Nov 29, 2012

Menyapa Komunitas Adat Terpencil

 
 Jurnal Nasional | Kamis, 29 Nov 2012

Oleh: Velix Wanggai
 

Setelah terbang dari Merauke dengan helikopter sekitar dua jam, akhirnya penulis bersama Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Christian Zebua, Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Hartono Laras, dan rombongan Kemsos tiba di Kampung Basman, Kabupaten Mappi. Di kampung Basman ini, kami disambut dengan ratusan saudara kita asal suku Korowai yang secara tradisi tinggal di atas pohon. Sambil memegang busur panah dan tombak, mereka menari dengan balutan daun yang menutupi tubuh mereka. Namun, di antara mereka ada juga telah menggunakan busana.

Suku Korowai dinamai sebagai ‘suku anak pohon'. Mereka membuat rumah di atas pohon di ketinggian sekitar 5-15 meter, bahkan hingga mencapai seitar 40 meter. Suku Korowai ini tersebar di Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, dan Kabupaten Asmat. Jumlahnya belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 10.000 jiwa. Mereka hidup sebagai peramu dan masih berpindah-pindah. Dalam perspektif kebijakan Pemerintah, suku Korowai digolongkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Menurut data Kementerian Sosial, bahwa di wilayah Papua masih ada sekitar 25.000 keluarga yang diklasifikasikan sebagai KAT, dan sekitar 5.000 KK di wilayah Papua Barat. Sebagai bagian dari strategi pemberdayaan masyarakat Papua, Pemerintah melalui Kementerian Sosial membangun 104 rumah baru kepada Suku Korowai, membangun pos pelayanan kesehatan, dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat disekitar rumah baru. Ke depan, Pemerintah sedang menyusun langkah-langkah aksi yang terpadu untuk Suku Korowai (Integrated Korowai Development Action).
 
Selain Suku Korowai, Suku Asmat, dan Suku Dani di Papua, ada Suku Kubu atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam di Sumatera, tepatnya di Jambi dan Sumatera Selatan, yang diperkirakan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Di ujung barat pulau Jawa, khususnya di Banten, ada Suku Baduy atau Orang Kanekes yang berjumlah sekitar 5.000 hingga 8.000 orang. Di Kalimantan ada Suku Dayak yang sebagian masih tinggal di wilayah pedalaman Kalimantan. Sementara di Sulawesi ada Suku Wana yang sering disebut sebagai Tau Taa Wana yang tinggal di Sulawesi Tengah bagian Timur. Secara keseluruhan jumlah KAT di seluruh pelosok tanah air yang belum diberdayakan sekitar 118.696 KK.

Penanganan Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah salah satu agenda yang kita hadapi dewasa ini. Kita ingat Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan Sidang DPR pada 16 Agustus 2012 menegaskan bahwa "Kita berjuang untuk mengangkat taraf hidup Komunitas Adat Terpencil (KAT) di berbagai wilayah pedalaman". Hal ini adalah komitmen Pemerintah untuk membangun daerah dengan pendekatan yang berdimensi kewilayahan. Karena itu, memberdayakan KAT perlu didekati secara komprehensif dan terpadu.

Tidak hanya itu, komitmen untuk memberdayakan KAT di berbagai wilayah pedalaman yang terpencil merupakan bagian penting dari kesetiakawanan sosial diantara sesama anak bangsa. Pekerjaan rumah kita bersama adalah mengatasi soal kemiskinan. Dengan semangat berbagi, kekeluargaan, dan kebersamaan, kita tidak ingin bangsa ini sejahtera yang hanya didukung oleh sentra-sentra bisnis di perkotaan saja, namun Indonesia yang sejahtera juga harus didukung dan dinikmati oleh saudara-saudara kita yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara.

Inilah makna Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang sesungguhnya, dan sudah saatnya kita mendeklarasikan suatu Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial yang lebih inklusif.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...