May 10, 2008

MENCARI JALAN BAGI PAPUA

Velix Wanggai

Jumat, Kompas, 28 Maret 2008 | 02:21 WIB

Dari waktu ke waktu duet kepemimpinan SBY-JK mencoba mencari penyelesaian terbaik bagi tanah Papua. Hari Selasa, 4 Maret, Presiden SBY bertemu dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat serta bersepakat untuk mengeluarkan paket kebijakan baru. Sederet kesepakatan tersebut adalah Pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengakomodasi keberadaan Provinsi Papua Barat ke dalam kerangka UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Kompas, 5/3/2008).

Lingkaran persoalan

Roda pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua tampaknya memerlukan penataan dan pembenahan yang menyeluruh. Mengapa? Karena ada sederet persoalan yang muncul dan terus melilit efektivitas pelaksanaan otonomi khusus.

Pertama, ketika duet SBY-JK naik ke tampuk kekuasaan, mereka diwariskan agenda krusial perihal kontroversi atas terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.

Kebijakan pada era Presiden Megawati menimbulkan pro-kontra yang meluas, menghabiskan energi sosial dan politik, serta bahkan jatuhnya korban jiwa di Timika, Papua.

Kedua, sejak otonomi khusus diberlakukan pada akhir 2001 kita tidak pernah menemui suatu skenario yang menyeluruh perihal bagaimana melaksanakan pasal demi pasal dan bagaimana tahapan demi tahapan untuk mewujudkan amanat dari UU No 21/2001 itu

Akibatnya, otonomi khusus bagai kehilangan makna dan berjalan tertatih-tatih. Relasi kewenangan antara pusat dan daerah belum tertata, aliran dana otonomi khusus yang kurang bermakna bagi rakyat kecil, serta persepsi yang berbeda-beda antara elite provinsi dan elite kabupaten/kota dalam mengelola kewenangan.

Ketiga, tidak seperti konteks politik dari tahun 1999 hingga 2005, saat sebagian besar rakyat Papua menolak kebijakan pemekaran provinsi, tetapi dalam dua tahun terakhir ini tampaknya arah angin pemekaran bertiup balik.

Di beberapa wilayah muncul aspirasi dan gagasan untuk membentuk provinsi dan kabupaten baru terus mencuat. Bahkan para wakil rakyat di DPR telah bergerak jauh untuk menggunakan hak inisiatif Dewan untuk membentuk provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. Kekecewaan atas hak inisiatif ini diungkapkan kembali oleh tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat ke Presiden, 4 Maret.

Bagaimana kita memaknai ketiga persoalantersebut? Adakah langkah-langkah khusus yang ditempuh oleh duet SBY-JK untuk menyelesaikannya?

Untuk menyelesaikan ketiga persoalan utama tersebut, diperlukan langkah-langkah yang sungguh-sungguh, tidak hanya pertimbangan teknokratis, tetapi juga memerlukan pendekatan hati. Maknanya, hati dan kepercayaan rakyat tanah Papua harus dikelola dengan cantik.

Pertama, selain inisiasi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam 2 (dua) bulan ke depan, perlu dipikirkan ke depan untuk melakukan revisi terbatas atas UU No 21/2001.

Ada beberapa poin penting, yakni (1) perubahan judul undang-undang, yang mungkin berubah menjadi Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Hal ini sebagai antisipasi atas berdirinya provinsi-provinsi baru yang perlu dipayungi oleh otonomi khusus; (2) mengatur karakter dan legitimasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertanyaannya adalah bagaimana mengatur keberadaan MRP, apakah lembaga kultural ini dibentuk di setiap provinsi sehingga lebih banyak wakil-wakil adat semakin terwakili atau MRP berjalan seperti saat ini; (3) mengatur kembali pola hubungan keuangan pusat-daerah yang berubah. Artinya, dengan masuknya Provinsi Papua Barat ke dalam payung otonomi khusus, skenario dana perimbangan, khususnya yang terkait dengan persentase bagi hasil sumber daya alam, perlu disesuaikan dengan amanat UU No 21/2001, dan sebaliknya, tidak mengikuti skenario UU No 32/2004 dan UU No 33/2004.

Kedua, tampaknya kurang bermakna jika gagasan pembentukan Badan Koordinasi Dana Otonomi Khusus hanya secara khusus dikaitkan dengan kontroversi format pembagian dana antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua ataupun antara provinsi dan kabupaten/kota di lingkungan Provinsi Papua. Alangkah cantiknya jika lembaga ini diarahkan sebagai institusi yang memproduksi rencana induk (grand design) yang memuat skenario pembangunan dalam jangka waktu 20 atau 25 tahun kedepan dalam aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan ekonomi rakyat serta membagi alokasi dana dan mengendalikannya.

Ketiga, seiring dengan gagasan pemekaran provinsi dan kabupaten baru di tanah Papua, alangkah baiknya lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga kultural (MRP) di Provinsi Papua mengambil inisiatif untuk membuat peta jalan (road map) sebagai kerangka yang jelas dalam mendiskusikan beberapa aspek strategis, seperti desain pembentukan provinsi dan kabupaten, strategi tata ruang pulau Papua, strategi pembangunan infrastruktur lintaswilayah dan ekonomi wilayah, ataupun strategi peningkatan sumber daya manusia penduduk asli guna mengisi kebutuhan dan perkembangan pembangunan.

Intinya, kebijakan pemekaran Papua kiranya dipandang sebagai instrumen kebijakan yang berguna bagi percepatan pembangunan di tanah Papua.

Velix Wanggai Kandidat PhD Bidang Politik dan Hubungan Internasional, ANU, Canberra

http://kompas.co.id/kompascetak.php/read/xml/2008/03/28/02211191


No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...