May 10, 2008

MEMAKNAI PERTEMUAN ’SBY-KEVIN RUDD’ DI JIMBARAN

VELIX V. WANGGAI

Jimbaran, Bali menjadi saksi mata bagi Indonesia dan Australia dalam merajut era baru hubungan bilateral. Pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Kevin Rudd, pada 11 Desember 2007, dapat dipandang sebagai langkah politik yang bersifat penegasan atas komitmen yang telah dibangun selama ini. Kedua pemimpin negara bersepakat untuk memperkuat dan memperluas kerjasama dalam berbagai tingkatan dan bidang, baik reforestasi, aforestasi, perdagangan, investasi, keamanan, antiterorisme, maupun perbatasan (Republika, 12 Desember 2007). Adakah makna yang berarti dari pertemuan ’SBY-Kevin Rudd’ ini? Bagaimana wajah hubungan keamanan RI-Australia di era administrasi Kevin Rudd?

Penjanjian Lombok

Ketika mencermati masa depan hubungan RI-Australia, terasa penting untuk memotret kembali payung kerjasama formal yang telah dibangun dalam 2 (dua) tahun terakhir. Di kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, tepatnya 13 November 2006, Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menandatangani Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan antara Indonesiaa dan Australia (Agreement for Framework on Security Cooperation between Indonesia-Australia). Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai ”Perjanjian Lombok”. Kemenangan Kevin Rudd dan Partai Buruh (ALP) dalam Pemilu Australia, 24 November 2007, nampaknya memberikan inspirasi bagi wakil-wakil kita di Senayan untuk meratifikasi ”Perjanjian Lombok”, pada 27 November 2007.

Perjanjian ini mencakup 10 bidang kerjasama, yaitu: pertahanan, penegakan hukum, anti-terorisme; intelejen, maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, pencegahan perluasan (non-proliferasi) senjata pemusnah missal, kerjasama tanggap darurat, kerjasama pada organisasi multilateral, dan peningkatan saling pengertian dan saling kontak antarmasyarakat dan antarperseorangan. Perjanjian ini merupakan payung bagi perbagai bidang kerjasama bilateral, dan bukannya suatu pakta militer.

Jika ditarik kebelakang, Perjanjian Lombok ini merupakan realisasi dari 2 (dua) kali pertemuan antara Presiden SBY dan PM John Howard, pada April 2005 di Canberra dan Sydney, serta pertemuan kedua di kota Batam, pada Juli 2006. Pertemuan yang terakhir ini sebenarnya dianggap sebagai pertemuan ‘perdamaian’ akibat pro-kontra politik imigrasi Australia.

Ketika Presiden SBY mengunjungi Canberra, pada April 2005, ada harapan baru yang cerah bagi masa depan hubungan bilateral kedua negara. Berbagai media, baik di Indonesia dan di Negeri Kanguru, memotret dan mengungkapkan makna berharga atas kesepakatan yang tercapai. Saat itu kedua pemimpin negara menandatangani ”Deklarasi Bersama tentang Kemitraan yang Komprehensif antara Republik Indonesia dan Australia” (Joint Declaration on Comprehensive Partnership between the Republic of Indonesia and Australia). Ada 3 bidang yang ingin dikerjasamakan, yakni kerjasama ekonomi, kerjasama keamanan, dan kerjasama antara masyarakat (people-to-people links). Walaupun ada perbedaan budaya dan tradisi, tetapi deklarasi ini mengakui adanya titik kesamaan untuk mewujudkan demokrasi yang bermakna dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik.

Garis Politik

Pergantian kepemimpinan nasional di Negeri Kanguru tentunya menimbulkan pertanyaan baru. Apakah peralihan kekuasaan dari Partai Liberal ke Partai Buruh (ALP) akan membawa implikasi bagi perubahan hubungan keamanan RI-Australia? Kelihatannya, jawaban dari pertanyaan ini sedang ditunggu-tunggu oleh para pembuat kebijakan (policy makers) di Indonesia, dan tentunya di tubuh birokrasi pemerintah federal Australia. Tentu, kita percaya bahwa gaya kepemimpinan (leadership style) dan garis kebijakan partai yang sedang berkuasa (political platform) akan berkontribusi bagi dinamika kebijakan pemerintahan baru. Ratifikasi Protokol Kyoto oleh PM Rudd adalah sebuah contoh nyata.

Dalam berbagai kesempatan, ALP dibawah komando Kevin Rudd selalu menegaskan akan melanjutkan tradisi yang diwariskan para pemimpin ALP sebelumnya. Ketika ALP berkuasa di Australia, mereka aktif untuk mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ikut memproklamasikan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, mencetusi Kawasan Asia Pasifik sebagai Wilayah Bebas Nuklir, melarang penggunaan senjata kimia, maupun secara konsisten, ALP mendorong keterlibatan Australia secara komprehensif di kawasan Asia Pasifik. Karena itu, kebijakan luar negeri pemerintahan Kevin Rudd akan disandarkan pada 3 (tiga) kepentingan dasar, yaitu keamanan domestik, ekonomi yang kuat dan stabil, serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Menjelang Pemilu Australia 2007, ALP memaknai kembali platform partainya. Ini terlihat ketika Konferensi Nasional ke-44 ALP – forum tertinggi partai – pada bulan April 2007, menghasilkan Konstitusi dan Platform Nasional Tahun 2007 (ALP National Platform and Constitution). Dengan sederet tantangan strategis baru, ALP sadar untuk menyesuaikan diri dengan isu-isu ancaman non-tradisional. Misalnya, ancaman terorisme, gejolak politik lokal di negara-negara kepulauan Pasifik, perdagangan manusia, penyebaran flu burung, dan pencucian uang.

Mengelola lingkungan strategis yang berubah, tentunya membutuhkan kerangka kerjasama yang kuat. PM Rudd pun mengakui hal itu ketika bertemu dengan Presiden SBY di Jimbaran, Bali. Kebijakan untuk melibatkan diri secara komprehensif (comprehensive engagement) di Asia menjadi komitmen vital untuk masa depan Australia.

MENCARI JALAN BAGI PAPUA

Velix Wanggai

Jumat, Kompas, 28 Maret 2008 | 02:21 WIB

Dari waktu ke waktu duet kepemimpinan SBY-JK mencoba mencari penyelesaian terbaik bagi tanah Papua. Hari Selasa, 4 Maret, Presiden SBY bertemu dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat serta bersepakat untuk mengeluarkan paket kebijakan baru. Sederet kesepakatan tersebut adalah Pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengakomodasi keberadaan Provinsi Papua Barat ke dalam kerangka UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Kompas, 5/3/2008).

Lingkaran persoalan

Roda pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua tampaknya memerlukan penataan dan pembenahan yang menyeluruh. Mengapa? Karena ada sederet persoalan yang muncul dan terus melilit efektivitas pelaksanaan otonomi khusus.

Pertama, ketika duet SBY-JK naik ke tampuk kekuasaan, mereka diwariskan agenda krusial perihal kontroversi atas terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.

Kebijakan pada era Presiden Megawati menimbulkan pro-kontra yang meluas, menghabiskan energi sosial dan politik, serta bahkan jatuhnya korban jiwa di Timika, Papua.

Kedua, sejak otonomi khusus diberlakukan pada akhir 2001 kita tidak pernah menemui suatu skenario yang menyeluruh perihal bagaimana melaksanakan pasal demi pasal dan bagaimana tahapan demi tahapan untuk mewujudkan amanat dari UU No 21/2001 itu

Akibatnya, otonomi khusus bagai kehilangan makna dan berjalan tertatih-tatih. Relasi kewenangan antara pusat dan daerah belum tertata, aliran dana otonomi khusus yang kurang bermakna bagi rakyat kecil, serta persepsi yang berbeda-beda antara elite provinsi dan elite kabupaten/kota dalam mengelola kewenangan.

Ketiga, tidak seperti konteks politik dari tahun 1999 hingga 2005, saat sebagian besar rakyat Papua menolak kebijakan pemekaran provinsi, tetapi dalam dua tahun terakhir ini tampaknya arah angin pemekaran bertiup balik.

Di beberapa wilayah muncul aspirasi dan gagasan untuk membentuk provinsi dan kabupaten baru terus mencuat. Bahkan para wakil rakyat di DPR telah bergerak jauh untuk menggunakan hak inisiatif Dewan untuk membentuk provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. Kekecewaan atas hak inisiatif ini diungkapkan kembali oleh tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat ke Presiden, 4 Maret.

Bagaimana kita memaknai ketiga persoalantersebut? Adakah langkah-langkah khusus yang ditempuh oleh duet SBY-JK untuk menyelesaikannya?

Untuk menyelesaikan ketiga persoalan utama tersebut, diperlukan langkah-langkah yang sungguh-sungguh, tidak hanya pertimbangan teknokratis, tetapi juga memerlukan pendekatan hati. Maknanya, hati dan kepercayaan rakyat tanah Papua harus dikelola dengan cantik.

Pertama, selain inisiasi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam 2 (dua) bulan ke depan, perlu dipikirkan ke depan untuk melakukan revisi terbatas atas UU No 21/2001.

Ada beberapa poin penting, yakni (1) perubahan judul undang-undang, yang mungkin berubah menjadi Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Hal ini sebagai antisipasi atas berdirinya provinsi-provinsi baru yang perlu dipayungi oleh otonomi khusus; (2) mengatur karakter dan legitimasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertanyaannya adalah bagaimana mengatur keberadaan MRP, apakah lembaga kultural ini dibentuk di setiap provinsi sehingga lebih banyak wakil-wakil adat semakin terwakili atau MRP berjalan seperti saat ini; (3) mengatur kembali pola hubungan keuangan pusat-daerah yang berubah. Artinya, dengan masuknya Provinsi Papua Barat ke dalam payung otonomi khusus, skenario dana perimbangan, khususnya yang terkait dengan persentase bagi hasil sumber daya alam, perlu disesuaikan dengan amanat UU No 21/2001, dan sebaliknya, tidak mengikuti skenario UU No 32/2004 dan UU No 33/2004.

Kedua, tampaknya kurang bermakna jika gagasan pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus hanya secara khusus dikaitkan dengan kontroversi format pembagian dana antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua ataupun antara provinsi dan kabupaten/kota di lingkungan Provinsi Papua. Alangkah cantiknya jika lembaga ini diarahkan sebagai institusi yang memproduksi rencana induk (grand design) yang memuat skenario pembangunan dalam jangka waktu 20 atau 25 tahun kedepan dalam aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan ekonomi rakyat serta membagi alokasi dana dan mengendalikannya.

Ketiga, seiring dengan gagasan pemekaran provinsi dan kabupaten baru di tanah Papua, alangkah baiknya lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga kultural (MRP) di Provinsi Papua mengambil inisiatif untuk membuat peta jalan (road map) sebagai kerangka yang jelas dalam mendiskusikan beberapa aspek strategis, seperti desain pembentukan provinsi dan kabupaten, strategi tata ruang pulau Papua, strategi pembangunan infrastruktur lintaswilayah dan ekonomi wilayah, ataupun strategi peningkatan sumber daya manusia penduduk asli guna mengisi kebutuhan dan perkembangan pembangunan.

Intinya, kebijakan pemekaran Papua kiranya dipandang sebagai instrumen kebijakan yang berguna bagi percepatan pembangunan di tanah Papua.

Velix Wanggai Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional, ANU, Canberra

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/03/28/02211191


Menyambut Pemimpin Baru Australia

Velix V Wanggai

(Dimuat di Kompas, 26 November 2007)

Konstelasi politik di Australia kini mulai berubah. Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh, sekaligus sebagai pemimpin oposisi, mendapat simpati yang besar dari publik Australia. Dalam pemilu, Sabtu, 24 November 2007, Partai Buruh berhasil merebut kemenangan dari PM John Howard yang telah berkuasa selama 11 tahun.

Pertanyaan menarik yang muncul adalah bagaimana memotret strategi kubu oposisi sehingga dapat mengalahkan calon incumbent secara dramatis? Apa pelajaran yang dapat dipetik?

Kepemimpinan baru

Menjelang Pemilu 2007, Partai Buruh (ALP) mencari strategi yang tepat untuk mengalahkan dominasi partai koalisi. Salah satu strategi jitu yang ditempuh adalah mendeklarasikan slogan resmi partai, yaitu Kepemimpinan Baru (New Leadership), pada pertengahan September 2007. Australia membutuhkan pemimpin muda dengan gagasan-gagasan segar. Artinya, pemimpin yang berusia 68 tahun, seperti PM John Howard, dianggap tak layak bagi perubahan Australia.

Tokoh Kevin Rudd adalah cerminan regenerasi dalam dunia politik di Negeri Kanguru. Sejak kepemimpinan ALP beralih dari Kim Beazley ke Kevin Rudd pada 4 Desember 2006, kehadirannya dianggap sebagai tokoh alternatif yang layak menggantikan PM Howard. Tampil dengan gaya low profile dan teknokratik, Rudd ingin membuka catatan baru bagi proses pembuatan kebijakan publik yang berpihak pada kaum pekerja.

Terpilih pertama kali sebagai anggota parlemen untuk daerah pemilihan Griffith, Queensland, pada 1998, karier politik Rudd ternyata tidak jauh dari lingkaran urusan hubungan luar negeri dan keamanan internasional. Pada periode 2001-2006 Rudd dipercaya sebagai menteri bayangan yang membawahi urusan luar negeri, keamanan internasional, dan perdagangan. Ia selalu tampil mengkritisi kebijakan Menteri Luar Negeri Alexander Downer.

Visi baru

Seiring dengan slogan New Leadership, ALP menawarkan visi alternatif dengan enam kebijakan baru yang kental keberpihakannya kepada keluarga pekerja.

Pertama, revolusi pendidikan. Kecewa dengan sistem pendidikan yang tak ramah dengan keluarga pekerja, ALP menghendaki pembenahan dilakukan sejak pendidikan usia dini (pre-school) hingga mencapai perguruan tinggi. Kedua, memperbaiki rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan. Pelbagai keluhan yang dilontarkan oleh para pasien dan para pekerja menjadi perhatian kubu oposisi. Ketiga, perhatian terhadap perubahan iklim. Dalam berbagai kesempatan, Rudd dan Partai Buruh menjanjikan untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Ini menandakan bahwa isu lingkungan dan iklim dinomorsatukan ketimbang urusan politik ekonomi kaum bisnis.

Keempat, menata kembali hubungan kerja yang adil dan seimbang. Pilihannya adalah merombak regulasi sistem kerja yang merugikan kaum pekerja, sambil memberikan perlindungan terhadap usaha kecil.

Kelima, mempertahankan eko- nomi Australia yang kuat. Sesuai dengan platform partai, sejak awal, Kevin Rudd menegaskan bahwa dirinya adalah penganut aliran ekonomi konservatif yang menghendaki surplus dalam anggaran negara dan pentingnya peran pemerintah. Ia menghendaki agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dinikmati dan ditujukan kepada keluarga pekerja dan pengusaha kecil. Keenam, menguatkan keamanan nasional.

Isu penting yang dilontarkannya adalah menarik pasukan di Irak secara bertahap dengan tetap konsultasi dengan Amerika Serikat. Untuk tingkat regional, hubungan dengan negara-negara tetangga, seperti Indonesia, dianggap sebagai faktor penting dalam memelihara keamanan domestik Australia. Kevin Rudd pernah menegaskan dukungan ALP bagi keutuhan NKRI. Terkait dengan urusan Papua, Rudd sangat mendukung kebijakan otonomi khusus.

Dari keenam kebijakan baru tersebut, tampaknya Kevin Rudd sadar untuk kembali ke platform dan karakter asli Partai Buruh. Mereka berjuang dengan kemasan kebijakan yang cantik untuk membela kelas pekerja, sambil meraup kekecewaan publik Australia atas kekeliruan PM John Howard di Perang Irak. Rudd dan pendukungnya berani menampilkan karakter ideologi buruh yang sesungguhnya, yaitu kapitalisme yang beradab (Parkin, Summers & Woodward edt, 1994).

Sekali lagi bahwa Pemilu Australia memberikan pelajaran berharga bagi kita. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, calon PM incumbent dapat kalah secara dramatis di tangan tokoh muda yang menjanjikan visi alternatif bagi masa depan Australia. Slogan New Leadership dan New vision for Australia’s future ternyata menjadi rangkaian kalimat ampuh untuk mengantarkan Kevin Rudd sebagai PM baru Australia.

Velix V Wanggai, Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional di The Australian National University, Canberra, Australia, dan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia Periode 2004-2006

http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0711/26/opini/4025078.htm

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...