Jan 17, 2013

Demokrasi Ala SBY

galeri foto

Jurnal Nasional | Kamis, 17 Jan 2013
Oleh: Velix Wanggai
 
Apakah kita memilih orang kuat (strong man) ataukah sistem yang kuat? Satu pertanyaan menarik yang diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika memberikan Presidential Lecture di hadapan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), di Jakarta, 15 Januari 2013. Indonesia Democracy Outlook adalah tema dari kuliah umum Presiden. Kuliah umum hampir satu jam itu terasa menarik, namun begitu cepat berlalu.

Ada enam poin penting. Pertama, Presiden percaya model demokrasi tidak tunggal. Memang benar, ada nilai universal, namun ada juga nilai lokalitas yang melatari suatu bangsa. Yang terpenting adalah partisipasi rakyat, menghargai perbedaan, dan tidak ada kekerasan. Syukur, kita berhasil untuk mengelola demokrasi, pembangunan, dan agama (Islam) berjalan bergandengan tangan.

Kedua, apakah demokrasi kita berada di rel yang benar? Presiden SBY bercerita bahwa para analis di luar negeri pernah membuat 5 skenario masa depan demokrasi Indonesia. Mulai dari skenario Indonesia terpecah-pecah (balkanisasi), skenario Indonesia negara gagal, skenario Indonesia dikuasai kelompok Islam, skenario Indonesia semi-otoriter, dan skenario jalan panjang Indonesia berhasil meraih demokrasi.

Dari skenario itu, Presiden SBY optimistik Indonesia dapat merajut demokrasi. Kita menyaksikan perkembangan demokrasi sejak 1998. Situasi ini memberikan harapan bahwa demokrasi telah berjalan. Namun, apakah demokrasi telah sempurna? Presiden SBY berpendapat demokrasi kita belum sempurna dan perlu waktu untuk menata dan menyempurnakannya.

Ketiga, bagaimana kaitan antara demokrasi dan pembangunan. Kisah dari dua variabel ini sebagai isu menarik di berbagai belahan negara. SBY yakin bahwa Indonesia pasca reformasi ini telah berhasil menyeimbangkan dua pilihan itu, baik yang demokrasi yang tertata dan pembangunan yang inklusif. Memang ada ekses, namun itulah tugas kita untuk mengelola persoalan yang hadir.

Keempat, kita dihadapkan pada pilihan, apakah memilih orang kuat (strong man) ataukah sistem yang kuat. Orang kuat dianggap membahayakan demokrasi ketika memerintah dengan represif dan otoriter. Hal itu dapat menyalahgunakan kekuasaan. Presiden itu datang dan pergi dari hasil Pemilu. Presiden SBY berpandangan bahwa pilihan Indonesia adalah membangun sistem dan institusi yang kuat sehingga siapapun pemimpin nasional dapat membawa bangsa ini ke rel yang tepat. Tentu saja kita perlu memilih orang yang tepat untuk membangun sistem yang kuat.

Kelima, kita tidak boleh lupa, Indonesia dibentuk dari setting yang pluralis. Bagaimana demokrasi yang cocok di tengah kemajemukan bangsa. Perbedaan dianggap sebagai kekuatan, namun juga sebagai potensi konflik. Karena itu, model demokrasi Indonesia harus disandarkan pada kemajemukan dan nilai-nilai toleransi, solidaritas, dan kekeluargaan. Tugas kita adalah mengkonsolidasi demokrasi dan desentralisasi yang multikultur. Disinilah, pilihan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) adalah model yang cocok untuk bangsa yang plural.

Dan keenam, pola demokrasi langsung untuk memilih Presiden adalah amanah konstitusi. Sedangkan, Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota juga menerapkan pola pemilihan langsung, walaupun UUD tidak menyatakan demikian. Karena itu, Presiden SBY berpandangan perlu diskusi yang matang untuk memilih pola pemilihan yang tepat untuk Gubernur dan Bupati/Walikota, dan juga menyempurnakan proses Pilpres.

Itulah enam poin demokrasi ala SBY. Kini tugas kita adalah tetap menjalankan konsolidasi demokrasi yang berkelanjutan. Marilah kita membangun demokrasi yang berkeadaban.

galeri foto

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...