Nov 8, 2018

Mendorong Open Policy-Making yang Inklusif di Indonesia

Oleh:  Velix Wanggai








Proses pembuatan kebijakan yang inklusif, terbuka dan partisipatif menjadi agenda penting di era demokratis. Pemerintah tidak bisa lagi menutup diri sebagai pemilik tunggal otoritas dalam pengelolaan pemerintahan, namun hari ini suasana berbeda ketika kekuatan dan otoritas terdistribusi ke berbagai institusi,  aktor dan individu yang berpengaruh.  Implikasinya, negara wajib membuka diri dengan keterlibatan publik dalam berbagai policy-making process. Ini sejalan pula,  dimana negara-negara menjalankan public administration reform di era demokrasi. 

Berbagai pemerintah di belahan dunia membutuhkan kepercayaan publik (public trust). Pertanyaannya,  dengan cara apa sebuah pemerintah menumbuhkan, mengembangkan dan membangun public trust. Pilihan yang terbaik adalah pemerintah terbuka, transparan dan inklusif untuk menghadirkan pelayanan publik, inklusif dengan semua segmen dalam pembuatan kebijakan dan responsif dengan aspirasi publik dalam pengelolaan pemerintah. Intinya,  citizen engagement dalam policy-making menjadi agenda kolektif dari berbagai negara,  termasuk Indonesia. 

Di tataran paradigma pun, telah mengalami arus perubahan dan pergeseran yang besar.  Co-creation, co-production,  colloborative dan networks governance mewarnai arus paradigma di berbagai belahan dunia.  Asumsi dasar itu yang menghadirkan pentingnya nilai-nilai open government dan prakteknya di belahan negara.  Indonesia adalah satu negara pendiri Open Government Partnership di tahun 2011. Saat itu hanya 8 negara, termasuk Amerika Serikat sebagai pendiri OGP yang dideklarasikan di sela-sela Sidang Umum PBB di 2011.

Seiring dengan perjalanan waktu,  kini di tahun 2018 telah berkembang menjadi 79 negara yang bergabung ke dalam Open Goverment Partnership. Dalam menjalankan diplomasi publik, Indonesia pernah sebagai tuan rumah Asia Pacific Leaders Forum on Open Government 2017 (APLF 2017). Ketika iti tema besar yang diusung adalah "Keterbukaan Pemerintah untuk Pembangunan yang Inklusif”.

Bagi Indonesia, pasca reformasi 1998, sebenarnya semangat pemerintah yang terbuka telah menjadi tekad pemerintah.  Jika mendengar kisah dari berbagai negara yang menjalankan nilai open government, kita menyimak bahwa setting sosial,  ekonomi dan politik yang berbeda,  telah berpengaruh bagi kebijakan-kebijakan dalam menerapkan open government.  Hal itu yang dialami oleh Afghanistan,  Armenia,  Georgia,   dan negara-negara lainnya yang berada di era transisi demokrasi. Indonesia telah cukup jauh melangkah dengan berbagai kebijakan negara sejalan dengan nilai open government ini.  Artinya,  persepsi publik,  social capital dan respon pemerintah membuka diri ke publik masih berbeda-beda di setiap belahan negara. 

Di skala makro,  Indonesia membuka ruang bagi perubahan konstitusi,  sebagaimana ditetapkan UUD 1945 Amandemen ke-4 di tahun 2002. Sebelumnya, di tahun 1999 lahir kebijakan di seputar kebebasan bagi lahirnya partai politik,  organisasi masyarakat,  media massa dan otonomi daerah. Suasana ini menandakan kekuasaan tidak hanya di tangan pemerintah semata,  namun juga di institusi-institusi lainnya,  termasuk kekuasaan yang terdesentralisasi ke daerah-daerah dan ke partai politik.  Di tengah semangat keterbukaan pemerintah pasca reformasi 1998, pemerintah terbitkan Inpres No 3  Tahun 2003  tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Kebijakan ini sebagai terobosan mendasar di awal digital governance di Indonesia. 

Semangat keterbukaan ini yang kemudian melahirkan sejumlah regulasi seperti UU 14/2008 terkait Keterbukaan Informasi Publik,  UU 37/2008 perihal Ombudsman Republik Indonesia, UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik,  dan UU No.  6/2014 perihal Desa. Kebijakan yang terakhir ini,  sebagai wujud bagaimana membawa negara hadir lebih dekat ke desa atau kampung.  Dengan kata lain,  membawa pelayanan publik ke akar rumput melalui partisipasi rakyat dalam menentukan masa depan pembangunan di level desa atau kampung.  

Ketika Ministerial Round Table OGP di Seoul,  Menteri PPN/Kepala Bappenas, 
Bambang Brodjonegoro, kembali
menjelaskan contoh praktis kebijakan pembangunan desa melalui dana Desa sebagai terobosan kebijakan dalam menumbuhkan partisipasi publik di akar rumput. Hal ini sebagai gerakan besar dalam transformasi pembangunan nasional. 

Demikian pula,  di tahun 2018 ini, lahir regulasi baru yang senapas dengan nilai keterbukaan pemerintah, yakni Perpres No.  95/2018 perihal Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dan Perpres 16/2018 perihal Pengadaan Barang dan Jasa,  yang dilatari oleh semangat open policy-making. Bahkan,  kini dikenalkan pula,  pendekatan open contracting di dalam proses procurement di Indonesia.  Harapannya, civic engagement semakin besar di policy making arena di Indonesia. 

Apa yang dilakukan Indonesia ini selalu berada dalam radar pantauan komunitas global.  Keseriusan langkah pemerintah akan tercermin dari ranking indikator global,  baik the World Governance Index,  Global Competitiveness Index,  Open Government Index,  Ease of Doing Business,  maupun Government Effectiveness Index.  Dan,  masih ada sejumlah indikator global yang bervariasi seputar birokrasi,  pelayanan publik, partisipasi dan digital governance. Intinya,  membangun trust tidaklah mudah.

Pernyataan menarik diungkapkan oleh Direktur Eksekutif OGP Support Unit Sanjay Pradhan ketika opening remarks Open Government Asia Pacific Regional Meeting,  Seoul,  Korea Selatan, 5 November 2018,  bahwa "the most important thing is how to maintain citizen engagement beyond the election". Pandangan ini sejalan dengan agenda OGP di Seoul, yakni "Promoting participatory democracy, improving governance for a better life for all, and renewing public trust through government innovation".

Komunitas global,  menaruh harap kepada Indonesia sebagai negara besar dengan demokrasi yang matang dan ekonomi yang stabil,  untuk tetap menjadi champion dalam menyebarkan nilai dan praktek keterbukaan pemerintah (open government) dengan landasan kemitraan yang inklusif.  

Sudah saatnya,  pemerintah,  partai politik,  institusi non-negara dan masyarakat sipil untuk saling membuka diri dan bergandengan tangan untuk membuat Indonesia yang lebih baik. Masih banyak agenda yang harus kita lakukan bersama, antara lain seperti public sector innovation, education dan health policy, public consultation framework,  corruption mitigation dan reduction,  inclusive planning and budgetting, inclusive election,  open procurement,  sustainable and smart cities,  dan links antara Open Government dan Sustainable Development Goals (SDGs). Itulah sejumlah agenda yang kita letakkan sebagai action plan Open Government Indonesia pada 2018-2020. 

Memang tidaklah mudah.  Namun kita semua, khususnya pemerintah akan terus melangkah untuk berbuat yang terbaik untuk Indonesia. 

On the Flight,  From Seoul to Jakarta, 
7 November 2018

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...