Jan 12, 2014

Presiden SBY Lanjutkan Gagasan Besar Gus Dur

galeri foto
 | Sabtu, 11 Jan 2014
Rihad Wiranto

Oleh: Velix Wanggai
 
K.H. Abdurrahmand Wahid atau Gus Dur adalah sosok yang sangat fenomenal dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Gus Dur hadir dengan gagasan-gagasan segar, langkah-langkah penuh terobosan, dan kebijakan-kebijakan yang penuh inspirasi. Gus Dur hadir dalam kepolitikan Indonesia dengan memberikan warna Islam substansif, namun sekaligus sebagai pendiri partai politik yang berbasis Nadhiyin.

Kita semua tak akan bisa melupakan jejak langkah Gus Dur, baik sebagai tokoh demokrasi, tokoh agama, maupun tokoh politik, terutama sebagai Presiden Republik Indonesia sejak tahun 1999 2001. Karena itu, ketika Gus Dur wafat pada pukul 18.45 WIB tanggal 30 Desember 2009 semua komponen bangsa menangisi kepergian Gus Dur, dan merajut berbagai kenangan yang ditinggalkan Gus Dur.

Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kakeknya K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nadhalatul Ulama (NU). Di pertengahan 1980-an Gus Dur mendorong NU harus menerima Pancasila sebagai Ideology Negara. Pemikirannya yang terbuka, toleran, dan kritis memberikan warna tersendiri di era Orde Baru maupun di era reformasi pasca jatuhnya Orde Baru.

Dalam peta politik yang sedang bergeser itu, Gus Dur membangun infrastruktur politik baru dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Walaupun hanya mendapatkan 12 persen dalam Pemilu 1999, ternyata Tuhan Yang Maha Kuasa menentukan pilihannya terhadap Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Umum MPR pada 20 Oktober 1999.

Dalam lintasan sejarah ini, Presiden Abdurrrahaman Wahid memanggil Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan menunjuk SBY sebagai Menteri Pertambangan. Kemudian, Presiden Wahid kembali menugaskan SBY menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Hampir dua tahun inilah, SBY secara intens berdialog dari hati ke hati dengan Presiden. Ketika di acara Haul 4 tahun wafatnya K.H Abdurrrahman Wahid di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Januari 2014, Presiden SBY menceritakan “Kenangan dan Kesaksian SBY sebagai adik terhadap Presiden Wahid”.

Jombang, atau yang dikenal sebagai “Kota Santri”, adalah pintu gerbang pada masa kerajaan Majapahit, dan kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. di Kota Santri ini lahir para tokoh Indonesia, seperti pahlawan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, Presiden Abdurrahman Wahid, tokoh intelektual Nucholis Madjid, serta budayawan Emha Ainun Madjid. Di acara Haul di Tebuireng itu, Presiden SBY mencurahkan isi hatinya sebagai adik dan anak buah dari Presiden Wahid sebagai Menteri.

Dalam kesaksiaannya sebagai adik Presiden Wahid, SBY bercerita ada lima (5) pemikiran Presiden Wahid yang sangat strategis, dan SBY sebagai Presiden terus melanjutkan pemikiran Gus Dur dalam pembangunan kebangsaan dewasa ini. SBY “timbali” (dipanggil.pen) oleh Presiden Wahid, baik dalam keadaan santai, setengah serius sampai masalah yang sangat serius” tandas Presiden SBY di depan ribuan santri dan masyarakat yang menghadiri haul Gus Dur.

Pertama, Gus Dur sungguh ingin agar dalam negara ini hadir masyarakat yang majemuk, bangsa yang rukun. Bangsa ini betul-betul rukun. Ini agenda sepanjang masa. Dalam diri Gus Dur, apa yang diucapkan, diperjuangkan, bangsa ini rukun, damai, toleran, dan saling mengayomi.

Kedua, Gus Dur memperjuangkan hilangnya diskriminasi dengan alasan apapun. Di saat menjabat ini, Presiden Wahid tidak mentolerir praktek diskriminatif yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Gus Dur menetapkan kebijakan yang mengurangi diskriminasi dan menegaskan negara memuliakan kemajemukan. Kata Presiden SBY, saya hanya melanjutkan apa yang dipikirkan oleh Gus Dur. Menjadi tidak baik jika di negeri ini masih ada diskriminasi.

Ketiga, Gus Dur ingin peran Negara tidak dominan, sebaliknya peran rakyat diperbesar. Dalam sistem otoritarian, negara mengatur, aparatur negara dan polisi. Beliau ingin memberi ruang yang luas bagi rakyat. Ini pemikiran beyond zamannya. Cara berpikir kita masih dalam bayang-bayang otoritarian. Gus Dur minta seimbang, keseimbangan antara the state dan the people. Kedepan, negara dikurangi perannya, dan sebaliknya rakyat yang kelola konflik misalnya. Sekarang belum terwujud benar, namun kita perjuangkan untuk 10 20 tahun.

Keempat, Gus Dur mengatakan Negara tidak bisa mengontrol pemikiran warganya. Ini isu yang sensitif. Jika warga sudah matang, maka negara memberi ruang bagi warganya untuk berpartisipasi. Kita belum matang, maka kita menuju proses pematangan. Presiden SBY mendukung ide Gus Dur untuk memperjuangkan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

Kelima, hubungan sipil dan militer yang sehat. Banyak negara, militer yang kuasai posisi penting dan pilitik, sehingga demokrasi tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya, rakyat dominan sehingga instabilitas tercipta. Harus ada hubungan yang sehat antara sipil dan militer. Contoh, memutuskan perang adalah otoritas Presiden sebagai pemegang kekuasaan politik. Militer bertugas untuk menjaga keutuhan negara. Inilah gagasan besar yang dirasakan SBY selaku anak buah Presiden Abdurrahman Wahid.

Di akhir kesaksiannya, Presiden SBY berujar: “Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, adalah tokoh besar yang pemikirannya seringkali mendahului jamannya. Sekarang kita lihat kehadiran begitu banyak massa yang berziarah dan memberi penghormatan kepada Gus Dur menunjukkan bahwa walaupun Gus Dur sudah wafat, beliau masih bersemayam di hati rakyat”. Kita kembali teringat ketika di hari pemakaman Presiden Wahid, pada 31 Desember 2009, Presiden SBY mengajak semua anak bangsa untuk mengenang jasa-jasa Gus Dur.

“Sebagai pejuang reformasi almarhum selalu ingat akan gagasan universal bahwa kita menghargai kemajemukan melalui ucapan, sikap dan perbuatan. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik, dan kedaerahan. Beliau adalah Bapak multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia”, demikian pernyataan Presiden SBY ketika prosesi pemakaman Gus Dur.

Sepuluh tahun terakhir ini, Presiden SBY melanjutkan gagasan-gagasan besar Gus Dur. Masih dalam semangat pemikiran kemajemukan, toleransi, dan anti-diskriminasi ini, pemikiran dan kebijakan Gus Dur untuk Papua diwarnai dengan pendekatan kultural dan akomatif. Pola akomodasi yang bersifat kultural inilah yang mendorong komponen masyarakat Papua menjuluki Gus Dur sebagai Bapak Demokrasi Papua. Pilihan pendekatan ini yang kemudian Presiden SBY lanjutkan guna penghormatan kultural.

Dalam 100 hari kepemimpinannya pada akhir 2004, Presiden SBY membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural yang resmi dalam payung Otonomi Khusus bagi Papua. Hari-hari ini, Presiden SBY terus melanjutkan pendekatan kultural untuk merawat dan mengembangkan situs pekabaran Injil di Pulau Mansinam, Provinsi Papua Barat.

Di tengah kemajemukan bangsa, tugas kolektif kita semua untuk selalu merawat ikatan kultural dan kebangsaan dalam format pembangunan yang inklusif. Nilai toleransi, solidaritas, kesetiakawanan sosial, dan harmoni menjadi nilai-nilai mulia yang wajib kita rajut, rawat, dan kembangkan di tengah-tengah perubahan sosial yang terjadi. Kata Presiden SBY, ia melanjutkan gagasan-gagasan besar Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme, dan juga Gus Dur sebagai Bapak Demokrasi Papua.




No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...