Aug 15, 2017

Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka

Selasa, 15 Agustus 2017 – 13:35 WIB
Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka - JPNN.COM

Penulis adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta
 
Yogyakarta, 17 Agustus 1946, menjadi saksi dari amanat Presiden Sukarno ketika memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia menyampaikan renungan, “Tatkala pada 17 Agustus tahun yang lalu kita memproklamasikan kemerdekaan kita dengan kata-kata jang sederhana, - belum dapat kita membajangkan benar-benar apa jang kita hadapi. Kita hanjalah mengetahui, bahwa proklamasi kita itu adalah satu pekik "berhenti!" kepada pendjajahan jang 350 tahun. Kita madjukan proklamasi kita itu kepada dunia sebagai hak asli kita, hak bangsa kita, hak kemanusiaan kita, hak hidup kita, dengan tjara jang setadjam-tadjamnja". 
Perjalanan 72 Tahun Indonesia merdeka adalah sebuah narasi besar yang heroik, dinamis, dan transformatif. Penggalan demi penggalan sejarah telah kita lalui sejak 1945 hingga 2017. Dalam 7 dekade Indonesia merdeka, tidak mudah untuk membangun Indonesia yang majemuk dengan segala kompleksitasnya. Namun, kita patut bersyukur karena ujian demi ujian telah dilalui dengan selamat. Tak salah ketika mengunjungi Indonesia pada awal November 2010, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berujar, "I believe that Indonesia is not only a regional power that is rising, but also the global force".
Apa yang dicapai hari ini adalah sentuhan dan langkah yang telah ditunaikan oleh semua anak-anak bangsa, dari era Presiden Sukarno hingga era Presiden Joko Widodo. 

Transformasi di Era Globalisasi
 
Kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Presiden Sukarno menegaskan, "Di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat".
Generasi 45 dikenang sebagai sebagai generasi emas yang mengubah nasib bangsa ini. Pada titik ini, kita menyimak wajah transformasi Indonesia dalam empat aspek yang strategis. 

Pertama, peran dan profil Indonesia meningkat di panggung global. Wajah kita di dunia internasional ini sangat relevan dengan misi besar kita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia, dan keadilan sosial. 

Peran internasional Indonesia ini tidak terlepas dari prinsip dasar bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia. Prinsip yang digagas oleh Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta, di tahun 1947 dalam pidatonya, "Mendayung di antara Karang" sebagai renungan dalam menyikapi persaingan antara Blok Kapitalisme Barat dan Blok Komunisme Timur. Napas inilah yang melatari Presiden Sukarno dalam menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955. Demikian pula, berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), 8 Agustus 1967, tidak terlepas dari peran penting pemerintahan Presiden Suharto. 

Dalam konteks peran politik luar negeri Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjelaskan peran internasional Indonesia yang telah dijalankan dewasa ini, yakni membangun jembatan dialog antar peradaban (bridge builder), membangun perdamaian (peace maker), membangun konsensus (consensus builder) dan menyuarakan aspirasi dari negara-negara berkembang (voice of the developing world). 

Dari sisi consensus builder, Indonesia berhasil untuk membangun sebuah konsensus global atas dasar visi. Hal itu tercermin ketika negosiasi soal perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim ke-13 yang digelar oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Bali, pada pertengahan Desember 2007. Indonesia juga menjalankan peran sebagai bridge builder. Indonesia memainkan pendekatan soft power untuk membangun jembatan dialog antar peradaban, Barat dan dunia Muslim.
Indonesia juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang (voice of the developing world), baik di Gerakan Non-Blok, G-77, APEC, dan G-20. Suara dari negara-negara berkembang semakin dipromosikan oleh Indonesia ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai co-chair High Level Panel of Eminent Persons untuk merumuskan visi besar dari agenda pembangunan paska 2015. Alhasil, PBB meluncurkan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, menggantikan MDGs 2015. Dan kini, sejak 4 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 

Kedua, Indonesia melakukan transformasi sistem pemerintahan dari model yang sentralistik menuju model desentralistik. Kita mencatat bahwa dinamika hubungan antara Pusat - Daerah menjadi agenda menarik dalam perjalanan 72 Indonesia merdeka. Tarik menarik otoritas, bahkan sejumlah konflik vertikal di daerah-daerah di Indonesia disebabkan oleh perasaan ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara pusat dan daerah. 

Pasca reformasi 1998, ketika itu Presiden B.J. Habibie mengubah hubungan pusat - daerah secara drastis. Ia menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun dengan perkembangan keadaan, pada 15 Oktober 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri mensahkan regulasi baru, menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat - Daerah. 

Setelah berjalan 10 tahun, regulasi otonomi daerah ini ditata kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi 3 undang-undang yang terpisah, baik UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, maupun UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga regulasi itu membuat wajah Indonesia semakin desentralistik. 

Indonesia juga mengelola hubungan pusat - daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Pasca pasca reformasi 1998, Indonesia menghadirkan regulasi khusus untuk Aceh melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 

Namun, konflik yang berkepanjangan di Aceh menjadi sebuah pekerjaan rumah. Dengan pendekatan soft power, akhirnya lahir UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sementara itu, sejalan dengan kebijakan asymmetrical autonomy, akhirnya lahir UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Ketiga, profil ekonomi Indonesia meningkat di panggung global dan regional. Struktur ekonomi Indonesia mengalami transformasi yang pesat. Dalam konteks Asia, ekonomi Indonesia tumbuh dari negara yang terbelakang, akhirnya Indonesia tumbuh sebagai middle-income country, dan berada di posisi ekonomi ke-16 terbesar dunia. 

Demikian pula, perhatian serius ditujukan terhadap penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pembangunan jaminan sosial. Hal itu ditandai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Bahkan, dianggap sebagai sistem Jaminan Kesehatan terbesar di dunia. 

Wajah ekonomi Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari perjalanan panjang fondasi ekonomi nasional dan struktur perencanaan pembangunan nasional sebagai peta jalan pembangunan dari waktu ke waktu.
Di era Presiden Sukarno, terdapat Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebagai haluan negara. Hal ini diikuti dengan pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 1963. Memasuki era Orde Baru, Presiden Suharto lebih menekankan pembangunan nasional yang bertahap secara kaku melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). 

Transisi pemerintahan di tahun 1998 telah berimplikasi terhadap pola pembangunan nasional. Di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri, telah menjadikan dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai haluan dalam mengelola pembangunan. 

Akibat perubahan UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. Mensikapi situasi ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan haluan pembangunan yang dikemas dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 - 2025. 

Sebagai penjabarannya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, menerapkan kerangka kebijakan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang diletakkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2005 - 2009, RPJM 2010 - 2014, dan RPJM 2015 - 2019, dimana salah satu agenda terpenting adalah visi Presiden Joko Widodo di dalam Membangun Indonesia dari Pinggiran. 

Keempat, Indonesia mengalami transformasi menuju kehidupan politik yang demokratis. Demokrasi telah menjadi pilihan yang terbaik. Indonesia telah melewati pemerintahan demi pemerintahan dan telah mengalami kehidupan demokrasi yang beragam tergantung konteks internasional, setting nasional, dan kepemimpinan nasional sejak 1945 hingga 2017. Kita juga berhasil menghadapi ujian demokrasi. 

Di awal transisi demokrasi di tahun 1998, berbagai skenario politik dilabelkan ke Indonesia. Secara ekstrem, Indonesia diproyeksikan mengalami "balkanisasi" dan disintegrasi. Namun, kita secara arif menghadapi transisi demokrasi dan berhasil melakukan konsolidasi demokrasi. Bahkan, di tahun 2004 Indonesia telah melakukan sebuah eksperimen politik terbesar melalui pemilihan Presiden - Wakil Presiden secara langsung.
Komunitas internasional melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Sejalan dengan perubahan politik ini, identitas internasional Indonesia semakin dikenal bahwa demokrasi, modernisasi, dan Islam berjalan seiiring dalam satu tarikan langkah. 

Mengelola Pekerjaan Rumah
 
Dalam rentang panjang selama 7 dekade ini, konteks lingkungan internasional berkembang dan berubah dinamis. Kini dunia internasional lebih berwajah multipolar, tidak lagi unipolar. Menyimak peta seperti itu, Indonesia perlu memainkan peran penting sebagai bridge builder di panggung global dan regional ketika menghadapi isu-isu hubungan internasional yang krusial, seperti potensi konflik di Laut China Selatan, Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Agenda/SDGs), globalisasi, dan arsitektur keamanan yang berubah, serta isu-isu kekinian lainnya. Di level nasional, Indonesia mendapatkan bonus demografi yang dapat bermanfaat dalam pembangunan. Diproyeksikan pada periode 2020 - 2030, bonus demografi ditandai dengan jumlah usia angkatan kerja (15 - 64 tahun) mencapai sekitar 70 persen. 

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, kita masih dihadapkan dengan agenda kebangsaan yang penting, yakni mengelola identitas sosial, multikulturalisme, dan kerukunan sosial. Anggapan benturan peradaban (clash of civilizations) haruslah diubah menjadi kerukunan antar peradaban (harmony among civilizations). Ujian atas toleransi dan kerukunan masih terjadi di Indonesia. 

Kemajuan yang dicapai selama 7 dekade ini merupakan modal terpenting. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang dihadapi ketika kita ingin melunasi janji kemerdekaan. 

Kembali kita menyimak refleksi Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Ia mengajukan sebuah pertanyaan dalam pidatonya itu, "Apakah jang kita miliki pada waktu itu? Pada waktu itu jang ada pada kita hanjalah kehendak, kemauan, djiwa, jang menjala-njala dengan semangat kemerdekaan”.(***)



Aug 7, 2017

PON XX Tahun 2020: Gubernur Enembe Memperluas Redistribusi Pembangunan Berbasis Adat

Oleh: Dr. Velix Wanggai

Hari-hari ini Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua sedang  merumuskan substansi  kebijakan dan program yang tepat dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang terkait dengan dukungan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Tahun 2020 di Provinsi Papua.

Terbitnya Inpres ini sebagai bukti dari sebuah kerja kolektif antara Pusat - Daerah dalam membangun Indonesia dari Pinggiran dalam perspektif keolahragaan.
Di tengah-tengah Sidang Kabinet Terbatas perihal Papua di Kantor Presiden, pada 19 Juli 2017, Gubernur Lukas Enembe sempat menjelaskan ke Presiden Joko Widodo. Gubernur Enembe mengurai olahraga adalah identitas dan talenta yang telah mengalir dalam darah daging orang Papua. Olahraga dalam konteks ke-Papua-an adalah seni, sport is the art.

Menoleh ke belakang di tahun 1970-an ketika Gubernur Acub Zainal sangat getol dengan dunia olahraga, terutama sepakbola.  Misalnya saja, ketika sehari sebelum final Persipura melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976, Acub Zainal mengirim surat ke pemain-pemain Persipura.

Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija  dengan skor 4 - 3.

Identitas dan Olahraga di Panggung Internasional
 
Belajar dari pengalaman di belahan negara lain, olahraga merupakan instrumen dalam membangun solidaritas sosial bangsa.  Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.

Identitas nasional, kebanggaan, dan kepercayaan diri dibangun melalui olahraga dan slogan-slogan yang menyertainya. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream". Kesebelasan Australia, dengan slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History" dan  Ghana berslogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara, Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, slogan, "Heroes play like Greeks", diangkat oleh Yunani (www.cnn.com, 15 Mei 2014).

Kebangkitan Olahraga dan Upaya Redistribusi Pembangunan
 
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama Stadion Utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015. Menurut Presiden Joko Widodo, "Proyek pembangunan venue PON di Papua memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.

Dalam konteks Papua, Gubernur Enembe menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Meepago, Leepago, dan Animha ke dalam pelaksanaan PON XX 2020. Dengan berbasis sosial budaya, dilakukan redistribusi pusat-pusat venues olahraga ke 5 wilayah adat, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura.

Sebagai tuan rumah PON XX, Papua diletakkan sebagai bagian visi "Indonesia-sentris" yang diangkat Presiden Joko Widodo. Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden seputar dukungan kebijakan guna percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, haruslah dilihat sebagai narasi besar mempercepat pemerataan pembangunan ke Kawasan Timur Indonesia, membangun karakter bangsa, memperkuat persatuan dan ketahanan nasional.

*Penulis adalah pengamat pembangunan Papua*

Akankah Thai Kra Canal Mengubah Geopolitik Asia Pasifik?

Dunia  SABTU, 05 AGUSTUS 2017 , 20:34:00 WIB | OLEH: VELIX WANGGAI



Ilustrasi/Net

SINGAPURA, kini menjadi hubungan internasional yang sangat strategis dalam arsitektur geopolitik dan geoekonomi Asia Pasifik, bahkan dalam konteks politik ekonomi-keamanan global.  Singapura dengan pelabuhannya di selat Malaka telah memainkan peran sangat strategis yang menyambungkan pergerakan ekonomi dari timur dan barat Singapura.

Namun, dewasa ini, Singapura berada dalam sebuah tantangan, bahkan ancaman baru terhadap posisi strategis Singapura. Tantangan baru yang bisa  mengubah peta ekonomi Asia Tenggara, kawasan Asia Pasifik, bahkan peta ekonomi global. Tantangan itu datang dari gagasan lama perihal Kra Canal atau Thai Canal yang akan membelah dataran negara Thailand yang menghubungkan Teluk Thailand dengan laut Andaman di selatan Thailand. Kra Canal relatif mirip terusan Suez dan terusan Panama.

Jika Kra Canal yang rencana panjangnya sekitar 102 kilometer dengan lebar sekitar 400 meter dan kedalaman 25 meter, maka jalur laut ini akan menghemat waktu perjalanan laut sekitar 1.200 kilometer ketika melewati Selat Malaka.

Ide dan upaya untuk merealisasikan ide Kra Canal hingga saat ini masih menyimpan pro-kontra di antara kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Tentu saja, pihak yang paling dirugikan atas ide Kra Canal ini. Sebaliknya, China sangat getol untuk merealisasikan ide ini karena berfaedah dari sisi geo-politik dan geo-ekonomik China. Demikian pula, Thailand akan terkena imbas positif atas ide Kra Canal ini dengan menggeser peran Singapura ke depan.

Lintasan Sejarah Thai Kra Canal

Gagasan Kra Canal sebenarnya merupakan ide lawas yang muncul di tahun 1667 di era Raja Thailand Narai. Ketika seorang insinyur Perancis De Lamar melakukan survei perihal kemungkinan membangun terusan laut yang menghubungkan Songkhla dengan Marid. Kemudian, di awal abad ke-19, The British East India Company tertarik ide terusan ini namun belum berhasil untuk diwujudkan. Karena belum sepakat dengan ide ini, akhirnya Thailand dan Inggris sepakat di tahun 1897 untuk lebih memilih Singapura sebagai hubungan utama dalam jalur perdagangan laut (www.iims.org.uk, 14/1/2015).

Namun, memasuki abad ke-20, ide Kra Canal tetap hidup dengan beberapa kajian yang menampilkan sejumlah opsi rute dari terusan Kra ini. Di internal politik Thailand, masih terus berdebat soal ide proyek strategis ini. Ada pihak yang tak sepalat dengan mega proyek ini karena mahalnya mega proyek ini dan juga membelah daratan Thailand menjadi 2 wilayah yang terpisah.

Namun, dengan hadirnya Raja baru Thailand, Vajiralongkorn Rama X, tampaknya ia menyambut ide Kra Canal ini. Salah seorang anggota the King's Privy Council, Thanin Kraivichien, mantan perdana menteri Thailand sejak Oktober 1976 hingga Oktober 1977, menulis surat terbuka kepada pemerintah Thailand perihal dukungannya terhadap konstruksi Kra Canal. Ia menilai bahwa Thailand jangan ketinggalan dari bagian perdagangan global dan konektivitas maritim yang terkait dengan China (www.channelnewsasia.com, 13/1/2016).

Dewasa ini Kra Canal ini menyita perhatian kekuatan-kekuatan dunia, baik China, Amerika Serikat, dan Jepang. Pihak China menempatkan proyek Kra Canal ini dalam strategi Silk Road, yang akan menghemat biaya transportasi dan jarak tempuh dari lintasan suplai energi China tanpa melewati Singapura. Silk Road atau Jalur Sutra Abad ke-21 merupakan strategi China di dalam menguatkan pengaruh ekonomi di wilayah di Asia, Eropa dan Afrika.

Bahkan, sebagian pengamat melihat kebijakan Jalur Sutra China dilihat sebagai pertarungan pengaruh geopolitik antara China dan Amerika Serikat. China begitu serius menggarap Jalur Sutra ini yang tercermin dari pelaksanaan One Belt One Road (OBOR) Forum di Beijing, pada pertengahan Mei 2017 lalu. Mega proyek ini memakan biaya sekitar US 28 billion dan rencananya dibangun selama 10 tahun yang melibatkan sekitar 30.000 pekerja.

Bagi China, hampir 80 persen minyak yang dibeli China dari Timur Tengah dan Afrika melewati Selat Malaka. Yang diantipasi adalah ketika konflik terjadi di sekitar Selat Malaka, maka pesaing-pesaing China akan memblokade Selat Malaka sehingga memotong jalur energi China dari Timur Tengah dan Afrika. Mantan Presiden China Hu Jintao menyebut situasi ini dengan istilah "Malacca Dilemma".

Connectography" dari Thai Canal dalam Geopolitik Asia Pasifik

Ketika Thai Canal dibangun, Singapura adalah negara yang paling dirugikan. Bahkan, seorang pemikir terkenal dari Singapura, Parag Khanna, dalam bukunya "Connectography, Mapping the Future of Global Civilization", memprediksi Thai Canal yang menggeser peran Singapura sebagai hub internasional sehingga dapat menghilangkan peran strategis Singapura selamanya (www.straitstimes.com, 30 April 2016. Bahkan, dilaporkan, Thai Cra Canal ini akan mengurangi kontribusi peran pelabuhan Singapura sebesar 7 persen terdahap GDP Singapura (www.financialexpress.com, 29 Februari 2016).

Dalam konteks pemikiran "Connectography", Parag Khanna mengenalkan bagaimana mengaitkan konektivitas dan geografi yang berdampak terhadap masa depan global. Ia memandang, kita akan bergerak ke sebuah era dimana kota-kota akan menjadi penting ketimbang negara dan aliran suplai akan menjadi lebih penting dibandingkan sumber-sumber kekuatan militer. Karena itu, konektivitas yang kompetitif merupakan senjata di abad ke-21. Dalam hal ini, ia menempatkan China telah melukis kembali ide historis Jalan Sutra untuk mengurangi peran strategis Selat Malaka (www.nytimes.com, 9 April 2016).

Tidak hanya dari sisi ekonomi saja kerugian yang dialami Singapura, namun dari sisi geopolitik wilayah, peran Thailand semakin strategis menggeser peran Singapura. Apalagi, saat ini Thailand secara intens memperkuat kerjasama pertahanan dan keamanan dengan China, Rusia dan Eropa.  Militer Thailand mulai menoleh dengan berbagai jenis persenjataan produksi China.
  
Amerika Serikat juga risau dengan ide Kra Canal ini. Menteri Pertahanan AS Donald H. Rumsfeld membedah dokumen Energy Futures in Asia yang memuat strategi baru kekuatan militer melalui jaringan laut dari Timur Tengah ke Laut China Selatan. Dari kajian tim yang dibidani Donald Rumsfeld menyebutkan hal ini sebagai strategi ofensif dan defensif China dalam melindungi  kepentingan energi China, dan juga sebagai bagian dari tujuan militer China (www.washingtontimes.com, 17/1/2005).

Tentu saja, pembangunan Kra Canal ini memiliki dampak di negara-negara Asia Tenggara.  Diperkirakan Myanmar, Kamboja dan Vietnam paling merasakan manfaat dari Thai Canal dalam konteks perdagangan, kawasan industri dan pariwisata. Kota-kota di pesisir Myanmar dan Thailand akan semakin strategis ketika Kra Canal terwujud. Di bulan Mei 2008 lalu, Thailand dan Myanmar bekerjasama untuk membangun sebuah pelabuhan dalam internasional di Dawei yang diperkirakan menjadi bagian penting dari aliran suply di Kra Canal ini.

Bagi Vietnam, Kra Canal akan memotong secara signifikan jalur kapal yang selama ini melewati Singapura. Akses yang lebih cepat ke Vietnam melalui Kra Canal ini menjadi sebuah insentif ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi Vietnam yang ekonominya tergantung dari akses laut.

Visi Maritim Indonesia dalam Geopolitik yang Berubah

Bagi Indonesia, ide Thai Kra Canal menjadi momentum untuk mereview profil regionalnya di kawasan Asia Tenggara.

Paling tidak, ada beberapa poin penting yang perlu disikapi Indonesia.

Pertama, memaknai kembali visi Indonesia sebagai salah satu pusat poros maritim dunia. Karena itu, patut diapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Saatnya pendekatan baru ini dibumikan dalam semua sisi pembangunan dan kehidupan bangsa dan negara.

Kedua, perlunya membumikan pendekatan maritim yang terletak dalam visi Kementerian Luar Negeri tahun 2015 - 2019, yakni "Terwujudnya Wibawa Diplomasi guna Memperkuat Jati Diri Bangsa sebagai Negara Maritim untuk Kepentingan Rakyat".

Indonesia harus lebih kreatif untuk mengoptimalkan Asosiasi Negara-negara Lingkar Samudera Hindia, Indian Ocean Rim Association (IORA). Padang Komunike dan Kerjasama Maritim yang ditandatangani di Padang, Sumatera Barat, 25 Oktober 2015 menjadi fondasi Indonesia.

Puncaknya, Indonesia telah berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IORA pada 6-7 Maret 2017. Alhasil, berhasil disepakati "Jakarta Concord" yang berisi 6 poin utama, salah satunya kerjasama blue economy, perdagangan, investasi dan perikanan.

Ketiga, dalam konteks sistem distribusi dan logistik nasional dan internasional. Sudah saatnya perlu diperkuat fungsi  pelabuhan Sabang sebagai penghubung internasional (international hub port).  Kejayaan masa lalu Aceh dengan Sabang sebagai internasional hub perlu direvitalisasi sebagaimana pendekatan Jalan Sutra, Silk Road yang dikembangkan dewasa ini. Modal historis dikemas dalam konteks kekinian guna pertumbuhan ekonomi dan profil internasional Indonesia.

Keempat, yakni a new cold war antara Thailand dan Singapura perlu disikapi oleh Indonesia secara arif. Disinilah, Indonesia perlu mengedepankan pendekatan geopololitics of cooperation guna menjauhkan kawasan Asia Tenggara dari geopolitics of conflict. Disinilah, ASEAN menjadi sarana untuk memediasi ide besar dari Thai Canal, dan sejauhmana dampaknya bagi negara-negara di seputaran Selat Malaka.

Kelima, dalam konteks visi "Indonesia-sentris", atau Membangun dari Pinggiran, sudah saatnya Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman perlu untuk mereview kebijakan pembangunan kewilayahan seperti kawasan ekonomi khusus atau kawasan industri serta kawasan strategis lainnya yang terletak di bagian utara Sumatera, pantai Barat dan pantai timur Sumatera.

Perhatian perlu ditujukan ke KEK Arun di Aceh, KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara, KEK Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, kawasan Sibolga sebagai "Barus Road" yang pernah terkenal ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Demikian pula, perhatian ditujukan ke kawasan industri Tanjung Buton di Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan kawasan Kuala Langsa di utara Aceh. Peran sejarah pelabuhan Kuala Langsa menjadi fondasi bagi aliran suplai ke Selat Malaka.

Terakhir (enam), adalah Indonesia perlu melihat secara kritis pendekatan Silk Road-nya China atau One Belt One Road (OBOR). Tidak hanya dari sisi manfaat ekonomi dan peluang investasi yang mengalir ke Indonesia saja, namun perlu dicermati pula sisi "sphere of influence" yang dibangun China sebagai konsekuensi dari peran dingin baru "new cold war" antara China dan Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik.

Sebagai penutup kata, terasa tepat konsep Connectography yang dikembangkan pakar strategist di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Parag Khanan, bahwa faktor konektivitas dan geografi akan membentuk wajah baru urusan-urusan global. Artinya, ide dan aksi nyata Thai Canal sedikit banyak mempengaruhi geopolitik Asia Pasifik, bahkan arsitektur keamanan (energi) dunia. [***]

Penulis adalah doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...