Sep 21, 2014

Revisi UU Otsus Plus Papua, Parpol Lokal Papua Dimungkinkan Dibentuk

Senin, 22/09/2014 09:40 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Kerangka baru Otonomi Khusus yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR menjadi solusi penyelesaian yang menyeluruh bagi Tanah Papua. Tidak hanya pendekatan kesejahteraan yang dikedepankan, namun pendekatan sosial-politik yang bersifat rekonsiliatif juga mendasari hadirnya RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

"Ada 3 pendekatan yang digunakan dalam meredesain UU No. 21/2001," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Senin (22/9/2014).

Pertama, Pemerintah melanjutkan aspek-aspek strategis yang telah diletakkan dalam UU 21/2001. Kedua, mengubah, menyesuaikan, dan melengkapi poin-poin strategis yang ada dalam UU 21/2001.

"Mungkin sudah ada poin yang bagus, namun disesuaikan dengan situasi dan tuntutan kekinian di dalam konteks kebijakan pembangunan dan tata kelola pemerintahan," ungkapnya.

Sedangkan, ketiga adalah Pemerintah memasukkan poin-poin strategis yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001 Pemerintah bersama Pemerintah Papua dan Papua Barat berdiskusi cukup panjang selama lebih dari 1 tahun ini di dalam merumuskan kerangka strategis perubahan UU Otsus Papua.

"Prinsip dasarnya adalah perlindungan dan pengakuan identitas Orang Asli Papua, afirmasi kebijakan dalam konteks percepatan pembangunan, dan redistribusi pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Demikian pula, prinsip penguatan representasi orang asli Papua di dalam berbagai sektor pembangunan maupun prinsip rekonsialisi di dalam penyelesaian konflik," paparnya.

"Dalam hal ini, Pemerintah ingin terapkan perdamaian melalui pembangunan di Tanah Papua," imbuhnya.

Dalam RUU ini, lanjut Velix, ada 5 kerangka utama yang ditekankan. Pertama, kerangka kewenangan. Pemerintah ingin memperkuat Pemerintahan Papua dan Papua Barat dengan kewenangan dan urusan yang lebih luas.

"Dalam beberapa aspek, provinsi-provinsi di Tanah Papua memiliki kewenangan di dalam aspek hubungan luar negeri, rencana tata ruang pertahanan dan keamanan, maupun kebijakan kehutanan dan pertambangan," terangnya.

Kedua, kerangka kebijakan pembangunan strategis. RUU ini memuat 25 kebijakan strategis pembangunan. Hal ini berbeda dengan UU 21/2001 yang hanya mencakup 9 sektor pembangunan. Melalui revisi ini, Pemerintah mengusulkan agar provinsi-provinsi di Tanah Papua mengelola kebijakan kehutanan, pertambangan, infrastruktur ekonomi, pariwisata dan ekonomi kreatif, pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan dan investasi, perencanaan pembangunan dan tata ruang, lingkungan hidup, perumahan rakyat, sosial dan kebudayaan, pemuda dan olah raga, kependudukan dan ketenagaan kerjaan, kelautan dan perikanan, maupun perlindungan hak-hak masyarakat adat dan HAM.

"Kesemua ini ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua, serta menjadikan Papua sebagai salah satu pintu gerbang Indonesia di kawasan Pasifik," jelas Velix.

Sedangkan ketiga, kerangka keuangan daerah. Melalui RUU ini, Pemerintah ingin memperkuat dan memperluas kebijakan desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris (asymmetrical fiscal decentralization). Pemerintah mengusulkan perubahan formula Dana Otonomi Khusus dan Dana Bagi Hasil, serta perluasan pemanfataan Dana Otsus yang dulu hanya pendidikan dan kesehatan, namun diperluas ke sejumlah sektor-sektor prioritas sesuai kebutuhan daerah. "Demikian pula, diatur pola divestasi saham, kontrak kerjasama, penyertaan modal, maupun dana tanggungjawab sosial dunia usaha," kata Velix.

Keempat, kerangka kelembagaan pemerintahan. Revisi UU Otsus Papua ini ingin memperkuat otonomi khusus di level provinsi, dan juga menguatkan peran dan kewenangan Gubernur, Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), hubungan kewenangan Provinsi – Kabupaten/Kota, distrik, dan kampung. Di dalam RUU ini, Pemerintah mengajukan hanya ada 1 MRP yang kedudukannya di Jayapura, sebagai lembaga representasi kultural di seluruh Tanah Papua, tanpa dibatasi administrasi provinsi.

Terakhir, yang kelima, kerangka politik dan hukum yang rekonsiliatif. Pemerintah ingin RUU ini hadir sebagai sarana penguatan re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. "Salah satu ide baru yang diusulkan yakni dibentuknya partai politik lokal bagi orang asli Papua," lanjutnya.

"Melalui momentum perubahan UU Otsus ini, Presiden SBY menekankan pemerintah daerah di Tanah Papua untuk merumuskan langkah terpadu di dalam mewujudkan Papua Tanah Damai," tutupnya.

Presiden SBY Telah Kirimkan Revisi UU Otsus Plus Papua ke DPR

Senin, 22/09/2014 09:36 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Presiden SBY telah menandatangani Surat Presiden (Surpres), yang sebelumnya disebut Amanat Presiden (Ampres), mengenai Revisi UU No 21/2001 tentang Pemerintahan Otonomi Khusus Plus Papua. Setelah ditandatangani, Surpres tersebut dikirim ke DPR dan dibahas di dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) yang langsung dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

"Surpres tersebut ditandatangi oleh Presiden beberapa jam sebelum bertolak ke Amerika Serikat tanggal 18 September lalu. Surpres ini sebagai kelanjutan dari sidang kabinet terbatas yang membahas revisi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua," ujar Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai dalam keterangan tertulisnya kepada detikcom, Senin (22/9/2014).

Velix menjelaskan rekonstruksi Otsus Papua ini sebagai wujud komitmen Presiden SBY untuk mencari kerangka penyelesaian masalah Papua secara mendasar dan menyeluruh. Tawaran Otonomi Khusus Plus atau Otonomi Khusus yang Diperluas ini didasarkan atas pengalaman, pengamatan, dan pemahaman Presiden terhadap dinamika yang terjadi di Tanah Papua maupun perhatian yang dicurahkan komunitas internasional atas agenda Papua.

"Dengan Surpres ini, Presiden mengharapkan ada sisi plus, afirmasi, dan nilai tambah yang diperoleh oleh rakyat Papua maupun pemerintahan Papua dan Papua Barat. Dengan demikian, proses panjang draft Otsus Plus yang dimulai sejak pertemuan Presiden SBY dan Gubernur Papua pada 29 April 2013 lalu telah mencapai puncaknya di level Pemerintah pada 18 September," tutur Velix.

Dari sisi nama UU, Presiden SBY setuju berubah menjadi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Kata 'Otonomi Khusus' tetap digunakan di dalam RUU ini karena Otonomi Khusus memiliki akar sejarah dan nuansa batin dari dinamika politik yang terjadi pada tahun 1998 hingga tahun 2001.

"Otonomi Khusus dianggap sebagai jalan tengah yang diakui Negara guna menjembatani 2 titik ekstrem, baik pihak yang menuntut otonomi daerah dalam wadah negara kesatuan, maupun pihak yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan," paparnya.

Velix menjelaskan bahwa nama RUU ini juga menggunakan kata 'Pemerintahan'. Hal ini sebagai wujud penegasan dari implementasi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dalam wadah NKRI. Demikian pula dengan kata 'Otonomi Khusus yang Diperluas' ini diperuntukan kepada provinsi-provinsi yang berada di wilayah Pulau Papua.

"Adanya kesatuan kultural dan geografis ini menjadi ikatan tanpa dibatasi oleh administrasi provinsi-provinsi di Pulau Papua,"imbuhnya.

Kini, lanjut Velix, bola beralih ke arena DPR dan pihak DPR juga menyambut baik atas political will dari Pemerintah untuk desain ulang UU Otsus Papua. Dua hari sebelum Surpres, Sidang Paripurna DPR telah menyetujui RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua sebagai Prolegnas Prioritas 2014.

"Hari-hari ke depan, Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menkumham akan memulai membahas dengan pihak DPR hingga 30 September 2014," tutup Velix Wanggai

Sep 19, 2014

Felix Wanggai: Otsus Plus untuk NKRI Tegak dan Merah Putih Berkibar di Tanah Papua

Penulis : Admin MS | Jum'at, 19 September 2014 12:26
Felix Wanggai. Foto: Ist.

Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- "Ketika dialog Presiden SBY dan para tokoh pemerintahan Papua di Biak, 24 Agustus 2014 lalu, Presiden menegaskan Aceh dan Papua ini berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air. Karena itu, solusi 'Otonomi Khusus Plus' dianggap oleh Presiden SBY sebagai jalan tengah bagi Papua. Prinsipnya, NKRI tetap tegak dan Merah Putih selalu berkibar di seluruh Tanah Papua."

Begitu kata Felix Wanggai, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, kala berbincang-bincang seputar polemik Otonomi Khusus (Otsus) dan Otsus Plus di tanah Papua dengan detik.com di Jakarta, Jumat (12/9/14).

Dalam draft RUU Pemerintahan Otsus bagi Provinsi di Tanah Papua, Wanggai menjelaskan, revisi itu telah memuat prinsip percepatan pembangunan, rekognisi hak-hak dasar rakyat, afirmasi kebijakan khusus untuk Papua, redistribusi pembangunan yang adil antara pusat daerah, maupun prinsip rekonsiliasi.

"Dengan kewenangan yang luas dan kebijakan afirmasi yang berskema khusus, serta dengan dukungan kebijakan fiskal yang proporsional, diharapkan kesejahteraan rakyat Papua berubah lebih baik dalam naungan NKRI, demikian pesan Presiden SBY," tuturnya dikutip detik.com edisi Sabtu, 13 September 2014.

Kaukus Papua Indonesia dan HMI Community, Alfit, menilai, revisi Undang-Undang Otsus Papua yang rencananya menjadi Otsus 'Plus' bukan merupakan jalan keluar dan kebutuhan bagi rakyat Papua.

Dilansir tribunnews.com edisi 19 September 2014, Alfit menilai, yang bermasalah ada pejabat pemerintahan Papua yang korup.

"Faktor utama dari kegagalan Otsus Papua bukan dari segi produk perundang-undangannya, melainkan mental pejabat Pemerintahan Papua yang sangat korup. Dengan adanya otsus ini, Pemprov Papua sangat memiliki peran dalam menata dan mengelola pemerintahan daerahnya secara otonom tetapi dengan mental korup dari pejabat inilah Otsus Papua berjalan tidak maksimal," kata Alfit.

Sementara itu, dengan terpilihnya presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo, sebelum dilantik bersama kabinetnya, orang Papua mulai meminta banyak hal.

Sejumlah orang Papua yang mengklaim sebagai "masyarakat Papua" bertemu dengan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), kemarin, Jumat, (12/09/14) di Gedung Balaikota Jakarta, sebuah gedung kuno dan bersejarah di Medan Merdeka Selatan No. 8. Baca: Sejumlah "Orang Papua" temui Jokowi.

Mama-mama asli Papua juga menemui Jokowi. Menamakan diri Solidaritas Perempuan Pembela HAM Papua, mereka menyampaikan tiga prioritas perempuan asli Papua yang harus menjadi perhatian serius dalam pemerintahan Jokowi-JK. Baca: Perempuan Asli Papua Sampaikan 3 Isu Prioritas bagi Jokowi-JK.

Sementara itu, Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua telah menyampaikan keprihatinan gereja atas berbagai persoalan di Papua pada tanggal 29 Agustus 2014 melalui Tim Transisi.

Pada, Sabtu (13/09/14) lalu, Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua kembali menyerahkan surat lanjutan dengan fokus kepada 'depopulasi' Orang Asli Papua, yang sedang terjadi Papua. Baca: Ini Surat dari Forum Kerja Oikumenis Gereja Papua untuk Jokowi.

Surat diterima oleh Deputi Tim Transisi, Andi Widjajanto di rumah transisi di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat bersamaan dengan tiga prioritas perempuan asli Papua yang harus menjadi perhatian serius dalam pemerintahan Jokowi-JK yang disampaikan oleh Solidaritas Perempuan Pembela HAM Papua. (BT/Tribunnews.com/Detik.com/MS)

Sep 14, 2014

UU Otsus Papua Diharapkan Mampu Selesaikan Permasalahan di Tanah Papua

Sabtu, 13/09/2014 08:28 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Pemerintah dan Baleg DPR sepakat membahas revisi UU Otsus Papua. Revisi UU ini dinilai suatu kebutuhan dari rakyat Papua untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di tanah Papua.

Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah tingginya harga-harga. Misalnya mahalnya harga BBM di Papua.

"Kami sampai hari ini khususnya di Puncak Jaya, satu liter itu Rp 100 ribu. Kemahalan ini sudah lama terjadi, ada subsidi tapi datangnya terbatas, sementara masyarakatnya kebutuhannya banyak, jadi bukan terjadi ketika ramai-ramai di Jakarta kemarin," ujar Bupati Puncak Jaya Henok Ibo saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Contoh lainnya adalah tingginya harga bahan material bangunan. Untuk satu sak semen saja bisa mencapai Rp 2 juta.

"Semen satu sak itu Rp 2 juta, keadaan ini sudah lama sejak 5 tahun lalu, yang mahal itu ongkos transportasinya. Jadi untuk Papua, tingkat kemahalan yang paling tinggi itu ada di Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Puncak," jelasnya.

Menurut Ibo, selama jalur distribusi dilakukan melalui transportasi udara, kemahalan itu tidak bisa dhilangkan. Selain faktor infrastruktur, wilayah yang rentan konflik di Papua juga membutuhkan anggaran lebih dibandingkan wilayah yang cenderung kondusif.

"Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, Lani Jaya ini wilayah konflik. Jadi mereka, pemerintah pusat juga harus menghitung juga variabel keamanan, sebab semua pergerakan di situ pemerintah daerah yang membiayai," ungkapnya.

Ibo berharap pemerintah pusat tidak hanya menghitung variabel dengan 'tolak ukur' Jakarta. Sebab, anggaran yang dihitung dengan 'tolak ukur' Jakarta itu tidak bisa disamakan di Papua.

"Mereka itu masih menghitung harga Jakarta untuk di Papua, tidak bisa. Makanya kita hitung dengan harga disini," kata Ibo.

Dengan adanya revisi UU Otsus Papua ini, Ibo berharap masalah-masalah di Papua bisa teratasi. Salahsatunya masalah-masalah yang ada di Kabpuaten Puncak Jaya.

"Di Puncak Jaya kita harapkan jika dana Pemprov Papua itu cukup, daerah isolasi itu bisa dibuka, mereka kan membawa hasil bumi mereka, karena hanya bisa ke kabupaten-kabupaten, tidak bisa dibawa keluar karena ongkosnya mahal. Misalnya dibawa ke Jaya Pura mahal. Jadi dari UU Otsus ini pertama dibangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, meski sudah jalan tapi kita mau lebih lagi dibuka ke desa," tuturnya.

Mengenai masalah keamanan di Puncak Jaya, Ibo mengatakan aparat keamanan di daerahnya juga terkendala dengan anggaran. Sehingga kekurangan anggaran juga terkadang dibebankan ke pemerintah daerah.

"Keamanan di sana semenjak 2004 terganggu. Dalam perjalanan ini pemda yang meminta bantuan ke kodam, polda, konsekuensinya pemda yang harus menanggung, mereka juga terkendala anggaran, untuk operasional, untuk mereka sendiri dari pusat tidak tersedia, apalagi dengan tingkat kemahalan yang tinggi," tutupnya.

Velix Wanggai: Otonomi Khusus Plus untuk Kemuliaan Papua

Sabtu, 13/09/2014 06:33 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
 
Jakarta - Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua dinilai suatu kebutuhan dari rakyat Papua untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di Bumi Cendrawasih itu. Proses revisi ini bolanya di daerah, karena Presiden SBY menghendaki aspirasi dari bawah.

"Ketika menerima Gubernur Papua, Ketua MRP, dan Ketua DPRP Papua, pada 29 April 2013 lalu, Presiden berpesan perlunya Triple Track Strategy for Papua," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai, saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Pertama, Pemerintah memberikan ruang kewenangan yang lebih luas bagi Papua. Hal ini yang dinamakan Presiden sebagai 'Otonomi Khusus Plus'. Konsekuensinya, revisi UU 21/2001 sebagai suatu kebutuhan dalam mengubah kebijakan bagi Papua. Kedua, penyelesaian konflik guna mewujudkan Papua Tanah damai.

"Dalam hal ini, Presiden SBY menekankan penting aspek sosial-budaya dan adat diakomodasi dalam penyelesaian politik. Sedangkan strategi ketiga, Presiden SBY akan terus melanjutkan strategi percepatan pembangunan yang komprehensif dan intensif di tanah Papua," tuturnya.

Dari draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua, Velix Wanggai menjelaskan revisi ini memuat prinsip percepatan pembangunan, rekognisi hak-hak dasar rakyat, afirmasi kebijakan khusus untuk Papua, redistribusi pembangunan yang adil antara pusat–daerah, maupun prinsip rekonsiliasi.

"Ketika dialog Presiden SBY dan para tokoh pemerintahan Papua di Biak, 24 Agustus 2014 lalu, Presiden menegaskan Aceh dan Papua ini berbeda dengan daerah-daerah lain di tanah air. Karena itu, solusi 'Otonomi Khusus Plus' dianggap oleh Presiden SBY sebagai jalan tengah bagi Papua. Prinsipnya, NKRI tetap tegak dan Merah Putih selalu berkibar di seluruh Tanah Papua," kata Velix.

"Dengan kewenangan yang luas dan kebijakan afirmasi yang berskema khusus, serta dengan dukungan kebijakan fiskal yang proporsional, diharapkan kesejahteraan rakyat Papua berubah lebih baik dalam naungan NKRI, demikian pesan Presiden SBY,"tutupnya.


Ikuti berbagai berita menarik hari ini di program "Reportase" TRANS TV yang tayang Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB

(mpr/ahy)

Pemerintah dan Baleg DPR sepakat Bahas Revisi UU Otsus Papua

Sabtu, 13/09/2014 05:45 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 

Jakarta - Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk meningkatkan hak-hak dasar rakyat Papua melalui revisi UU Otonomi Khusus Papua semakin jelas di akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua.

Beberapa hari lalu, Senin, 8 September 2014, Rapat Badan Legislatif DPR yang dipimpin oleh Ahmad Yani dan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM telah membahas kebijakan Pemerintah untuk rekonstruksi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai, setelah berjalan 13 tahun terakhir, Pemerintah Pusat, Pemerintahan Papua dan Pemerintahan Papua Barat sepakat untuk melakukan evaluasi terhadap desain Otonomi Khusus yang dianggap perlu disesuaikan dengan situasi kekiniaan.

"Revisi UU Otsus ini, sesuai dengan komitmen Presiden SBY yang menegaskan formula baru otonomi khusus Papua ini akan memberikan nilai tambah dan terobosan bagi kemajuan dan kemuliaan Papua," ujar Velix Wanggai saat berbincang dengan detikcom di Jakarta, Jumat (12/10/2014).

Dalam rapat di Baleg DPR lalu, Menteri Hukum dan HAM menyampaikan latar belakang dari draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Revisi ini akan menegaskan komitmen negara untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua, menguatkan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua, dan sebagai sarana rekonsiliasi.

"Pihak Baleg DPR yang dipimpin Ahmad Yani sangat menyambut baik inisiatif Pemerintah guna memperkuat otonomi khusus dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.

Velix mengatakan proses revisi ini telah berjalan satu tahun lebih. Velix mengurai proses perumusan draft yang berjalan sejak Mei 2013 hingga Agustus 2014 ini.

"Dialog intensif dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintahan Papua dan Papua Barat, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan DPR Papua. Bahkan pihak MRP Papua dan MRP Papua Barat telah berdialog dengan mengajak wakil-wakil adat dan tokoh masyarakat dari 42 Kabupaten se-Tanah Papua pada akhir Juli 2013 lalu. Presiden SBY juga telah berdialog dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat di Istana Bogor, pada 28 Januari 2014, dan Presiden menerima draft RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Draft usulan Papua kemudian dibahas di Kementerian Dalam Negeri dan harmonisasi di tingkat Kementerian/Lembaga sejak Maret hingga awal Agustus 2014 lalu," paparnya.

Setelah pembahasan antara Baleg DPR dan Menkumham, menurut Velix, saat ini Kemendagri sedang menyiapkan langkah-langkah legislasi dalam masa sidang terakhir DPR periode 2009-2014 ini. "Harapannya, formula baru Otsus Papua ini akan memuat terobosan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua," tutupnya.

Sep 9, 2014

Baleg DPR terima usulan RUU Otonomi Khusus Papua

Selasa, 9 September 2014 02:39 WIB | 3.619 Views
 
Baleg DPR terima usulan RUU Otonomi Khusus Papua
 Ahmad Yani (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
 
Jakarta (ANTARA News) - Badan Legislasi DPR (Baleg) menerima 1 usulan RUU tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014.

Usulan tersebut disampaikan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin  dalam Rapat Kerja yang dipimpin Wakil Ketua Baleg, Ahmad Yani  di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/9)

“Mudah-mudahan dapat kita selesaikan bersama, apalagi ini menyangkut saudara kita dan bagian dari NKRI kita,” kata Yani.

Sesungguhnya pembahasan UU itu menurut Yani, jika semangatnya kita ingin menyelesaikan bisa cepat, bisa juga  lama itu tergantung dari kita.

Dijelaskan Yani, bahwa Dewan tinggal memiliki waktu 16 hari lagi. Tapi jika bisa digunakan secara maksimal bisa melipatkan akselerasinya seperti 5 tahun. “5 tahun tidak akan ada artinya apabila kita tidak punya akselerasinya,” tukas Yani.

Dalam penjelasannya kepada Baleg, menurut Menkumham, Amir Syamsudin  alasan mengusulkan RUU Otonomi Khusus Papua yaitu adanya tuntutan terhadap percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua yang komprehensif, demokratis dan bermartabat.

Menurut Amir, UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua tidak dapat terlaksana dengan baik walaupun sudah berjalan kurang lebih 13 tahun.

Kata Amir, tanah papua perlu dikelola dengan kewenangan yang diberikan lebih besar dari otonomi khusus yang telah ada, agar pembangunan Papua lebih intensif dan komprehensif dalam mewujudkan kemajuan dan kemuliaan masyarakat Papua yang baik dan damai.

Secara garis besar, terang Amir,  RUU ini mencakup kewenangan pemerintah Papua yang diperluas di berbagai sektor yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota dan masyarakat adat, perlindungan dan pengakuan masyarakat adat Papua.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © 2014

Sep 1, 2014

Gubernur Papua Berharap Revisi UU Otsus Rampung di Era Pemerintahan SBY

Senin, 01/09/2014 03:42 WIB

Mega Putra Ratya - detikNews

 
Mendagri dan Gubernur Papua di Istana Bogor (Foto:Abror/setpres) 
 
Jakarta - Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan pihaknya saat ini sedang merampungkan draft revisi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Lukas berharap revisi UU tersebut rampung di era pemerintahan SBY.

"DPR pada prinsipnya menunggu draft ini. Kami sampaikan kalau bisa diselesaikan dalam pemerintahan SBY dalam satu bulan ini. Kita menunggu dari Kemendagri, karena dari awal ini jadi usulan pemerintah," ujar Lukas saat berbincang dengan detikcom, di Jakarta, Minggu (31/8/2014).

Lukas mengatakan pada 28 Agustus 2014 lalu, dirinya telah menemui Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dan Wakil Ketua Baleg Ahmad Yani berserta sejumlah pihak untuk membicarakan tahap akhir draft revisi UU tersebut. Menurut Lukas, DPR menyambut positif draft yang sudah ada tersebut.

"Kita sudah mendapat arahan dari pimpinan DPR langkah selanjutnya, seperti pertemuan antar fraksi. Kemudian di Komisi II, paling tidak kita bisa
menjelaskan gambaran draft. Mereka DPR, apresiasi karena sejak 12 tahun lalu UU ini tidak pernah dievaluasi. Ini inisiatif yang baik dan mereka siap membahasnya," ungkapnya.

Lukas menambahkan pihaknya akan melakukan langkah-langkah komunikasi dengan pemerintah pusat diantaranya Mendagri dan Menko Polhukam. Lukas akan menjelaskan bahwa revisi UU Otsus Papua tersebut dilakukan demi kesejahteraan rakyat Papua.

"Apa yang kita lakukan untuk kepentingan Papua, tidak boleh lagi ada kecurigaan. UU ini untuk kesejahteraan rakyat Papua, pasal-pasal yang dianggap krusial sudah tidak ada, jadi harus percaya kepada pemprov dan masyarakat Papua, tidak boleh ada keraguan dan kecurigaan," tuturnya.

Lukas yakin revisi UU tersebut akan rampung sebelum pemerintahan SBY berakhir. Dia juga yakin akan hal itu karena mendapat dukungan dari DPR.

"DPR sangat optimis, mendorong kita untuk cepat, saya lihat semua responnya positif," tutupnya.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...