Aug 15, 2013

Indonesia untuk Semua

Jurnal Nasional | Kamis, 15 Aug 2013
Ahmad Nurullah

Velix Wanggai 
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah




DUA hari lagi kita semua anak bangsa memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-68. Tahun 2013 ini adalah tahun yang penuh makna dalam perjalanan sejarah bangsa. Tahun ini bertepatan pula dengan peringatan 115 tahun Kebangkitan Nasional; 85 tahun Sumpah Pemuda; dan 15 tahun Reformasi.

Momen ini sebagai tonggak-tonggak sejarah yang membuktikan jati-diri Indonesia sebagai bangsa yang besar. Setiap masa ada konteks dan tantangan tersendiri. Tantangan datang silih berganti, membuat kita lebih bersatu. Limabelas tahun terakhir, bangsa ini telah dan terus melakukan eksperimen perubahan dalam berbagai sektor kehidupan.

Tentu ada kendala dan persoalan dalam proses perubahan itu. Namun kita berhasil terhindar dari perpecahan, terhindar dari negara semi-otoritarian, terhindar dari negara yang fundamentalistik, serta terhindar dari kembalinya negara otoritarian. Hari ini kita mengelola transisi demokrasi, bahkan dinilai sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Dalam suasana hari Kemerdekaan Indonesia ini, kita teringat dengan ucapan Presiden Soekarno bahwa kemerdekaan adalah “jembatan emas‘. Jembatan emas apa? Ini berarti kita beralih dari alam kegelapan penjajahan dan memasuki alam kemerdekaan, penuh sinar harapan. Penegasan makna jembatan emas ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandung cita-cita dan tujuan nasional kita.

Para pendiri bangsa berjanji mendirikan suatu negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur‘. Para pendiri bangsa juga berjanji “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam suatu kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berujar bahwa tugas kita hari ini adalah harus tetap menjaga aset terpenting dari revolusi kemerdekaan kita: yaitu persatuan Indonesia. Persatuan adalah awal dari kebangkitan. Persatuan adalah kekuatan. Persatuan adalah syarat utama bagi kelestarian Bhinneka Tunggal Ika.

Hari-hari ini, kata Presiden SBY, kita telah melalui 15 tahun Reformasi Gelombang Pertama, konsolidasi politik dan konsolidasi demokrasi telah berhasil melewati masa-masa yang paling sulit. Setelah didera krisis multidimensional, bangsa Indonesia telah bangkit kembali.

Kini, Indonesia bukan hanya telah pulih dari krisis moneter, namun telah menjadi negara demokrasi yang sangat dinamis. Sehingga tidak mengejutkan, kata Presiden SBY, bila ada yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya revolusi diam-diam, the quiet revolution. Kita telah alami reformasi besar, juga sebuah transformasi total.

Sebagai Presiden sekaligus Kepala Negara, yang mengakhiri masa jabatannya pada 20 Oktober 2014, Presiden SBY mengajak kita memasuki bentangan waktu ke depan dalam melaksanakan Reformasi Gelombang Kedua. Agenda-agenda Reformasi Gelombang Kedua ini adalah menuntaskan agenda-agenda reformasi yang telah dilaksanakan.

Prinsip ke depan adalah Perubahan (change) dan Kesinambungan (continuity). Kita letakkan Reformasi Gelombang Kedua ini dalam konteks Visi Indonesia 2025. Visi yang terukur yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yakni “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur‘.

Inilah Visi Indonesia 2025 yang wajib dijalankan oleh siapa pun pemimpin nasional Indonesia. Tugas kita semua adalah merangkai perubahan dan kelanjutan itu tahap demi tahap, sejak Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional periode 2005-2009; RPJM 2010-2014; RPJM 2015-2019; dan RPJM 2020-2024.

Sesuai Visi 2025, kemandirian adalah hakikat kemerdekaan. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya saling ketergantungan. Bangsa kita juga harus maju. Kemajuan itu harus dinilai dengan berbagai ukuran, baik dari indikator sosial, kependudukan, pendapatan, dan indikator kelembagaan politik yang mantap.

Sejalan dengan itu, keadilan dan kemakmuran adalah visi nasional yang harus kita wujudkan. Rakyat tidak hanya obyek, namun juga sebagai subyek pelaksana dan penggerak pembangunan. Bangsa yang adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apa pun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Inilah prinsip dasar Indonesia untuk Semua.

Dalam perjalanan bangsa ini, sudah mestinya kita mengedepankan nilai-nilai lokal, serta sifat dasar bangsa kita yang majemuk. Demokrasi yang menghargai kemajemukan dan didesain untuk memuliakan jatidiri bangsa yang plural. Sistem multipartai adalah pilihan sistem politik kita. Desentralisasi dan otonomi daerah juga merupakan strategi nasional untuk mengakui dan menghargai karakter khas dari masing-masing daerah yang beragam.

Pilihan ekonomi nasional yang wajib menempatkan daerah-daerah sebagai pusat-pusat keadilan di seluruh negeri. Ini berarti redistribusi pembangunan ke luar Jawa dilakukan. Keanekaragaman ini menjadi latar belakang konteks bagi pengambil kebijakan di setiap Kementerian/Lembaga dalam merumuskan dan menjalankan setiap kebijakan dan program.

Akhirnya, masyarakat internasional juga menunggu peran strategis Indonesia. Indonesia selalu mengedepankan jalan tengah, keseimbangan dalam pergaulan dunia. Termasuk gagasan pembangunan yang berkelanjutan yang ditawarkan Indonesia. Inilah makna Indonesia untuk Semua.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...