Oct 7, 2010

KEPRIHATINAN DAN TANGGUNGJAWAB KITA

Oleh: Velix Vernando Wangga (dimuat di Jurnal Nasional, 7 Oktober 2010)

Akhir-akhir ini muncul keresahan di sebahagian masyarakat kita tentang terancamnya nilai-nilai persatuan dan kebersamaan di dalam kehidupan sosial kita. Setelah perdamaian Sambas dan Sampit (Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), Halmahera (Maluku Utara), Poso (Sulawesi Tengah) sepuluh tahun lalu, kini luka itu menganga lagi. Mulai peristiwa makam Mbah Priok, Buol, Bekasi, Ampera dan Tarakan. Sudah banyak darah dan air mata yang tumpah di bumi pertiwi ini akibat ulah anak bangsa yang berubah menjadi serigala. Sayangnya, kebanyakan dari pelaku kekerasan itu adalah anak-anak dan generasi muda kita. Kita patut prihatin dengan gejala kekerasan yang timbul kembali ini dengan sikap ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Betapa tak terbayangkan seorang bocah yang melihat ayah, ibu, saudara kandung, paman, bibi atau teman sepermainannya dibantai tanpa ampun. Memori si bocah akan terus tumbuh bersamanya hingga ia dewasa kelak. Entah ia akan menjadi pendendam ataukah ia akan memaafkan orang-orang yang telah “mematikan” masa depannya? Semua berpulang pada lingkungan yang mendidiknya.

Terminologi Arab menyebutkan “manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpikir” (al-Insân-u hayawân-u a-al-nathiq), maka akal pikiranlah yang membedakan manusia dengan hewan. Oleh karena itu, pembangunan untuk “memanusiakan manusia” terletak pada bagaimana akal pikiran diarahkan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat. Akal harus diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang berharkat, bermartabat, bermoral dan berakhlak mulia. Orang tua dan guru hanyalah sekelumit dari lingkungan pendidikan yang begitu luas dalam menciptakan generasi bangsa yang memiliki akal yang sempurna, sehingga ia dapat menjaga jatidirinya, berkarakter tangguh dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.

Dalam konteks pembentukan kepribadian, individu tidak berdiri sendiri tetapi di sekelilingnya ada lingkungan yang menyertai dan menjaganya. Lingkungan itu bisa berupa lingkungan sosial terdekat yang bersifat informal yakni keluarga dan masyarakat, juga lingkungan sosial yang jauh dan formal yakni pemerintah. Pemerintah dan aparaturnya adalah lingkungan pendidikan yang nantinya seorang individu menjadi bagian di dalamnya. Baik-buruknya suatu lingkungan akan mempengaruhi pola pikir dan karakter individu yang tumbuh di dalamnya. Jadi lingkungan yang informal dan formal tersebut, sama-sama bertanggugjawab terhadap tumbuh-kembangnya generasi bangsa yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani, berpendidikan tinggi, memiliki etos kerja produktif, terampil, inovatif, disiplin, profesional dan berkemampuan manajerial.

Idealisme tentang generasi bangsa yang tangguh ini akan muspra tatkala lingkungan pembentuk kepribadian generasi bangsa ini tidak bermoral atau niretika. Hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang suka bermain mata akan menjadi penyamun bersama-sama sang terpidana. Semuanya setali tiga uang dalam meruntuhkan pilar-pilar negara hukum plus akhlak dan moral bangsa. Perilaku koruptif di pelbagai level dan lembaga pemerintahan akan mendidik generasi bangsa ini menjadi generasi maling di rumahnya sendiri.

Sikap ingin menang sendiri, ingin maju sendiri, ingin kaya sendiri, ingin sejahtera sendiri, akan semakin menciptakan gap dan friksi sosial yang semakin mendalam antarelemen kebangsaan. Tidak heran jika orang gampang marah atau malah bangga masuk penjara karena membuat kerusakan, padahal ia sendiri ditahbiskan Tuhan untuk menjadi pemelihara kedamaian di muka bumi. Kasus-kasus kekerasan diatas sebenarnya terkait dengan jatidiri bangsa yang hilang. Misalnya spirit kebersamaan telah digantikan dengan pribadiisme, kesopanan digantikan dengan kesombongan, keprihatinan digantikan dengan apatisme, kepedulian digantikan dengan masa bodoh.

Keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran dan atribut inferioritas lainnya seolah-olah tidak mampu lagi diatasi oleh bangsa kita sendiri. Pada akhirnya, social gap terjadi dan semakin merata dimana-mana dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sikap-sikap radikal berupa terorisme dan anarkisme. Kita patut prihatin, kekerasan yang terulang diatas jangan sampai menjadi watak kedua (second nature) bangsa Indonesia.

Dalam kerangka pemikiran normal, sebenarnya tidak ada tempat bagi radikalisme sosial kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama, etnis, golongan dan lain-lain yang mengorbankan harta dan nyawa sesama anak bangsa. Sebab, sejak awal Republik ini ada, para founding fathers kita telah sepakat untuk mengusung motto Bhineka Tungal Ika sebagai konsensus nasional. Artinya, bangsa Indonesia telah menyadari bahwa “berbeda” adalah realitas tak tertampikkan. Namun, negara dan warganya diperintahkan oleh konstitusi untuk tidak “membeda-bedakan” suku, etnis, agama dan golongan dalam pergaulan maupun perlakuan pelayanan sosial kemasyarakatan.

Itulah sebabnya Presiden SBY selalu menekankan keadilan bagi semua (justice for all) sebagai bagian tak terpisahkan dari visi beliau untuk mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan kehidupan kebangsaan yang demokratis. Kehidupan yang setara tanpa pembedaan itu hendaknya dimaknai dari sisi perencanaan kebijakan yang ditopang dengan regulasi yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat secara luas. Kondisi ini akan sangat mendukung kohesivitas sosial, baik di kalangan kelompok-kelompok sosial yang berlatarbelakang berbeda-beda maupun antara masyarakat dan pemerintah di daerah-daerah.

Masyarakat harus dibiasakan tidak menyelesaikan masalahnya sendiri seolah-olah tidak ada pemimpin di daerahnya. Atau bisa jadi masyarakatnya telah meminta perhatian pemimpin di daerahnya untuk menyelesaikan masalah di daerah tetapi pemimpinnya kurang cuek-bebek, kurang peka. Lihat saja, kasus-kasus kekerasan warga di beberapa daerah, memberikan gambaran bahwa masih banyak pemimpin di daerah kurang peka dan selalu menunggu reaksi dari Pusat. Presiden SBY pada Rapat Kabinet tanggal 13 September 2010 lalu di Istana Negara telah memerintahkan Gubernur, Bupati dan Walikota di daerah untuk tidak lepas tangan atau bergerak lamban dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di wilayahnya. Para pemimpin di daerah harus proaktif menyelesaikan akar persoalan dan tidak tidak reaktif setelah terjadi peristiwa yang muncul akibat persoalan yang sebenarnya dapat diatasi.



[1] Penulis adalah Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah


No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...