Oct 30, 2007

Rekonstruksi Pemekaran Wilayah di Tanah Papua

Sumber : Cendrawasih Pos, 23 Oktober 2007

Oleh: Velix Vernando Wanggai, MPA


Menarik mencermati pernyataan Wakil Presiden Yusuf Kalla di hadapan ratusan pejabat dan tokoh masyarakat Sulawesi Tengah beberapa hari lalu. Dalam kesempatan itu, Yusuf Kalla menegaskan pemekaran provinsi dan kabupaten hanya akan menghabiskan uang negara. “Jangan lagi kita berpikir, untuk berpecah belah. Belum apa-apa, sudah mau buat provinsi dan kabupaten baru. Itu semua hanya menghabiskan ongkos” (Cendrawasih Pos, 17 Oktober 2007). Pernyataan Wakil Presiden ini akhirnya menimbulkan berbagai pendapat di kalangan elite Papua, baik dari kalangan intelektual Uncen, dan kalangan pimpinan MRP dan DPRP menyangkut layak atau tidak layak pemekaran provinsi dan kabupaten baru di Tanah Papua (Cendrawasih Pos, 18-20 Oktober 2007). Bagaimana kita menjelaskan pernyataan Yusuf Kalla ini dan kemudian dikontekstualisasikan ke dalam dinamika dan format pemekaran wilayah di Tanah Papua? Apakah ini berarti menutup berbagai kemungkinan berdirinya provinsi dan kabupaten baru dibawah payung Otonomi Khusus bagi Tanah Papua?

Memaknai Argumen Yusuf Kalla

Jika menyimak pernyataan Yusuf Kalla secara seksama, ada 3 (tiga) makna penting yang menyertai kebijakan pemekaran wilayah. Pertama, pemekaran hanya akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang ditujukan untuk penataan dan pembangunan perkantoran dan rumah pejabat serta biaya perjalanan. Hal ini mengakibatkan dana pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) terserap dalam jumlah yang besar kepada dana rutin atau biaya tidak langsung di kalangan aparatur negara. Kedua, pemekaran wilayah hanya akan menciptakan ketergantungan daerah kepada pusat. Hal ini berlaku bagi provinsi dan kabupaten baru yang memiliki sumber daya alam atau pendapatan asli daerah yang terbatas sehingga tidak mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan di masa transisi penataan daerah otonom baru. Ketiga, Yusuf Kalla menyatakan bahwa pemekaran wilayah mesti mempertimbangkan jumlah penduduk dengan membandingkan Sulawesi Tengah dan Jawa. Dengan penduduk yang sedikit di Sulawesi Tengah, namun arus aspirasi pemekaran provinsi terus bergema di provinsi yang sedang menata kembali pembangunan setelah konflik pecah dalam dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah Poso.

Dalam beberapa hal, memang benar pernyataan Yusuf Kalla. Daerah-daerah hasil pemekaran akan memberikan beban ekonomi, administrasi, dan politik kepada provinsi maupun kabupaten induk, serta pemerintah pusat. Ini terbukti ketika pada awal Oktober 2007 lalu Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR RI membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) Tahun 2008, dimana Pemerintah dan Panitia Anggaran membuat skema khusus dalam mengalokasikan dana khusus yang cukup besar kepada provinsi dan kabupaten hasil pemekaran di wilayah Timur Indonesia (Risalah Hasil Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI) .

Pernyataan Yusuf Kalla ini sebenarnya telah menyederhanakan faktor-faktor pendorong pembentukan suatu daerah otonom baru. Faktor jumlah penduduk hanyalah salah satu faktor dari variabel teknis pembentukan provinsi dan kabupaten baru, dari sejumlah faktor yang semestinya diperhatikan. Karena itu dapat disimpulkan bahwa argumen Yusuf Kalla lebih menonjolkan perhitungan ekonomis dibandingkan dengan pertimbangan rentang kendali pelayanan pemerintahan, partisipasi dan keterwakilan politik, percepatan pembangunan daerah-daerah terpencil di kawasan Timur Indonesia, serta faktor historis dan kesatuan sosial budaya masyarakat.

Belajar dari pengalaman transisi kelembagaan di negara-negara transisi di Amerika Latin dan Eropa Timur, dana-dana pembangunan lebih tersedot ke penataan kelembagaan (institutional design), baik dalam menata struktur pemerintahan lokal, membangun gedung baru, membayar gaji pejabat dan pegawai negara dan biaya perjalanan dinas aparatur negara (Ronald Fransisco, 2000, The Politics of Regime Transitions). Namun hal ini memberikan makna tersendiri bahwa desain kelembagaan menjadi variabel penting di negara-negara transisi. Mengapa hal ini penting? Karena melalui penataan kelembagaan, suatu pemerintahan dapat meningkatkan keterwakilan berbagai kelompok kepentingan yang bermuara bagi akomodasi dan integrasi sosial, maupun instrumen bagi percepatan pembangunan daerah. Hal ini dapat dilihat pada kelembagaan pemerintahan di provinsi-provinsi baru di kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat. Basis sosial yang berbeda semakin terwakili dan keunggulan sumber daya lokal semakin memiliki nilai ekonomis dalam menggerakan ekononomi wilayah dan masyarakat lokal, sebagaimana yang terjadi di Gorontalo.

Perlunya Desain Ulang Pemekaran Wilayah

Kegelisahan Yusuf Kalla atas implikasi negatif pemekaran wilayah tersebut sebenarnya memiliki makna yang strategis bagi prospek pemekaran wilayah di Tanah Papua, baik di level provinsi maupun kabupaten. Artinya, pernyataan ini memberikan makna peringatan bagi para pendukung pemekaran wilayah untuk mengkalkulasi kembali, apakah pembentukan daerah otonom layak dilakukan di Tanah Papua.

Namun, relevankah pernyataan Yusuf Kalla bagi dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru di Tanah Papua? Nampaknya pernyataan ini tidak seratus persen relevan dengan konteks ke-Papua-an. Ada nilai historis yang telah berlangsung cukup lama dalam menggaungkan gagasan pembentukan provinsi baru sejak awal tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an ini. Pemerintah pun lebih memilih skenario pemekaran dari level bawah melalui proses penguatan kelembagaan dari level kampung, kecamatan, dan kabupaten ketimbang memilih skenario pemekaran dari level atas yang langsung membelah provinsi Papua menjadi beberapa provinsi.

Karena itu, hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah membuat arah kebijakan (roadmap) yang memuat skenario dan design pemekaran wilayah di Tanah Papua dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Keberadaan ‘grand design’ akan memberikan arah bagi para pengambil keputusan di Tanah Papua untuk menetapkan berapa jumlah provinsi dan kabupaten yang layak berdiri dalam suatu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan geo-politik di pulau Papua. Untuk mendapat grand design pemekaran wilayah, nampaknya diperlukan forum yang representatif untuk menghasilkan dokumen strategis tersebut. Dalam konteks UU No.21/2001, pihak Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Gubernur memiliki kepentingan yang saling terkait dalam mengusulkan pembentukan provinsi baru. Ketiga lembaga ini menjadi pelaku-pelaku utama dalam memproses lebih lanjut pemekaran provinsi.

Namun patut disayangkan bahwa konsep pemekaran provinsi Papua tidak tercantum dalam Agenda Pertama Pemerintah Provinsi Papua, yakni Menata Kembali Pemerintahan Daerah (RPJMD Provinsi Papua). Dalam agenda ini, Pemerintah Daerah hanya menekankankan pada 3 aspek, yakni: reformasi birokrasi, reformasi keuangan, dan penyelenggaraan system pengadaan barang dan jasa secara independen. Khusus terhadap reformasi birokrasi, Kaka Bas nampaknya menekankan penguatan struktur pemerintahan di tingkat distrik dan kampung melalui suntikan dana 100 juta. Sebenarnya langkah yang telah dilakukan sejak tahun 1980-an ketika Pemerintah Pusat memiliki skenario pemekaran dari bawah melalui penguatan distrik dan kampung.

Namun cukupkah reformasi birokrasi hanya dikaitkan dengan 3 aspek sebagaimana yang disebutkan diatas? Bagaimana dengan arus besar terhadap pemekaran provinsi dan kabupaten yang begitu marak akhir-akhir ini di Tanah Papua? Karena itu, penulis menilai bahwa penguatan distrik dan kampung harus diletakkan dalam sebuah grand design penataan struktur pemerintahan yang komprehensif, yang didalamnya mengatur tentang format pemekaran provinsi dan kabupaten yang layak di Tanah Papua. Nampaknya kurang tepat jika Pemerintah Provinsi Papua membiarkan arus pemekaran provinsi berjalan tanpa arah dan kendali.

Pilihan pertama yang bersifat jangka pendek adalah grand design ini harus dirumuskan segera dalam tahun 2007 sebelum regulasi paket politik (Pemilu, Partai Politik, dan Susduk DPR/MPR) yang kini sedang dibahas di DPR RI disahkan pada akhir tahun 2007 atau awal tahun 2008. Pilihan kedua yang bersifat jangka menengah adalah grand design tersebut disusun pada tahun 2008 dan 2009 sehingga semua elemen pemerintahan dan masyarakat di semua level di pulau Papua dapat berpartipasi dalam menggodok konsep penataan pemekaran provinsi dan kabupaten secara komprehensif. Kemudian, kebijakan pemekaran provinsi Papua akan disahkan setelah Pemilu 2009 sesuai dengan format pemekaran provinsi yang disepakati dalam grand design.

Untuk itu, langkah strategis awal yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mewujudkan suatu dokumen yang komprehensif tentang rekonstruksi pemekaran provinsi dan kabupaten di Tanah Papua.

Pemerintah Provinsi Papua perlu memiliki desain yang utuh perihal beberapa aspek. Pertama, evaluasi menyeluruh atas struktur pemerintahan di semua levelpemerintahan, termasuk dinamika kabupaten-kabupaten hasil pemekaran tahun 2002. Hal ini sejalan dengan pernyataan pengamat politik dari Universitas Cendrawasih Drs. Beatus Tambaip, MA yang menekankan pentingnya evaluasi secara menyeluruh terhadap kabupaten pemekaran selama ini dan kemudian disusun skenario pemekaran provinsi dan kabupaten yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat (Cendrawasih Pos, 18 Oktober 2007).

Kedua, analisis struktur ruang wilayah dan kaitannya dengan rentang kendali birokrasi dan jumkah daerah otonom, baik provinsi dan kabupaten yang layak dibentuk. Ketiga, analisis peta sosial budaya dan kaitannya dengan representasi basis sosial dan kesatuan sosial budaya dalam kerangka penataan administrasi pemerintahan. Keempat, peta distribusi sumber daya alam dan konsepsi pembangunan ekonomi, sosial, dan infrastruktur dengan melihat Tanah Papua sebagai suatu kesatuan wilayah ekonomi, sosial budaya, dan geo-politik. Kelima, skenario perencanaan pembangunan sumber daya manusia (Papuan manpower planning) yang komprehensif dan peranserta rakyat Papua dalam dinamika pembangunan nasional dan daerah ke depan. Keenam, rekonstruksi provinsi-provinsi baru kedalam payung Otonomi Khusus, termasuk didalam menyangkut kewenangan, pembagian dana pembangunan, struktur MRP, dan forum kerjasama lintas pemerintah provinsi di Tanah Papua.

Tindak Lanjut Segera “Biak Agreement”

Untuk mewujudkan dokumen strategis tersebut, nampaknya “Biak Agreement” (Kesepakatan Biak) pada tanggal 17-18 April 2007 antara elite birokrasi dan politik di Papua dan Papua Barat perlu ditindaklanjuti segera, terutama oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan mempercepat pembentukan tim khusus guna mengkaji hal-hal teknis masuknya Provinsi Papua Barat dan provinsi-provinsi baru lainnya ke dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. Akhirnya, penulis menilai bahwa diperlukan perluasan atau penambahan tugas kepada tim untuk mewujudkan dokumen strategis rekonstruksi pemekaran provinsi dan kabupaten di Tanah Papua. Jika langkah ini tidak ditempuh saat ini, penulis memperkirakan persoalan pendirian provinsi baru di Tanah Papua akan terus berulang dari waktu ke waktu, dan akan menghabiskan energi sosial dan politik yang besar, bahkan menyimpan potensi konflik. Kini saatnya bagi “dwitunggal Kaka Bas-Alex” untuk meletakkan dasar yang damai dan berkelanjutan dalam upaya rekonstruksi struktur pemerintahan di semua tingkatan melalui format pemekaran provinsi dan kabupaten yang layak di Tanah Papua.

Penulis adalah kandidat Doktor Bidang Kebijakan Publik di the Australian National University (ANU), Canberra, dan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia Tahun 2004 - 2006.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...