Dec 7, 2006

Tertutupkah Pintu Dialog bagi Papua?




Velix Vernando Wanggai, MPA

Papua kembali bergejolak. Rentetan konflik dan peristiwa politik terus menyibukkan elit-elit nasional, baik yang berada di dalam dan luar pemerintahan. Ketika Pemerintah belum selesai membahas rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP) tentang penangguhan pemekaran provinsi, persoalan lain muncul ke permukaan seperti pengelolaan sumber daya alam maupun peristiwa Abepura berdarah. Terakhir, kita semua dikejutkan dengan kontroversi kebijakan Australia dalam pemberian visa perlindungan sementara kepada 42 warga Papua. Peristiwa yang terakhir ini, tentunya menghentakkan perasaan nasionalisme para elit pemerintahan, parlemen, maupun tokoh-tokoh masyarakat di Tanah Air. Hubungan bilateral yang memanas akhir-akhir ini, makin diperparah lagi dengan sikap salah satu media di Indonesia dan Australia yang memuat gambar kartun ‘murahan’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Prime Minister Jhon Howard. Sudah separahkah prospek hubungan kedua negara di level masyarakat? Padahal people-to-people links menjadi harapan alternatif untuk mendorong hubungan yang kondusif diantara kedua negara.

Semangat nasionalisme yang membara kiranya dilihat sebagai hal yang wajar. Keutuhan wilayah Indonesia menjadi harga mati bagi bangsa Indonesia. Dan hal ini menjadi komitmen politik semua kekuatan sosial dan politik di Tanah Air. Namun, persoalannya adalah apakah kita akan terus menyalahkan keputusan birokrasi di Kantor Imigrasi Australia? Dan terus mempertanyakan komitmen mereka dalam mendukung keutuhan NKRI. PM Jhon Howard telah berulang-ulang menjamin dukungan Australia terhadap NKRI. Ditengah-tengah kekecewaan dan kemarahan kepada Australia, sudah selayaknya peristiwa ini memberikan hikmah dan intropeksi kepada kita. Sudahkah kita konsisten dan serius dalam menyelesaikan isu-isu penting di Papua? Jika kerangka Otonomi Khusus menjadi komitmen politik semua anak bangsa, sudah sejauhmana kita mengawal dan mengelola pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Papua.
Dalam perjalanan Otonomi Khusus 4 tahun terakhir ini, penulis melihat, persoalan pertama yang patut diangkat adalah persepsi yang belum sama diantara berbagai komponen masyarakat Papua sendiri maupun di kalangan pemerintahan, baik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Demikian pula, persepsi yang terbangun di kalangan DPR, MRP dan DPRD. Perbedaan persepsi semakin menjadi parah ketika pintu dialog tidak terjadi. Ketika Otonomi Khusus dijadikan landasan awal bagi pengelolaan pemerintahan di Papua, sudah semestinya ini diikuti oleh lembaga-lembaga di tingkat pusat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural, baik kewenangan maupun kebijakan sektoral untuk Papua. Perdebatan antara Menteri Kehutanan M.S Kaban dan almarhum Gubernur J.P Solossa perihal pengelolaan hutan menjadi contoh nyata. UU No. 41/1999 menjadi acuan utama Menteri Kehutanan. Sebaliknya, Gubernur Solossa bertahan dengan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus. Perdebatan tidak berhenti sampai disana, namun hal ini memberikan pesan kepada kita bahwa pemerintah perlu untuk menata kembali urusan dan kewenangan departemen-departemen sektoral dan sejauhmana, kewenangan dan pembuatan keputusan telah diserahkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Demikian pula, dengan apa yang terjadi di kalangan Papua sendiri. Tidak ada persepsi yang utuh dalam melihat Otonomi Khusus. Sebagian pihak menyederhanakan Otsus melalui kucuran dana yang besar dari tahun ke tahun, namun tanpa strategi yang jitu dalam mendesain pembangunan daerah dan mendistribusi dana ke hal-hal yang strategis dan penting. Kewenangan untuk mengelola dana telah diserahkan ke daerah, namun apa yang terjadi adalah perasaan kekecewaan di kalangan masyarakat bawah. Dari sisi ekstrem, bahkan sebagian pihak melihat Otsus dan MRP sebagai “Pepera Jilid II”. Sebuah kerangka politik yang hanya bertujuan mengkerdilkan kekuatan-kekuatan sosial dan politik di Papua. Kekecewaan ini semakin parah ketika mereka melihat kebijakan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat terus berjalan dan Pilkada sukses digelar.
Kunci penyelesaian masalah Papua kini terletak pada pintu dialog. Sebuah dialog nasional yang sejati perlu dilakukan. Dialog akan memberikan makna yang kuat kepada pihak-pihak yang terkait, baik di Jakarta dan Papua. Bagaimana pola dialog yang yang tepat bagi Papua.

Puncak dari perbedaan persepsi ini tercermin pada kasus pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Kebijakan yang membingungkan sebagian masyarakat Papua, MRP dan DPRP. Bahkan kontroversi kebijakan pemekaran ini telah menjadi isu panas di berbagai kelompok di luar negeri mempertanyakan maksud politik dibalik kebijakan pemekaran provinsi ini. Walaupun negosiasi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua, MRP dan DPRP Papua telah dilakukan, namun titik temu belum tercapai. Bahkan Pilkada Irian Jaya Barat tetap berjalan dengan mengacu pada UU No. 32/2004. Padahal bagi Papua, pemekaran bukanlah barang yang haram, namun gagasan pemekaran provinsi harus berada dalam kerangka Otonomi Khusus.
Jika perbedaan persepsi terus terjadi dan ruang bagi dialog semakin sulit, rasanya pelaksanaan Otonomi Khusus sulit dilakukan. Kita semua sepakat Otonomi Khusus merupakan jawaban politik yang cantik bagi Papua. Hal ini pun telah ditegaskan oleh Menko Polhukam Laksamana Widodo ketika berkunjung ke Papua beberapa hari lalu. Model kerangka politik yang khusus dengan didukung oleh pembagian dana yang adil dan kewenangan yang luas telah menjadi salah satu pilihan alternatif di negara-negara yang diwarnai konflik. Namun, bagai sebuah formula teori, Otonomi Khusus hadir memberikan kerangka legal yang harus dijabarkan secara konsisten.

Persepsi yang Sama
Persoalannya adalah apakah Otonomi Khusus telah dijalankan secara konsisten dalam 4 tahun terakhir ini? Pertanyaan ini ditujukan kepada semua pihak, baik di Jakarta dan Papua. Kita semua harus jujur untuk menjawab pertanyaan ini. Saling menyalahkan diantara berbagai pihak sudah semestinya diperkecil atau bahkan dihilangkan. Menurut penulis, prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam konsolidasi Otonomi Khusus ini adalah kesamaan persepsi. Di Jakarta, beranekaragam persepsi tersebar di DPR, DPD, Pemerintah, TNI/Polri, maupun LSM yang bergerak dalam isu Papua. Hal ini pun terjadi di Papua. Mulai dari lembaga-lembaga formal pemerintahan hingga kelompok-kelompok masyarakat memotret Otonomi Khusus dengan kaca matanya masing-masing. Tapi benarkah, persepsi dari berbagai kalangan di Papua dan Jakarta sangat sulit bertemu. Sudah sejauh itukah kebuntuan akan terjadinya sebuah dialog yang sejati.
Sederet masalah-masalah utama telah ditegaskan dalam bagian menimbang UU No.21/2001 mulai dari ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, marginalisasi dan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Persoalannya adalah bagaimana mengelola instrument kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Walaupun triliun dana telah dikucurkan ke Papua dan kelembagaan perwakilan rakyat seperti DPRD dan MRP telah menikmati kewenangan yang cukup besar. Namun Otonomi Khusus masih dipertanyakan effektifitasnya oleh Dewan Adat Papua. Apalagi kontroversi kebijakan pemekaran Irian Jaya Barat terus berlanjut tanpa ada kepastian langkah-langkah penyelesaian desain pemekaran yang utuh dalam kerangka UU No. 21/2001.
Dalam konteks perubahan seperti ini, tugas Pemerintah Pusat haruslah di garda terdepan. Proses dialog yang terbuka yang melibatkan semua komponen di Papua yang sangat beragam. Masalah-masalah yang belum tuntas melalui Otonomi Khusus perlu dibenahi, termasuk penegakan hak-hak asasi manusia dan sejarah Papua. Pemerintah tidak perlu merasa takut, segan, dan malu, jika hal-hal krusial diangkat menjadi agenda dialog. Satu tawaran terakhir adalah apapun substansi dalam Undang-Undang baru nantinya, Papua tetap menjadi ‘anak manja dan nakal’ dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memang sudah bisa moh! Jikalau dalam keluarga ada yang nakal sekaligus manja.


Mengelola Perubahan
Dalam kerangka mengelola perubahan ini, sambil berpegang pada kerangka waktu yang ketat, alangkah baiknya dibentuk sebuah lembaga baru di tingkat nasional dan daerah yang bertugas untuk mendesain, mengkonsolidasi, dan mengevaluasi substansi dan proses perubahan dari kesepakatan-kesepakatan yang ada. Ide Kementrian Koordinator Wilayah Otonomi Khusus Papua yang diusulkan oleh almarhum J.P Sollosa mungkin dapat dikaji, walaupun ide mungkin akan dikritik sebagai bentuk kemanjaan yang berlebihan.

Penulis mengusulkan sebuah lembaga yang langsung dibawah Presiden semacam Komisi ataukah Dewan Khusus Konsolidasi yang berada secara langsung di bawah Presiden dan anggota-anggotanya langsung ditunjuk oleh Presiden. Komisi atau Dewan ini bekerjasama dengan para pembuat kebijakan di jajaran Kementrian Kabinet Indonesia Bersatu. Kewenangan yang ada harus besar dan luas sehingga dapat mengontrol konsistensi atas pelaksanaan hasil-hasil perundingan. Target-target pencapaian harus jelas dan terukur. Lembaga ini penting karena belajar dari pengalaman dalam menjalankan Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2001 hingga 2006 ini, tidak ada komando yang jelas siapakah yang bertanggung jawab dalam mengawal pelaksanaan substansi UU Otsus dan mengkonsolidasi perubahan kelembagaan dan kewenangan. Padahal begitu banyak pasal dan ayat dari UU Otsus yang harus dibumikan dalam konteks implementasi.

Penulis adalah Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Kandidat Ph.D Ilmu Politik, The Australian National University, Canberra




Kesepakatan Baru bagi Papua


Suara Pembaruan,

Jum'at, 23 Juni 2006 - 12:02 AM

Jakarta, Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) Velix Wanggai usai diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa pemerintah akan membentuk lembaga yang lebih kuat untuk menangani pengembangan Papua.Lembaga itu secara struktural akan langsung berada di bawah Presiden. Anggotanya akan terdiri dari birokrat, tokoh masyarakat setempat dan nasional yang punya perhatian terhadap masalah Papua. Dengan itu pula, Desk Papua yang berada di bawah kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM akan direvitalisasi. Revitalisasi itu juga merupakan arah baru kebijakan pemerintah dalam menangani persoalan Papua. Terdapat lima kebijakan mendasar yang akan dilakukan, yakni prioritas penanganan kesehatan, pendidikan yang diarahkan ke bidang kejuruan, percepatan pengadaan infrastruktur dasar untuk pengembangan wilayah-wilayah potensial, affirmative action berupa prioritas bagi putra daerah menduduki pos tertentu dalam pemerintahan (termasuk TNI dan Polri), dan peningkatan ketahanan pangan.Pembentukan lembaga khusus itu sudah lama disodorkan oleh para analis dan masyarakat Papua sendiri. Sebagai suku bangsa yang memiliki pretensi untuk mengikuti orang besar (a big man), masyarakat Papua lebih menginginkan adanya keputusan dari Paitua Yudhoyono, ketimbang dari Wakil

Presiden, misalnya.


Sentuhan Yudhoyono inilah yang sedang dinantikan, tetapi tentu lewat kejelasan arah dan tujuan. Usaha Velix untuk mendorong pembentukan lembaga khusus itu sebetulnya melewati proses yang panjang. Menurut Bima Sugiarto, Presiden PPIA yang digantikan Velix, kepada penulis, masyarakat Indonesia di Australia menghadapi banyak pergerakan masyarakat Australia dan Papua menyangkut isu-isu Papua. PPIA, barangkali, adalah satu dari komponen masyarakat Indonesia di Australia yang ikut memikirkan persoalan Papua ini dan menjadi semacam clearing ideas. Pola-pola diplomasi konvensional dengan hanya mengandalkan para diplomat selayaknya ditanggalkan.


Dibandingkan dengan hasil Sidang Kabinet hari Selasa (19/6), revitalisasi Desk Papua itu hanyalah satu di antara tujuh butir kebijakan yang akan dijalankan pemerintah di Papua. Kebijakan yang akan dikemas dalam bentuk Instruksi Presiden mengenai Percepatan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat di Papua itu melibatkan lintas departemen. Terdapat tujuh elemen yang akan dijalankan oleh Presiden. Pertama, perlunya evaluasi, verifikasi dan audit yang berlanjut atas perencanaan penggunaan anggaran pembangunan di Papua dalam kerangka otonomi khusus dan kerangka pembiayaan. Kedua, menetapkan program khusus yang bisa diukur dari tahun ke tahun secara nyata, baik kualitatif-kuantitatif, maupun fisik-nonfisik. Ketiga, lebih memberdayakan sumber daya lokal dengan membuat kebijakan khusus supaya putra daerah Papua berkesempatan menduduki profesi-profesi tertentu. Keempat, pembangunan kapasitas bagi para penyelenggara pembangunan di Papua. Kelima, revitalisasi desk Papua, di mana nantinya bukan hanya dari unsur pemerintah tapi juga para pakar dari Papua dan luar Papua yang peduli terhadap Papua. Keenam, memfungsikan kelembagaan yang telah ada, dalam hal ini Majelis Rakyat Papua (MRP), sesuai amanah undang-undang. Ketujuh, mempertahankan keamanan dan menegakkan hukum secara benar dan adil di seluruh Papua. Ketujuh elemen itu terlihat tidak disusun secara hati-hati.


Sekalipun arahnya ke tingkat lokal, tetapi penanganannya tentulah bersifat nasional alias otoritas pemerintah pusat. Tidak ada pembagian mana yang otoritas pemerintah pusat dan mana yang menjadi otoritas pemerintah daerah, serta mana yang menjadi masalah kelembagaan dan mana yang bersifat teknis administratif. Sinergi KebijakanTerlepas dari niat baik Presiden itu, tentunya masih perlu masukan menyangkut model "lembaga khusus kepresidenan" yang nantinya menangani Papua, beserta program dari lembaga itu nantinya. Jangan sampai muncul tumpang tindih kebijakan antardepartemen dan kementerian negara, bahkan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terdapat indikasi kuat betapa selama ini ketika terdapat semacam badan atau lembaga khusus lintas departemen, sifatnya hanyalah mengirimkan wakil-wakil dari masing-masing departemen atau kementerian negara untuk saling berkoordinasi. Sementara, implementasi dari kebijakan yang dibuat masih memerlukan verifikasi di tingkat departemen atau kementerian terkait, ditambah persetujuan DPR berkaitan dengan anggaran. Sehingga, apapun bentuk lembaga khusus yang akan dipimpin langsung oleh Presiden, selayaknya dapat melakukan terobosan atas birokrasi yang berbelit itu. Dana otonomi khusus yang mengucur deras ke Papua, misalnya, selama ini dianggap sebagai kesalahan penyaluran oleh pemerintah daerah, karena tidak sampai ke masyarakat akar rumput. Padahal, tanggung jawab tidak sepenuhnya berada di tangan pemda. Supervisi dan standardisasi merupakan kewajiban pemerintah pusat.


Dengan adanya lembaga khusus kepresidenan menyangkut Papua, langkah yang diambil tentu bukanlah Instruksi Presiden, melainkan Keputusan Presiden dengan konsideran yang tepat. Harus ada pihak-pihak yang langsung ditunjuk, berikut tanggung jawabnya, serta kalau perlu masa kerjanya. Pihak ini bukan langsung terlibat dalam penyusunan formulasi kebijakan dari departemen atau kementerian terkait, atau dari pemerintahan daerah, melainkan melakukan sinergi kebijakan, serta mendorong kebijakan itu sampai ke titik sasaran. Sehingga, mau tidak mau, lembaga khusus kepresidenan perlu didampingi panitia khusus DPR dan DPD yang tugasnya bukan melakukan pengungkapan kasus, melainkan menjadi pelaku aktif yang menjalankan fungsi pengawasan. Panitia khusus yang bersifat gabungan ini bisa jadi berasal dari semua komisi di DPR dan semua Panitia Ad Hoc di DPD. Sehingga, tidak diperlukan badan atau dewan khusus yang menangani Papua, melainkan menerapkan asas fleksibilitas pemerintahan.


Sebetulnya, tidak perlu ada anggota dari kalangan tokoh lokal dan nasional, apalagi aktivis lembaga swadaya masyarakat dalam lembaga khusus ini. Justru masing-masing pihak perlu diperkuat peranannya. Jangan sampai anggota-anggota dari kalangan masyarakat itu justru melegitimasikan seluruh proses pengambilan keputusan dalam lembaga khusus itu, lantas dianggap sebagai wakil dari pihak-pihak eksternal yang kritis atas persoalan Papua. PengawasanLembaga swadaya masyarakat lokal tetap melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga-lembaga daerah, termasuk Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Sementara, lembaga swadaya masyarakat di tingkat pusat, seperti Pokja Papua dan Forum Papua, melakukan kegiatan pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara dan pemerintah, termasuk atas kinerja lembaga khusus kepresidenan ini. Jauh lebih baik mendapatkan sejumlah rencana kebijakan dan skenario penanganan persoalan Papua, daripada hanya berasal dari satu formulasi.


Bentuk kerja sama yang dibangun bisa jadi semacam dialog internal dan eksternal menyangkut masalah Papua yang dilakukan dengan kalender yang tetap, misalnya setahun sekali. Dari sana, akan terlihat sektor apa yang belum digarap, bagian mana yang perlu diperkuat, bidang apa yang dikerjakan siapa. Presiden Yudhoyono tidak perlu menyenangkan semua pihak, termasuk pihak internasional. Sudah makin terlihat betapa kerja sama internasional selama ini lebih banyak digunakan untuk saling menutupi persoalan internal masing-masing negara. Politik multilateral sudah agak mulai digantikan oleh politik bilateral dengan kebijakan yang langsung mengepung kepentingan masyarakat lemah di negara-negara kecil. Dengan adanya lembaga khusus kepresidenan ini, mudah-mudahan memang ada a new deal for Papua, bukan malah a new problems for Papua. Bencana kemanusiaan yang telah berlangsung di Aceh, Yogyakarta, dan belahan daerah lainnya, selayaknya memberi pesan serius, betapa kita tidak boleh main-main lagi dengan nasib bangsa ini. Menyelesaikan masalah Papua, segera, adalah bagaikan mengeluarkan duri dalam daging, sebelum semuanya membusuk dan butuh amputansi. Sudah saatnya Papua bukan lagi menjadi masalah di republik ini, melainkan memberikan kontribusinya, kepak sayapnya, untuk kesejahteraan penduduk di republik ini.Indra J Piliang, Penulis adalah analis politik CSIS Jakarta(sumber: pembaruan)

Kemesraan Cepat Berlalu

Republika, Rabu, 29 Maret 2006
Velix Wanggai, Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Kandidat PhD Ilmu Politik di the Australian National University, Canberra.

Beberapa hari terakhir hubungan bilateral Indonesia-Australia mengalami ujian berat. Dalam pandangan media Australia, dinamika hubungan Indonesia-Australia berada dalam posisi terjelek setelah kasus Timor-Timur, tujuh tahun silam.

Sebelum Kementerian Imigrasi Australia memberikan visa kepada 42 warga Papua, kemesraan Indonesia-Australia dinilai berada dalam tingkat yang tertinggi. Itu tecermin dalam konteks kerja sama pencegahan terorisme, rekonstruksi Aceh pascatsunami, maupun dukungan Indonesia kepada Australia untuk ikut serta pada the East Asia Summit di Malaysia. Namun, kemesraan telah berlalu. Yang hadir kini hanyalah kekecewaan dan kemarahan. Lontaran pernyataan keras oleh Pemerintah Indonesia, MPR, DPR, tokoh-tokoh masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir dalam beberapa hari terakhir. Ini berujung pada pemulangan Duta Besar Indonesia untuk Australia guna 'berkonsultasi' dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, Wakil Sekjen Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, meminta Duta Besar Australia, Bill Farmer, untuk keluar dari Indonesia (The Canberra Times, 27 Maret 2007). Kekuatan-kekuatan sosial dan politik di Tanah Air mempertanyakan kembali komitmen Australia dalam mendukung keutuhan Indonesia.
Politik atau birokrasi?Pemberian visa perlindungan sementara kepada 42 warga Papua mencerminkan dinamika hubungan yang kabur antara kekuatan politik di Australia dengan kekuatan birokrasi di Kementerian Imigrasi Australia dan kelompok-kelompok masyarakat Australia yang mendukung perjuangan Papua. Dua kekuatan politik besar yakni Partai Buruh di bawah pimpinan Kim Beazley dan Partai Liberal yang dikomandoi oleh PM John Howard berada di garis terdepan yang mendukung integritas nasional Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, Jhon Howard selalu menjamin keutuhan NKRI dan mendukung pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Demikian pula dengan Partai Buruh.

Dalam satu kesempatan, penulis selaku Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia pernah menemani Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, di Canberra, Mei 2005, untuk menemui Kim Bezley, selaku pemimpin oposisi Australia dan pemimpin Partai Buruh, serta Kevin Rudd, menteri luar negeri bayangan. Kim Beazley dan Kevin Rudd dengan tegas dan sigap menegaskan dukungan 'tradisional' Partai Buruh terhadap integritas Indonesia. Namun, catatan penting yang muncul dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana proses mengimplementasikan substansi otonomi khusus bagi Papua.
Sementara itu, partai-partai kecil seperti Partai Hijau selalu bersuara keras terhadap isu pelanggaran HAM, hak-hak kaum minoritas, dan dukungan atas kemerdekaan Papua. Dan di tengah-tengah hubungan Indonesia-Australia yang memanas, Senator Bob Brown kembali bersuara lantang untuk mengangkat persoalan Papua ke PBB. Anak buah Bob Brown di Partai Hijau, Kerry Nettle, juga secara lugas mendukung perjuangan Papua Merdeka. Isu kedatangannya ke Papua beberapa minggu lalu, sempat menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air.
Tekanan-tekanan politik dari partai-partai kecil dan beberapa NGO Australia, baik NGO yang memiliki solidaritas atas perjuangan Papua maupun NGO yang bergerak dalam persoalan pengungsi, sedikit banyak banyak memengaruhi keputusan pemberian visa oleh Kementerian Imigrasi Australia. Keputusan ini mencerminkan dinamika hubungan yang kabur antara proses politik dan birokrasi yang rasional.
Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengatakan bahwa keputusan pemberian visa adalah proses birokratis yang normal yang dilakukan oleh pejabat-pejabat senior di lingkungan Imigrasi. Penilaian pun dilakukan secara kasus per kasus dengan landasan hukum yang jelas (the Australian, 25 March 2006).
Bahkan juru bicara Kementerian Imigrasi menegaskan bahwa keputusan pemberian visa ini tidak mempertimbangkan dampak-dampak terhadap hubungan diplomasi kedua negara. Keputusan para birokrat senior ini sangat didukung Menteri Imigrasi, Amanda Vanstone, yang berasal dari Partai Liberal. Ia menilai Australia harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban internasional dan domestik Australia (the Sydney Morning Herald, 24 March 2006).
Dalam konteks ini, Australia harus taat pada Perjanjian Internasional tahun 1951 tentang Pengungsi dan wajib melindungi para pengungsi dari ancaman yang membahayakan keselamatan para pengungsi. Dengan demikian, keputusan pemberian visa ini sebenarnya adalah keputusan politik yang dilakukan oleh kalangan birokrasi Imigrasi. Tentu, dalam proses pembuatan keputusan ini, pertimbangan-pertimbangan politik memainkan peran besar. Acuan terhadap Perjanjian Pengungsi tahun 1951 mencerminkan sikap Australia untuk menjaga citra politiknya di mata dunia. Namun, implikasi lanjutan yang dihasilkan oleh keputusan ini akan sangat berimpas pada tataran politik dalam dan luar negeri Australia.
Reaksi keras Jakarta membuat Jhon Howard harus menegaskan berulang-ulang kepada pihak Indonesia, bahwa kasus pemberian visa kepada 42 warga Papua ini tidak akan merusak kepentingan yang lebih luas dalam hubungan Indonesia-Australia. Komitmen mendukung keutuhan negara Indonesia dan paket politik otsus bagi Papua merupakan jalan terbaik yang dipegang oleh Australia.
ImplikasiKeputusan pemberian visa telah memproduksi sejumlah implikasi yang dirasakan dapat
menyulitkan posisi Australia, baik dalam konteks hubungan luar negeri dan politik domestik Australia.
Pertama, adanya keraguan dan lunturnya kepercayaan terhadap Australia di mata Indonesia. Pernyataan-pernyataan politik Pemerintahan Howard untuk mendukung keutuhan NKRI dipertanyakan secara serius. Kepercayaan yang luntur ini tampaknya sulit diobati dan disembuhkan. Jikapun dapat disembuhkan, kemungkinan tetap meninggalkan tanda-tanda cedera. Agenda-agenda penting dalam kerangka Kemitraan yang komprehensif antara Indonesia-Australia memasuki ujian yang terberat.
Kedua, pemberian visa sementara kepada 42 warga Papua akan menambah persoalan baru bagi Australia. Sejumlah negara maupun kelompok-kelompok pembela pengungsi akan bersuara lantang membuka standar ganda kebijakan Australia terhadap sejumlah kasus-kasus penolakan Australia terhadap pengungsi dari negara-negara Timur Tengah, Afghanistan, maupun nelayan Indonesia yang diperlakukan secara tidak layak oleh Australia.
Ketiga, kebijakan imigrasi Australia telah memberikan peluang dan celah bagi sejumlah warga Papua lainnya untuk meminta suaka politik di Australia. The Sydney Morning Herald, 25-26 Maret 2006, melaporkan sekitar 500 warga Papua sedang menyiapkan untuk mencari suaka politik di Australia. Jika hal ini terjadi, kondisi ini semakin memperparah masa depan hubungan Indonesia-Australia.
Pemerintahan Howard harus berpikir ulang, apakah persetujuan visa merupakan proses birokrasi normal ataukah keputusan yang perlu mempertimbangkan secara menyeluruh kerja sama Indonesia-Australia dan implikasi bagi stabilitas keamanan regional.
Keempat, kebijakan Australia yang ambigu hanya akan melahirkan tekanan-tekanan politik di level domestik Australia. Memang benar platform Pemerintahan Howard selalu mendukung keutuhan NKRI, namun tekanan dan aspirasi publik dari kekuatan-kekuatan politik maupun elemen-elemen masyarakat tertentu di Australia akan mendesak posisi resmi Australia semakin sulit.
Kemungkinan besar Australia akan mengambil posisi 'oposisi loyal' terhadap Indonesia. Australia akan tetap loyal mendukung Papua sebagai provinsi dalam wilayah NKRI, namun tetap menyuarakan persoalan HAM di Papua dalam kerangka penegakkan prinsip-prinsip universalisme. Dalam kerangka ini, masa depan kepentingan bilateral Indonesia-Australia akan selalu terjaga dengan baik, walaupun gelombang isu selalu menerpa ke negara bertetangga ini.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...