May 24, 2012

Merawat Nasionalisme Kaum Muda

| Kamis, 24 May 2012
Rihad Wiranto
Velix Wanggai
 

Empat hari lalu, tepatnya tanggal 20 Mei 2012, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia. Kita sepakati bahwa proses menjadi sebuah bangsa (to be a nation) bermula dari berdirinya Budi Utomo 1908. Tonggak sejarah kebangsaan ini kemudian berlanjut dengan kategorisasi periodik gerakan kebangkitan bangsa yang kita kenal dengan sebutan angkatan 08, 28, 66, 70-an, dan 80-an, maupun 1998. Fase-fase kebangkitan itu semuanya dipelopori kaum muda Indonesia.

Kesadaran kebangsaan itu terus hidup dalam derap langkah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dan menjadi bagian penting di dalam pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Suatu pernyataan yang memberikan kesadaran eksistensial kepada rakyat Indonesia sekaligus penegasan kepada dunia bahwa tidak boleh ada penjajahan oleh satu bangsa atas bangsa lainnya.

Bangsa (nation) adalah kumpulan suku-suku/sub suku, kumpulan etnis/sub etnik dalam suatu teritori tertentu yang melalui proses sejarahnya menyatu dalam satu cita-cita yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Perasaan yang sama dan tujuan bersama tersebut kemudian menjadi kesadaran kolektif yang kita kenal sebagai nasionalisme. Pengertian ini sejak Renan, Bauer, Stoddard hingga Kuhn tidak mengalami pergeseran berarti. Yang berbeda disini tentu nuansanya. Tergantung pendekatan apa yang digunakan, apakah sekedar warisan identitas primordial ataukah konstruksi kontemporer.

Hemat penulis, tantangan paling berat yang dihadapi oleh nasionalisme adalah globalisme. Bangsa-bangsa di dunia secara nasional adalah negara-negara dengan pemerintahannya sendiri, tetapi secara global, mereka adalah dunia yang tak memiliki sekat (borderless world) antara satu dan lainnya. Dengan kata lain, di era globalisasi saat ini, tidak ada bangsa yang bisa berdiri sendiri. Tidak ada satu pun negara dunia ini yang terdiri dari satu ras manusia.

Pertanyaannya, apa yang mau dibanggakan dari nasionalisme Indonesia? Gejala sosial akhir-akhir ini memberikan tantangan tersendiri. Basis-basis sosial yang diharapkan tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit nasionalisme itu kini perlu dijaga dan dirawat. Kita khawatirkan lagu-lagu nasional, peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah nasional, khazanah kebudayaan suku bangsa Nusantara semakin tidak lagi memiliki ruang simpan di dalam memori generasi muda.


Kita perlu memaknai dengan hati-hati fenomena sosial di dunia musik kita. Sebagian orang menilai bahwa fenomena Boysband dan Girlsband anak muda Indonesia yang mengcopy-paste warna musik dan gaya panggung anak muda Korea semakin seolah mempertegas bahwa kita kehilangan identitas kebangsaan. Termasuk dengan pro-kontra konser Lady Gaga. Juga, kemajuan teknologi informasi justru lebih banyak menjadi pusat perhatian mereka. Bayangkan saja, secara tidak sadar berapa kali seorang anak memencet tombol-tombol ponselnya, ketimbang memikirkan bacaan sejarah bangsanya. Masalah sederhana semacam ini patut menjadi tugas kolektif kita.

Bagaimana kita menyikapi identitas kebangsaan di tengah-tengah globalisasi? Terkait nasionalisme ini, Presiden SBY sangat setuju dengan pandangan Presiden Soekarno. Tahun lalu, pada 1 Juni 2011 lalu, Presiden SBY menyatakan bahwa nasionalisme kita, bukanlah chauvinisme, tetapi nasionalisme menuju persatuan dunia. "Tidak perlu ada konflik antara nasionalisme dengan kemanusian, atau keduniaan. Bahkan dalam kalimat yang lain, Bung Karno menyatakan nasionalisme bergandengan erat dengan internasionalisme atau kemanusiaan", demikian kata Presiden SBY.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...