Jul 14, 2011

Menakar Penataan Daerah

Velix Wanggai (Jurnal Nasional, Kamis 14 Juli 2011)

Era reformasi 1998 yang dilanjutkan dengan kebijakan desentralisasi tahun 1999 lalu telah melahirkan kurang lebih 205 buah daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten/Kota serta 7 provinsi baru. Angka ini menambah jumlah total jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota.

Ada banyak pertimbangan mengapa pemekaran wilayah menjadi tren era desentralisasi dan otonomi daerah itu. Diantaranya adalah akan ada aliran dana ke daerah berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), banyak warga masyarakat akan diangkat menjadi PNS dan semakin tumbuh-kembangnya identitas lokal. Dalam dinamika otonomi daerah itu, setiap orang ingin menunjukkan eksistensinya baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Kita berharap bukan para politisi dan penyelenggara negara saja yang menikmati suasana itu tetapi rakyat pun berhak menghirup udara segar era desentralisasi dan otonomi daerah itu. Atas dasar itu, pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyusun grand design penataan daerah di Indonesia tahun 2010-2025.

Bentangan wilayah negara kita yang sangat luas mengharuskan pemerintah membentuk DOB, sehingga mempermudah orbitasi pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Memang masih terdapat masyarakat di beberapa daerah yang merasa belum memperoleh pelayanan yang maksimal, sehingga menuntut pembentukan DOB di wilayahnya. Namun dengan membentuk DOB, maka beban keuangan negara semakin bertambah dan belanja pembangunan semakin berkurang.

Sebagai ilustrasi pada tahun 2003, pemerintah pusat menyediakan DAU sebesar Rp 1,33 triliun bagi 22 DOB hasil pemekaran sepanjang tahun 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, dimana pemerintah harus mentransfer Rp 2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Pada tahun 2010, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 47,9 triliun sebagai alokasi DAU untuk daerah pemekaran. Beban APBN semakin bertambah akibat lemahnya daya dukung keuangan sebagian besar DOB.

Pada tahun 2010 Kemendagri pernah melakukan evaluasi terhadap 57 DOB usia dibawah 3 tahun, terkait dengan pengalihan personil, perlengakapan pembiayaan dan dokumen, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, penetapan batas wilayah, dan permasalahan lainnya. Hasilnya, hingga 3 tahun kondisi seluruhnya belum sepenuhnya efektif. Bayangkan berapa besar biaya yang harus ditanggung pemerintah pusat untuk membiayai penataan 57 DOB itu?

Pemerintah akan mengalami kesulitan membangun infrastruktur di daerah kalau kita sendiri tidak pintar-pintar menata penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di beberapa daerah, jalan, jembatan, sekolah, puskesmas dan pasar dalam kondisi rusak berat, tidak terawat. Program-program kemasyarakatan juga tidak berjalan. Semua anggarannya terserap untuk belanja pegawai.

Ada sekitar 124 Pemda yang belanja pegawainya melebihi 60 persen. Bahkan belanja pegawai di semua pemerintah daerah saat ini telah mencapai sekitar Rp 408 triliun atau sekitar 30 persen dari APBN. Ini tentu tidak adil bagi masyarakat yang membutuhkan pemerataan dan kesejahteraan. Kemajuan suatu daerah bukan diukur dari seberapa besar jumlah PNS dan belanja rutinnya melainkan seberapa besar kualitas pelayanan sosial dasarnya misalnya pembebasan uasng sekolah, pemberian jaminan kesehatan bagi rakyat miskin, bantuan perumahan, penyediaan listrik dan air bersih dan lain-lain.

Dalam kerangka itu, maka pemerintah pusat tampaknya perlu serius melaksanakan reformasi birokrasi melalui penataan daerah. Perbaikan pada perencanaan kebijakan, regulasi dan kelembagaan menjadi kebutuhan mendesak. Salah satu langkah reformasi kelembagaan adalah penghentian sementara penerimaan PNS di pusat dan daerah. Masalahnya kepala daerah berwenang mengangkat pegawai honorer menjadi PNS. Pada 2011 ini saja, usulan pengangkatan PNS dari berbagai daerah mencapai 700-an ribu. Maka jalan satu-satunya adalah merevisi UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah untuk membatasi kewenangan kepala daerah tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu.

Hal lain yang perlu ditata di daerah adalah biaya operasional kepala daerah dan kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang kurang mendukung akselerasi pembangunan di daerah. Perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri pun harus dilihat urgensinya. Belum ada penelitian yang mendukung statemen ini, tapi kalau diselediki secara seksama, kuantitas perjalanan dinas para Bupati/Walikota dengan tujuan Ibukota Negara pasti lebih tinggi dibandingkan perjalanan dinas dengan tujuan ibukota Provinsinya masing-masing.

Kunjungan kerja, penyelenggaraan rapat di luar kantor atau “studi banding" yang selama ini menjadi kecenderungan sebagian Pemda-pemda di Tanah Air harus dibatasi kecuali dengan alasan yang jelas. Perlu juga pembatasan penggunaan kendaraan operasional, pengurangan daya listrik bagi penerangan dan AC serta lift di luar jam kantor dan lain-lain akan sangat membantu penghematan APBD. Penaatan daerah melalui perbaikan, penyempurnaan dan sinkronisasi aspek regulasi yang terkait dengan kewenangan pusat dan daerah pun akan membantu daerah dalam menemukan maupun memperluas sumber-sumber pendapatan daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Dalam rangka pembinaan DOB, evaluasi Kemendagri perlu mengukur rasionalitas APBD untuk mengurangi pemborosan belanja APBD terutama pos belanja aparatur dan honor-honor yang tidak perlu. Jika pembatasan jumlah pegawai dan efisiensi anggaran ini dilakukan secara konsisten dan bersinergi, diharapkan penataan daerah dapat berjalan lebih baik di masa depan dan rakyat memperoleh manfaatnya. Semoga !

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...