Aug 17, 2014

INDONESIA UNTUK SEMUA: TANTANGAN DALAM HALUAN PEMBANGUNAN NASIONAL




(Artikel ini dimuat di Jurnal Negarawan, Sekretariat Negara 2014)

Tahun 2014 adalah tahun politik. Sebuah masa yang ditandai oleh prosesi demokrasi untuk perubahan kepemimpinan nasional, baik Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, termasuk sirkulasi elit nasional di arena legislatif, baik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Tahun ini adalah tahun transisi politik baik transisi dari aspek figur nasional, pendekatan mengelola negara, maupun pilihan kebijakan pembangunan nasional. Transisi ini tidaklah dimaknai keterputusan dari masa sebelumnya, namun transisi dimaknai sebagai keberlanjutan dan penyempurnaaan menuju Indonesia yang lebih baik.

            Tahun politik yang ditandai dengan masa kampanye baik Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden telah kita lalui. Sejauh ini kita telah berhasil menjalani tahapan demi tahapan berdemokrasi dengan aman, lancar, dan damai. Langkah demi langkah sejak Januari 2014  hingga Agustus 2014 memberikan pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia layak dijuluki sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sejumlah pemimpin dunia memberikan apresiasi atas keberhasilan Indonesia di dalam mengelola prosesi pesta rakyat ini. Pemimpin dunia menegaskan bahwa rakyat Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi. 

            Dari sisi prosedur demokrasi yang kita jalani saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014 nomor urut dua saudara Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan perolehan suara 70.997.833 suara atau 53,15 dari total suara sah nasional. Sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, saudara Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa memperoleh suara sebanyak 62.576.444 suara atau 46,85 persen. Prosesi demokrasi in masih berlanjut di arena hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, rakyat Indonesia masih menanti keputusan MK untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa bakti 2014-2019.

MENGELOLA VISI NASIONAL DI ERA YANG BERUBAH 

Setiap era kepemimpinan nasional, Presiden Republik Indonesia, menghadapi tantangan sesuai zaman, dan memiliki gaya, pemikiran, dan strategi tersendiri di dalam mengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Presiden Soekarno hadir di zaman perjuangan kemerdekaan dan berhasil membangun fondasi bernegara. Presiden Soeharto hadir dengan memadukan stabilitas politik, pembangunan, dan pemerataan. Trilogi Pembangunan menjadi narasi besar dalam kepolitikan Orde Baru. Mundurnya Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun telah membawa perubahan besar di Indonesia hampir di segala bidang.  Kita telah menyaksikan UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali dan diikuti dengan munculnya berbagai undang-undang turunannya.  Walaupun ekonomi Orde Baru menunjukkan  prestasi yang baik, tetapi Orde Baru juga ditandai dengan berbagai permasalahan mendasar.

Di era reformasi pasca 1998 Presiden B.J Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki komitmen  dalam menata transisi politik, termasuk mengelola konflik di berbagai daerah. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak 2004 hingga 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membawa Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru di dunia, telah melanjutkan tradisi demokrasi yang semakin terkonsolidasi, dan telah menguatkan profil Indonesia sebagai ‘regional power, global player’.
 
            Ke depan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih membawa amanah rakyat untuk membawa Indonesia yang lebih baik dari dari apa yang telah diletakkan oleh Presiden SBY. Saat ini kita telah memiliki Visi Nasional Indonesia Tahun 2005 – 2025, yang telah ditegaskan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional. Visi Nasional itu, yakni Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Ini bukan Visi Nasional yang ditetapkan oleh Presiden semata, namun ini adalah Visi Nasional yang telah disepakati oleh para wakil rakyat di DPR dan Pemerintah dalam payung UU No. 17 Tahun 2007.  Harapannya, di tahun 2025, kelembagaan demokrasi semakin mantap, peran masyarakat sipil semakin kuat, kualitas desentralisasi dan otonomi daerah semakin kuat, media dan kebebasan media yang bertanggungjawab, struktur hukum dan budaya hukum semakin baik dan penegakkan hukum yang adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil.

Setiap langkah dalam perjalanan politik Indonesia memiliki catatan positif maupun catatan pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Konstruksi ketatanegaraan dan sistem distribusi kekuasaan ini terkait dengan pilar negara kita Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan  sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil. Hadirnya perubahan UUD 1945 ini akhirnya memberikan ruang bagi terbitnya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik sebagai upaya dalam merumuskan format politik baru Indonesia. Perubahan ini memberi peluang bagi pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan politik, namun tidak jarang penataan kelembagaan ini menimbulkan konflik-konflik kepentingan. 

Redistribusi kekuasaan dalam konstruksi kenegaraan kita ini, sebenarnya memberikan pesan bahwa Presiden tidak lagi memegang kekuasaan yang absolut dan Presiden tidak menjadi kekuatan tunggal di dalam menentukan arah perjalanan politik bangsa. Disinilah, ada distribusi peran dan tanggungjawab diantara lembaga-lembaga negara, dan semua pemangku kepentingan untuk memajukan arah pembangunan nasional.

JEJAK LANGKAH PRESIDEN SBY:  “REVOLUSI DIAM-DIAM” (SILENT REVOLUTION)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat amanah di tengah situasi transisi yang tidak gampang. Dalam pidato perdana di Istana Merdeka, pada 20 Oktober 2004, Presiden SBY menegaskan bahwa “bagi pendiri bangsa, tantangan terbesar adalah membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Bagi generasi kita tantangan terbesar adalah membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan secara khusus, memperkuat proses konsolidasi demokrasi, serta menuntaskan agenda reformasi”. 

Selanjutnya, Presiden SBY mengatakan kepada publik bahwa, “Dalam beberapa bulan mendatang, Pemerintahan akan mencurahkan perhatian untuk menata masalah-masalah dalam negeri. Pemerintah akan menstimulasi kehidupan ekonomi. Pemerintahan akan menjalankan ekonomi terbuka. Pemerintahan akan memprioritaskan dan menata kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pemerintahan akan terus meningkatkan produktifitas dan daya saing dan menggalakkan investasi untuk pembangunan infrastuktur. Pemerintahan akan memberi perhatian khusus dalam penanganan korupsi. Pemerintahan akan memberi perhatian khusus terhadap penanganan situasi konflik di Aceh dan Papua. Pemerintahan akan memberikan perhatian khusus pada desentralisasi dan otonomi daerah…insya Allah, dengan kebersamaan dan kerja keras kita, kita akan mampu mewujudkan kondisi Indonesia yang lebih baik, lebih aman, lebih adil, dan lebih sejahtera”.

Dalam memulai pemerintahan SBY sejak 2004, Presiden SBY meletakkan kepemimpinannya ke dalam 2 Strategi Dasar. Pertama, Strategi Penataan Kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelematkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan konsensus dasar kita, yakni Pancasila, UUD 1945, tetap tegaknya NKRI, dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Kedua, Strategi Pembangunan Indonesia  yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang guna pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.

Dalam kepemimpinan Presiden SBY selama hampir satu dasawarsa ini, Indonesia telah melakukan “revolusi diam-diam” (silent revolution) dalam berbagai aspek kehidupan.  Silent revolution itu hadir dalam konteks perubahan budaya hingga perubahan struktural dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. 

Dalam suatu kesempatan, Presiden SBY pernah bercerita perihal mosaik Reformasi Gelombang Pertama, yang pernah berkembang lima skenario yang bisa terjadi di Indonesia. Yang pertama, ada ramalan bahwa Indonesia akan mengalami “balkanisasi”. Skenario kedua, melihat Indonesia berubah menjadi negara Islam bergaris keras, karena munculnya sentimen keagamaan yang ingin meminggirkan ideologi Pancasila. Skenario ketiga, Indonesia akan berubah menjadi negara semi otoritarian yang arahnya tak jelas. Skenario keempat justru melihat Indonesia berjalan mundur, kembali memperkuat negara otoritarian. Dan hanya sedikit yang meramalkan bahwa Indonesia bisa menjalankan skenario kelima, yaitu menjadi negara demokrasi, terlebih lagi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasikan. 

Setelah sepuluh tahun berjalan, 2004 – 2014, ternyata rakyat Indonesia telah berjalan menjadi negara demokrasi yang stabil dan terkonsolidasi. Di awal pemerintahannya, Presiden SBY mengubah paradigma dan strategi pembangunan nasional.  Ketiadaan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era reformasi telah mendorong Presiden SBY untuk menghadirkan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025.  Presiden SBY pernah menyampaikan agar pikiran-pikiran besar digali dan dirumuskan ke dalam strategi pembangunan yang sesuai konteks Indonesia.  Ekonomi Indonesia memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Pertumbuhan ekonomi yang dianut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil.

Hari ini Indonesia telah berjalan di rel demokrasi yang semakin berkelanjutan (sustainable democracy). Demokrasi juga hadir menghargai identitas sosial yang majemuk.  Jejak langkah Presiden SBY tampak juga di Aceh, Yogyakarta, dan Papua. Konflik Aceh yang panjang dapat ditransform ke ruang demokrasi yang damai dalam payung UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yogyakarta juga memasuki era baru dengan hadirnya UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ruang demokrasi lokal yang berbasis budaya dan kebijakan sosial-ekonomi juga didorong secara intensif di Papua dan Papua Barat. Bahkan, ketika berpidato pada 16 Agustus 2013, Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilai tambah dan terobosan baru untuk kemajuan dan kemuliaan Papua. Maksudnya, kebijakan baru Otonomi Khusus Plus untuk Papua.

Dimensi kewilayahan ini juga mendapat perhatian. Hal itu tampak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Presiden SBY mendorong percepatan pembangunan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa, sambil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Sejalan dengan itu,  diluncurkan pula Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025. Melalui MP3EI, pendekatan terobosan (breakthrough), tidak ‘business as usual’, dan kebijakan terpadu (integrated policy) dilakukan dalam pengembangan 6 koridor ekonomi wilayah, konektifitas wilayah, dan sumber daya manusia.  

Ke depan kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri yang berdimensi kewilayahan, dengan pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh tanah air. Daerah-daerah menjadi kekuatan ekonomi lokal. Dan, menariknya,  ekonomi nasional dilandasi oleh mekanisme pasar untuk efisiensi, tetapi juga memberikan ruang bagi peran pemerintah yang tepat untuk menjamin keadilan. Disinilah, strategi pro-pertumbuhan, pro-lapangan kerja, pro-rakyat miskin, dan pro-lingkungan diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional.

Di mata dunia internasional, Indonesia disebut sebagai “remarkable Indonesia” – bangsa yang dinilai berhasil dalam mengatasi krisis dan tantangan yang berat dan kompleks dalam 10 tahun terakhir ini. Indonesia hadir sebagai “an emerging country”, dan dipandang sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat dan India. Dalam hal hubungan internasional, sejak 20 Oktober 2004 Presiden SBY telah menyapa sahabat-sahabat Indonesia di dunia internasional dimana Indonesia tetap berpegang teguh pada politik bebas aktif, memajukan perdamaian, meningkatkan kesejahteraan, dan membela keadilan. Indonesia akan terus tumbuh menjadi bangsa yang demokratis, terbuka, modern, pluralistik dan toleran. 

Arah kebijakan dasar luar negeri itu kembali ditekankan dalam pidato awal jabatan di Gedung MPR, pada 20 Oktober 2009.  Saat itu, Presiden SBY menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia akan terus menjalankan politik bebas aktif,  memperjuangkan keadilan dan perdamaian dunia, dan  mengobarkan nasionalisme yang sejuk, moderat dan penuh persahabatan, dan sekaligus mengusung internasionalisme yang dinamis.  “All directions foreign policy”, “a million friends and zero enemy”, menjadi arah baru dalam hubungan luar negeri.
 
Komitmen Presiden SBY di awal pemerintahannya tahun 2004 dan Oktober 2009  dilaksanakan secara konsekuen. Indonesia aktif dalam menggerakkan negara-negara dalam agenda perubahan iklim, aktif  mempromosikan pendekatan ‘growth with equity’ di berbagai forum G-20 maupun APEC, serta aktif mempromosikan kerukunan antar peradaban, maupun aktif mempromosikan konsep keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) dalam arsitektur dunia baru.  Pada aspek hubungan bilateral, Presiden SBY mendorong adanya kemitraan komprehensif  (comprehensive partnership) maupun kemitraan strategis (strategic partnership) dengan berbagai negara. Salah satu peran penting dalam promosi nilai demokrasi adalah dengan menggelar Bali Democracy Forum (BDF). Misalnya saja, di tahun 2013, tema yang diangkat dalam BDF adalah Consolidating Democracy in Pluralistic Society.
 
Indonesia juga mendapat kehormatan dari dunia, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan amanah kepada Presiden SBY untuk memimpin High Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda.  Sebagai pengganti Millenium Development Goals (MDGs),  pada tanggal 31 Mei 2013 Presiden SBY telah menyerahkan dokumen ‘A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development’ kepada Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon.  Kepercayaan kepada Indonesia adalah bukti kepemimpinan Indonesia di dalam mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik, damai, adil, dan demokratis.  

Namun, sebagai renungan ke depan, Presiden SBY mengingatkan kita semua agar semua prestasi yang telah dicapai dalam 10 tahun terakhir ini, janganlah membuat kita lengah, lalai, apalagi besar kepala. Pekerjaan besar kita masih belum selesai. Ibarat perjalanan sebuah kapal, ke depan, kita akan mengarungi samudra yang penuh dengan gelombang dan badai. 

Kita semua menyadari bahwa menjadi Presiden di negara multi-etnik, negara yang baru keluar dari krisis nasional seperti Indonesia tidaklah gampang. Tidaklah semudah membalikkan tangan untuk membawa Republik Indonesia ke arah yang lebih baik. Seiiring dengan tantangan itu, kita semua harus tetap optimistik, semangat harus bisa (can do spirit), dan bersatu membangun bangsa. 

TANTANGAN KE DEPAN

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 mengemban amanat yang tidak ringan. Apa yang telah dicapai dan diletakkan oleh Presiden SBY, adalah kekuatan, sekaligus modal bagi Presiden dan Wakil Presiden baru. Banyak prestasi yang telah dicapai. Namun, ada juga pekerjaan rumah yang harus dibenahi.  Tugas mulia dari seluruh anak bangsa adalah melanjutkan apa-apa yang telah baik di era Presiden SBY, dan kemudian menata dan memperbaiki pekerjaan rumah yang belum selesai. Haluan pembangunan nasional telah ditegaskan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025.

Kita semua meyakini bahwa saat ini Indonesia telah berjalan di rel yang benar di dalam memilih demokrasi. Satu hal yang perlu dicamkan oleh Presiden dan Wakil Presiden baru bahwa Presiden tidak menjadi kekuatan tunggal yang hegemonik. Kekuasaan telah terdistribusi, baik  ke samping maupun ke bawah. Artinya, kekuasaan tersebar ke legislatif dan lembaga-lembaga negara lainnya. Kekuasaan juga terdistribusi ke partai-partai sebagai kekuatan politik yang pluralis dalam sistem multi-partai. Demikian pula, pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah menandai kekuasaan pusat yang terdistribusi ke daerah-daerah. 

Narasi kepolitikan seperti ini memberikan makna bahwa Presiden tidak menjadi faktor tunggal dan dominan. Untuk itu, pembangunan bangsa dan negara ini menjadi agenda kolektif dari semua komponen bangsa.  Presiden hadir untuk memberikan haluan pembangunan, dan sebaliknya, semua anak bangsa bahu membahu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran negara ini. Tugas Presiden baru adalah memperkuat desain pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok Tanah Air. Salah satu komitmen itu melalui pembangunan yang berdimensi kewilayahan.  Kesejahteraan dan keadilan di desain dalam konteks percepatan pembangunan wilayah luar Jawa, sambil tetap menjaga momentum pembangunan di Pulau Jawa. Kebijakan kewilayahan ini diikuti dengan komitmen desentralisasi fiskal yang semakin mengalir ke daerah-daerah.

Presiden baru akan mengelola negara yang majemuk. Di tengah-tengah kemajemukan bangsa, baik etnik, suku, agama, identitas budaya, bahkan warna politik, maka wajib hukumnya bagi Presiden dan Pemerintahan baru hadir untuk memuliakan jatidiri dan martabat dari semua anak bangsa. INDONESIA UNTUK SEMUA ADALAH KOMITMEN BERSAMA KITA yang merupakan haluan bagi pembangunan nasional.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...