Mar 29, 2012

BBM Bersubsidi buat (Si) Apa?

Jurnal Nasional | Kamis, 29 Mar 2012
Iman Syukri

Velix Wanggai

SAAT ini, detik demi detik, Pemerintah sedang berjuang untuk menyelesaikan politik anggaran yang lebih adil dan memihak rakyat kecil. Dari siklus politik perencanaan anggaran, APBN-P 2012 ini akan diketok oleh Pemerintah dan DPR sebelum 1 April 2012. Revisi APBN ini mutlak dilakukan karena kita, Indonesia, berada dalam struktur ekonomi dunia yang saling tergantung. Gejolak di belahan dunia lain, sudah pasti mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Memanasnya situasi politik di Selat Hormuz misalnya, telah berpengaruh bagi politik anggaran Indonesia. Karena itu, dalam pandangan Presiden SBY, opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan semata urusan fiskal atau perubahan asumsi pada APBN 2012. Namun lebih dari itu, revisi ini ditujukan untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dalam menghitung APBN 2012, Pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar US$90 per barel sebagai panduan dasar. Padahal, krisis ekonomi maupun gejolak politik di sejumlah kawasan negara lain telah mendorong harga minyak mentah Indonesia hingga mencapai US$122,17 per barel. Setiap kenaikan harga sebesar US$1 per barel, dengan asumsi kurs Rp9.000 per dolar, akan menaikkan penerimaan sebesar Rp3,37 triliun. Sebaliknya, kenaikan US$1 per barel juga meningkatkan pengeluaran negara dalam jumlah yang lebih besar, yaitu Rp4,3 triliun. Tentu naiknya harga minyak mentah dunia akan menyebabkan lonjakan subsidi untuk Solar dan Premium ini. Harga Premium kita ini adalah yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Harga eceran yang disubsidi di Malaysia (RON 95) senilai Rp5.753 dan harga bensin eceran yang tidak disubsidi di Filipina (unleaded) mencapai Rp12.147 dan di Singapura (Grade 92) mencapai Rp15.695 (kurs BI Maret 2012).

Presiden SBY merasakan apa yang dirasakan rakyat kebanyakan. Ia tidak tumbuh besar di lingkungan Istana, namun ia tumbuh di tengah-tengah rakyat kecil di pelosok Pacitan. Ketika Mei 2008 harga rata-rata minyak mentah Indonesia mencapai US$121 per barel, Presiden SBY dengan berat hati terpaksa menaikkan harga Premium dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter. Tetapi tujuh bulan kemudian ketika harga minyak turun ke US$95,87 per barel, Presiden SBY juga menurunkan harga Premium menjadi Rp5.500 per liter pada 1 Desember 2008, dan diturunkan terus ke harga awal sebesar Rp4.500 per liter pada 15 Januari 2009. Sementara itu, harga minyak mentah menyentuh US$122,17 per barel pada Februari 2012. Konteks ekonomi-politik itu patut dipertimbangkan di dalam politik APBN 2012 yang hanya mematok US$90 per barel. Hingga 28 Maret 2012, harga minyak per barel menguat ke US$107,17, dan berbagai perkiraan dapat melonjak menjadi US$150 hingga US$175 per barel jika Selat Hormuz terus bergejolak.

Penyesuaian harga Premium bersubsidi ini bukanlah semata-mata untuk menghemat anggaran, namun komitmen penyesuaian harga ini ditujukan untuk rakyat kecil. Selama ini subsidi BBM justru lebih membantu warga kelompok menengah-atas yang sudah berkecukupan. Mereka lebih menikmati subsidi karena memiliki mobil pribadi. Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2010 BPS membuktikan situasi paradoks itu. Survei itu menunjukkan rata-rata rumah tangga kaya menikmati subsidi bensin 10 kali lipat lebih besar dari rumah tangga miskin. Pemotongan subsidi BBM adalah pilihan yang lebih bijak dalam membelanjakan uang negara. Hasil pemotongan subsidi ini dapat dipakai untuk membiayai berbagai program pengentasan kemiskinan dan lebih dinikmati oleh si kecil, rakyat kebanyakan.

Mar 23, 2012

PNPM: Praktik Demokrasi Ekonomi Lokal

Jurnal Nasional | Kamis, 22 Mar 2012
Velix Wanggai

Mayoritas diantara kita berasal dari desa atau kampung. Paling tidak ketika kecil kita menikmati masa indah di kampung kita masing-masing. Disana para leluhur, para tetua adat, dan orang tua lahir dan hidup mengelola sumber daya alam yang tersedia di sekitar kampung. Masyarakat hidup dengan kultural yang menghargai sesama, gotong royong, dan harmoni dengan alam. Semua itu merupakan modal sosial, modal kultural, dan modal spiritual yang hidup di tengah-tengah rakyat di kampung-kampung.

Hari ini struktur demografis terus bergeser pelan-pelan. Dulunya mayoritas penduduk tinggal di wilayah perdesaan, namun Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat bahwa hari ini penduduk desa semakin berkurang ketimbang penduduk yang menetap di kota-kota. Hal itu menunjukan struktur ekonomi kota semakin berkembang. Sebaliknya, penduduk miskin lebih banyak menetap di desa atau kampung. Di akhir 2011, penduduk miskin di desa sebesar 18,9 juta jiwa (15,72 persen) dan miskin kota sebanyak 11 juta jiwa (9,23 persen). Dengan realita itu, agenda pembangunan yang inklusif gencar dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Salah satunya melalui skema Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.

PNPM Mandiri Perdesaan adalah salah satu intervensi Pemerintah yang bersifat terobosan dalam konteks strategi pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Melalui pendekatan PNPM ini, demokrasi lokal yang sesungguhnya terjadi di tingkat akar rumput. Warga di kampung bermusyawarah untuk merumuskan kegiatan dan juga melaksanakan kegiatan sendiri. Selain infrastruktur desa, warga kampung juga mengelola dana bergulir dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), dimana alokasi dana sekitar 1-3 milyar digelontorkan ke setiap kecamatan.

Saat ini dalam skenario penanggulangan kemiskinan nasional, Presiden SBY meletakkan PNPM sebagai bagian dari kluster II dalam peningkatan kapasitas kaum marginal kota dan desa. Untuk memetik pelajaran dari PNPM Mandiri Perdesaan ini, penulis bersama Ayib Muflich, Direktur Jenderal Pengembangan Masyarakat Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri, mengunjungi Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada Senen, 19 Maret 2012. Ternyata Sumedang memberikan pelajaran menarik bagi kita semua. Di wilayah Sumedang, mekanisme perencanaan PNPM dari level desa atau kampung telah diintegrasikan dengan mekanisme perencanaan regular sesuai UU No. 25/2004 perihal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Artinya, usulan warga kampung ternyata langsung diakomodasi melalui skema PNPM. Sedangkan usulan lainnya dibiayai dari alokasi Dinas maupun Kementerian.

Cerita menarik lainnya adalah keberhasilan warga kampung penerima PNPM yang berhasil mengelola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Penulis sempat mengunjungi salah satu Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di Kecamatan Rancakalong. Modal bergulir di Rancakalong ini telah berputar sekitar Rp 2,3 Milliar, dan hasil dari kegiatan usaha ekonomi ini telah membangun bangunan kantor yang layak sebagaimana bangunan kantor perbankan. Bahkan ada 9 bangunan lainnya yang serupa sebagai keberhasilan PNPM di Sumedang. Cerita keberhasilan ini ternyata terjadi juga di daerah-daerah lain di Tanah Air. Kita mencatat bahwa aset usaha ekonomi PNPM yang sedang berputar di tengah masyarakat mencapai Rp 6 Triliun. Ini adalah keberhasilan yang dialami rakyat di kampung-kampung.

Dinamika ekonomi dari hasil PNPM ini adalah demokrasi ekonomi lokal yang sesungguhnya.

Mar 15, 2012

Indonesia, "Saudara Tua" Singapura



Jurnal Nasional | Kamis, 15 Mar 2012

Oleh: Velix Wanggai

Sebagaimana manusia yang hidup, negara pun --seperti layaknya pribadi-- butuh
teman. Seperti manusia, negara mana pun memiliki harapan dan tujuan. Sebagaimana orang hidup, negara butuh menjalin hubungan baik. Ada adagium hubungan internasional yang mengatakan bahwa di dunia global, "tidak ada negara yang tak membutuhkan negara lain". Begitu pula dalam hubungan antardua negara bertetangga-dalam masa damai - dikatakan bahwa "tidak ada suatu negara yang tidak membutuhkan negara tetangganya". Sebaliknya, dalam masa konflik, adagium tersebut mengatakan sebaliknya: bahwa "tidak ada dua negara yang bertetangga yang tidak mengalami gesekan kepentingan".

Dalam konteks dua negara yang bertetangga itu, pada Selasa, 13 Maret 2012, Presiden SBY bertemu dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong di Istana Bogor. Di tempat yang bersejarah di Kota Bogor ini, ketika kita menengok ke perjalanan sejarah kedua negara, Istana Bogor memiliki kenangan yang tak terlupakan. Istana Bogor ini terletak di Kebun Raya Bogor, sebagian dari "samida" (hutan buatan atau taman buatan) yang telah ada pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda.

Pada pertengahan abad 18, Gubernur Jenderal Van der Capellen membangun rumah peristirahatan di sudut taman buatan itu. Selanjutnya, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raflles sebagai "Bapak Pendiri Singapura" pernah tinggal di Istana Bogor ini. Ia adalah pencinta botani dengan membuat taman yang indah bergaya Inggris klasik. Bahkan, Raflles membangun sebuah monumen guna mengenang meninggalnya istri Raflles.

Sir Raflles dikenang sebagai pendiri Singapura modern. Ketika Raflles bertugas di sebuah pelabuhan Inggris di Bengkulu, ia berpikir untuk mendirikan pelabuhan baru di Selat Malaka. Ia tiba perkampungan Melayu kecil di muara sungai Singapura pada 29 Januari 1819. Ketika itu, Singapura berada di bawah Temenggung Johor, Kesultanan Johor. Dalam sejarahnya, keturunan raja-raja Bugis dari Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan, Indonesia memiliki pengaruh yang kuat di kesultanan Melayu di Malaysia. Hingga saat ini, warisan dari pengaruh Bugis ini dikenal dengan Bugis Street. Selain itu, Indonesia sebagai "Saudara Tua" Singapura dapat dilihat pada Masjid Sultan di Kampung Glam, Singapura, merupakan masjid pertama di Singapura. Struktur awal Masjid Sultan ini dibangun sekitar 1826 oleh masyarakat muslim Jawa yang berprofesi pedagang.

Ikatan kultural yang dijalin ratusan tahun ini adalah salah satu fondasi penting. Di sinilah, kita memaknai retreat antara Presiden SBY dan PM Lee Hsien Loong di Istana Bogor. Salah satu isu, sebagai contoh, terkait dengan pembangunan kewilayahan. Kedua negara sepakat untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) melalui kerja sama investasi, perdagangan, tenaga kerja, pariwisata, maupun agribisnis. Untuk itulah, segala bottleneck yang dihadapi akan dipecahkan oleh kedua negara.


Tentu, masih ada sejumlah isu penting yang dibahas oleh kedua pemimpin. Kedua negara berikhtiar untuk mengembangkan tatanan regional yang stabil dan inklusif. Hal ini sesuai dengan janji kita untuk "Membangun Perdamaian dan Ketertiban Dunia ". Sir Raflles yang pernah tinggal di Istana Bogor dan Bengkulu pada tahun 1800-an, serta pengaruh raja-raja Bugis dan masyarakat Jawa di kesultanan Melayu di semenanjung Singapura sekitar 1700-an merupakan fondasi dari ikatan batin antara Indonesia-Singapura.
Tidak salah, jika kita menyebut Indonesia adalah "Saudara Tua" Singapura

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...