Jul 28, 2011

Transformasi Ekonomi Sumatera

Velix Wanggai-- Jurnal Nasional, Kamis 28 Juli 2011

Dua hari ini, tepatnya pada 28 ‘“ 29 Juli 2011, Presiden SBY kembali menyapa saudara-saudara kita di Sumatera, khususnya di Sumatera Selatan. Kedatangan Presiden SBY memiliki makna yang besar bagi pembangunan Sumatera. Beberapa bulan lagi, semua orang yang menetap di kawasan Asia Tenggara bahkan di dunia akan menyaksikan pesta olah raga terakbar di level Asia Tenggara. Harapannya, ekonomi Sumatera akan ikut tumbuh secara inklusif.

Perhatian dunia ke Pulau Sumatera tidak hanya saat ini saja. Namun dalam lintasan sejarah dunia, Sumatera telah dilirik oleh berbagai kalangan dari berbagai belahan dunia. Saat itu dunia menjuluki Sumatera adalah "Pulau Emas". Dari prasasti yang ditemukan, dalam bahasa Sansekerta pulau Sumatera ini disebut Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas). Seorang musafir dari China yang bernama I-tsing (634-713), menetap di Sriwijaya bertahun-tahun dan menyebuti nama Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti "Negeri Emas".

Dalam sejarah Islam, Ibnu Bathutah adalah tokoh yang dikenal sebagai da‘i yang berkeliling ke berbagai wilayah di dunia. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia sempat singgah di kerajaan Samatrah. Kemudian, pada abad 15-16 para musafir Eropa memakai nama Samatrah untuk menyebuti pulau tersebut. Misalnya, di tahun 1521 Antonio Pigafetta menyebuti pulau ini, Somatra. Kemudian, para musafir Belanda dan Inggris, baik Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, menulis dalam berbagai laporannya dengan nama Sumatra. Itulah penyebutan yang baku hingga saat ini. Penggalan cerita sejarah ini merupakan modal sosial yang sangat berharga bagi pembangunan Sumatera ke depan.

Dalam kerangka geografis peran dan posisi wilayah Sumatera semakin penting bagi kepentingan nasional. Kekuatan ekonomi Sumatera adalah kekuatan kedua setelah ekonomi Jawa-Bali. Di tahun 2008 kontribusi ekonomi wilayah Sumatera terhadap struktur ekonomi nasional sekitar 23 persen. Dalam konteks itu, Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang berkontribusi paling tinggi. Namun demikian, ekonomi provinsi-provinsi lainnya memiliki potensi untuk terus berkembang.

Kini, dalam konteks pengembangan wilayah di Tanah Air, Presiden SBY memberikan perhatian yang besar untuk menumbuhkan ekonomi Sumatera lebih berimbang, sebagaimana ditegaskan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Hal ini juga ditekankan pula pada kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang telah ditetapkan pada 27 Mei 2011 lalu. Sumatera adalah salah satu koridor ekonomi wilayah yang diarahkan sebagai "Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional".

Sejak kurun waktu 2004-2009 dan dilanjutkan pada Periode II ini, Presiden SBY telah mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh seperti Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Banda Aceh Darussalam. Demikian pula, Presiden menetapkan empat (4) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Sumatera, yaitu KPBPB Sabang, Batam, Bintan dan Karimun. Untuk memantapkan skenario pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang memberikan backward dan forward linkages ini, pada 14 Oktober 2009, Presiden telah mendorong lahirnya UU No 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sesuai regulasi ini, keempat Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ini diakomodasi dalam kerangka kebijakan KEK.

Sumatera juga berada di beranda depan Republik. Untuk itu, Presiden SBY melihat Sumatera ini begitu strategis sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi langsung dengan negara tetangga. Ada 12 Kabupaten/Kota yang berada di bibir perbatasan antarnegara, yaitu Kota Sabang (NAD); Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara); Kepulauan Anambas, Karimun, Kota Batam, Natuna, dan Kota Bintan (Kepulauan Riau); dan Dumai, Bengkalis, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Kepulauan Meranti (Riau). Pemerintah terus mendorong pembangunan perbatasan baik melalui berbagai program sektoral dan regional, serta mengubah sejumlah regulasi guna mendukung pengembangan wilayah perbatasan.

Namun, pembangunan Sumatera diwarnai pula oleh soal kesenjangan antarwilayah baik wilayah Sumatera bagian utara, bagian selatan, dan pesisir pantai. Di periode 2009-2014, ada 183 Kabupaten Tertinggal yang ditangani oleh Pemerintah. Dari jumlah 183 Kabupaten Tertinggal ini, ternyata 46 daerah tertinggal berada di pulau Sumatera. Daerah tertinggal yang tertinggi di Aceh sebanyak 12 Kabupaten, dan diikuti oleh Sumatera Barat (8), Sumatera Selatan (7), Sumatera Utara (6), Bengkulu (6), Lampung (4), Kepulauan Riau (2), dan Bangka Belitung (1). Hal ini adalah pekerjaan rumah kita semua.

Saat ini, Presiden SBY telah berupaya untuk menerapkan pendekatan yang terpadu dari seluruh sektor untuk mengembangkan Sumatera. Ke depan, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012, Pemerintah mengembangkan komoditas unggulan wilayah yang memiliki daya saing tinggi melalui kerjasa sama lintas sektor dan lintas wilayah provinsi. Dalam kerangka kebijakan MP3EI, komoditas kelapa sawit, karet, dan batubara adalah kegiatan ekonomi utama sebagai mesin pertumbuhan ekonomi koridor. Untuk mendukung strategi itu, Pemerintah mendorong interaksi antarkawasan pesisir timur, kawasan tengah, dan kawasan pesisir barat Sumatera melalui pengembangan sistem moda transportasi yang terpadu.

Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Sumatera. Pada 21 April 2011 lalu, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan evaluasi dan memberikan status dan peringkat provinsi, kabupaten, dan kota. Dari 10 Provinsi peringkat teratas, ternyata ada 5 provinsi berasal dari wilayah Sumatera, yaitu Sumatera Selatan (peringkat 4), dan diikuti Lampung (5), Sumatera Barat (8), dan Sumatera Utara (10). Sementara Provinsi Jambi berada di peringkat ke-29 dari 33 provinsi. Hal ini merupakan dorongan, namun sekaligus sebagai bahan evaluasi atas kinerja pelayanan publik dari masing-masing pemerintah daerah di wilayah Sumatera.

Harapannya, prinsip keseimbangan dan keserasian pembangunan antar wilayah di pulau Sumatera dapat terwujud. Itulah makna sesungguhnya dari pembangunan yang inklusif dan berkeadilan di era Presiden SBY.

Jul 22, 2011

Mengawal Reformasi Birokrasi

Velix Wanggai
Jurnal Nasional -- Kamis 21 Jul 2011

Menata birokrasi Indonesia adalah salah satu agenda prioritas yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Komitmen itu ditegaskan oleh Presiden SBY ketika membahas draft Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kata Presiden bahwa salah satu persoalan yang kita hadapi adalah sumbatan birokrasi maupun regulasi yang terkait dengan tata kelola pemerintahan. Karena itu, debottlenecking merupakan salah satu langkah yang ditempuh guna mendorong pembangunan nasional dan daerah.

Jika kita menyimak ke tahun-tahun sebelumnya, terutama sepanjang kurun waktu 1998-2002, eforia reformasi nasional itu berwujud pada desakan kepada Pemerintah untuk melaksanakan langkah-langkah reformasi di pelbagai aspek. Bahkan sejumlah Ketetapan MPR ditujukan untuk menata, memperbaiki, dan mengubah birokrasi dan tata kelola pemerintahan, baik di pusat dan di daerah. Persoalan yang muncul di lingkungan birokrasi ini tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja, namun menjadi persoalan serius yang dihadapi pelbagai negara-negara berkembang, new emerging countries, dan juga negara-negara yang maju.

Dalam dunia pemerintahan, kata sahabat saya, Professor M. Mas‘ ud Said, konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan. Sedangkan dalam dunia bisnis, konsep birokrasi diarahkan untuk efisiensi pemakaian sumberdaya dengan pencapaian output dan keuntungan yang optimum. Definisi dari birokrasi ini pun berbeda-berbeda dari berbagai pakar yang membedah birokrasi. Namun, setiap orang yang menganalisis birokrasi, maka nama Max Weber tidak akan luput dari diskursus birokrasi. Pada intinya, birokrasi memiliki peran yang penting dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan dimana pun.

Kita sepakat bahwa tidak akan ada pemerintahan yang baik, tanpa birokrasi yang baik, bahkan tidak akan ada reformasi yang berarti dalam sebuah negara tanpa reformasi birokrasi. Saat ini hampir seluruh negara, tengah mengarahkan sebagian energinya untuk pembenahan birokrasi. Reformasi birokrasi bukanlah semata-mata kebutuhan pemerintah, tetapi juga kebutuhan masyarakat. Karena selama ini ada beberapa stigma yang melekat pada tubuh birokrasi atau para penyelenggara negara kita. Keluhan yang terdengar dari masyarakat tentang birokrasi kita antara lain bekerja lamban, rantai urusan terlalu panjang dan butuh waktu lama dan lain-lain. Bahkan ada beberapa kebiasaan, setiap urusan memerlukan tips khusus untuk memuluskan suatu urusan, sehingga muncul istilah “kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah?‘

Pada administrasi kepemimpinan Presiden SBY, agenda Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola dijadikan satu prioritas dari 11 Prioritas Nasional Tahun 2010-2014. Perhatian itu ditujukan ke peningkataan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh efisiensi struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai, dan data kependudukan yang baik. Dalam RPJMN 2010-2014, ada tujuh (7) substansi inti dari reformasi birokrasi dan tata kelola yang dibenahi.

Pertama, di aspek struktural. Langkah Pemerintah diarahkan untuk mengkonsolidasi struktur dan meningkatkan Kementerian/Lembaga yang menangani aparatur negara dan merestrukturisasi lembaga pemerintah lainnya, seperti di bidang keberdayaan UMKM, pengelolaan energi, pemanfaatan sumber daya kelautan, restrukturisasi BUMN, hingga pemanfaatan tanah dan penataan ruang bagi kepentingan rakyat selambat-lambatnya 2014. Kedua, menata kembali otonomi daerah. Hal ini dilakukan melalui penataan Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran wilayah, peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana perimbangan keuangan, maupun penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Ketiga, menata sumber daya manusia. Dalam konteks ini, dilakukan penyempurnaan pengelolaan PNS yang mencakup sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS secara terpusat.

Sementara itu, langkah keempat adalah menata regulasi. Dalam hal ini, Pemerintah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambat-lambatnya tahun 2011. Langkah kelima adalah melakukan sinergi antara pusat dan daerah. Disini, Pemerintah menetapkan dan menerapkan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Langkah keenam adalah penegakkan hukum. Prioritas yang dilakukan yaitu peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakkan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum. Sedangkan langkah ketujuh adalah penataan data kependudukan. Pemerintah menetapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan aplikasi pertama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) selambat-lambatnya tahun 2011.

Komitmen untuk mewujudkan agenda reformasi birokrasi ini kembali ditegaskan pada Rapat Kerja Pemerintah di Istana Cipanas pada awal tahun 2010. Hasilnya, di dalam Instruksi Presiden No 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, dimana salah satu poin instruksi terkait dengan agenda reformasi birokrasi.

Setelah berjalan setahun ini, Presiden SBY telah mengeluarkan PP No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Demikian pula, kita telah miliki Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia Tahun 2010-2025 yang memuat skenario pemekaran wilayah di Tanah Air. Sejalan dengan semangat itu, kita juga telah memiliki Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2010-2025.

Tiga contoh kebijakan terbaru ini menunjukkan Presiden SBY telah meletakkan arah baru yang jelas, terukur, dan terfokus untuk membawa Republik ini menuju tingkat yang lebih sejahtera, demokratis, dan berkeadilan.

Jul 14, 2011

Menakar Penataan Daerah

Velix Wanggai (Jurnal Nasional, Kamis 14 Juli 2011)

Era reformasi 1998 yang dilanjutkan dengan kebijakan desentralisasi tahun 1999 lalu telah melahirkan kurang lebih 205 buah daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten/Kota serta 7 provinsi baru. Angka ini menambah jumlah total jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota.

Ada banyak pertimbangan mengapa pemekaran wilayah menjadi tren era desentralisasi dan otonomi daerah itu. Diantaranya adalah akan ada aliran dana ke daerah berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), banyak warga masyarakat akan diangkat menjadi PNS dan semakin tumbuh-kembangnya identitas lokal. Dalam dinamika otonomi daerah itu, setiap orang ingin menunjukkan eksistensinya baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Kita berharap bukan para politisi dan penyelenggara negara saja yang menikmati suasana itu tetapi rakyat pun berhak menghirup udara segar era desentralisasi dan otonomi daerah itu. Atas dasar itu, pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyusun grand design penataan daerah di Indonesia tahun 2010-2025.

Bentangan wilayah negara kita yang sangat luas mengharuskan pemerintah membentuk DOB, sehingga mempermudah orbitasi pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Memang masih terdapat masyarakat di beberapa daerah yang merasa belum memperoleh pelayanan yang maksimal, sehingga menuntut pembentukan DOB di wilayahnya. Namun dengan membentuk DOB, maka beban keuangan negara semakin bertambah dan belanja pembangunan semakin berkurang.

Sebagai ilustrasi pada tahun 2003, pemerintah pusat menyediakan DAU sebesar Rp 1,33 triliun bagi 22 DOB hasil pemekaran sepanjang tahun 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, dimana pemerintah harus mentransfer Rp 2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Pada tahun 2010, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 47,9 triliun sebagai alokasi DAU untuk daerah pemekaran. Beban APBN semakin bertambah akibat lemahnya daya dukung keuangan sebagian besar DOB.

Pada tahun 2010 Kemendagri pernah melakukan evaluasi terhadap 57 DOB usia dibawah 3 tahun, terkait dengan pengalihan personil, perlengakapan pembiayaan dan dokumen, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, penetapan batas wilayah, dan permasalahan lainnya. Hasilnya, hingga 3 tahun kondisi seluruhnya belum sepenuhnya efektif. Bayangkan berapa besar biaya yang harus ditanggung pemerintah pusat untuk membiayai penataan 57 DOB itu?

Pemerintah akan mengalami kesulitan membangun infrastruktur di daerah kalau kita sendiri tidak pintar-pintar menata penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di beberapa daerah, jalan, jembatan, sekolah, puskesmas dan pasar dalam kondisi rusak berat, tidak terawat. Program-program kemasyarakatan juga tidak berjalan. Semua anggarannya terserap untuk belanja pegawai.

Ada sekitar 124 Pemda yang belanja pegawainya melebihi 60 persen. Bahkan belanja pegawai di semua pemerintah daerah saat ini telah mencapai sekitar Rp 408 triliun atau sekitar 30 persen dari APBN. Ini tentu tidak adil bagi masyarakat yang membutuhkan pemerataan dan kesejahteraan. Kemajuan suatu daerah bukan diukur dari seberapa besar jumlah PNS dan belanja rutinnya melainkan seberapa besar kualitas pelayanan sosial dasarnya misalnya pembebasan uasng sekolah, pemberian jaminan kesehatan bagi rakyat miskin, bantuan perumahan, penyediaan listrik dan air bersih dan lain-lain.

Dalam kerangka itu, maka pemerintah pusat tampaknya perlu serius melaksanakan reformasi birokrasi melalui penataan daerah. Perbaikan pada perencanaan kebijakan, regulasi dan kelembagaan menjadi kebutuhan mendesak. Salah satu langkah reformasi kelembagaan adalah penghentian sementara penerimaan PNS di pusat dan daerah. Masalahnya kepala daerah berwenang mengangkat pegawai honorer menjadi PNS. Pada 2011 ini saja, usulan pengangkatan PNS dari berbagai daerah mencapai 700-an ribu. Maka jalan satu-satunya adalah merevisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah untuk membatasi kewenangan kepala daerah tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu.

Hal lain yang perlu ditata di daerah adalah biaya operasional kepala daerah dan kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang kurang mendukung akselerasi pembangunan di daerah. Perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri pun harus dilihat urgensinya. Belum ada penelitian yang mendukung statemen ini, tapi kalau diselediki secara seksama, kuantitas perjalanan dinas para Bupati/Walikota dengan tujuan Ibukota Negara pasti lebih tinggi dibandingkan perjalanan dinas dengan tujuan ibukota Provinsinya masing-masing.

Kunjungan kerja, penyelenggaraan rapat di luar kantor atau “studi banding" yang selama ini menjadi kecenderungan sebagian Pemda-pemda di Tanah Air harus dibatasi kecuali dengan alasan yang jelas. Perlu juga pembatasan penggunaan kendaraan operasional, pengurangan daya listrik bagi penerangan dan AC serta lift di luar jam kantor dan lain-lain akan sangat membantu penghematan APBD. Penaatan daerah melalui perbaikan, penyempurnaan dan sinkronisasi aspek regulasi yang terkait dengan kewenangan pusat dan daerah pun akan membantu daerah dalam menemukan maupun memperluas sumber-sumber pendapatan daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Dalam rangka pembinaan DOB, evaluasi Kemendagri perlu mengukur rasionalitas APBD untuk mengurangi pemborosan belanja APBD terutama pos belanja aparatur dan honor-honor yang tidak perlu. Jika pembatasan jumlah pegawai dan efisiensi anggaran ini dilakukan secara konsisten dan bersinergi, diharapkan penataan daerah dapat berjalan lebih baik di masa depan dan rakyat memperoleh manfaatnya. Semoga !

Jul 7, 2011

Kebangkitan Sulawesi

Oleh: Velix Wanggai (dimuat di Jurnal Nasional, Kamis 7 Juli 2011)

Kebijakan pemerintah tentang percepatan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui pembagian koridor ekonomi pada tujuh kawasan pulau besar merupakan salah satu trademark pembangunan berbasis kewilayahan era Presiden SBY. Beliau menargetkan di akhir masa kepemimpinannya pada 2014, interkoneksi regional dari Sumatera sampai Papua sudah terbentuk.

Terkait dengan itu, pembangunan koridor ekonomi V Sulawesi akan menjadi penanda pergeseran pembangunan ekonomi Indonesia dari barat ke timur. Sulawesi atau Celebes merupakan pulau yang terpisah dari kawasan Indonesia bagian barat (Kepulauan Sunda Besar) bila ditilik dari kehidupan flora dan fauna berdasarkan garis Wallacea sepanjang Selat Makassar. Ada 6 provinsi di Sulawesi, yakni provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Utara yang kesemuanya memiliki keunggulan sumberdaya alam. Mereka sedang bergiat meningkatkan core business-nya dan berusaha menyejajarkan dirinya dengan kawasan lain di pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan Sumatera.

Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan Ibukota Makassar adalah penghasil beras dan salah satu lumbung pangan nasional. Disana terdapat taman nasional Takabonerate yang kaya akan terumbu karang dan biota lautnya. Posisi Sulsel adalah gerbang timur Indonesia. Dari ujung selatan pulau Sulawesi itu, kegiatan sosial ekonomi nasional di belahan barat dan belahan timur Indonesia bertemu. Wisata kuliner, bisnis property dan perhotelan kini menjamur di Makassar. Geliat pembangunan yang dinamis dan akseleratif itu membuat kota Makassar pada tahun 2025 nanti akan menjelma menjadi Kota Metropolitan di kawasan timur Indonesia.

Sementara Propinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dengan ibukota Majene merupakan magnet bagi para investor di bidang pertanian, perkebunan dan pertambangan. Hasil-hasil daerah ini adalah kakao, kopi robusta, kopi arabika, kelapa dan cengkeh. Potensi tambang emas, batubara dan minyak bumi juga menjadikan Sulawesi Barat mempunyai sumber pemasukan yang luar biasa. Dalam kerangka kerja public private partnership, baru-baru ini Pemda Sulbar menggaet investor China dengan total investasi 22 triliun rupiah untuk pembangunan infrastruktur.

Lain hal dengan Sulbar, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan ibukota Kendari kini sedang mempromosikan hasil tambang emas mereka. Potensi tambang lain adalah aspal di Kabupaten Buton, emas di Bombana, nikel di Kolaka, Konawe Utara dan Konawe. Hasil andalan laut Sultra berupa tuna, tongkol dan rumput laut telah diekspor ke mancanegara. Salah satu primadona kelautan Sultra adalah surga laut Wakatobi. Wakatobi adalah singkatan nama dari gugusan pulau-pulau Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko sebagai pusat segitiga karang dunia. Selain itu salah satu proyek mercusuar Sultra adalah pembangunan Jembatan Teluk Kendari yang sangat prestisius.

Berkunjung ke tengah pulau Sulawesi, tepatnya di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan ibukota Palu, kita akan menyaksikan keindahan flora dan fauna serta taman-taman laut yang indah di Teluk Tolo dan Teluk Tomini. Pelabuhan Pantoloan menjadi kunci pelabuhan utama sebagai lalu lintas perdagangan ekspor dan impor antar daerah dan Negara lain. Sulteng juga merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia bersama Sulbar dengan total area 198.435 ha dan mampu menghasilkan 178.058 ton/tahun. Infrastruktur jalan nasional, provinsi dan Kabupaten di Sulteng dalam kondisi mantap 70 persen. Sedangkan infrastruktur pelabuhan peti kemas terdapat di Pantoloan, Luwuk dan Ampana. Bandara kelas II di Palu, Kelas III di Luwuk, Kelas IV di Poso dan Toli-toli serta lapangan terbang di Buol.

Selepas Sulteng, kita memasuki Provinsi Gorontalo yang terkenal dengan julukan Provinsi Jagung dengan ibukota Gorontalo. Provinsi ini dikenal karena program jagungisasi yang dicanangkan Gubernur Fadel Muhammad di awal 2000-an. Meski Gorontalo termasuk provinsi termuda di Indonesia yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara pada 2001, namun perkembangannya cukup cepat terutama di sektor pertanian. Dengan jagung sebagai komoditas unggulan, Gorontalo mulai mengejar ketertinggalannya dari provinsi yang lebih tua. Produksi jagung Gorontalo sudah diekspor ke sejumlah negara dan diperkirakan menjadi produsen jagung terbesar di Indonesia. Potensi lain yang dimiliki daerah ini adalah pariwisata, perikanan dan kelautan, energi, serta pertambangan.

Provinsi Gorontalo bertetangga dengan Sulteng di Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) di utara. Hubungan interkoneksi regional antar ketiga Provinsi ini sudah terealisir dengan dibangunnya poros jalan nasional yang melintasi pantai barat pulau Sulawesi. Satu hal yang musti digagas ke depan adalah kerjasama antarprovinsi di wilayah tengah-utara Sulawesi itu agar akselerasinya bisa sama dengan kemajuan pembangunan di Sulbar, Sulsel dan Sultra.

Koridor ekonomi pulau Sulawesi dari arah selatan berakhir di Provinsi Sulawesi Utara dengan ibukota Manado. Wilayah ini disebut juga Minahasa, karena mayoritas suku dan bahasanya adalah Minahasa. Provinsi Sulut memiliki wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud yang menjorok ke utara berbatasan dengan Mindanao - Filipina. Letak geografis yang sangat berdekatan itu membuat kawasan ini dipilih sebagai salah satu kawasan paling favorit bagi jaringan terorisme internasional maupun penyelundup barang-barang konsumsi illegal.

Sejak dulu, Sulut adalah penghasil kopra, tuna dan tongkol, namun belakangan industri pariwisata, perdagangan dan jasa cenderung meningkat. Kedudukan strategis kota Manado dan Bitung berpotensi menjadi gerbang Indonesia bagian utara, baik melalui jalur perdagangan laut maupun udara. Kesiapan infrastruktur pelabuhan laut Bitung dan Bandara Sam Ratulangi Manado menjadi salah satu kunci laju pembangunan koridor ekonomi Sulawesi bagi kemajuan dan kejayaan perekonomian nasional.

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...