Oct 6, 2011

Eco2 Cities

oleh: Velix Wanggai (dimuat di Kolom Spektra, Jurnal Nasional 7 Oktober 2011)

Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan kota-kota di tanah air secara dinamis. Salah satu ciri khas dalam struktur kewilayahan kita adalah semakin tumbuhnya kota-kota baru yang berukuran menengah dan kecil, serta populasi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan semakin meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan mencapai 67,5 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2008). Fungsi dan kelayakan kota-kota menengah dan besar di Indonesia semakin digugat. Beragam soal tentang tata kelola fisik perkotaan maupun kompleksitas masalah manusia yang mendiaminya, semakin terekskalasi menjadi pekerjaan rumah yang bertubi-tubi bagi para pimpinan di daerah-daerah. Perubahan sosial ini juga menjadi perhatian yang serius dari Pemerintah.

Dalam acara peringatan Hari Habitat Dunia 2011 beberapa hari lalu, Wakil Presiden Boediono mensinyalir salah satu penyebab utama masalah perkotaan adalah lemahnya perencanaan tata kota. Kota-kota metropolitan semisal Jakarta, Surabaya, dan Medan berkembang cepat melampaui desain dan proyeksi rencana pengembangannya. Sementara kota-kota berukuran sedang mengarah pada kecenderungan yang sama jika tidak dikelola dan dibenahi secara serius.

Secara mondial, mekarnya kota-kota besar di berbagai belahan dunia dengan perencanaan dan pengelolaan yang tidak berwawasan lingkungan dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi penghuninya telah menyumbang terjadinya pemanasan global dengan berbagai dampak ikutannya. Perlu diingatkan kembali bahwa, kota bukan saja menyediakan aktivitas perputaran ekonomi dan hunian bagi warganya, tapi juga menjadi tempat dimana terjadi penggunaan sumber energi yang menghasilkan emisi.Pada titik krusial ini, permintaan Wakil Presiden Boediono kepada para perencana dan pengelola kota besar di Indonesia untuk menjadikan kota-kota di Indonesia kota yang hemat energi, perlu disikapi oleh stakeholders pengelola perkotaan dengan visi dan pendekatan pembangunan kota yang berbasis ekologis dan keberlanjutan ekonomi.

Dalam kaitan dengan pembangunan perkotaan ini, pada Senen, Oktober 2011, penulis sempat berbincang-bincang dengan tim Bank Dunia (the World Bank) yang membawahi urusan pengembangan wilayah dan lokal. Kita diskusi perihal konsep “Ecological Cities and Economic Cities atau Eco2 Cities”. Ecological Cities dimaknai sebagai pengembangan kota-kota yang menghargai nilai dan ekosistem di dalam manajemen dan perencanaan wilayah dari setiap kota. Sedangkan Economic Cities dilihat sebagai upaya untuk menciptakan konsep pembangunan kota yang berkelanjutan, nilai tambah, produktif, dan inklusif, serta adil. Konsep ini semakin signifikan karena tekanan urbanisasi di berbagai kota-kota di dunia semakin meningkat. Urbanisasi membawa tantangan-tantangan baru di dalam kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan. Perubahan iklim, polusi, kemacetan, dan kemiskinan kota adalah sejumlah persoalan yang muncul seiiring dengan perubahan struktur demografis ini.

Mencermati masalah perkotaan yang semakin mengemuka, menurut hemat penulis, prinsip-prinsip dalam pengelolaan kota yang perlu menjadi sandaran dalam pengelolaan kota. Pertama, memperhatikan peluang dan tantangan ekologis, secara bersamaan dengan konteks historis dan kultural yang secara unik dimiliki masing-masing wilayah kota. Untuk itu, perencanaan kota perlu lebih independen dari vested interest politik jangka pendek, dibarengi penegakan kebijakan tata kota yang ditopang oleh penegakan hukum secara konsekuen.

Kedua, adanya kerangka kerjasama dan mekanisme pembuatan keputusan. Beragam pelaku yang saling terkait dalam pengelolaan kota mengindikasikan perlunya suatu perencanaan berbasis visi pembangunan perkotaan jangka panjang. Untuk itu, alur perencanaan bottom up sesuai UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mutlak dikuatkan dalam perumusan kebijakan pembangunan perkotaan yang adil dan inklusif.

Ketiga, perlunya pendekatan terpadu (one system approach). Menghadapi persoalan perkotaan yang kompleks, maka manajemen pengelolaan perkotaan perlu melibatkan berbagai aspek. Pendekatan ini berarti sinergi antara kebijakan, sektor, serta pembiayaan perlu dilakukan secara harmonis. Pada tataran implementasi proyek, pengelola perkotaan dituntut untuk menerapkan prosedur yang terpadu untuk mengatasi masalah-masalah perkotaan yang bersifat lintas isu dan lintas sektoral. Pola keproyekan seperti ini diharapkan dapat menjawab pelayanan kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik dengan biaya yang lebih rendah. Keterpaduan penanganan juga mengharuskan kerjasama pada jenjang otoritas kewilayahan, kota, dan kabupaten.

Keempat, kerangka pendanan yang berkesinambungan. Dalam studi Bank Dunia (2010), disinyalir bahwa hanya sedikit pengelola kota yang sadar dan menerapkan pembangunan pada perhitungan keuntungan fiskal jangka panjang. Pengelolaan kota-kota tidak hanya didasarkan pada analisa keuntungan ekonomi jangka pendek, namun perlu lebih ditempatkan pada lintasan waktu yang lebih panjang. Pelbagai implikasi dalam investasi pembangunan kota baik yang tangible maupun intangible perlu diperhitungkan untuk kelayakan berinvestasi. Selain faktor-faktor keuntungan ekonomi jangka pendek, tak kalah penting, faktor-faktor berdimensi kualitatif seperti budaya, sejarah, dan estetika perlu diperhitungkan dalam analisa untung-rugi pembangunan kota.

Tekanan dan dampak urbanisasi ini menjadi perhatian yang serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada April 2011 lalu, Presiden telah meluncurkan kebijakan kluster IV pengentasan kemiskinan, yang salah satunya adalah program pemberdayaan masyarakat miskin pinggiran kota. Sejalan dengan itu, ada 3 (tiga) poin utama kebijakan perkotaan di Indonesia yang ditegaskan oleh Presiden SBY. Pertama, pengendalian kota-kota besar dan metropolitan dengan membenahi manajemen perkotaan, pengendalian tata ruang, pengamanan zona penyangga di sekitar kota inti, dan pengembangan ekonomi yang ramah lingkungan. Kedua, pembangunan kota menengah dan kecil melalui pendekatan pemenuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing. Ketiga, pembangunan keterkaitan desa-kota dalam sistem wilayah pengembangan ekonomi yang memerlukan perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan (non-pertanian) di perdesaan yang terkait dengan pasar di perkotaan.

Harapannya, inisiatif Ecological Cities and Economic Cities (Eco2 Cities) dapat menjadi salah satu pendekatan dalam membangun kota-kota di Tanah Air kita.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...