Oct 4, 2013

Indonesia di Mata PM Tony Abbott

| Kamis, 3 Oct 2013
Rihad Wiranto


Oleh: Velix Wanggai




galeri foto


Kemenangan Anthony John "Tony" Abbot, pemimpin Partai Liberal, pada pemilihan Federal Australia, 7 September 2013, membawa era baru dalam kepolitikan Australia. Di hari kemenangan itu, PM terpilih Tony Abbott secara terbuka mendeklarasikan bahwa Pemerintahan Australia telah berubah dan Australia terbuka untuk bisnis. Kembalinya Partai Liberal ke tampuk kepemimpinan nasional setelah berjuang 6 tahun lamanya untuk meyakinkan rakyat Australia. Dengan merebut 99 kursi di Parlemen, meninggalkan Partai Buruh yang hanya memperoleh 55 kursi. Ini kemenangan yang berarti bagi Partai Liberal, mengingat ketika pemilihan umum pada Agustus 2010, Tony Abbot sebagai pemimpin oposisi kalah beberapa kursi dari PM Julia Gillard.

Saat itu, dari 150 kursi di Parlemen Australia, partai Buruh menguasai 72 kursi. Setelah 17 hari bernegoasi antara Julia Gillard dan Tony Abbot untuk memenangkan 4 kursi tambahan, akhirnya Partai Buruh pimpinan Julia Gillard memenangi 76 kursi, ketimbang 74 kursi yang diperoleh Tony Abbot saat itu. Namun, peta politik tahun 2010 itu telah menceritakan sebuah episode baru bagi hadirnya Tony Abbott sebagai tokoh potensial Australia dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan Partai Buruh.

Apa makna bagi Indonesia atas terpilihnya PM Tony Abbott? Adakah platform dan opsi yang berbeda dengan Partai Buruh dalam merumuskan kebijakan luar negeri Australia, terutama ditujukan ke Indonesia? Jika kita simak dengan cermat, PM Tony Abbott meletakkan prioritas yang tinggi terhadap Indonesia. Tiga hari sebelum pemilihan umum Parlemen Australia, tepatnya tanggal 4 September 2013 lalu, Tony Abbott menyatakan jika ia terpilih sebagai PM Australia, maka perjalanan luar negeri pertama yang ia lakukan adalah ke Indonesia, China, Jepang, dan Korea Selatan.

Bahkan Tony Abbott tekankan Indonesia adalah kepentingan dan hubungan terpenting bagi Australia. Dalam pandangan Tony Abbott, kunjungan pertama ke Indonesia ini bukanlah karena faktor hubungan keamanan, hubungan ekonomi, maupun hubungan sejarah yang terpenting. Namun lebih dari itu, Indonesia dipandang oleh Tony Abbott sebagai kekuatan yang terus berkembang dengan ukuran wilayah yang luas. Bahkan Tony Abbott memiliki ide baru agar setiap PM Australia di masa mendatang menjadikan kunjungan ke Indonesia sebagai suatu konvensi (www.smh.com.au, September 4, 2013).

Duapuluh tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 30 September 2013, PM Tony Abbott menginjakkan kakinya ke kota Jakarta. Selain membicarakan hubungan ekonomi antar kedua Negara, kunjungan PM Australia ke-28 ini bermakna penting bagi pemerintahan baru Australia dalam mencari solusi atas kapal-kapal pencari suaka yang berlayar ke wilayah Australia.

Agenda kebijakan pencegahan para pencari suaka atau "manusia perahu" merupakan salah satu agenda terpenting PM Tony Abbott. Bagi pemerintahan baru Australia, kapal-kapal para pencari suaka yang datang dari perairan Indonesia akan dihentikan dan akan dikirim kembali ke wilayah Indonesia. Bagi Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia dan Australia adalah korban dari para pencari suaka yang datang dari berbagai negara yang membawa beban, baik beban sosial dan ekonomi.

Karena itu, Presiden SBY menganggap pentingnya kerjasama bilateral yang baik untuk memecahkan soal "manusia perahu" dari berbagai negara dalam kerangka "The Bali Process". Presiden SBY juga menyambut baik jaminan PM Australia Tony Abbott atas kedaulatan Indonesia dalam kebijakan perahu-perahu pencari suaka ini.

Dengan demikan, sangatlah tepat apa yang ditekankan oleh Presiden SBY agar diletakkan dalam "The Bali Process". Konferensi Regional tentang penyelundupan dan perdagangan manusia, dan kejahatan trans-nasional ini dipimpin oleh Indonesia dan Australia, serta dihadiri lebih dari 50 negara dan sejumlah organisasi internasional seperti the United Nations High Commissioner for Refuges, the International Organization for Migration (IOM) maupun the United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC).

Di sinilah, posisi dasar Indonesia atas masalah penyelundupan manusia ke Australia. The Bali Process ini sebagai kerangka perjanjian internasional yang disepakati di Bali, pada Februari 2002. Bali Process sebenarnya telah memuat solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi negara-negara yang terkait dalam soal pengungsi, perdagangan manusia, penyelundupan manusia, maupun kriminalitas trans-nasional. Melalui mekanisme The Bali Process, negara-negara yang terkait dapat membagi kerjasama intelejen, penegakan hukum yang efektif, kerjasama perbatasan dan system visa, kerjasama antisipasi terhadap gerakan di perbatasan yang illegal, kerjasama dalam dalam menangani identitas dan asal negara dari para para pengungsi, pencari suaka, dan korban perdagangan manusia.

Demikian pula, the Bali Process mengharapkan agar adanya kerjasama antarnegara di dalam menyelesaikan akar persoalan dari migrasi illegal, bahkan memungkinkan kesempatan bagi migrasi yang legal antar negara-negara. Semua proses itu diletakkan di dalam kerangka kerjasama regional yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Pertemuan Presiden SBY dan PM Tony Abbott juga sebagai bentuk penegasan komitmen kedua negara untuk menghormati kedaulatan negara. Masalah Papua, misalnya. Indonesia serius untuk memajukan Papua, dan Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai negara demokrasi, ekspresi yang ada di Papua itu bagian dari demokrasi, sebagaimana pernyataan Presiden SBY.

Intinya, hubungan Indonesia - Australia akan terus diletakkan dalam payung Kemitraan Komprehensif antara Indonesia dan Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Partnership) yang disepakati oleh Presiden SBY dan PM John Howard, pemimpin Partai Liberal saat itu. Deklarasi bersama yang ditandatangani di Canberra, pada 4 April 2005 sebenarnya menandakan suatu era baru hubungan Indonesia-Australia. Indonesia tidak hanya sebagai sahabat dan tetangga terdekat, namun Indonesia dan Australia juga sebagai "fellow democracies" yang membagi kepentingan bersama terhadap wilayah Asia-Pasifik yang sejahtera, stabil, dan damai.

galeri foto

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...