Oct 31, 2011

Papua Selalu di Hati Presiden


Sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden dan di seratus hari kerja pertamanya, orang Papua termasuk rakyat yang selalu di hati presiden.

Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai dalam acara Polemik Sindo Radio bertajuk "Papua Konflik Tak Kunjung Usai" di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (29/10)

Presiden, menurut Velix, selalu mengupayakan peletakan otonomi yang sempurna dan lebih baik sesuai amanat UU. Velix kemudian menekankan bahwa presiden selalu mengedepankan dialog dan bukan operasi militer yang represif.

"Papua selalu di hati presiden, jadi presiden selalu kedepankan kesejahteraan dan keadilan, bukan operasi militer," tegas Velix.

Masih menurut Velix, konflik Papua adalah masalah warisan lama, yang terus diupayakan dialog dan pembuatan kebijakan yang lebih nyata dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua keseluruhan

Oct 27, 2011

Memahami Papua

(oleh: Velix Wanggai, Jurnal Nasional, 27 Oktober 2011)

Papua selalu ada di hati Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak menerima amanah sebagai Presiden pada 20 Oktober 2004, berbagai langkah yang menyentuh hati masyarakat Papua telah dilakukan dan terus akan dilakukan dalam tiga tahun ke depan.

Pada awal tahun 2009, tepatnya tanggal 22 Januari, Presiden SBY menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat. Di Pulau yang memiliki nilai historis dalam peradaban orang Papua itu, Presiden SBY didampingi Ibu Negara datang untuk menyapa saudara-saudara Papua yang terkena gempa bumi berskala 7,2 richter. Di tengah-tengah ribuan orang Presiden mengajak kita semua untuk menyatukan langkah untuk membangun Papua dengan jujur. Ajakan, sekaligus seruan Presiden ini senapas dengan kata-kata bijak yang amat terkenal di Papua, yakni “siapa yang bekerja jujur di tanah ini, maka dia akan menemui tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain”.

Sebelum meninggalkan Pulau Mansinam, tiba-tiba presiden SBY berdiri terdiam sejenak untuk mendengar kata-kata penuh makna dari lantunan lagu “Tanah Papua” yang dinyanyikan oleh paduan suara setempat.

Disana Pulauku yang kupuja selalu
Tanah
Papua Pulau indah
Hutan dan
lautmu yang membisu slalu
Cendrawasih
burung emas

Gunung-gunung
lembah-lembah yuang penuh misteri
Kau kupuja slalu keindahahan alammu
yang mempesona
Sungaimu yang deras mengalirkan
emas
Sio Ya Tuhan terima kasih

Di Pulau Mansinam itu Presiden SBY mengucapkan kalimat yang penuh makna. “Hari ini sungguh hari yang indah, karena kita semua dapat berkumpul di Pulau yang bersejarah ini, Pulau Mansinam sebagai lambang peradapan di tanah Papua yang kita cintai dan kita banggakan ini. Pulau ini yang mendapatkan berkah Tuhan, bukan hanya memiliki kebesaran sejarah masa lampau sebagai gerbang dari peradapan, the gate of civilization, tetapi kita berharap sambil memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa dari pulau ini, tanah Papua yang kita cintai memiliki masa depan yang gemilang”, demikian kata Presiden SBY.

Sebelumnya, Presiden SBY telah mengunjungi Merauke pada April 2006 dan wilayah Pegunungan Tengah, khususnya di Jayawijaya dan di Yahukimo pada pertengahan 2007. Merauke telah ditetapkan sebagai wilayah pertanian yang diharapkan sebagai lumbung pangan di Timur Indonesia. Dengan lahan yang cukup luas, beras telah ditanam sejak era Belanda. Kini, sebagai bagian dari skenario pembangunan nasional, wilayah Merauke menjadi klaster ekonomi potensial di dalam kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Begitu terkesimanya Presiden SBY atas keramahan masyarakat dan wilayah Merauke, di dalam perjalanan pulangnya dari Merauke, Presiden merangkai kata-kata indah menjadi satu lagu yang berjudul, “Mentari Bersinar”.

Di Merauke, Presiden SBY mengungkapkan rasa syukurnya karena panen raya padi telah dapat dilakukan di wilayah ini. Hal ini menunjukkan keberhasilan kita bersama dalam membangun sektor pertanian di tanah air. Ternyata pembangunan pertanian tidak hanya di Pulau Jawa, atau pulau-pulau lain di Nusantara ini, namun keberhasilan pembangunan juga dirasakan di wilayah Timur Indonesia. Tiga bulan kemudian, pada akhir Juli 2006, Presiden SBY menyapa saudara-saudara kita di wilayah Jayawijaya dan Yahukimo. Dengan melihat kondisi wilayah yang terisolasi dari dunia luar, Presiden SBY menegaskan bahwa sektor infrastruktur menjadi prioritas dari Pemerintah. Dana otonomi khusus yang relatif besar dan didukung oleh dana-dana sektoral akan ditujukan untuk membuka aksessibilitas di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Kunjungan ke pulau Mansinam pada awal tahun 2009, Merauke dan Jayawijaya pada pertengahan tahun 2006, dan sebelumnya kunjungan ke Nabire dan Jayapura pada akhir tahun 2004, merupakan komitmen yang serius yang ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam menangani Papua. Ketika Presiden SBY menerima amanah sebagai Presiden pada 20 Oktober 2004, dalam pidato pertamanya Presiden menegaskan bahwa Pemerintah akan memberi perhatian khusus terhadap penanganan khusus terhadap penanganan situasi konflik di Aceh dan Papua. Agenda penanganan Papua dimasukkan sebagai salah satu prioritas dalam Program 100 Hari.

Setelah bekerja dua-tiga bulan, akhirnya Presiden SBY dapat menyelesaikan sebuah pekerjaan rumah yang ditinggalkan pendahulunya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Bahkan Presiden SBY datang sendiri ke Jayapura untuk menyerahkan PP Nomor 54 ini sebagai hadiah Natal kepada masyarakat Papua. Sebagai daerah yang spesifik, MRP hadir sebagai lembaga representasi kultural yang mewadahi wakil kaum adat, tokoh agama, dan tokoh perempuan.

Selain pendekatan kultural ini, sejak periode I kepemimpinan Presiden SBY, Presiden telah menekankan pendekatan yang lebih humanis yang menghormati hak-hak asasi manusia. Ketika di Merauke pada 5 April 2006, Presiden SBY mengajak masyarakat Papua untuk melihat ke depan dan jangan terlalu banyak menoleh ke belakang.

Kata Presiden, “Pemerintah menyadari bahwa ada kekeliruan kebijakan masa lalu, yang menyebabkan sebagian rakyat di Provinsi ini merasa kurang puas dan merasa diperlakukan kurang adil. Ada sejumlah kebijakan masalah lalu, yang dinilai bertendensi melanggar hak-hak asasi rakyat. Kini semua kebijakan itu telah kita ubah, sejak kita memasuki era reformasi. Pemerintah yang kini saya pimpin, benar-benar memegang teguh komitmen untuk memajukan daerah ini, menegakkan hukum, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia”. Untuk itu, Presiden menginstruksikan kepada aparatur pemerintah dan seluruh aparatur keamanan berusaha semaksimal mungkin untuk bertindak secara persuasif dan hati-hati dalam menangani masalah.

Sementara itu, dengan payung Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat, dalam tujuh tahun terakhir ini Presiden SBY terus melanjutkan komitmennya untuk melanjutkan desentralisasi kebijakan fiskal yang semakin meningkat. Alokasi dana yang relatif besar dibandingkan wilayah lain di tanah air ini patut dikelola dengan tepat.

Menata Papua dengan hati adalah kunci sukses dalam pembangunan Papua. Hal itu telah ditegaskan Presiden SBY dalam pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2011. Dan, dalam sisa tiga tahun kepemimpinan Presiden SBY, agenda Papua merupakan salah satu prioritas yang akan ditangani. Komitmen yang serius itu telah ditekankan oleh Presiden SBY dalam policy speech yang disampaikan pada 19 Oktober 2011 lalu. Berbagai pendekatan yang menyeluruh bagi Papua akan terus dilanjutkan hingga tahun 2014.

Oct 26, 2011

Posko Brimob Ditembaki

Rabu, 26 Oktober 2011 | 05:09 WIB

Jayapura, Kompas - Sehari setelah Kepala Polsek Mulia Ajun Komisaris Dominggus Octavianus Awes dikeroyok dan ditembak hingga tewas, kekerasan di Papua terus meningkat. Kelompok sipil bersenjata menembaki posko Brimob di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Selasa (25/10). Pelakunya diperkirakan 200 orang, yang terbagi dua kelompok.

Insiden baku tembak itu terjadi dua kali. Pukul 06.00 sampai pukul 07.00 terjadi baku tembak antara anggota Brimob yang berpatroli dan sekelompok orang tak dikenal setelah jenazah Dominggus Awes diberangkatkan ke Jayapura.

Pukul 13.00 sampai pukul 13.30, sekelompok orang tak dikenal menembaki posko taktis Brimob, Puncak Jaya. ”Namun, tidak ada korban tewas dalam insiden baku tembak di dua tempat tersebut,” kata Kepala Divisi Humas Kepolisian Negara RI (Polri) Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam di Jakarta, Selasa.

Meskipun diserang, posko taktis Brimob itu tidak rusak karena tembakan berasal dari arah cukup jauh, yaitu dari perbukitan. Kelompok itu diperkirakan 200 orang yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah sekitar 150 orang dengan senjata tradisional seperti kapak dan panah, sedangkan kelompok kedua sekitar 50 orang bersenjata api. Menurut Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe, kelompok pertama berada sekitar 700 meter dari posko Brimob.

”Mereka menari-nari untuk memancing aparat mendekat,” kata Lukas Enembe. Kelompok kedua bertiarap di sepanjang sungai, yang berjarak sekitar 500 meter dari pos tersebut. Menurut Lukas Enembe, kontak senjata aparat gabungan TNI dan Polri dengan kelompok bersenjata itu terjadi sejak pagi hari. Ia menduga kelompok itu hendak merampas senjata milik aparat keamanan.

”Motif mereka ingin mencari senjata api,” kata Anton secara terpisah. ”Juni lalu, anggota kami diambil juga senjatanya,” ujarnya. Setelah dua insiden penembakan itu, aparat Brimob melakukan pengejaran, tetapi para pelaku melarikan diri.

Lukas Enembe mengaku telah berkomunikasi dengan pimpinan kelompok bersenjata itu untuk menghentikan aksi tersebut. Ia juga meminta bantuan pemuka agama untuk bernegosiasi dengan kelompok itu agar mau menarik diri. Lukas Enembe berupaya menahan amuk para penyerang agar tidak membakar kantor-kantor pemerintah. Sebuah kantor dinas, yaitu Kantor Dinas Ketahanan Pangan, diinformasikan dibakar sekitar pukul 16.00. Namun, ujar Lukas Enembe, situasi kota tampak seperti biasa, mungkin masyarakat terbiasa dengan situasi itu.

Lukas Enembe mengatakan, kelompok penyerang itu bukan di bawah kendali Gholiat Tabuni, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Puncak Jaya. ”Saya sudah berkomunikasi dengannya. Ia mengatakan tidak bertanggung jawab atas penyerangan itu,” katanya.

Lukas Enembe menyebutkan, di Puncak Jaya ada tiga kelompok bersenjata. Kelompok pertama dipimpin Gholiat Tabuni, kelompok kedua dipimpin Mathias Wenda, dan kelompok lainnya berafiliasi dengan TPN/OPM di Papua Niugini. Meskipun punya tujuan sama, mereka tidak di bawah satu komando. Ia menduga penyerangan kemarin dilakukan kelompok ketiga.

Ia berharap pemerintah memberikan dukungan untuk mengatasi hal itu. Selasa malam, Polri mengirim pasukan tambahan dari Brimob, Kelapa Dua, Depok, sebanyak 170 personel ke Papua. Menurut Anton, Polri menetapkan Siaga I di wilayah Polres Jayawijaya.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Wachyono, penembak Dominggus diduga berasal dari kelompok yang sama dengan pelaku penembakan Briptu M Yazin, Juni lalu.
Menanggapi situasi di Papua, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto di Istana Negara, Jakarta, mengatakan, ”Tindak kekerasan di Papua, bagaimanapun, ada dan nyata. Maka, jika TNI/Polri mengejar para pelaku tindak kejahatan itu, jangan lagi dikaitkan dengan HAM (hak asasi manusia). Dalam konteks itu, aparat keamanan kita melakukan tindakan penegakan hukum.”

Secara umum, kata Djoko Suyanto, pemerintah menempuh dua langkah sebagai bentuk penyelesaian jangka pendek. Pertama, tentang gerakan separatis, penanganannya diserahkan kepada penegak hukum. Kedua, terkait penembakan di Timika dan Mulia, pemerintah telah mengejar para pelaku.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, sebuah tim melakukan langkah-langkah penyelidikan dan pengejaran. ”Kita tunggu saja hasilnya,” ucapnya.

Masalah mendasar
 
Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, menjelaskan, gejolak di Papua sesungguhnya sudah diprediksi, tetapi disayangkan pemerintah terkesan lambat dalam menangani. Tubagus mengingatkan ada empat permasalahan mendasar di Papua, yakni perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, marjinalisasi penduduk asli Papua, pelanggaran HAM, dan masalah otonomi khusus (otsus) yang dinilai tidak berjalan.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai mengakui, pemerintah menyadari pelaksanaan otsus Papua dan Papua Barat belum efektif. Di sisi lain, ada kelompok bersenjata dalam skala kecil di Papua dan Papua Barat yang terus menyuarakan kemerdekaan. Dua hal itu diakui memicu gejolak keamanan.

Menurut Velix, pendekatan politik juga dilakukan terus dengan membangun komunikasi konstruktif dengan elemen masyarakat di Papua. Pemerintah berupaya menangani dengan pendekatan menyeluruh dari sisi politik, hukum, budaya, dan sosial ekonomi. Pendekatan ekonomi diwujudkan dalam bentuk konsistensi desentralisasi fiskal Papua dan Papua Barat. Pembiayaan pusat ke Papua dan Papua Barat dalam tujuh tahun terakhir meningkat lebih dari 100 persen. Jika pada 2004-2005 alokasi dana otsus, dana sektoral, dan dana alokasi umum ke daerah itu berkisar Rp 13 triliun, tahun ini alokasinya meningkat menjadi Rp 30 triliun.

Namun, diingatkan, pendekatan keamanan pemerintah pusat hanya membuat Papua berpotensi merdeka. ”Kalau eskalasi kekerasan meningkat, pastilah akan makin menguatkan jaringan internasional mereka dalam rangka mendorong Papua merdeka. Yang harus dilakukan adalah pendekatan kesejahteraan,” kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida di Jakarta.
Anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, mengatakan, penyelesaian masalah Papua saat ini selalu dalam konteks menempatkan Papua sebagai potensi separatisme. ”Membuat program pembangunan, tetapi pelabelan separatisme tidak hilang,” ujarnya.
(JOS/BIL/WHY/FER/ATO/ONG/EDN)

Oct 25, 2011

Staf Khusus imbau pekerja dan Freeport cari kesepakatan baru

Oleh: Velix Wanggai

(ANTARA News, Selasa, 11 oktober 2011)


Pemerintah meminta agar Manajemen PT. Freeport Indonesia dan SPSI PT.FI untuk duduk bersama secara intens guna melanjutkan proses mediasi yang sudah berjalan antara keduabelah pihak.

Imbauan itu menurut Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai, di Jakarta, Selasa, dalam siaran persnya, telah disampaikan sejak awal aksi mogok pekerja PT FI.

"Untuk itu, ke depan, Pemerintah berpendapat bahwa negosiasi ulang perlu digelar guna mencapai win-win solution yang adil dan proporsional," katanya.

Pemerintah, kata Velix, prihatin atas masalah internal antara SPSI PT. FI dan Manajemen PT. FI tidak dapat diselesaikan tuntas secara internal di lingkungan PT. FI. Ia menilai masalah yang berlarut-larut di internal perusahaan telah berimbas terhadap jatuhnya korban jiwa di sisi pekerja PT. FI maupun pekerja sub-kontraknya.

"Pemerintah ikut berduka atas meninggalnya saudara Petrus Ayamiseba, karyawan PT. Pangan Sari, perusahaan sub-kontrak dari PT. FI," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa Pemerintah menilai aksi mogok itu berawal dari masih adanya perbedaan persepsi antara SPSI PT. FI dan Manajemen PT.FI dalam mensepakati Upah Pokok. Dalam siaran pernya, Velix mengataan bahwa pihak SPSI PT.FI menuntut peningkatan kesejahteraan harus sesuai dengan produktivitas pekerja, kemampuan dan pendapatan perusahaan secara berimbang dan berkeadilan.

"Pihak pekerja mengusulkan kenaikan upah karyawan non-staff dari grade terendah sampai dengan Karyawan staf level tiga sebesar 17,5-43 dolar AS per jam."

Sedangkan pihak Manajemen PT.FI, menurut keterangan pers itu, hanya mengusulkan kenaikan Upah Pokok sebesar 22 persen yang akan diberikan untuk tahun 2011 sebesar 11 persen dan tahun 2012 sebesar 11 persen. Selain itu, pihak Manajemen PT.FI menawarkan program baru yaitu Program Tabungan Hari Tua dan beberapa fasilitas dan Bonus Metal.

Mengingat Perundingan Kerja Bersama (PKB) ini belum mencapai titik temu, Velix mengatakan, Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melakukan tahap mediasi antara keduabelah pihak. Namun karena tidak mencapai kesepakatan, Pemerintah sebagai Mediator telah mengeluarkan anjuran.

"Sejak 24 September 2011 Pemerintah mengeluarkan Anjuran, yaitu agar PT.FI memberikan kenaikan Upah Pokok dan segera melaksanakan Paket Finansial mengenai Program Hari Tua, Dana Pensiun, Bantuan Pinjaman dan Perbaikan Rumah, Fasilitas Pengobatan dan Perawatan Kesehatan, Bantuan Pendidikan Anak, serta Bantuan Transportasi bagi pekerja tujuh suku yang melaksanakan cuti, secara nyata dan sungguh-sungguh."

Demikian pula, tambah Velix, Pemerintah mendorong agar Manajemen PT.FI dan SPSI PT.FI segera melakukan perundingan mengenai materi non-finansial sesuai tata tertib perundingan PKB.

"Sejak awal Pemerintah secara intens terus membangun komunikasi dengan pihak SPSI PT. FI dan mengharapkan aksi mogok pekerja berjalan dengan tertib dan damai," ujarnya.

Pemerintah, menurut Velix, juga selalu menyarankan agar pihak pekerja dapat menuntut kenaikan upah pokok secara proporsional dengan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi bagi ekonomi Papua, dan secara khusus di Timika.

"Pemerintah mendesak agar pihak Manajemen PT.FI dan pihak SPSI PT.FI agar dapat mencari solusi yang terbaik, duduk bersama dan bermusyawarah untuk mencari jalan terbaik bagi semua pihak," katanya.

Jika situasi ini berlarut-larut, kata dia, akan merugikan semua pihak.

Pemerintah mengimbau agar harus ada "take and give" dari keduabelah pihak, sehingga mencapai kesepakatan baru yang seimbang, adil, dan proporsional.

Pada kesempatan itu Velix mengatakan bahwa Presiden Yudhoyono memiliki komitmen menata ulang berbagai kontrak karya pertambangan yang tidak adil dan merugikan negara dan rakyat. "Dan, Presiden Yudhoyono telah tegaskan bahwa renegosiasi ini diprioritaskan kepada kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Saat ini Pemerintah secara intens mereview-satu demi satu-kontrak karya yang dianggap merugikan negara," katanya.

Dalam konteks negosiasi ulang ini, lanjut dia, Presiden Yudhoyono berharap bahwa kehadiran investasi asing di Papua dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat Papua, pemerintah daerah, pekerja PT.FI, maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Oct 21, 2011

Staf Khusus Presiden: Kongres Papua tak Wakili Rakyat Papua

Jumat, 21 Oktober 2011, 16:51 WIB
unpad.ac.id
Staf Khusus Presiden: Kongres Papua tak Wakili Rakyat Papua
Felix Wanggai
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, Felix Wanggai, menilai Kongres Papua tidak mewakili seluruh masyarakat Papua. Kongres tersebut hanya satu dua kelompok dari berbagai macam komponen masyarakat Papua.

"Itu kan hanya didukung dari Dewan Adat Papua, tetapi lembaga formal seperti  Majelis Rakyat Papua dan berbagai forum lain tidak sepakat," ujarnya yang juga berasal dari Papua, ketika dihubungi Republika, Jumat (21/10).

Sebetulnya, kata dia, jika dilihat dari tema Kongres Rakyat Papua III itu cukup baik, yakni menegakkan hak-hak dasar dari masyarakat Papua. Namun, pada ujungnya justru bertolak belakang, dengan mendirikan dan mendeklarasikan negara West Papua. Tindakan ini jelas melanggar konsitusi karena mengarah pada gerakan separatis.

Persoalan itu, menurut Felix, perlu dilokalisir sehingga tidak menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih besar. Di sisi lain, kebebasan berpendapat seseorang juga tetap tidak boleh dikekang. Felix mengungkapkan

Munculnya gerakan separatis di Papua, kata Felix, memang tidak terlepas dari persolanan ekonomi dan sosial. Di samping terdapat masalah sejarah hingga sejumlah praktik korupsi dan penyalagunaan wewenangan pemerintahah.

Oct 20, 2011

Policy Speech Presiden

Oleh: Velix Wanggai
(Jurnal Nasional, 20 Oktober 2011)


Hari ini tanggal 20 Oktober 2011 merupakan tahun kedua dari Kabinet Indonesia Bersatu Kedua (KIB II). Setelah dua tahun berjalan ini Presiden SBY menganggap waktu yang yang tepat untuk mengevaluasi kinerja anggota Kabinet. Selasa malam, 18 Oktober, waktu yang ditunggu-tunggu publik. Presiden akhirnya mengumumkan hasil penataan Kabinet. Akhirnya, semakin genap, kita menyaksikan Presiden SBY melantik para anggota Kabinet baru pada 19 Oktober kemaren.

Beberapa waktu lalu di Cikeas, Presiden SBY menganggap saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menata kabinet. Kita perlu melihat penataan Kabinet (reshuffle) ini sebagai mekanisme organisasi yang wajar manakala seorang Presiden menghendaki adanya penyegaran di tubuh kabinetnya. Sebelum reshuffle diumumkan, beberapa kalangan meragukan dan bahkan pesimis terhadap langkah Presiden SBY ini. Semua itu dijawab secara elegan dan santun lewat kata-kata pengantar sebelum Presiden mengumumkan nama-nama anggota Kabinet dan Wakil Menteri baru di Istana Merdeka pada Selasa malam, 18 Oktober.

Presiden juga berkeinginan bahwa penataan Kabinet ini jangan hanya dimaknai sebagai pergantian atau reposisi anggota-anggota Kabinet saja, namun lebih jauh dari hal itu, bahwa penataan Kabinet bertujuan pula untuk mengkonsolidasi kembali arah pembangunan, pola kerja, semangat kerja, dan cara untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan dalam tiga tahun ke depan ini. Namun lebih dari itu, dewasa ini kita menghadapi berbagai tantangan baik tantangan global maupun tantangan di dalam negeri. Kita perlu mengefektifkan langkah guna menghadapi sejumlah tantangan tersebut.

Policy Speech Presiden
Setelah pelantikan Kabinet baru ini, Presiden SBY menyampaikan policy speech di Istana Negara. Policy speech ini merupakan wujud dialog antara Presiden dengan publik, terutama dengan jajaran pemerintahan baik di pusat dan di daerah. Namun yang terpenting juga bahwa Presiden tegaskan bahwa policy speech ini merupakan instruksi kepada jajaran dibawah baik di pusat dan di daerah. Selain instruksi, pidato kebijakan ini berupa ajakan ke pelbagai komponen bangsa untuk melangkah bersama.

Pada kesempatan ini, Presiden kembali mengingatkan bahwa dalam kurun waktu 2009-2014 ini, Pemerintah telah meletakkan tiga misi utama, yaitu demokrasi, kesejahteraan dan keadilan. Pembangunan demokrasi ditujukan untuk penyempurnaan struktur politik maupun pengembangan budaya politik yang menghormati nilai-nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti-kekerasan, serta nilai-nilai toleransi. Kesejahteraan dan demokrasi akan lebih bermakna, jika keadilan dihadirkan di tengah-tengah rakyat. Tanpa keadilan, pembangunan dan demokrasi kita akan terpasung. Keadilan harus dihadirkan bagi semua warga negara Indonesia, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Presiden sejak awal menegaskan bahwa dalam dua tahun terakhir telah banyak kemajuan yang kita capai. Namun kita juga tidak bisa menutup mata atas pelbagai persoalan dan tantangan yang ada. Dalam policy speech tersebut, ada delapan (8) poin penting yang ditekankan oleh Presiden agar diperhatikan oleh aparatur pemerintahan, termasuk kalangan DPR di tingkat nasional dan di daerah.

Pertama, perlunya penggunaan dana APBN dan APBD yang tepat. Saat ini belanja rutin kita masih banyak. Alokasi dana juga masih terlihat berbau kolusi dan korupsi. Kedua, perlunya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kita tidak rela dana APBN yang semakin besar dikorupsi oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Ketiga, upaya serius dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Kuncinya adalah sinergisitas antara pusat-daerah dalam mengatasi persoalan yang berat ini.

Sementara langkah keempat adalah upaya yang intens dalam ketahanan pangan dan energy. Kita ingin untuk wujudkan 10 juta ton surplus beras pada akhir tahun 2014. Sumber-sumber energy baru juga perlu digali dan dikembangkan bagi percepatan ekonomi masyarakat. Kelima, perlunya optimalisasi BUMN. Presiden dengan serius menyoroti biaya tinggi dan keborosan yang dilakukan di tubuh manajemen BUMN. Transformasi BUMN merupakan kebutuhan serius saat ini. Harapannya, BUMN sebagai salah satu penggerak ekonomi nasional dan daerah. Keenam, perlunya pembenahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kita perlu pembenahan proses pengiriman TKI, bantuan hukum di luar negeri, dan mendorong penciptaan lapangan kerja melalui kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Sedangkan poin ketujuh adalah penanganan konflik dan kekerasan atas nama agama. Presiden berharap daerah-daerah untuk mengevaluasi Peraturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan semangat kebhinekaan dan pluralisme. Terakhir, poin kedelapan adalah Presiden menyoroti soal disiplin, integritas, dan kapabilitas. Pimpinan daerah harus respon dengan persoalan di daerah-daerah, sehingga persoalan itu ‘diekspor’ ke level pusat. Juga, pimpinan daerah diharapkan jangan keseringan meninggalkan daerah tugasnya.

Selain delapan pekerjaan rumah ini, Presiden juga memberikan tugas kepada jajarannya untuk memperhatikan agenda pembangunan Aceh dan Papua, percepatan pembangunan kawasan Timur Indonesia, pembangunan daerah-daerah tertinggal, serta penataan ulang kontrak-kontrak karya pertambangan yang merugikan negara dan rakyat. Berbagai bisnis pertambangan yang tidak adil sudah saatnya untuk direnegosiasi secara baik-baik.

Di akhir policy speech ini, Presiden SBY mengajak segenap komponen bangsa untuk bersatu, dan bersama-sama membangun bangsa, membangun masa depan kita semua. Saat ini kita perlu melangkah bersama, menjemput masa depan. Saatnya bagi kita untuk bersatu dalam kreasi, dan dalam karya bersama. Kini sudah saatnya kita memusatkan tekad, semangat, pikiran, dan perhatian untuk mengatasi berbagai tantangan dan persoalan yang kita hadapi, tantangan dan persoalan yang dihadapi rakyat, bangsa, negara kita. Kita harus mengatasinya bersama-sama. Presiden dengan terbuka untuk menerima kritikan yang konstruktif.
Kini, saatnya kita berlari, sprint, all out, untuk mewujudkan pembangunan untuk semua, demikian kata Presiden SBY.

Oct 14, 2011

Antara Wakatobi dan Belitong

oleh: Velix Wanggai
(dimuat di Jurnas, 13 Oktober 2011)

Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia. Gugus laut dan pulau yang membujur di alur katulistiwa ini kita sebut nusantara. Kita adalah Negara Kepulauan yang secara fisik memiliki garis pantai mencapai 81.000 kilometer dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 pulau. Luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, sementara luas perairan 3,1 juta kilometer persegi. Bahari (kata Arab bahr) yang artinya laut adalah bagian dari sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Lagu “nenek moyangku orang pelaut” merupakan gambaran semangat kebaharian/kemaritiman pelaut-pelaut nusantara sebagai penjelajah samudera pada 1500 tahun lampau. Sebelum Cheng Ho dan Colombus, para penjelajah laut nusantara sudah melintasi sepertiga dunia.

Sejak lama, kawasan laut dan perairan kita merupakan sarana lalulintas antarkawasan, baik sebagai rute perdagangan, invasi kekuasaan politik maupun hubungan antarkebudayaan. Kerajaan maritim Sriwijaya di Palembang yang kekuasaan membentang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Kamboja, Thailand, dan Semenanjung Malaya. Kekuasaan kerajaan Hindu yang invasif ini tidak eksklusif tetapi berinteraksi dengan kerajaan Budha dan Islam di Asia Tengah dan Timur. Bentangan laut dan pulau yang terpisah-pisah antarkawasan bukanlah penghalang tetapi pemersatu bagi interaksi ekonomi dan kebudayaan antarbangsa se-kawasan maupun dunia.

Khazanah masa lampau didukung dengan potensi laut dan perairan nusantara yang kaya, cukup menjadi modal untuk bangkit memajukan perekonomian bangsa yang bernuansa bahari. Bayangkan, jutaan ton hasil laut dari jenis ikan dan non-ikan, terumbu karang serta taman laut yang indah dan tersebar merata di seluruh perairan nusantara serta desa-desa pesisir pantai dan pulau-pulau kecil adalah milik kita. Mengapa kita memanfaatkan semua itu? Hal ini yang mendorong pemerintah pada tiga tahun terakhir giat menyelenggarakan kegiatan Sail Indonesia di beberapa kawasan.

Tahun 2011 ini, pemerintah menggelar kegitan berlayar yang dipusatkan di dua tempat, yakni di Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan Belitong, Bangka Belitong dengan sebutan Sail Wakatobi-Belitong (SWB) 2011, Tahun 2009 kegiatan sejenis dilaksanakan di Bunaken (Sail Bunaken) Manado, Sulawesi Utara dan pada tahun 2010 lalu, kegiatan serupa dilakukan di kepulauan Banda (Sail Banda), Maluku. Hajatan tahunan ini baru ada di masa pemerintahan Presiden SBY sebagai promosi wisata dan budaya bahari.

Keterkaitan Antarwilayah

Kawasan kepulauan Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko) adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengggara. Taman Nasional Wakatobi adalah perairan, dimana terdapat keanekaragaman hayati laut dengan skala dan kondisi karang yang menempati salah satu prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia.

Kawasan pendukung penyelenggaraan kegiatan SWB 2011 kota-kota pantai Bau-bau di pulau Buton, Raha di pulau Muna, Kabaena di pulau Kabaena dan Kendari di daratan Sulawesi. Sementara kawasan kepulauan Belitong terdiri dari pulau Belitong dan pulau Bangka. Kota utamanya adalah Tanjung Pandan, Tanjung Kelayang, Sungai Liat dan Pangkal Pinang. Kota-kota ini harus didesain menjadi kota-kota pantai (coastal cities) dengan pendekatan perencanaan yang multisektor.

Selain kota-kota primer tersebut, terdapat pulau-pulau kecil berpenghuni di sekitarnya yang menjadi destinasi pariwisata bahari. Penduduk di pulau-pulau kecil di Wakatobi yang mendekati pulau Seram di Maluku maupun pulau-pulau kecil di Belitong yang menjorok ke arah timur berhadapan dengan Selat Karimata harus memperoleh manfaat ekonomi pasca SWB 2011 ini.

Kegiatan SWB 2011 yang mengambil tema Clean Ocean for the Future menjanjikan kesejahteraan masyarakat akan tumbuh dari pemanfaatan kekayaan laut nusantara yang ada di perairan Wakatobi dan Belitong. Diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjadikan Wakatobi dan Belitung sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional. Tetapi di samping sisi formalitas dan seremonial, yang terpenting adalah bagaimana memadukan pemanfaatan potensi daerah masing-masing.

Kata kuncinya terletak pada keterkaitan antarwilayah, baik kepulauan Bangka-Belitung dengan pulau Sumatera maupun dengan pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagai negara maritim, keterkaitan antarwilayah yang efisien, kokoh dan terpadu menjadi dasar dari percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah. Keterkaitan antarwilayah akan mendorong perpindahan arus barang dan jasa, modal, dan informasi secara lebih cepat dan produktif. Keterkaitan antarwilayah juga akan mendorong terjaganya kesatuan wilayah sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan yang solid, serta terbangunnya wawasan kebangsaan yang kuat.

Sejumlah Sail Indonesia, mulai dari Bunaken, Banda, dan Belitong-Wakatobi dapat dimaknai sebagai wujud dari perubahan kebijakan yang berdimensi kewilayahan yang ditekankan oleh Presiden SBY. Perubahan kebijakan ini ditegaskan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010-2014. Pendekatan regional diarahkan pada pembangunan berbasis pulau-pulau besar di Indonesia. Untuk membumikan perubahan pendekatan itu, kini Pemerintah sedang menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau. Harapannya, pembangunan yang terpadu dan integratif dapat terwujud dalam payung tata ruang pulau. Dalam konteks itu, kita juga memaknai kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan prioritas di enam koridor wilayah merupakan langkah terobosan guna mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan di Republik ini.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...