Oct 30, 2007

Rekonstruksi Pemekaran Wilayah di Tanah Papua

Sumber : Cendrawasih Pos, 23 Oktober 2007

Oleh: Velix Vernando Wanggai, MPA


Menarik mencermati pernyataan Wakil Presiden Yusuf Kalla di hadapan ratusan pejabat dan tokoh masyarakat Sulawesi Tengah beberapa hari lalu. Dalam kesempatan itu, Yusuf Kalla menegaskan pemekaran provinsi dan kabupaten hanya akan menghabiskan uang negara. “Jangan lagi kita berpikir, untuk berpecah belah. Belum apa-apa, sudah mau buat provinsi dan kabupaten baru. Itu semua hanya menghabiskan ongkos” (Cendrawasih Pos, 17 Oktober 2007). Pernyataan Wakil Presiden ini akhirnya menimbulkan berbagai pendapat di kalangan elite Papua, baik dari kalangan intelektual Uncen, dan kalangan pimpinan MRP dan DPRP menyangkut layak atau tidak layak pemekaran provinsi dan kabupaten baru di Tanah Papua (Cendrawasih Pos, 18-20 Oktober 2007). Bagaimana kita menjelaskan pernyataan Yusuf Kalla ini dan kemudian dikontekstualisasikan ke dalam dinamika dan format pemekaran wilayah di Tanah Papua? Apakah ini berarti menutup berbagai kemungkinan berdirinya provinsi dan kabupaten baru dibawah payung Otonomi Khusus bagi Tanah Papua?

Memaknai Argumen Yusuf Kalla

Jika menyimak pernyataan Yusuf Kalla secara seksama, ada 3 (tiga) makna penting yang menyertai kebijakan pemekaran wilayah. Pertama, pemekaran hanya akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang ditujukan untuk penataan dan pembangunan perkantoran dan rumah pejabat serta biaya perjalanan. Hal ini mengakibatkan dana pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) terserap dalam jumlah yang besar kepada dana rutin atau biaya tidak langsung di kalangan aparatur negara. Kedua, pemekaran wilayah hanya akan menciptakan ketergantungan daerah kepada pusat. Hal ini berlaku bagi provinsi dan kabupaten baru yang memiliki sumber daya alam atau pendapatan asli daerah yang terbatas sehingga tidak mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan di masa transisi penataan daerah otonom baru. Ketiga, Yusuf Kalla menyatakan bahwa pemekaran wilayah mesti mempertimbangkan jumlah penduduk dengan membandingkan Sulawesi Tengah dan Jawa. Dengan penduduk yang sedikit di Sulawesi Tengah, namun arus aspirasi pemekaran provinsi terus bergema di provinsi yang sedang menata kembali pembangunan setelah konflik pecah dalam dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah Poso.

Dalam beberapa hal, memang benar pernyataan Yusuf Kalla. Daerah-daerah hasil pemekaran akan memberikan beban ekonomi, administrasi, dan politik kepada provinsi maupun kabupaten induk, serta pemerintah pusat. Ini terbukti ketika pada awal Oktober 2007 lalu Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR RI membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) Tahun 2008, dimana Pemerintah dan Panitia Anggaran membuat skema khusus dalam mengalokasikan dana khusus yang cukup besar kepada provinsi dan kabupaten hasil pemekaran di wilayah Timur Indonesia (Risalah Hasil Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI) .

Pernyataan Yusuf Kalla ini sebenarnya telah menyederhanakan faktor-faktor pendorong pembentukan suatu daerah otonom baru. Faktor jumlah penduduk hanyalah salah satu faktor dari variabel teknis pembentukan provinsi dan kabupaten baru, dari sejumlah faktor yang semestinya diperhatikan. Karena itu dapat disimpulkan bahwa argumen Yusuf Kalla lebih menonjolkan perhitungan ekonomis dibandingkan dengan pertimbangan rentang kendali pelayanan pemerintahan, partisipasi dan keterwakilan politik, percepatan pembangunan daerah-daerah terpencil di kawasan Timur Indonesia, serta faktor historis dan kesatuan sosial budaya masyarakat.

Belajar dari pengalaman transisi kelembagaan di negara-negara transisi di Amerika Latin dan Eropa Timur, dana-dana pembangunan lebih tersedot ke penataan kelembagaan (institutional design), baik dalam menata struktur pemerintahan lokal, membangun gedung baru, membayar gaji pejabat dan pegawai negara dan biaya perjalanan dinas aparatur negara (Ronald Fransisco, 2000, The Politics of Regime Transitions). Namun hal ini memberikan makna tersendiri bahwa desain kelembagaan menjadi variabel penting di negara-negara transisi. Mengapa hal ini penting? Karena melalui penataan kelembagaan, suatu pemerintahan dapat meningkatkan keterwakilan berbagai kelompok kepentingan yang bermuara bagi akomodasi dan integrasi sosial, maupun instrumen bagi percepatan pembangunan daerah. Hal ini dapat dilihat pada kelembagaan pemerintahan di provinsi-provinsi baru di kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Basis sosial yang berbeda semakin terwakili dan keunggulan sumber daya lokal semakin memiliki nilai ekonomis dalam menggerakan ekononomi wilayah dan masyarakat lokal, sebagaimana yang terjadi di Gorontalo.

Perlunya Desain Ulang Pemekaran Wilayah

Kegelisahan Yusuf Kalla atas implikasi negatif pemekaran wilayah tersebut sebenarnya memiliki makna yang strategis bagi prospek pemekaran wilayah di Tanah Papua, baik di level provinsi maupun kabupaten. Artinya, pernyataan ini memberikan makna peringatan bagi para pendukung pemekaran wilayah untuk mengkalkulasi kembali, apakah pembentukan daerah otonom layak dilakukan di Tanah Papua.

Namun, relevankah pernyataan Yusuf Kalla bagi dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru di Tanah Papua? Nampaknya pernyataan ini tidak seratus persen relevan dengan konteks ke-Papua-an. Ada nilai historis yang telah berlangsung cukup lama dalam menggaungkan gagasan pembentukan provinsi baru sejak awal tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an ini. Pemerintah pun lebih memilih skenario pemekaran dari level bawah melalui proses penguatan kelembagaan dari level kampung, kecamatan, dan kabupaten ketimbang memilih skenario pemekaran dari level atas yang langsung membelah provinsi Papua menjadi beberapa provinsi.

Karena itu, hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah membuat arah kebijakan (roadmap) yang memuat skenario dan design pemekaran wilayah di Tanah Papua dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Keberadaan ‘grand design’ akan memberikan arah bagi para pengambil keputusan di Tanah Papua untuk menetapkan berapa jumlah provinsi dan kabupaten yang layak berdiri dalam suatu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan geo-politik di pulau Papua. Untuk mendapat grand design pemekaran wilayah, nampaknya diperlukan forum yang representatif untuk menghasilkan dokumen strategis tersebut. Dalam konteks UU No.21/2001, pihak Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Gubernur memiliki kepentingan yang saling terkait dalam mengusulkan pembentukan provinsi baru. Ketiga lembaga ini menjadi pelaku-pelaku utama dalam memproses lebih lanjut pemekaran provinsi.

Namun patut disayangkan bahwa konsep pemekaran provinsi Papua tidak tercantum dalam Agenda Pertama Pemerintah Provinsi Papua, yakni Menata Kembali Pemerintahan Daerah (RPJMD Provinsi Papua). Dalam agenda ini, Pemerintah Daerah hanya menekankankan pada 3 aspek, yakni: reformasi birokrasi, reformasi keuangan, dan penyelenggaraan system pengadaan barang dan jasa secara independen. Khusus terhadap reformasi birokrasi, Kaka Bas nampaknya menekankan penguatan struktur pemerintahan di tingkat distrik dan kampung melalui suntikan dana 100 juta. Sebenarnya langkah yang telah dilakukan sejak tahun 1980-an ketika Pemerintah Pusat memiliki skenario pemekaran dari bawah melalui penguatan distrik dan kampung.

Namun cukupkah reformasi birokrasi hanya dikaitkan dengan 3 aspek sebagaimana yang disebutkan diatas? Bagaimana dengan arus besar terhadap pemekaran provinsi dan kabupaten yang begitu marak akhir-akhir ini di Tanah Papua? Karena itu, penulis menilai bahwa penguatan distrik dan kampung harus diletakkan dalam sebuah grand design penataan struktur pemerintahan yang komprehensif, yang didalamnya mengatur tentang format pemekaran provinsi dan kabupaten yang layak di Tanah Papua. Nampaknya kurang tepat jika Pemerintah Provinsi Papua membiarkan arus pemekaran provinsi berjalan tanpa arah dan kendali.

Pilihan pertama yang bersifat jangka pendek adalah grand design ini harus dirumuskan segera dalam tahun 2007 sebelum regulasi paket politik (Pemilu, Partai Politik, dan Susduk DPR/MPR) yang kini sedang dibahas di DPR RI disahkan pada akhir tahun 2007 atau awal tahun 2008. Pilihan kedua yang bersifat jangka menengah adalah grand design tersebut disusun pada tahun 2008 dan 2009 sehingga semua elemen pemerintahan dan masyarakat di semua level di pulau Papua dapat berpartipasi dalam menggodok konsep penataan pemekaran provinsi dan kabupaten secara komprehensif. Kemudian, kebijakan pemekaran provinsi Papua akan disahkan setelah Pemilu 2009 sesuai dengan format pemekaran provinsi yang disepakati dalam grand design.

Untuk itu, langkah strategis awal yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mewujudkan suatu dokumen yang komprehensif tentang rekonstruksi pemekaran provinsi dan kabupaten di Tanah Papua.

Pemerintah Provinsi Papua perlu memiliki desain yang utuh perihal beberapa aspek. Pertama, evaluasi menyeluruh atas struktur pemerintahan di semua levelpemerintahan, termasuk dinamika kabupaten-kabupaten hasil pemekaran tahun 2002. Hal ini sejalan dengan pernyataan pengamat politik dari Universitas Cendrawasih Drs. Beatus Tambaip, MA yang menekankan pentingnya evaluasi secara menyeluruh terhadap kabupaten pemekaran selama ini dan kemudian disusun skenario pemekaran provinsi dan kabupaten yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat (Cendrawasih Pos, 18 Oktober 2007).

Kedua, analisis struktur ruang wilayah dan kaitannya dengan rentang kendali birokrasi dan jumkah daerah otonom, baik provinsi dan kabupaten yang layak dibentuk. Ketiga, analisis peta sosial budaya dan kaitannya dengan representasi basis sosial dan kesatuan sosial budaya dalam kerangka penataan administrasi pemerintahan. Keempat, peta distribusi sumber daya alam dan konsepsi pembangunan ekonomi, sosial, dan infrastruktur dengan melihat Tanah Papua sebagai suatu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan geo-politik. Kelima, skenario perencanaan pembangunan sumber daya manusia (Papuan manpower planning) yang komprehensif dan peranserta rakyat Papua dalam dinamika pembangunan nasional dan daerah ke depan. Keenam, rekonstruksi provinsi-provinsi baru kedalam payung Otonomi Khusus, termasuk didalam menyangkut kewenangan, pembagian dana pembangunan, struktur MRP, dan forum kerjasama lintas pemerintah provinsi di Tanah Papua.

Tindak Lanjut Segera “Biak Agreement”

Untuk mewujudkan dokumen strategis tersebut, nampaknya “Biak Agreement” (Kesepakatan Biak) pada tanggal 17-18 April 2007 antara elite birokrasi dan politik di Papua dan Papua Barat perlu ditindaklanjuti segera, terutama oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan mempercepat pembentukan tim khusus guna mengkaji hal-hal teknis masuknya Provinsi Papua Barat dan provinsi-provinsi baru lainnya ke dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. Akhirnya, penulis menilai bahwa diperlukan perluasan atau penambahan tugas kepada tim untuk mewujudkan dokumen strategis rekonstruksi pemekaran provinsi dan kabupaten di Tanah Papua. Jika langkah ini tidak ditempuh saat ini, penulis memperkirakan persoalan pendirian provinsi baru di Tanah Papua akan terus berulang dari waktu ke waktu, dan akan menghabiskan energi sosial dan politik yang besar, bahkan menyimpan potensi konflik. Kini saatnya bagi “dwitunggal Kaka Bas-Alex” untuk meletakkan dasar yang damai dan berkelanjutan dalam upaya rekonstruksi struktur pemerintahan di semua tingkatan melalui format pemekaran provinsi dan kabupaten yang layak di Tanah Papua.

Penulis adalah kandidat Doktor Bidang Kebijakan Publik di the Australian National University (ANU), Canberra, dan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia Tahun 2004 - 2006.

Dari Mansinam Menuju Biak: Mencari Solusi Berkelanjutan di Tanah Papua

Sumber : Cendrawasih Pos, 19 April 2007

Oleh: Velix Vernando Wanggai, MPA

Dinamika penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, pembangunan wilayah, dan kepolitikan lokal di Tanah Papua masih dihadapkan oleh sederet warisan persoalan yang harus dicari format penyelesaian secara mendasar, menyeluruh, dan berkelanjutan. Dalam kerangka mencari format solusi tersebut, nampaknya pertemuan antara Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu dan Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham Ataruri, yang berlangsung di pulau Mansinam, pada tanggal 26 February 2007 lalu, telah memberikan secercah harapan bagi upaya rekonsilisasi politik yang damai. Hasil pertemuan ini, kemudian lebih dikenal sebagai ”Kesepakatan Mansinam” (Mansinam Agreement), merupakan upaya kompromi di tingkat elite, sekaligus sebagai landasan bagi institusi politik, kultural, dan pemerintahan di Papua dan Papua Barat, yakni Gubernur Provinsi Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan MRP, Pimpinan DPRP, dan Pimpinan DPRD Papua Barat untuk duduk dalam suatu ”para-para politik kultural” di kota Biak pada tanggal 16,17, dan 18 April 2007 ini, dalam wahana Raker Bupati/walikota se-Tanah Papua dan dilanjutkan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda) Provinsi Papua. Seminggu kemudian, Musrenbangda Provinsi Papua Barat akan digelar pada tanggal 23-24 April 2007 di Manokwari. Walaupun forum tersebut adalah kegiatan tahunan, namun harapan yang melekat di benak publik Papua adalah forum ini diharapkan dapat merumuskan solusi damai yang berkelanjutan, baik secara politik, administrasi pemerintahan, legalitas, dan kultural.

Kesepakatan Mansinam

Kebekuan hubungan di kalangan elite dan sebagian kalangan masyarakat di kedua provinsi ini mulai terjadi ketika Inpres No. 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45/1999 dikeluarkan oleh Presiden Megawati (Megawati Administration). Inpres ini kemudian menimbulkan perbagai kontroversi di publik, baik di aras lokal dan nasional, bahkan di aras internasional. Ada banyak variabel yang saling berkaitan dalam menjelaskan kehadiran Inpres tersebut. Mulai dari persaingan elite dan partai politik, perebutan sumber daya alam, maupun strategi untuk memotong rentang kendali birokrasi yang sangat luas. Wilayah yang sangat luas, penduduk yang hidupnya terpencar-pencar, dan kondisi geografis yang sulit dijangkau telah menyebabkan hak-hak dasar rakyat Papua terus diabaikan dan kurang diperhatikan dalam kerangka pembangunan nasional dan regional.

Dalam konteks tersebut, pertemuan antara Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat, di Mansinam - sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di Tanah Papua - memberikan makna yang sangat berarti guna mencairkan konflik yang berlarut-larut ditengah-tengah upaya konsolidasi Otonomi Khusus. Kita patur bersyukur terhadap kemauan politik yang ditunjukkan oleh kedua gubernur untuk menyelesaikan kebingungan hukum dan administrasi pemerintahan, dan lebih menaruh perhatian yang besar bagi percepatan penegakan hak-hak dasar rakyat Papua secara menyeluruh di kedua provinsi ini.

Kita menyaksikan bahwa Mansinam Agreement telah melahirkan 8 butir kesepakatan. Pertama, sebelum tanggal 31 Maret 2007 akan dilaksanakan pertemuan awal di Jayapura antara Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan DPRP, Pimpinan MRP, dan Pimpinan DPRD Provinsi Papua Barat; Kedua, melakukan reinventarisasi personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen di bidang pendapatan daerah, pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, pertanian, perikanan kelautan, pertambangan dan bidang lainnya sampai dengan tanggal 31 Maret 2007; Ketiga, menyetujui bahwa Pemerintah Provinsi Papua Barat akan mendapat pembagian Dana Otsus Papua terhitung setelah pelaksanaan pertemuan di Biak pada Minggu kedua bulan April 2007. Keempat, menyetujui agar semua hasil sumber daya alam di Tanah Papua dibagi untuk semua Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, dengan prosentase penerimaan bagi daerah penghasil dan daerah bukan penghasil mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan daerah. Kelima, menyetujui satu konsep pembangunan terpadu di Tanah Papua yang meliputi tata ruang termasuk pengembangan infrastruktur terpadu, strategi pengembangan ekonomi, sosial budaya dan pengembangan sumber daya manusia; Keenam, menyetujui bahwa semua hasil hutan berupa kayu log, tidak lagi dieskpor atau diantarpulaukan keluar Tanah Papua; Ketujuh, menyetujui bahwa semua hasil tangkapan pembalakan liar (kayu log) menjadi hak dan milik Pemerintah Daerah dan akan diatur lebih lanjut dalam kebijakan Pemerintah Daerah. Kedelapan, menyetujui agar Raker Bupati/Walikota se-Tanah Papua akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan April 2007 di Biak, Provinsi Papua.

Menuju Kesepakatan Biak

Kita patut memuji Mansinam Agreement sebagai langkah strategis yang dilakukan oleh tokoh ”Dwi-B” Papua ini, baik Bung Bas Suebu (BS) dan Bung Bram Ataruri (BA), untuk mencoba mengurai benang kusut persoalan yang terjadi. Walaupun, patut diakui masih banyak aspek persoalan lainnya yang tidak tercakup dalam Mansinam Agreement tersebut. Namun, nampaknya Gubernur BS dan Gubernur BA sadar bahwa sebagian besar dari delapan (8) butir dari Mansinam Agreement ini lebih mengangkat isu-isu diseputar pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Dalam tataran praktis, bagaimana mensinergikan potensi dan peran Freeport Indonesia dalam skenario pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah di Pegunungan Tengah dan Pantai Selatan Pulau Papua, maupun LNG Tangguh dalam mendorong pusat penyebaran pertumbuhan baru di Kepala Burung Pulau Papua. Karena patut diakui bahwa betapa penting peran dunia investasi dalam struktur ekonomi daerah dan juga dalam mewujudkan agenda dan strategi pembangunan yang dicanangkan Gubernur BS dan BA. Hal ini tentunya sebagai bagian dari strategi percepatan pembangunan wilayah di Pulau Papua secara keseluruhan, tanpa dibatasi oleh tembok kaku pembagian daerah provinsi di Pulau Papua. Simak saja, ”butir ketiga, keempat, dan kelima dari Mansiman Agreement”. Pada intinya, Gubernur BS dan BA telah sepakat untuk menciptakan skenario pengembangan Tanah Papua dalam satu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan infrastruktur yang didukung oleh distribusi pendanaan dan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.

Namun, ada sederet pertanyaan yang masih mengganjal, dan mungkin hal ini lebih cenderung memasuki ruang wacana yang bersifat ’high-politics’ dan masih meninggalkan setumpuk kontroversi di level publik. Pertama, apakah Gubernur BS dan BA bersepakat untuk menjadikan Daerah-Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai satu kesatuan politik dalam payung Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Tanah Papua? Kedua, adakah payung hukum baru yang disepakati oleh Gubernur BS dan BA untuk mengelola keberlanjutan jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan di Provinsi Papua Barat? Ketiga, mungkinkah Mansinam Agreement ini menjadi titik tolak bagi publik Papua untuk membicarakan secara terbuka tentang penataan kembali sistem administrasi penyelenggaraan pemerintahan dan struktur politik yang terbagi dalam beberapa provinsi dalam kerangka Otonomi Khusus.

Pekerjaan rumah bagi para elite dan publik di Tanah Papua adalah kita perlu secara terbuka untuk bersepakat secara politik melalui landasan kajian akademis yang layak untuk menjawab ketiga pertanyaan diatas. Karena itu, forum Raker Bupati/Walikota se-Tanah Papua, dan juga forum lanjutan antara Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Pimpinan DPRP, Pimpinan MRP dan Pimpinan DPRD Papua Barat di kota Biak pada pertengahan bulan April ini, dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk menjawab sederet pertanyaan tersebut. Dalam bayangan saya, pertemuan ini dapat menghasilkan ”Biak Island Agreement” mengenai format hubungan pemerintahan antara kedua provinsi ini dan kerangka payung hukum baru bagi keberadaan provinsi Papua Barat.

Ada beberapa alternatif. Alternatif 1, untuk jangka waktu pendek, diperlukan Perdasus yang memasukan Provinsi Papua Barat dalam lingkup manajemen Otonomi Khusus Papua, sehingga hal ini menjadi instrumen dasar dalam pembagian dana Otonomi Khusus, pembagian sumber daya alam, dan kerangka penyusunan Tata Ruang bersama Pulau Papua. Alternatif 2, perlu membuat UU baru bagi pembentukan Provinsi Papua Barat yang diatur juga dalam kerangka Otonomi Khusus Papua. Alternatif 3, perlu membuat UU baru bagi pembentukan Provinsi Papua Barat yang berada di luar kerangka UU No. 21/2001. Alternatif 4, perlunya amandemen UU No. 21/2001 dengan memperluas ruang lingkup wilayah pelaksanaan Otsus yang meliputi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi - provinsi baru yang akan hadir di Tanah Papua. Tentunya, amandemen ini akan memuat pula hal-hal lainnya seperti pengaturan kedudukan MRP, keuangan, dan manajemen sumber daya alam.

Akhirnya, perjalanan dari Mansinam menuju Biak, mulai dari February hingga April 2007 ini, sebenarnya memberikan makna penting bagi para elite Papua untuk merumuskan kerja-kerja politik ekonomi yang lebih konkrit dalam percepatan pembangunan wilayah dan masyarakat di Tanah Papua dibawah payung Otonomi Khusus. Namun, agenda ke depan ini dapat terwujud jika semua pihak untuk berjiwa besar, ikhlas, dan rendah hati dapat menyamakan persepsi dan sekaligus menemukan format solusi yang adil, menyeluruh, dan berkelanjutan bagi semua pihak di Tanah Papua.

Penulis adalah mahasiswa program S-3 di Divisi Politik dan Hubungan Internasional, the Australian National University (ANU), Canberra, Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Australia 2004 – 2006.

Jan 25, 2007

Ideas, Power, and Policy-Making: The Politics of Desentralisation Reforms in Indonesia's Transition, 1998 - 2006

Dear All
Velix Wanggai will be presenting his Pre-fieldwork Seminar - see abstract below - and would be pleased if you could attend. Monday, January 29th 3 pm - 4 pm, Seminar Room D
Pre-fieldwork Seminar
Velix Wanggai PhD candidate, Department of Political and Social Change,
Division of Political and International Relations,
Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS),
The Australian National University
Ideas, Power, and Policy-Making: The Politics of Decentralisation Reforms in Indonesia's Transition, 1998 - 2006
Dramatic political changes have taken place in Indonesia since 1998, including the introduction of dramatic new policies concerning regionalautonomy. As part of consolidating a new institutional structure, successive governments have reconstructed the relationship between the central and regional governments, including asymmetrical decentralisation for Papua and Aceh in 2001 and 2006. This dissertation examines how the transition todemocracy has changed the nature of the policy-making process in Indonesiaby asking how decentralisation reforms have been shaped.
In order to answer the major question above, this dissertation will examine the establishment of four decentralisation policies: (1) Law No.22/1999 on Regional Government; (2) Law No. 21/2001 on Special Autonomy forPapua; (3) Law No. 32/2004 on Regional Government; and (4) Law No.11/2006 onthe Government of Aceh. In analysing my case studies, I will explore three important aspects of the policy-making process: (1) the key actors in agenda setting, policy formation, and decision-making; (2) the nature of the motives, perceptions, and goals of the players; and (3) power relations and resource exchanges during the policy-making process, whether these have occured through negotiation, compromise, bargaining, lobbying, orco-optation, etc.
My hope in this research is to understand the patterns of policy-making processes in a democratic and decentralised Indonesia, to explore the dynamics of relations between the state and society during the policyprocess, and specifically to see the interplay between knowledge/ideas and interests in this process, as well as to achieve a deeper understanding of institutional design in the context of managing the unity of Indonesia in the transition era.

Anne Looker
Department of Political and Social Change
Research School of Pacific and Asian Studies
Coombs Building, Bldg. No. 9
The Australian National UniversityCanberra ACT 0200 Australia
T: +61 2 6125 3097F: +61 2 6125 5523
E: anne.looker@anu.edu.auW: http://rspas.anu.edu.au/

"Perjanjian Lombok" dan Agenda Papua

Di bulan November 2006 lalu hubungan Indonesia dan Australia seakan-akan berada dalam masa bulan madu. Di kota Adelaide, Australia Selatan, mulai tanggal 15 – 17 November 2006 dilaksanakan pembahasan kerjasama ekonomi yang dihadiri oleh sejumlah menteri bidang ekonomi dari Indonesia dan Australia, dan juga komunitas bisnis kedua negara. Sedangkan di kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 13 November 2006 Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda dan Menteri Luar Negeri Australia Alexandar Downer menandatangani sebuah perjanjian keamanan baru yang komprehensif yang memuat 10 kebijakan strategis, dimana Menlu Wirayuda menjuluki komitmen ini sebagai “Lombok Agreement” (the Australian, 14 November 2006). Perjanjian ini memuat sejumkah kebijakan strategis antara lain: kontrol perbatasan dan imigrasi, pencurian ikan (illegal fishing) dan hukum maritim, kerjasama teknologi, perdagangan manusia (people smuggling), counter-terrorism dan intelegen, kerjasama melawan penyebaran senjata nuklir (nuclear weapon proliferation), pembangunan teknologi nuklir yang damai, dan menghormati kedaulatan dan integritas masing-masing negara. Perjanjian ini dapat dikatakan sebagai babak baru hubungan Indonesia-Australia yang lebih luas, jika dibandingkan dengan perjanjian keamanan Indonesia-Australia yang dibuat oleh PM Paul Keating dan Presiden Soeharto pada tahun 1995.

Desas-desus akan adanya perjanjian keamanan baru antara Indonesia dan Australia mulai ramai diperbincangkan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Australia pada bulan April 2005. Ketika berada di negeri kanguru ini, pada tanggal 4 April 2005 Presiden SBY dan PM John Howard menandatangani Deklarasi Bersama tentang Kemitraan Yang Komprehensif antara Indonesia dan Australia (Joint Declaration on Comprehensive Partnership between Australia and the Republic of Indonesia). Deklarasi ini merupakan payung kerjasama bilateral yang mencakup kerjasama dibidang ekonomi dan teknik, kerjasama keamanan, dan pengembangan kerjasama antar masyarakat atau yang disebut people-to-people links. Dalam hal kerjasama keamanan, Deklarasi tersebut mengakui bahwa kejahatan transnasional, terorisme, dan ancaman keamanan non-tradisional seperti perdagangan manusia, narkotik, pencucian uang, dan penyebaran penyakit berbahaya telah menjadi isu kekinian yang harus dipecahkan secara bersama. Diakhir Deklarasi, Presiden SBY dan PM John Howard sepakat akan pentingnya sebuah perjanjian keamanan yang merupakan kerangka bagi arah baru dalam hubungan keamanan kedua negara (we see value in concluding a security agreement which would provide a framework for new directions in our security relationships).

Namun kedatangan 43 warga asal Papua yang meminta suaka politik ke Australia dan kebijakan kontroversi Pemerintah Australia yang memberikan visa perlindungan sementara (temporary protection visa) kepada 42 warga Papua telah membuat hubungan Jakarta dan Canberra berada dalam posisi yang terburuk setelah peristiwa Timor-Timur pada tahun 1999. Selama hampir 6 bulan, sejak Januari hingga Juni 2006 media massa Indonesia dan Australia diramaikan dengan perdebatan politik. Di Indonesia, bahkan wacana pemutusan hubungan diplomatik dan pernyataan perang dikumandangkan oleh beberapa politisi dan kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai sikap protes keras, Presiden SBY menarik duta besar Indonesia untuk Australia Hamzah Thayeb untuk ‘berkonsultasi’ di Jakarta. Namun, Kota Batam akhirnya menjadi tempat bersejarah dalam mengakhiri ‘perang dingin’ antara Indonesia dan Australia. Tanggal 26 Juni 2006 Presiden SBY dan PM John Howard bertemu dan sepakat untuk menormalisasi hubungan bilateral dan membangun kembali kerjasama yang lebih baik dan saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah.

Pekerjaan Rumah bagi Australia

Karena itu, “Lombok Agreement” ini memiliki makna strategis bagi kedua negara. Penulis menilai bahwa bagi Australia, perjanjian ini tidak hanya sekedar aspek-aspek teknis belaka yang akan mengatur nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia atau kontrol perbatasan dari perdagangan manusia dan illegal migrant, namun lebih dari hal itu, perjanjian keamanan ini merupakan symbol politik kebijakan Australia untuk membangun wilayah Asia Pasifik yang stabil dan aman. Dalam Buku Putih (white paper) Kebijakan Pertahanan Australia tahun 2000, Pemerintah Australia mengakui bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang kritis. Pertama, Indonesia sedang melakukan evolusi politik melalui demokratisasi dan desentralisasi. Kedua, reformasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ketiga, masih adanya potensi konflik agama, separatis, dan ras yang dapat mengganggu kohesi sosial dan stabilitas Indonesia. Australia melihat bahwa gejolak ekonomi dan instabilitas Indonesia akan berpengaruh bagi keamanan Australia. Karena itu, Pemerintah Australia mengakui bahwa kohesi nasional dan integritas wilayah Indonesia menjadi hal mutlak yang harus dipertahankan. Pernah sekali PM John Howard mengungkapkan bahwa kemerdekaan Papua dan Papua yang tidak aman hanya akan menyebabkan terganggunya kepentingan nasional Australia dan wilayah sekitarnya (the Australian, 13 November 2006).

Sejauh ini Partai oposisi Australia, Partai Buruh, nampaknya melihat perjanjian keamanan baru ini bermanfaat bagi Australia. Menteri Luar Negeri Bayangan Kevin Rudd menyatakan Indonesia dan Australia memiliki musuh bersama yakni terorisme. Namun terdapat 2 aspek yang perlu dibicarakan secara mendalam yakni yang terkait dengan aspek nuklir dan West Papua (ABC Radio Australia, 13 November 2006). Perjanjian keamanan baru ini juga menyebabkan munculnya suara-suara kritis di luar tubuh pemerintah Australia, khususnya yang menyangkut perhatian Pemerintah (Australia) kepada perorangan ataukah kelompok-kelompok yang dapat mengancam stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritori masing-masing negara. Pernyataan ini dianggap oleh publik Australia sangat terkait dengan adanya individu dan kelompok-kelompok di Australia yang mendukung gerakan Papua Merdeka.

Salah satu koran ternama di Australia mengungkapkan bahwa adalah kesalahan bagi Indonesia jika melihat perjanjian ini sebagai sebuah senjata untuk meredam kebebasan berbicara bagi publik Australia (the Australian, 13 November 2006). Namun cepat-cepat Menlu Alexander Downer membantah bahwa perjanjian ini akan berpengaruh pada perlakuan Australia terhadap para pencari suaka asal Papua (ABC Radio Australia 13 November 2006). Sekali lagi Downer mengatakan pakta keamanan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak individu warga negara Australia untuk mendukung gerakan-gerakan separatis (the Australian, 14 November 2006).

Perlu Kebijakan Lebih Lanjut

Penulis menilai bahwa Lombok Agreement perlu ditindaklanjuti oleh pertemuan-pertemuan lanjutan yang berguna bagu perumusan kebijakan dan langkah teknis aspek-aspek yang dikerjasamakan, khususnya yang menyangkut agenda kebijakan untuk tidak memberikan ruang yang leluasa di Indonesia dan Australia bagi suburnya pergerakan separatis. Aspek ini sangat berbeda dengan agenda lainnya seperti kerjasama keamanan, counter-terrorism, kerjasama imigrasi maupun perdagangan manusia (people smuggling) yang telah ditindaklanjuti secara intensif oleh kedua belah negara. Namun agenda seputar kebijakan untuk menghormati kedauatalan dan integritas wilayah kurang diperhatikan secara detil. Hal ini terasa penting bagi kedua negara, karena akan terbangun suatu kesepahaman yang jelas, aspek-aspek apa yang merupakan bagian ekspresi kebebasan warga negara Australia untuk mengangkat isu-isu penegakan hak-hak asasi manusia, khususnya yang terjadi di Papua, dan sebaliknya aspek-aspek manakah yang telah dilanggar oleh kelompok-kelompok masyarakat Australia yang lebih menjurus pada pemberian dukungan bagi gerakan separatis. Dengan demikian, sejak awal kedua belah negara dapat memahami posisi dan sikap politik antara tegaknya kedaulatan negara dan agenda hak-hak asasi manusia. Demikian pula, konsekuensi dan sanksi apakah yang akan diterapkan jika kedua belah negara melanggar pakta keamanan ini.

Penulis adalah mahasiswa S-3 Divisi Politik dan Hubungan Internasional, the Australian National University (ANU), mantan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia Tahun 2004 – 2006.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...