Apr 7, 2011

Menyongsong Kebangkitan Maluku Utara


oleh: Velix Wanggai (Kolom Spektra, Jurnas, 7 April 2011)

Maluku Utara maupun Maluku pada umumnya adalah wilayah para raja-raja (jaziratul muluk). Dari namanya, mengandung makna yang mendalam, yaitu wilayah para penguasa. Dahulu, ada Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo.

Para Kesultanan ini memiliki cerita panjang perihal kekuasaan, pengaruh politik, hubungan ekonomi dan kultural ke berbagai wilayah di Nusantara, bahkan hingga Filipina dan Pasifik Selatan. Kisah perjuangan para Sultan dan tokoh-tokoh rakyat di wilayah Maluku Utara masih kita kenang dalam berbagai episode sejarah bangsa, baik di era perlawanan terhadap Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.

Jejak-jejak sejarah ini dan tantangan pembangunan ke depan di wilayah Maluku Utara adalah pijakan dasar bagi penulis untuk mengunjungi Ternate dan Tidore beberapa hari lalu. Sejak di pesawat udara, kita menyaksikan keindahan pulau-pulau, teluk yang tertata rapi, laut yang teduh, lambaian pohon nyiur, dan gunung Gamalama yang gagah. Ketika tiba di Ternate seakan penulis hadir di kampung halaman.

Bertepatan pula, masyarakat Maluku Utara menyambut kedatangan kitab suci Alqur'an milik Kesultanan Ternate yang berumur ratusan tahun, yang selama ini disimpan di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. Cerita ini adalah secuil dari kisah hubungan kultural yang begitu lama antara Ternate dan daerah-daerah lainnya di Nusantara.

Jika saat ini kita berdebat perihal pusat ibukota negara atau pusat pemerintahan Republik ini, kita bisa belajar dari cacatan perjalanan sejarah kolonial Belanda di Nusantara. Sebelum Belanda atau VOC memilih Batavia sebagai pusat penyelenggaraan kekuasaan di Nusantara, ternyata 3 (tiga) Gubernur Jenderal Belanda berpusat di kota Ternate. Artinya, Ternate dipandang sangat strategis dalam percaturan global saat itu, dan menjadi sentra kekuasaan pemerintahan untuk mengelola pemerintahan Belanda dan mengatur perdagangan dengan negara-negara lainnya di benua Eropa.

Demikian pula, kota Soa Sio di pulau Tidore adalah sentra perjuangan Indonesia untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Tahun 1956, Soa Sio dijadikan ibukota dari Provinsi Irian Barat Perjuangan. Tidore adalah wilayah yang bermakna dalam perjuangan pembebasan Irian Barat. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi kita untuk merumuskan skenario pengembangan wilayah di Indonesia saat ini dan ke depan, dan sekaligus memberikan motivasi yang kuat untuk merekatkan keutuhan bangsa Indonesia.

Kini, Maluku Utara telah berdiri sendiri sebagai provinsi, terpisah dari kakaknya, provinsi Maluku. Payung hukumnya adalah UU No. 46/1999. Pasti ada harapan yang tinggi dari seluruh rakyat Maluku Utara untuk membangun daerahnya dalam setting sosial budaya yang begitu beragam, unik, dan harmonis.

Bagi Pemerintah, berdirinya sebuah daerah otonom baru akan bermakna bagi percepatan pembangunan daerah, pembukaan isolasi wilayah, perubahan taraf hidup rakyat yang lebih baik, pelayanan pemerintahan yang menyentuh rakyat di pelosok pulau-pulau, maupun partisipasi sosial politik rakyat yang lebih terkonsolidasi baik. Tidak hanya itu saja, setelah berdiri provinsi Maluku Utara, Pemerintah mendorong lahirnya kabupaten-kabupaten baru, baik di pulau Tidore, pulau Halmahera, maupun pulau Morotai. Kesemuanya itu bertujuan bagi untuk mempercepat pembangunan wilayah dan masyarakat Maluku Utara.

Kepemimpinan Gubernur H.Thaib Armaiyn memberikan harapan yang besar bagi Maluku Utara. Menyadari kondisi wilayah, potensi dan tantangan ke depan, serta setting sosial budaya, visi yang digagas adalah ‘Terwujudnya masyarakat provinsi kepulauan yang religius, sehat, cerdas, produktif dan sejahtera dalam bingkai perdamaian abadi'. Perdamaian melalui pembangunan (peace through development) adalah salah satu strategi dalam membangun daerah Maluku Utara.

Kini, wilayah Maluku Utara menjadi perhatian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika berkunjung ke Ternate, Presiden SBY mencanangkan Sail Morotai pada tahun 2012. Sail Morotai tidak berdiri sendiri di pulau Morotai saja, namun Presiden menegaskan bahwa Sail Morotai merupakan titik masuk (entry point) untuk membangkitkan berbagai potensi Maluku Utara dan mempercepat pembangunan ekonomi wilayah yang lebih inklusif. Sail Morotai menjadi momen bagi semua kabupaten di provinsi Maluku Utara untuk bangkit, bahu-membahu, dan melangkah bersama untuk mengatur desain pembangunan yang tepat sesuai konteks ke-Maluku Utara-an.

Ke depan, Presiden SBY juga meletakkan Maluku sebagai salah satu kawasan strategis dalam perspektif ekonomi di kawasan Pasifik. Potensi sumber daya alam seperti perikanan, wisata bahari dan sejarah, serta pertambangan adalah sejumlah kekuatan wilayah. Disinilah kita menempatkan pulau Morotai sebagai pintu terdepan, halaman Republik di bibir Pasifik. Dalam perspektif Jakarta, Morotai menjadi Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN), sekaligus sebagai pusat megaminapolitan, dan hub koneksivitas ke luar negeri di masa depan.

Untuk itu, dengan potensi sumber daya alam yang strategis, tetapi belum dikelola secara optimal, adalah tantangan bagi kita semua. Konteks geostrategis dan geopolitik yang baik, Maluku Utara adalah aset bagi bangsa ini untuk bangkit. Syaratnya, mari kita bersama bekerja keras.

Kita harus optimis, tinggalkan pesimisme. Kita satukan langkah, padukan strategi pembangunan, sinkronkan kewenangan dan pembiayaan, dan bangun daerah dalam kemajemukan. Ini adalah modal sosial kita. Ayo, bangkitlah Maluku Utara. Ino foma katinyinga marimoi ngone futuru, mari kita menyatukan hati, bersatu membangun Maluku Utara.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...