Papua untuk memisahkan diri atau separatisme, itu bukan kebebasan berpendapat. Itu bertentangan dengan semangat menjaga kedaulatan negara,” katanya.
Dalam rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Kepresidenan beberapa waktu lalu, Presiden mengatakan, pemerintah tak akan membiarkan kelompok separatis di Papua. Kaum separatis bersenjata yang melanggar hukum serta kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa harus diproses hukum (Kompas, 13/6).

Berkait dengan adanya suara tentang keinginan meluruskan sejarah jajak pendapat di Papua tahun 1969, menurut Presiden, tidak ada lagi yang perlu diluruskan. Jajak pendapat di Papua yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu hasilnya sudah jelas dan final, yakni Papua merupakan bagian dari NKRI. ”Tahun 1960-an PBB sudah menjalankan jajak pendapat. Hasilnya nyata, Papua dan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia,” katanya.

Didukung

Presiden juga menegaskan, negara-negara sahabat yang menjalin kemitraan komprehensif dan kemitraan strategis secara eksplisit telah menyampaikan pernyataan tertulis tentang dukungan mereka terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Setiap membuat nota kesepahaman dalam kerangka kerja sama strategis dengan Indonesia, selalu ada pernyataan eksplisit dari negara sahabat untuk mendukung penuh kedaulatan dan keutuhan teritorial Indonesia.

”Tahun-tahun pertama menjadi presiden, sekitar 2005-2007, saya aktif bersama menteri dan jajaran pemerintah, mendapatkan dukungan negara-negara atas keutuhan wilayah Indonesia,” katanya.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai di Jakarta mengatakan, dialog dengan masyarakat Papua merupakan proses yang berlangsung terus-menerus seiring pelaksanaan pembangunan di Papua. Karena itu, dialog tidak berhenti hanya di sebuah forum yang disebut Dialog Jakarta-Papua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Muridan S Widjojo mengatakan, dialog memang membutuhkan waktu dan upaya yang panjang. Saat ini masih ada ketidakpercayaan pada orang Papua maupun pemerintah pusat.

Pater John Djonga yang baru saja meluncurkan buku Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua juga mengatakan, dialog butuh proses. Awalnya banyak resistensi dari orang Papua, tetapi lama-lama mereka bisa melihat bahwa dialog dalam kesetaraan bisa menjadi solusi dari rumitnya masalah selama ini.

Dalam acara peluncuran buku tersebut, Ben Mboi yang pernah ikut operasi Trikora di Papua menandaskan, tidak lagi bisa menggunakan peluru untuk mengambil hati orang Papua demi persatuan NKRI.

Hal senada dikatakan Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute dan anggota DPR Paskalis Kossay yang menyoroti masih banyaknya kekerasan di Papua. Paskalis mengatakan, sulit bagi orang Papua untuk berdialog di tengah suasana penuh tekanan, kekerasan, bahkan penyiksaan.

Direktur Program Imparsial Al Araf mempertanyakan penempatan pasukan TNI di Papua dalam jumlah banyak. ”Saat ini ada 16.000 tentara di Papua. Apa ada perang di sana? Jumlah itu hampir sama dengan tentara yang ditempatkan di Aceh saat darurat militer, padahal penduduk Papua tak sebanyak di Aceh,” katanya.(WHY/ELD/ONG/EDN/ATO)

Jun 28, 2012

Menuju Ekonomi Hijau












Jurnal Nasional | Kamis, 28 Jun 2012
Oleh: Velix Wanggai
 

Perjalanan panjang dari Tanah Air menuju kota Rio De Janeiro tak terasa capai ketika kita menyaksikan kata-kata demi terluncur dari pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemimpin-pemimpin negara dan utusan-utusan dari berbagai pemangku kepentingan memberikan apresiasi dan harapan yang tinggi atas komitmen yang ditegaskan oleh Presiden SBY pada UN Summit on Sustainable Development (RIO + 20 Summit).

"Moving Towards Sustainability: Together We Must Create the Future We Want" adalah judul pidato yang disampaikan oleh Presiden SBY. Dengan penuh arif, SBY mengajak dunia untuk bahu-membahu menyelematkan dunia dengan pendekatan yang berkelanjutan.

Pada KTT Rio + 20 itu, Presiden menyampaikan pandangannya pada urutan ke-13 dari 33 kepala negara/pemerintahan yang mendapat giliran berbicara. Kata Presiden, "Ini adalah waktu dimana kita bisa mematahkan sisa-sisa mitos tentang pembangunan dan lingkungan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan pasti akan mengarah pada deforestrasi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan otomatis akan meningkatkan emisi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan akan menyebabkan ketimpangan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa kita hanya bisa memilih antara pembangunan dan demokrasi dan kita tidak bisa memiliki keduanya". Pernyataan itu memberikan pesan penting bahwa pembangunan, pemerataan, dan kelestarian alam dapat berjalan seiring sejalan tanpa saling menegasi.

Filosofi ‘green economy' telah menjadi agenda utama Presiden SBY. Makna pentingnya adalah adanya keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi. Intinya, ekonomi hijau adalah model ekonomi atau pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan yang berkelanjutan.
Mengingat pentingnya komitmen atas aspek ekonomi, keadilan, dan lingkungan ini, saat ini ada lembaga konsultan internasional yang memperkenalkan The Global Green Economy Index. Paling tidak ada 4 dimensi yang dipakai dalam mengukur sejauhmana suatu negara mempromosikan model ekonomi hijau. Keempat aspek itu adalah komitmen pemimpin nasional, kebijakan domestik yang ramah lingkungan, investasi yang ramah lingkungan, dan kegiatan ekonomi seperti wisata yang berdimensi lingkungan.

Dalam konteks penataan kebijakan nasional, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Sejak awal Pemerintah membenahi kerangka perencanaan dalam pembangunan, baik di level nasional maupun di daerah. Filosofi, pendekatan, dan strategi yang menyeimbangkan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan tanpa melupakan aspek budaya menjadi sisi-sisi penting yang diakomodasi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 maupun di dalam RPJM Daerah-Daerah.

Masih dalam konteks perencanaan kewilayahan, perhatian juga ditujukan kepada penajaman substansi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kebijakan spasial yang tepat akan turut menuntun pembangunan yang ramah lingkungan dan budaya. Sedangkan dalam konteks kebijakan sektoral, pemerintah memberikan perhatian pada enam sektor utama, yaitu kebijakan energi terbarukan, kebijakan bangunan yang memperhatikan aspek lingkungan, transportasi tanpa menghasilkan polusi, manajemen air, manajemen persampahan, maupun manajemen pertanahan.

Terakhir, Presiden SBY mengajak para pemimpin dunia yang hadir pada KTT Rio + 20 ini untuk menegaskan kembali tekad membangun dunia baru. "Membuat lompatan besar menuju dunia yang berkelanjutan dengan pertumbuhan ekuitas", kata Presiden SBY

Jun 22, 2012

Dari Jayapura Menuju Manokwari

foto: HarianJogja.com
Jurnal Nasional | Kamis, 21 Jun 2012
Oleh: Velix Wanggai










Kata demi kata dari artikel ini dirangkai di dalam penerbangan dari Manokwari menuju Jakarta. Udara begitu cerah ketika kita tinggalkan kota Manokwari, Papua Barat. Sebelumnya ketika di Jayapura dan Timika, cuaca yang cerah menyambut dengan hangat rombongan Pemerintah yang diketuai oleh Menkopolhukam Djoko Suyanto.

Perjalanan kali ini membawa kesan yang sangat bermakna bagi kita semua, khususnya Menkopolhukam Djoko Suyanto, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo, dan Kepala BIN Letjen TNI Marciano Norman. Tiga hari lamanya, sejak 17 - 20 Juni 2012, Menkopolhukam dan rombongan menyapa Jayapura, Timika, dan Manokwari. Di ketiga kota itu, Menkopolhukam dengan ramah dan sabar menggelar dialog dan mendengar berbagai pandangan dari A hingga Z guna menatap masa depan Papua.

Salam hangat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada rakyat Papua, demikian ujar Djoko Suyanto ketika membuka dialog. Papua ada di hati Presiden SBY. Untuk itu, kedekatan SBY dengan rakyat telah terjalin sejak SBY mengemban amanah sebagai Menkopolkam pada kurun waktu 2001 - 2004. Ditengah dinamika sosial politik yang sedang berubah, SBY berulang kali berdialog dengan tokoh-tokoh Papua guna merumuskan draft Otonomi Khusus yang akhirnya diketok sebagai UU No. 21/2001 pada akhir November 2001. Demikian juga, di era KIB II ini, Presiden selalu terbuka berkomunikasi dari hati ke hati dengan para tokoh Papua.

Untuk itu, dalam mengelola Papua, Pemerintah memiliki lima (5) posisi dasar sebagai kebijakan bagi Papua, yaitu: (1) menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua; (2) menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No. 21/2001 perihal Otonomi Khusus bagi Papua; (3) melakukan affirmative policies sebagai bentuk rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua; (4) mendesain strategi percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua; dan (5) mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis Papua maupun yang dilakukan oleh oknum aparat negara di luar batas kepatutan.

Pertemuan antara Menkopolhukam dan para tokoh-tokoh rakyat Papua, baik di Jayapura, Timika, dan Manokwari adalah simbol dari keterbukaan Pemerintah untuk untuk dikritik, dikoreksi, dan bahkan dimarahi oleh rakyat Papua. Begitulah yang terjadi dalam rangkaian dialog tersebut. Namun, di sela-sela dialog tersebut, Menkopolhukam mengungkapkan bahwa saatnya untuk kita menatap masa depan Papua.

Konteks Papua yang dinamis hari-hari ini sebenarnya juga mencerminkan kemajuan yang telah dicapai dalam sepuluh (10) tahun terakhir. Kemajuan ini berakibat pada perubahan sosial yang berpengaruh terhadap relasi-relasi sosial antarkelompok masyarakat di Papua maupun relasi antara negara dan masyarakat (power relations).

Oleh karena itu, pentingnya pemerintah dan para pemangku kepentingannya lainnya untuk memahami hati orang Papua, mengenali konteks sosial budaya, dan memetakan kluster kewilayahan yang berbeda-berbeda di tanah Papua. Pemahaman yang baik atas konteks ke-papua-an ini akan diikuti oleh pendekatan yang lebih humanis dan kemanusiaan di dalam proses pembangunan. Disini pula, pentingnya kerangka yang lebih mikro di level daerah dalam bentuk peraturan-peraturan khusus guna mewujudkan affirmative policies, demikian ujar Menkopolhukam.

Rangkaian komunikasi konstruktif yang dilakukan di tiga kota itu juga memberikan pesan penting bahwa Papua Tanah Damai adalah tanggung jawab kolektif seluruh anak bangsa

Jun 19, 2012

news focus - govt trying to "bring Papua in harmony with unitary state of Indonesia"


Tue, June 19 2012 19:41 | 546 Views
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/6). Aksi ke-262 itu mengecam kekerasan yang terjadi di Papua yang tak sedikit berujung pada kematian. (ANTARA/Fanny Octavianus)
With only four battalions guarding the border, it`s easy to smuggle in guns."
Jakarta (ANTARA News) - The situation in Jayapura city, in particular, and Papua Province, in general, seems to be peaceful, after being hit by random shooting incidents committed by unknown people.

Police personnel and military troops, however, are still stationed at several spots in Jayapura.

The security situation was quite worrying last weekend following the death of Mako Tabuni, one of the coordinators of the National Committee for West Papua. Some mourners went on a crime spree, burning shops, cars and other motor vehicles, as well as torturing people in Waena, Jayapura.

Tabuni died after being shot by police, who were trying to arrest him for his alleged involvement in recent shooting incidents in Jayapura and surrounding areas.

In response to a series of shooting incidents and violence in Papua, the Indonesian government has reiterated its commitment to pursuing an approach of focusing on the welfare of the community, instead of a military approach, to deal with problems in the country`s eastern most province.

Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs, Djoko Suyanto, reaffirmed the non-military approach when meeting with community and religious leaders and members of the Papuan Legislative Council (DPRP) and the Papuan People Assembly (MRP) in Jayapura, the capital of Papua, on June 18.

He stated that the government hoped to "bring Papua into harmony with the Unitary State of Indonesia".

"Until now, the approach used is welfare and not military, because a military approach is only useful for dealing with crimes," Djoko said.

Minister Djoko began a working visit to Papua on Monday (June 18), along with Chief of the Indonesian Defense Forces (TNI) Admiral Agus Suhartono, National Police Chief General Timur Pradopo and Chief of National Intelligence Agency Marciano Norman. On Tuesday afternoon (June 19), he was scheduled to travel to Timika, Mimika District, where US copper and gold mining company PT Freeport, often a target of sporadic shootings, is located.

Papua has been given a special autonomy status, but the implementation of the development programs have not yet met public expectations, although the government set up the Papua and West Papua Development Acceleration Unit (UP4B) in 2012 to boost developments on the Papua island.

Velix Wanggai, a presidential special staff member in charge of regional development and autonomy, said in a press statement in Jakarta on Sunday (June 17) that the government remains committed to developing Papua into a land of peace, as declared by President Susilo Bambang Yudhoyono in 2004.

President Yudhoyono is pursuing peaceful approaches and dialogs to solve the problems in Papua, according to Velix.

The government has a comprehensive design consisting of five points on Papua, including affirming Indonesia`s unitary state while respecting Papua`s diversity and uniqueness; optimizing Papua�s status as a special autonomous region; pursuing affirmative policies to recognize the basic rights of Papua people, such as access to education; designing strategies, policies, funding and programs to promote development and empower the Papua people; and promoting human rights as well as preventing violence.

Before leaving for the G20 Summit in Mexico last week, Yudhoyono asked Minister Djoko to examine the cause of problems in Papua that have led to a number of recent violent incidents in the region.

With regard to cases linked to separatism, he said, they were against the law and would be dealt with according to the law. Yudhoyono added that the law of the country also applied to Papua and there was no discrimination involved.

He told his ministers that although security disruptions in Papua could be categorized as small-scale incidents, the government would not ignore the loss of lives and take action immediately.

Over the last several months, Indonesia`s easternmost province of Papua has seen random shootings in various locations. The latest shooting incident occurred at the University of Cendrawasih`s campus on Sunday evening (June 10).

On June 5, unidentified people shot three people, identified as Iqbal Rifai, aged 22, a resident of Hamadi Pasar; Hardi Jayanto, aged 22, a resident of Klolfkam; and First Private Frangki Kune, aged 25, resident of the Waena Combat Engineering Corps station.

Arwan, a civil servant of the XXVII Cenderawasih Military Regional Command Headquarters, was shot by unknown gunman and later died while being treated for his wound at a local hospital on June 6.

On May 29, 2012, German national Pieter Dietmar Helmut (55) was shot at the Base G beach in Jayapura. Several days later, the wounded German tourist was evacuated to a Singapore hospital.

Minister Djoko condemned the recent shootings of civilians, foreigners, military and police personnel in Papua. "The acts were against the efforts aimed at creating peace in Papua and accelerating development programs in the region," he told the press.

"The security personnel are investigating and studying the case. Such violence must be stopped. The local police and TNI must find the perpetrators," the minister said.

During a hearing with the Parliament on Monday, Marciano Norman, the head of the National Intelligence Agency (BIN), Indonesia`s intelligence agency, said that a separatist group called the Free Papua Movement (OPM) was behind the recent shootings in Papua.

In order to stop shooting incidents, the Indonesian Papuan University Students Movement (GMPI) has requested that local police again compile an inventory of gun ownership by civilians in Indonesia`s eastern most province of Papua.

Further, security authorities must address security problems by establishing an inventory of firearms ownership in Papua, GMPI Chairman Habelino S Sawaki said in Jayapura recently.

Sawaki said he believed that guns had been smuggled into Papua over the Papua and Papua New Guinea border. The border stretches some 800 km and is guarded by four battalions of soldiers.

"With only four battalions guarding the border, it`s easy to smuggle in guns," Habelino said.

He urged the Indonesian Defense Forces (TNI) and the National Police to deal with shooting incidents in order to create peace in Papua. He also asked the Papuan people to help security officers maintain security and peace. (*)
Editor: B Kunto Wibisono

Jun 18, 2012

Kebijakan bagi Papua

Koran Sindo, Monday, 18 June 2012
“Papua tanah damai”atau “Papua land of peace” merupakan komitmen yang ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 lalu hingga saat ini. Pendekatan yang damai, dialog, dan bermartabat menjadi pijakan Presiden SBY di dalam mengelola Papua.

Berulang kali Presiden SBY selalu memberikan arahan kepada kementerian/lembaga, termasuk TNI/Polri, untuk mengelola Papua dengan hati, tidak berpikir business as usual, perlu terobosan, dan bahkan thinking outside the box. Ketika SBY mendapat amanah untuk menjadi presiden kedua kali,maka sejak 20 Oktober 2009 pemerintah KIB II telah mendeklarasikan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan atas konflik yang masih terjadi di tanah Papua.

Setelah Aceh damai, Papua menjadi pekerjaan rumah dari KIB II ini. Lima posisi dasar (standing position) pemerintah bagi Papua adalah, pertama, menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua. Kedua, menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No 21/2001 perihal otonomi khusus bagi Papua.

Ketiga, melakukan affirmative policies sebagai sebuah diskriminasi positif dan rekognisi atas hakhak dasar rakyat Papua seperti akses ke perguruan tinggi bermutu, karier di birokrasi dan TNI/Polri maupun pengusaha asli Papua. Keempat, mendesain strategi,kebijakan, dan program, termasuk pembiayaan, guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua.Kelima, mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak kekerasan, baik yang dilakukan kelompok-kelompok separatis Papua maupun oknum aparat negara di luar batas kepatutan.

Dengan lima posisi dasar di atas, desain kebijakan yang komprehensif bagi tanah Papua telah dirumuskan sejak periode II kepemimpinan SBY. Pertama, pemerintah membenahi desain perencanaan untuk Papua.Pada langkah awal ini, agenda Papua diletakkan secara khusus di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010–2014. Pemerintah membalikkan pendekatan dari sektoral menuju dimensi kewilayahan yang lebih kental.

Konteks wilayah yang luas dan zona ekologi yang beragam menjadi pijakan utama bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan kluster-kluster kewilayahan yang sesuai dengan budaya rakyat Papua.Untuk itu,Papua juga ditempatkan sebagai koridor Papua-Kepulauan Maluku di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Saat ini pula pemerintah bersama pemda sedang menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua (RTRWP) yang menghormati hak-hak adat rakyat secara berkelanjutan. Hadirnya Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) ditujukan pula untuk menyinergikan perencanaan sektoral dan regional bagi Papua. Kedua,pemerintah memb e n a h i d e s a i n regulasi u n t u k P a p u a .

Dengan desentralisasi yang bersifat asimetris, Presiden SBY selalu menekankan agar desain kebijakan dan program-program sektoral harus disesuaikan dengan konteks ke-Papua-an dalam payung Otonomi Khusus. Di sinilah Presiden mendorong semua regulasi sektoral agar sejalan dan selaras dengan semangat dasar dan prinsipprinsip utama dari otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan, kehutanan maupun regulasi politik pemilihan kepala daerah.

Penataan regulasi itu tentu saja menyangkut aspek kewenangan dan urusan antarlevel pemerintahan maupun lembaga- lembaga negara lainnya, baik MK, MA, DPR maupun lembaga lain. Memang, masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral dan desain otonomi khusus.Hal ini adalah pekerjaan rumah kita.

Ketiga, sejalan dengan tekad untuk mengedepankan aspek kesejahteraan,pemerintah serius untuk membenahi desain pembiayaan untuk Papua. Dalam konteks itu, sejak 2005 hingga 2012 ini pemerintah melanjutkan desentralisasi fiskal bagi Papua dengan meningkatkan alokasi dana baik dana kementerian/lembaga maupun dana perimbangan serta dana otonomi khusus bagi Papua.

Tahun 2012 ini saja pemerintah telah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Bahkan, untuk mendorong percepatan pembangunan tanah Papua, dana sisa anggaran lebih (SAL) dalam APBN-P 2012 sebesar lebih dari Rp 3 triliun dialokasikan kepada Papua untuk peningkatan konektivitas ke seluruh pelosok kampung Papua.

Sejalan dengan keberpihakanalokasidanauntukPapuaitu, pemerintah kini berupaya keras untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasakan tidak adil bagi tanah Papua maupun Pemerintah Indonesia.Harapannya, hasil dari renegosiasi ini menghadirkan manfaat sosialekonomi bagi rakyat kebanyakan di tanah Papua. Keempat, pemerintah berupaya untuk menata desain kelembagaan pemerintahan daerah Papua.

Dengan kekhususan yang dimiliki dalam payung otonomi khusus,pemerintah selalu berikhtiar untuk menguatkan kapasitas lembaga eksekutif, DPRP, dan MRP (Majelis Rakyat Papua). Setelah status MRP terkatungkatung sejak 2001–2004, Presiden SBY berupaya keras untuk menerbitkan PP No 54/2004 tentang MRP.Presiden SBY menghargai MRP sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi utusan perempuan, adat,dan tokoh agama.

Demikian pula dalam konteks kelembagaan ini,telah diterbitkan Desain Dasar Penataan Daerah (Desartada) 2010–2025 yang memberi ruang bagi hadirnya provinsiprovinsi baru di tanah Papua sebagaimana diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus. Bagi Presiden SBY, pemekaran kelembagaan pemerintahan harus diletakkan pada penajaman pelayanan publik, percepatan pembangunan, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan politik lokal.

Karena itu, tidaklah benar jika ada pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan Papua maupun pemerintah melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Empat agenda di atas merupakan bagian yang saling terkait dalam desain komprehensif bagi Papua.Semua ini bisa jalan dalam situasi damai. Pemerintah sangat menjunjung setiap anak bangsa di tanah Papua untuk bebas berekspresi sebagaimana amanat dan tuntutan konstitusi 1945.

Setiap langkah pemerintah diikhtiarkan untuk mewujudkan Papua tanah damai.“Perdamaian melalui pembangunan”( peace through development) menjadi pedoman utama bagi pemerintah. Papua tanah damai bukanlah tugas pemerintah saja untuk mewujudkannya, tetapi hal ini merupakan tugas kolektif kita semua. Di sinilah komunikasi konstruktif bagi Papua diletakkan, yakni komunikasi menuju Papua tanah damai.●

VELIX V WANGGAI
Staf Khusus Presiden
Bidang Pembangunan Daerah dan
Otonomi Daerah  

Jun 17, 2012

Komitmen SBY: Papua Tanah Damai

Tribunnews.com - Minggu, 17 Juni 2012 08:36 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 
Papua, Tanah Damai atau “Papua, Land of
Peace” merupakan komitmen yang
ditegaskan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)
sejak 2004 lalu hingga saat ini.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix  Wanggai, mengatakan pendekatan yang damai, dialogis, dan bermartabat  menjadi pijakan Presiden SBY di dalam mengelola Papua Dikatakan berulang kali, Presiden SBY selalu memberikan direktif kepada Kementerian/Lembaga, termasuk TNI/Polri untuk mengelola Papua dengan hati, tidak berpikir business as usual, perlu terobosan, dan bahkan thinking outside the box.

"Ketika SBY mendapat amanah untuk menjadi Presiden untuk kedua kali, maka sejak 20 Oktober 2009 Pemerintah KIB II telah mendeklarasikan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan atas konflik yang masih terjadi di tanah Papua," kata Velix dalam siaran persnya, Minggu (17/6/2012).
Dikatakan setelah Aceh damai, Papua menjadi pekerjaan rumah dari KIB II ini.

Velix mengatakan ada lima posisi dasar (standing position) Pemerintah bagi Papua adalah:
(1) Menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua;
(2) Menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No. 21/2001 perihal Otonomi Khusus bagi Papua;
(3) Melakukan affirmative policies sebagai sebuah diskriminasi positif dan rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua, seperti akses ke perguruan tinggi bermutu, karier di birokrasi dan TNI/Polri, maupun pengusaha asli Papua;
(4) Mendesain strategi, kebijakan, dan program, termasuk pembiayaan guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua; dan
(5) Mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis Papua maupun yang dilakukan oleh oknum aparat negara diluar batas kepatutan.

"Dengan  lima  posisi dasar di atas, maka Desain Kebijakan yang Komprehensif bagi Tanah Papua telah dirumuskan sejak periode II kepemimpinan SBY," ujar Velix. (Aco)

Staf SBY: Renegosiasi Kontrak Karya di Papua

Pemerintah mengalokasikan dana Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Minggu, 17 Juni 2012, 11:12 Nur Farida Ahniar, Iwan Kurniawan
Ilustrasi anak di Papua
Ilustrasi anak di Papua (ANTARA/Rosa Panggabean)
VIVAnews- Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix V. Wanggai membantah pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan Papua atau melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Velix mengatakan pemerintah telah melakukan beberapa langkah demi kemajuan Papua, termasuk renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil.






Velix menjelaskan pemerintah telah membenahi desain perencanaan untuk Papua. Hal itu terbukti dalam penempatan Papua dalam koridor Papua-Kepulauan Maluku dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah, lanjutnya juga membenahi desain regulasi untuk papua. Menurut Velix, Presiden mendorong agar desain kebijakan dan program sektoral harus disesuaikan dengan konteks ke-Papua-an dalam payung ekonomi khusus.

"Kami mendorong semua regulasi sektoral agar sejalan dengan prinsip utama otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan, kehutanan. Presiden SBY menyadari masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral," ujarnya dalam keterangan pers, Minggu, 17 Juni 2012.

Pada 2012, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Ia juga menjelaskan pemerintah saat ini berupaya melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil bagi tanah Papua maupun pemerintah Indonesia. "Harapannya hasil dari renegosiasi ini menghadirkan manfaat sosial ekonomi bagi rakyat di tanah Papua," ujarnya.

Dari sisi penataan desain kelembagaan pemerintah daerah Papua, Presiden SBY menerbitkan PP No. 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua setelah terkatung-katung sejak 2001-2004. "Presiden SBY menghargai MRP sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi utusan perempuan, adat, dan tokoh agama," ujarnya. (eh)

Staf SBY: Renegosiasi Kontrak Karya di Papua

Pemerintah mengalokasikan dana Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Minggu, 17 Juni 2012, 11:12 Nur Farida Ahniar, Iwan Kurniawan
Ilustrasi anak di Papua
Ilustrasi anak di Papua (ANTARA/Rosa Panggabean)
VIVAnews- Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix V. Wanggai membantah pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan Papua atau melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Velix mengatakan pemerintah telah melakukan beberapa langkah demi kemajuan Papua, termasuk renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil.

Velix menjelaskan pemerintah telah membenahi desain perencanaan untuk Papua. Hal itu terbukti dalam penempatan Papua dalam koridor Papua-Kepulauan Maluku dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah, lanjutnya juga membenahi desain regulasi untuk papua. Menurut Velix, Presiden mendorong agar desain kebijakan dan program sektoral harus disesuaikan dengan konteks ke-Papua-an dalam payung ekonomi khusus.

"Kami mendorong semua regulasi sektoral agar sejalan dengan prinsip utama otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan, kehutanan. Presiden SBY menyadari masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral," ujarnya dalam keterangan pers, Minggu, 17 Juni 2012.

Pada 2012, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Ia juga menjelaskan pemerintah saat ini berupaya melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil bagi tanah Papua maupun pemerintah Indonesia. "Harapannya hasil dari renegosiasi ini menghadirkan manfaat sosial ekonomi bagi rakyat di tanah Papua," ujarnya.

Dari sisi penataan desain kelembagaan pemerintah daerah Papua, Presiden SBY menerbitkan PP No. 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua setelah terkatung-katung sejak 2001-2004. "Presiden SBY menghargai MRP sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi utusan perempuan, adat, dan tokoh agama," ujarnya. (eh)

Staf SBY: Renegosiasi Kontrak Karya di Papua

Pemerintah mengalokasikan dana Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.
Minggu, 17 Juni 2012, 11:12 WIB
Nur Farida Ahniar, Iwan Kurniawan 
 
Ilustrasi anak di Papua (ANTARA/Rosa Panggabean)

VIVAnews- Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix V. Wanggai membantah pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan Papua atau melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Velix mengatakan pemerintah telah melakukan beberapa langkah demi kemajuan Papua, termasuk renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil.

Velix menjelaskan pemerintah telah membenahi desain perencanaan untuk Papua. Hal itu terbukti dalam penempatan Papua dalam koridor Papua-Kepulauan Maluku dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pemerintah, lanjutnya juga membenahi desain regulasi untuk papua. Menurut Velix, Presiden mendorong agar desain kebijakan dan program sektoral harus disesuaikan dengan konteks ke-Papua-an dalam payung ekonomi khusus.

"Kami mendorong semua regulasi sektoral agar sejalan dengan prinsip utama otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan, kehutanan. Presiden SBY menyadari masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral," ujarnya dalam keterangan pers, Minggu, 17 Juni 2012.

Pada 2012, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Ia juga menjelaskan pemerintah saat ini berupaya melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasa tak adil bagi tanah Papua maupun pemerintah Indonesia. "Harapannya hasil dari renegosiasi ini menghadirkan manfaat sosial ekonomi bagi rakyat di tanah Papua," ujarnya.

Dari sisi penataan desain kelembagaan pemerintah daerah Papua, Presiden SBY menerbitkan PP No. 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua setelah terkatung-katung sejak 2001-2004. "Presiden SBY menghargai MRP sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi utusan perempuan, adat, dan tokoh agama," ujarnya. (eh)

Govt has comprehensive design on Papua


Sun, June 17 2012 20:17 | 428 Views

Jakarta (ANTARA News) - The government remains committed to developing Papua into a land of peace as declared by President Susilo Bambang Yudhoyono in 2004.

President Yudhoyono is pursuing peaceful and dignified approaches and dialogs to solve the problems in Papua, Velix Wanggai, a presidential special staff in charge of regional development and autonomy, said in a press statement here Sunday.

The head of state always reminded ministers, police and military chiefs to manage Papua with conscience, and not to think "business as usual". They must make a breakthrough and think outside the box in handling Papua.

Since President Yudhoyono was reappointed as the president for the second term in October 2009, the government has been committed to solving problems in Papua.

The government has a comprehensive design consisting of five points on Papua, namely affirming Indonesia`s unitary state while respecting Papua`s diversity and uniqueness; optimizing the Papua status as a special autonomous region; pursuing affirmative policies to recognize the basic rights of Papua people such as access to education; designing strategies, policies, fundings and programs to promote development and empower the Papua people; and promoting the human rights as well as preventing violence. (*)
Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2012

Jun 14, 2012

Papua Tanah Damai



| Kamis, 14 Jun 2012
Iman Syukri
Velix Wanggai
 
Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera adalah harapan kita semua. Begitupula, harapan yang selalu diidamkan oleh semua penduduk Papua tanpa terkecuali. Semua ikhtiar kita ditujukan untuk menciptakan kedamaian yang berkelanjutan. Oleh karena itu, setiap kekerasan yang terjadi di tanah Papua tidak dapat ditolerir. Dimana pun negara di belahan dunia ini, tidak ingin memberikan ruang bagi tindak kekerasan. Setiap tindak kekerasan harus menerima sanksi atas hukum yang berlaku. Inti demokrasi adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Namun, di Papua, kita masih dihadapkan dengan semangat identitas regional yang mengarah pada separatisme.

Pemerintah menyadari adanya kompleksitas persoalan di Papua. Soal-soal sepele di dalam relasi sosial warga, terutama antara penduduk asli Papua dan pendatang ternyata dapat berakibat gesekan bahkan konflik antara penduduk yang majemuk ini. Papua yang terus tumbuh dan berkembang, ternyata berdampak pada perubahan sosial, hubungan antar kelompok (sosial relations), maupun hubungan antara negara dan penduduk (power relations). Setiap gesekan dalam hubungan-hubungan tersebut seringkali ‘cross-cutting interest‘ dengan tuntutan separatisme. Dalam konteks itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) senantiasa menghargai ekspresi dan kebebasan setiap warga bangsa untuk bersuara apa saja. Apalagi dengan ‘wide range autonomy‘ yang dimiliki oleh Papua, telah memberikan ruang kekhususan yang lebih luas ketimbang daerah-daerah lain di Tanah Air. Karena itu, setiap kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa telah mengoyak rasa aman dan nyaman, sehingga hal ini tidak dapat ditolerir oleh kita semua.

Apa ikhtiar kita untuk merajut rasa aman, nyaman, dan damai ini? Penegakan hukum adalah pilihan langkah yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pihak kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya. Demokrasi tidak memberi ruang kekerasan maupun penghilangan nyawa anak-anak bangsa. Hal itu bukan sebagai kebebasan bersikap, namun hal itu merupakan tindakan kriminal yang harus dihukum setimpal. Selain penegakan hukum, Pemerintah tak henti-hentinya untuk mengelola perubahan pendekatan pembangunan. Jika di era sentralistik, aspek keamanan menjadi faktor yang dominan, namun di era pemerintahan SBY yang desentralistik ini telah menekankan aspek kesejahteraan sebagai pilihan pendekatan. Disini, Presiden SBY mengintroduksi strategi ‘Perdamaian melalui Pembangunan‘ (peace through development). Setiap pilihan kebijakan, program, dan pembiayaan diharapkan selalu sensitif terhadap keadilan sosial, wilayah, jender, agama, maupun etnik.

Bagi Papua, Presiden SBY telah menegaskan sikapnya untuk menciptakan Papua Tanah Damai (Papua, Land of Peace). Presiden selalu mendengar aspirasi dan nuansa batin yang berkembang di tanah Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, Presiden telah menyapa rakyat Papua di Sorong, Manokwari, Wasior, Nabire, Timika, Jayapura, Wamena, Yahukimo, dan Merauke. Suara hati rakyat untuk mengubah hidup yang lebih baik. Dalam suasana batin seperti itu, berulang kali Presiden SBY menekankan posisi dasar Pemerintah untuk Papua, yaitu (1) melakukan affirmative policy bagi pengembangan sumber daya manusia Papua; (2) menghormati hak-hak dasar rakyat Papua dan tidak mentolerir tindakan kekerasan; (3) mempercepat pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua; (4) menata dan memperbaiki pelaksanaan Otonomi Khusus Papua; dan (5) memberikan ruang ekspresi dengan tetap mempertahankan kedaulatan NKRI.

Akhirnya, adalah tugas kolektif kita untuk mewujudkan Papua Tanah Damai.

Jun 8, 2012

Shangri-La Dialogue

Jurnal Nasional | Kamis, 7 Jun 2012
Velix V. Wanggai
 
Lanskap geopolitik dunia sedang berubah, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Di tengah perubahan ini, kita perlu suatu arsitektur menuju perdamaian yang awet di kawasan ini. Dan, suatu arsitektur yang damai ini harus dibangun dalam suatu keseimbangan yang dinamis. Disinilah, Indonesia menawarkan ‘win-win approach‘. Rangkaian kalimat itu diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika didaulat sebagai pembicara kunci pada the 11th International Institute for Strategic Studies (IISS) Asia Security Summit, Shangri-La Dialogue di Singapura, 1 Juni 2012 lalu. Forum ini biasanya disebut ‘Shangri-La Dialogue‘.

Shangri-La Dialogue dilaksanakan pertama kali pada tahun 2002 di Singapura. Melihat akan pentingnya diplomasi pertahanan dan kerjasama keamanan di kawasan Asia Pasifik, forum Shangri-La Dialogue memberikan ruang bagi komunitas keamanan seperti menteri pertahanan, akademisi, lembaga kajian, kaum bisnis, jurnalis, maupun politisi untuk duduk bersama. Dalam empat (4) tahun terakhir ini, beberapa pemimpin negara di kawasan Asia Pasifik telah didaulat sebagai pembicara utama. Tahun 2009 PM Australia Kevin Rudd, tahun 2010 Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak, tahun 2011 PM Malaysia Najib Razak, dan tahun 2012 ini, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam pidato yang berjudul An Architecture for Durable Peace in the Asia Pacific, Presiden SBY menegaskan bahwa saat ini sebagai Abad Asia Pasifik. Kita ingin suatu arsitektur kawasan yang damai yang mensyaratkan semua pihak untuk bekerja sama dalam mengembangkan sebuah geopolitik baru, yaitu sebuah geopolitik kerjasama. SBY menilai bahwa untuk pertama kali dalam sejarah, hubungan antara kekuatan-kekuatan besar berada dalam keadaan damai, stabil, dan kerjasama. Indonesia sendiri menekankan politik luar negeri yang terbuka dengan strategi diplomasi, yakni “a million friends and zero enemy‘. Bagi Presiden SBY, kerjasama kawasan menjadi penting. Bahkan, dengan nada guyon, SBY menyebut sejumlah kritikus menyebut akronim kerjasama kawasan yang banyak muncul ini seperti suatu “alphabet soup‘ atau “spaghetti bowl‘. Akronim itu seperti APEC, ARF, EAS, SCO, TPP, ASEAN, dan lainnya. Namun, apapun namanya, kesemua itu memiliki makna positif.

Arsitektur yang damai di kawasan Asia Pasifik ini memerlukan suatu keseimbangan yang dinamis (a dynamic equilibrium). Karena itu, SBY mengajak kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China untuk tetap membangun kerjasama yang positif. Hubungan yang positif antara kedua negara tentunya memiliki dampak positif bagi kawasan Asia Pasifik. Namun penting juga, adalah bagaimana mengakomodasi kekuatan-kekuatan baru yang muncul dalam arsitektur kawasan Asia Pasifik ini. Kekuatan besar, menengah, dan kecil perlu menyatukan langkah. SBY percaya bahwa ada kepentingan bersama yang dapat mengikat semua negara, seperti bekerjasama dalam menangani kejahatan non-tradisional. Hal itu dibuktikan ketika kekuatan militer dari berbagai negara bahu-membahu dalam menangani dampak tsunami Aceh pada akhir Desember 2004. Kata SBY, “we are all partners and allies‘.

 
Terakhir, Presiden SBY mengetuk hati semua pemangku kepentingan di sektor pertahanan dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk mengembangkan suatu budaya strategis baru. Apa itu? Budaya baru itu yang mengedepankan pola pikir sama-sama menang dan untung (win-win mindset). Indonesia telah membuktikannya dalam menyelesaikan konflik Aceh. Untuk itulah, diplomasi kemitraan perlu digemakan sebagai prasyarat bagi terbentuknya suatu arsitektur kawasan yang damai.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...