Nov 14, 2013

Jejak Langkah SBY


| Kamis, 14 Nov 2013

Rihad Wiranto

Oleh:
Velix Wanggai
 

Setiap era kepemimpinan nasional, Presiden Republik Indonesia, menghadapi tantangan sesuai zaman, dan memiliki gaya, pemikiran, dan strategi tersendiri di dalam mengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Presiden Soekarno hadir di zaman perjuangan kemerdekaan dan berhasil membangun fondasi bernegara. Presiden Soeharto hadir dengan memadukan stabilitas politik, pembangunan, dan pemerataan. Trilogi Pembangunan menjadi narasi besar dalam kepolitikan Orde Baru. Demikian pula, di era reformasi pasca 1998 Presiden B.J Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki komitmen dalam menata transisi politik, termasuk mengelola konflik di berbagai daerah.

Dalam kepemimpinan Presiden SBY selama hampir satu dasawarsa ini, Indonesia telah melakukan “revolusi diam-diam” (silent revolution) dalam berbagai aspek kehidupan. Silent revolution itu hadir dalam konteks perubahan budaya hingga perubahan struktural dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Semenjak memegang amanah di tahun 2004, Presiden SBY secara konsisten menanamkan semangat optimistik, harus bisa (can do spirit), dan kebersamaan.

Beberapa jam setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, kita teringat Presiden SBY menyampaikan pidato pertama pada tanggal 20 Oktober 2004 sekitar pukul 15.00 WIB. Di kesempatan itu, Presiden SBY menyatakan, “Alhamdulillah, rangkaian Pemilu 2004 telah berakhir. Kini saatnya bagi kita untuk melangkah bersama, menjemput masa depan. Masa bersaing telah kita lalui, kini masanya untuk bersatu. Masa berucap dan berjanji pun telah kita lalui, kini masanya bertindak dan bekerja. Kini saatnya bagi kita untuk bersatu dalam kreasi, dan dalam karya bersama. Kini sudah saatnya kita memusatkan tekad, semangat, pikiran, dan perhatian untuk mengatasi berbagai tantangan dan persoalan yang kita hadapi tantangan dan persoalan yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara kita. Kita harus mengatasinya secara bersama-sama. Karena memang pemerintah yang saya pimpin tidak mungkin bisa mengatasi tantangan dan persoalan bangsa ini, tanpa dukungan dan partisipasi rakyat, serta seluruh komponen bangsa”.

Dalam suatu kesempatan, Presiden SBY pernah bercerita perihal mosaik Reformasi Gelombang Pertama, yang pernah berkembang lima skenario yang bisa terjadi di Indonesia. Yang pertama, ada ramalan bahwa Indonesia akan mengalami “balkanisasi”. Skenario kedua, melihat Indonesia berubah menjadi negara Islam bergaris keras, karena munculnya sentimen keagamaan yang ingin meminggirkan ideologi Pancasila. Skenario ketiga, Indonesia akan berubah menjadi negara semi otoritarian yang arahnya tak jelas. Skenario keempat justru melihat Indonesia berjalan mundur, kembali memperkuat negara otoritarian. Dan hanya sedikit yang meramalkan bahwa Indonesia bisa menjalankan skenario kelima, yaitu menjadi negara demokrasi, terlebih lagi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasikan.

Hari ini Indonesia telah berjalan di rel demokrasi yang semakin berkelanjutan (sustainable democracy). Demokrasi juga hadir menghargai identitas sosial yang majemuk. Jejak langkah Presiden SBY tampak juga di Aceh, Yogyakarta, dan Papua. Konflik Aceh yang panjang dapat ditransform ke ruang demokrasi yang damai dalam payung UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yogyakarta juga memasuki era baru dengan hadirnya UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ruang demokrasi lokal yang berbasis budaya dan kebijakan sosial-ekonomi juga didorong secara intensif di Papua dan Papua Barat. Bahkan, ketika berpidato pada 16 Agustus 2013, Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilai tambah dan terobosan baru untuk kemajuan dan kemuliaan Papua. Maksudnya, kebijakan baru Otonomi Khusus Plus untuk Papua.

Demikian pula, di era yang berubah ini, Presiden SBY juga mengubah paradigma dan strategi pembangunan nasional. Ketiadaan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era reformasi telah mendorong Presiden SBY untuk menghadirkan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 2025. Presiden SBY pernah menyampaikan agar pikiran-pikiran besar perlu digali dan dirumuskan ke dalam strategi pembangunan yang sesuai konteks Indonesia. Ekonomi Indonesia memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Pertumbuhan ekonomi yang dianut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil.

Ke depan kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri yang berdimensi kewilayahan, dengan pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh tanah air. Daerah-daerah menjadi kekuatan ekonomi lokal. Dan, menariknya, ekonomi nasional dilandasi oleh mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan. Disinilah, strategi pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-rakyat miskin, dan pro-lingkungan diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional.

Dewasa ini dimensi kewilayahan ini juga mendapat perhatian. Hal itu tampak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Presiden SBY mendorong percepatan pembangunan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Sejalan dengan itu, diluncurkan pula Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025. Melalui MP3EI, pendekatan terobosan (breakthrough), tidak ‘business as usual’, dan kebijakan terpadu (integrated policy) dilakukan dalam pengembangan 6 koridor ekonomi wilayah, konektifitas wilayah, dan sumber daya manusia.

Di mata dunia internasional, Indonesia disebut sebagai “remarkable Indonesia” bangsa yang dinilai berhasil dalam mengatasi krisis dan tantangan yang berat dan kompleks dalam 10 tahun terakhir ini. Indonesia hadir sebagai “an emerging country”, dan dipandang sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat dan India. Dalam hal hubungan internasional, sejak 20 Oktober 2004 Presiden SBY telah menyapa sahabat-sahabat Indonesia di dunia internasional. Presiden SBY menegaskan sikal Indonesia tetap berpegang teguh pada politik bebas aktif, memajukan perdamaian, meningkatkan kesejahteraan, dan membela keadilan. Indonesia akan terus tumbuh menjadi bangsa yang demokratis, terbuka, modern, pluralistik dan toleran.

Sikap itu kembali ditekankan oleh Presiden SBY pada pidato awal jabatan di Gedung MPR, pada 20 Oktober 2009. Saat itu, Presiden SBY menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia akan terus menjalankan politik bebas aktif, memperjuangkan keadilan dan perdamaian dunia, dan mengobarkan nasionalisme yang sejuk, moderat dan penuh persahabatan, dan sekaligus mengusung internasionalisme yang dinamis. “All directions foreign policy”, “a million friends and zero enemy”, menjadi arah baru dalam hubungan luar negeri.

Komitmen Presiden SBY di awal pemerintahannya tahun 2004 dan Oktober 2009 diikhtiarkan secara serius. Presiden SBY turun tangan dalam memimpin komitmen dunia dalam perubahan iklim, aktif mempromosikan pendekatan ‘growth with equity’ di berbagai forum G-20 maupun APEC, serta aktif mempromosikan kerukunan antar peradaban, maupun mempromosikan konsep keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) dalam arsitektur dunia baru. Dalam hal hubungan bilateral, Presiden SBY mendorong adanya kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) maupun kemitraan strategis (strategic partnership). Dan, tradisi baru dalam penguatan demokrasi digelar melalui Bali Democracy Forum (BDF). Di tahun 2013 ini, tema Consolidating Democracy in Pluralistic Society menjadi agenda menarik dalam BDF 2013.

Indonesia juga mendapat kehormatan dari dunia, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan amanah kepada Presiden SBY untuk memimpin High Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda. Sebagai pengganti Millenium Development Goals (MDGs), pada tanggal 31 Mei 2013 Presiden SBY telah menyerahkan dokumen ‘A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development’ kepada Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon. Kepercayaan kepada Indonesia adalah bukti kepemimpinan Indonesia di dalam mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik, damai, adil, dan demokratis.

Namun, sebagai renungan ke depan, Presiden SBY mengingatkan kita semua agar semua prestasi yang telah dicapai dalam 10 tahun terakhir ini, janganlah membuat kita lengah, lalai, apalagi besar kepala. Pekerjaan besar kita masih belum selesai. Ibarat perjalanan sebuah kapal, ke depan, kita akan mengarungi samudra yang penuh dengan gelombang dan badai. Kita semua menyadari bahwa menjadi Presiden di negara multi-etnik, negara yang baru keluar dari krisis nasional seperti Indonesia tidaklah gampang. Tidaklah semudah membalikkan tangan untuk membawa Republik Indonesia ke arah yang lebih baik. Seiiring dengan tantangan itu, kita semua harus tetap optimistik, semangat harus bisa (can do spirit), dan bersatu membangun bangsa.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...