Oct 28, 2010

BENCANA, SABAR DAN IKHTIAR

Velix V. Wanggai (Dimuat di Koran Jurnas, 28 Oktober 2010)

Selasa petang gunung Merapi meletus dan menebar awan panas menyelimuti desa Kinahrejo Sleman Yogyakarta dan daerah sekitarnya. Sesaat kemudian ombak besar Tsunami menerpa desa Munte Barubaru, Betumonga dan desa pesisir pantai lainnya di pulau Pagai Utara dan Selatan Kabupaten Mentawai Sumatera Barat. Alam seolah-olah bersahutan menebar kepanikan dan kekalutan bagi penghuni bumi Nusantara ini dalam waktu yang bersamaan. Padahal tiga pekan sebelumnya, kita baru saja menyaksikan nestapa korban banjir bandang di Wasior Papua Barat.

Sejak kemarin kami berada di kota Padang Sumatera Barat, memantau dan memastikan bahwa sistem telah bekerja secara terpadu pasca bencana tsunami di Mentawai. Bencana Tsunami yang menerpa pulau Pagai Utara Kepulauan Mentawai itu terjadi bersamaan beberapa saat setelah gempa tektonik 7,2 SR yang melanda wilayah itu. Beberapa jam setelah kejadian, bersama Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial, Saudara Andi Arief, kami berangkat ke Mentawai. Bersama-sama Wakil Presiden dan rombongan, kami berkoordinasi dengan Pemda Provinsi Sumatera Barat dan Pemda Kabupaten Mentawai melakukan langkah-langkah koordinasi tanggap darurat.

Diperkirakan ratusan jiwa melayang akibat terpaan awan panas dan gelombang tsunami di Sleman dan Mentawai. Nafas panjang keprihatinan patut kita haturkan bagi para korban wafat dan korban selamat di kedua wilayah itu. Luka fisik dan trauma psikis sudah pasti dialami oleh mereka yang selamat. Tetapi kesedihan akibat kehilangan anggota keluarga dan harta benda tidak mudah hilang dalam sekejap.

Bencana alam seolah tiada henti menyapa negeri ini. Situasinya demikian, karena secara geografis, wilayah Indonesia terletak di dua lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia, dengan beberapa titik palung laut yang dalam dan gunung berapi aktif. Kedudukan wilayah Nusantara yang dilalui garis katulistiwa (equator) itu menjadikan Indonesia memiliki musim kembar, hujan dan kemarau. Namun akhir-akhir ini, dua musim itu tidak berjalan konstan akibat meningkatnya suhu bumi (global warming) yang merisaukan umat manusia di berbagai belahan dunia dewasa ini.

Kondisi ini membuat Indonesia rentan terhadap bencana goncangan tektonik di laut dan daratan maupun angin muson, banjir dan gelombang tsunami. Tentu saja kita tidak melupakan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi Nusantara ini sebagai anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Rasa syukur dapat diwujudkan dengan sikap kita bersikap arif terhadap lingkungan hidup di sekeliling kita, menebarkan sikap hidup serasi dengan alam dan merencanakan pembangunan berwawasan lingkungan.

Untuk Direnungkan

Musibah dan bencana tidak memiliki rasa toleransi. Tidak membeda-bedakan tua jompo, wanita, anak-anak, ibu hamil atau tubuh kekar manapun. Ia sekonyong-konyong datang membabi-buta meluluhlantakkan apa yang dilaluinya. Apakah sedang duduk, berjalan, berbaring atau sedang shalat sekalipun. Bencana yang membawa ajal itu akan datang menyapa manusia, siapa pun dia. Bencana dan musibah juga bisa dimaknai sebagai hukuman atas perilaku individu dan kolektif suatu bangsa seperti yang dialami oleh umat-umat para Nabi terdahulu. Bagi bangsa Indonesia, rangkaian musibah ini dapat dimaknai sebagai “isyarat” dari Tuhan seperti disinggung Ebiet G. Ade dalam lirik, Untuk Kita Renungkan.

Bencana alam terjadi berdasarkan hukum sebab akibat yang ditetapkan atasnya dan manusia memiliki sifat sabar dan ikhtiar untuk menghadapi musibah yang menimpanya. Sikap sabar dan ikhtiar itu adalah antara lain melakukan langkah-langkah koordinatif mengatasi dampak bencana itu secara bersama-sama. Secara bertahap, Pemerintah telah memiliki “protap” penanganan bencana, mulai dari tahap pencegahan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, maupun pemulihan trauma psikis.

Pada tahap pencegahan, daerah dengan tingkat kerentanan bencana yang tinggi sudah saatnya melakukan revisi tata ruang wilayahnya berbasis mitigasi bencana. Di sisi lain, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat memahami kerentanan bencana wilayahya senantiasa harus terus dilakukan. Banyak rakyat keberatan meninggalkan dusun dan kampung halamannya karena alasan-alasan ekonomis dan kultural, tetapi mereka lupa bahwa bencana akan datang menimpa mereka tanpa pandang bulu. Disini, jajaran pemerintah daerah diminta lebih proaktif dalam merumuskan rencana strategis pencegahan bencana.

Himbauan Presiden SBY tentang pembangunan berwawasan lingkungan dan pentingnya masyarakat memahami mitigasi bencana belum banyak terimplementasi di lapangan. Keputusan beliau mempersingkat agenda kenegaraannya di Hanoi Vietnam untuk kembali ke Tanah Air, merupakan isyarat betapa konsenya beliau terhadap masalah bencana ini. Beliau selalu mengunjungi rakyatnya yang tertimpa musibah dan menguatkan hati mereka untuk terus bangkit dan jangan berputus asa. Di beberapa kesempatan mengunjungi para korban bencana alam di tenda-tenda pengungsian, Pak SBY dan Ibu Ani selalu menyapa rakyatnya dengan sikap empati dan seruan kesabaran.

No comments:

Staf Ahli Bapennas: Ibu kota direncanakan pindah pada semester I 2024

  Selasa, 21 Desember 2021 17:32 WIB   Tangkapan layar - Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Velix Vernando ...